Perkembangan Kebijakan Hukum Pertam-Bangan Mineral Dan Batubara Di Indonesia

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 34

Undang: Jurnal Hukum

ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak)


Vol. 4 No. 2 (2021): 473-506, DOI: 10.22437/ujh.4.2.473-506

Perkembangan Kebijakan Hukum Pertam-


bangan Mineral dan Batubara di Indonesia

Ahmad Redi*, Luthfi Marfungah**


*Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara
ahmadr@fh.untar.ac.id
** Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
luthfimarfungah@student.ub.ac.id

Abstract
Mineral and coal mining activities in Indonesia have been going on for a
long time, and because of that, many legal instruments that support them
have been established. This article traces the development of mineral
and coal mining policies from the colonial period to the current reform,
with the aim of capturing in general the dynamics of the existing policy
developments. The study of this article shows that mining policies during
the colonial period were part of the politics of colonialization, so that
they were exploitative and monopolistic in character. For this purpose, a
concession/permit management system is applied. After independence, the
spirit of nationalism was embodied in a law that allowed for the nationalization
of foreign mining companies, as well as closing the meeting for foreign
investment. However, since 1967, foreign investment has been widely opened,
as well as the introduction and use of an enterprise system based on a contract
of work, a work agreement, and a mining authorization. Post-reformation,
with the spirit of decentralization and regional autonomy, mining policy
was directed to support the authority of mining management by local
governments, and at the same time, started to use a system of exploitation
based on mining business permits. Recent developments, the authority of
this local government was taken over by the central government. The various
dynamics of these developments show that mineral and coal mining has
always been seen as a strategic commodity so that it deserves to be contested,
whether it was formerly by the colonial authorities or later by the central and
local governments, and laws were then enacted to support these goals.
Keywords: law; business; minerals and coal mining.
Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

Abstrak
Aktivitas pertambangan mineral dan batubara di Indonesia telah berlang-
sung sejak lama, dan karena itu, instrumen hukum yang mendukungnya
tentu telah banyak pula dibentuk. Artikel ini menelusuri perkembangan
kebijakan pertambangan mineral dan batubara dari masa kolonial sampai
reformasi saat ini, dengan tujuan memotret secara umum dinamika
perkembangan kebijakan yang ada. Kajian artikel ini memperlihatkan
kebijakan pertambangan pada masa kolonial merupakan bagian dari politik
kolonialisasi, sehingga berwatak eksploitatif dan monopolistik. Untuk
kebutuhan tersebut, diberlakukan sistem pengusahaan konsensi/izin.
Setelah kemerdekaan, semangat nasionalisme dituangkan dalam hukum
yang memungkinkan dilakukannya nasionalisasi terhadap perusahaan-
perusahaan tambang asing, sekaligus menutup rapat bagi investasi
asing. Namun, sejak 1967, investasi asing dibuka lebar, sekaligus mulai
diperkenalkan dan digunakan sistem pengusahaan berdasarkan kontrak
karya, perjanjian karya, dan kuasa pertambangan. Pasca-reformasi, dengan
semangat desentralisasi dan otonomi daerah, maka kebijakan pertambang-
an diarahkan untuk mendukung kewenangan pengelolaan pertambangan
oleh pemerintah daerah, dan pada saat bersamaan, mulai digunakan
sistem pengusahaan berdasarkan izin usaha pertambangan. Perkembangan
terkini, kewenangan pemerintah daerah ini diambil alih oleh pemerintah
pusat. Berbagai dinamika perkembangan tersebut memperlihatkan bahwa
pertambangan mineral dan batubara selalu dipandang sebagai komoditas
strategis sehingga layak diperebutkan, entah itu dulunya oleh penguasa
kolonial maupun belakangan oleh pemerintah pusat dan daerah, dan
hukum kemudian diadakan untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut.
Kata kunci: hukum; pengusahaan; pertambangan mineral dan batubara.

A. Pendahuluan
Artikel ini membahas dinamika perkembangan kebijakan penge-
lolaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Kegiatan
pertambangan di Indonesia sendiri telah berlangsung lama, bahkan
sejak masa kolonial. Berbagai instrumen hukum telah banyak
diterbitkan untuk mendukung kegiatan pertambangan mineral dan
batubara, baik pada masa kolonial maupun setelah kemerdekaan.
Kebijakan terbaru, yang berlaku pada saat ini, dituangkan dalam

474 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


Mineral dan Batubara, yang sebagiannya telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Berbagai aturan hukum yang
pernah dibentuk dan berlaku tidak selalu secara khusus mengatur
pertambangan mineral dan batubara, melainkan ada juga yang
sebetulnya mengatur persoalan lainnya namun memiliki keterkaitan
dengan pertambangan, misalanya Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Dalam artikel ini ingin ditelusuri, bagaimana dinamika yang
berlangsung dalam perkembangan tersebut, apa yang berubah dan
apa pula yang tetap bertahan.
Pembahasan tentang dinamika perkembangan kebijakan per-
tambangan minerba menjadi perlu dilakukan setidaknya karena tiga
alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara yang kaya dengan
sumber daya geologi,1 baik berupa bahan galian radioaktif, bahan
galian logam, bahan galian non-logam, dan bahan galian batuan
serta batubara. Besi, emas primer, tembaga, nikel, bauksit, dan perak
merupakan jenis sumber daya geologi mineral logam yang menjadi
andalan Indonesia. Bahkan, di antara negara di dunia, Indonesia
menempati peringat enam dalam hal kekayaan sumber daya geologi.
Hal ini tidak lepas dari kondisi geologi regional Indonesia yang
berada pada titik di mana lempeng benua dan lempeng samudera
bertemu, atau disebut zona subduksi.2 Dalam soal batubara, saat
ini diperkirakan tersedia candangan sebesar 38,84 miliar ton, dan
dengan rata-rata produksi 600 juta ton per tahun serta asumsi tidak
ada temuan cadangan baru, maka cadangan yang ada bisa bertahan
untuk 65 tahun.3

1 Sumber daya geologi adalah semua fenomena geologi yang dapat


dimanfaatkan sebagai sumber daya bagi kehidupan manusia. Secara umum
sumber daya geologi dibagi menjadi tiga kelompok: sumber daya energi,
sumber daya lingkungan, dan sumber daya mineral. Sutikno Bronto dan Udi
Hartono, “Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah Cekungan Bandung
dan Seitarnya”, Jurnal Geologi Indonesia, 1, 1 (2006), hlm. 12.
2 Hotden Manurung dan Amanda Ayudhia S, “Sumber Daya Geologi
Indonesia”, https://ugrg.ft.ugm.ac.id/artikel/sumberdaya-geologi-indo-
nesia/, diakses 20/10/2021.
3 Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, “Siaran Pers
Cadangan Batubara Masih 38,84 Ton, Teknologi Bersih Pengelolaannya

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 475


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

Kedua, sektor pertambangan merupakan komoditas bernilai


ekonomi tinggi4 dan terbukti berkontribusi besar dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada periode 1975-1985, sering
disebut masa keemasannya, sektor ini bahkan menyumbang di atas
20 persen pada perekonomian nasional. Sekalipun setelah periode
tersebut kontribusi sektor pertambangan secara umum sempat
menurun, pada pertambangan non-migas terutama batubara, bijih
besi, dan tembaga, justru semakin bergairah terutama sejak 2000-
an. Pada periode 2000-2010, pertambangan non-migas tumbuh
enam persen, sementara pada 2011-2019 tumbuh rata-rata 3,4
persen.5 Kontribusi penting pada perekonomian ini terlihat pula
pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pada akhir 2018
misalnya, sektor minerba menyumbang realisasi sebesar Rp50 triliun
atau 155,8 persen dari target awal sebesar Rp32,09 triliun.6 Dalam
sejarahnya, sektor ini juga terbukti berperan penting tidak hanya
membangkitkan listrik, namun juga sebagai bahan bakar dalam
produksi baja, semen, pusat pengolahan alumina, pabrik kertas,
industri kimia, serta farmasi.7
Namun demikian, faktor ketersediaan cadangan minerba dan
kontribusinya sejauh ini pada perekonomian nasional tentu tidak
boleh melupakan tata kelola yang baik dalam pengusahaannya.
Lebih dari itu, sektor ini memang menuntut pengelolaan secara
bijak dan berkelanjutan. Sebab, ia merupakan sumber daya alam

Terus Didorong”, 26/7/2021, diakses 10/10/2021.


4 Bank Dunia, “Ringkasan Eksekutif Perkembangan, Pemicu dan Dampak
Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia”,
Laporan Pengembangan Sektor Perdagangan, Kantor Bank Dunia Jakarta,
Jakarta, 2010, hlm. 2.
5 Muhammad Ishak Razak, “Kebijakan dan Dampak Ekonomi Sektor
Pertambangan”, dalam Kuasa Oligarki atas Minerba Indonesia? Analisis Pasca
Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, ed. Ahmad
Khoirul Umam ( Jakarta: Universitas Paramadina, 2021), hlm. 205-6.
6 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia,
Laporan Kinerja Tahun 2018 ( Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, 2019), hlm. 88-90.
7 Amanda Ayudhia S., “Batubara sebagai Sumber Energi: Asal, Jenis, dan
Kegunaannya”, https://ugrg.ft.ugm.ac.id/artikel/batubara-sebagai-sum-
ber-energi-asal-jenis-dan-kegunaannya/, diakses 10/10/2021.

476 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

yang terkandung di dalam bumi dan tidak terbarukan. Terlebih lagi


kegiatan pertambangan selalu dihadapkan pada dua kepentingan
yang kerap bersebarangan: kebutuhan akan sumber daya alam dan
aspek kerusakan lingkungan.8 Bahkan, kerusakan lingkungan bukan
satu-satunya dampak negatif yang bisa ditimbulkan; bisa juga terjadi
konflik antara masyarakat dan perusahaan dan alih fungsi lahan.9
Ketiga, perubahan regulasi pada dasarnya akan mengubah arah
kebijakan perihal yang diatur dalam regulasi tersebut, pun demikian
pada bidang minerba. Sebagai contoh, diberikannya kewenangan
kepada pemerintah daerah pasca-reformasi untuk mengelola per-
tambangan di wilayahnya namun dalam perkembangan berikutnya
kewenangan ini ditiadakan, menjadi mungkin karena regulasi yang
dibentuk. Karena itu, artikel ini mencoba memaparkan perkem-
bangan regulasi tata kelola minerba di Indonesia. Bahasan dalam
artikel ini memang tidak berfokus pada area atau tahapan tertentu
dalam suatu pengelolaan pertambangan minerba, melainkan ingin
memotret secara umum dinamika perkembangan kebijakan hukum
pertambangan minerba. Untuk tujuan tersebut, artikel ini membagi
bahasannya pada perkembangan kebijakan sebelum kemerdekaan
dan setelah kemerdekaan. Pada masa setelah kemerdekaan, bahasan
masih dibedakan lagi antara sebelum dan sesudah reformasi
pemerintahan pada 1998.

B. Perkembangan Kebijakan Pertambangan Mineral dan


Batubara: Sebelum Kemerdekaan
Kegiatan pertambangan mineral dan batubara di Nusantara bisa

8 Marthen B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara


yang Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat”, Jurnal Konstitusi, 16, 1
(2019), hlm. 164.
9 Samuel Rizal, DB. Paranoan, dan Suarta Djaja, “Analisis Dampak Kebijakan
Pertambangan terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat di
Kelurahan Makroman,” Jurnal Administrative Reform, 1, 3, (2013), hlm. 516;
Ahmad Redi, “Dilema Penegakan Hukum Pertambangan Mineral dan
Batubara Tanpa Izin pada Pertambangan Skala Kecil”, Jurnal Rechs Vinding:
Media Pembinaan Hukum Nasional, 5, 3 (2016), hlm. 413-5.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 477


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

dilacak sejak masa penjajahan atau kolonial, bahkan pra-kolonial.10


Pada masa pra-kolonial, emas digunakan sebagai simbol status sosial
oleh para bangsawan, yaitu sebagai perhiasan maupun perlengkapan
upacara adat.11 Pada masa kolonial, kegiatan pertambangan tidak lepas
dari tujuan kolonialisasi itu sendiri, antara lain mengeruk kekayaan
alam di wilayah jajahan. Pada mulanya, kekayaan alam yang dikeruk
atau diambil adalah yang tersedia secara melimpah dan diperoleh
dengan mudah dan sederhana, yaitu rempah-rempah. Namun dalam
perkembangannya menyasar pula kekayaan alam yang terkandung
di dalam bumi, yang pengambilannya tentu tidak lagi mudah dan
sederhana, ialah barang-barang tambang, termasuk minerba.
Pada masa kekuasaan pemerintah Belanda, aktivitas pertam-
bangan di Hindia Belanda menjadi bagian dari usaha yang hendak
dimonopoli melalui suatu Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC),
atau Perserikatan Dagang Hindia Timur Belanda, yang dibentuk
pada 20 Maret 1602. Kongsi dagang ini dibentuk untuk melakukan
monopoli perdagangan di kawasan Asia pada era kolonialisme Eropa,
dan mencegah kerugian akibat persaingan dagang dengan Portugis di
Nusantara.12 Pada 1652 dimulai aktivitas penyelidikan berbagai aspek
ilmu kealaman oleh para ilmuwan dari Eropa. Pada 1850, Pemerintah
Hindia Belanda membentuk dinas pertambangan Dienst van het
Mijnwezen yang berkedudukan di Batavia, dengan tujuan untuk lebih
mengoptimalkan penyelidikan geologi dan pertambangan menjadi

10 Menurut Agus Setiawan, aktivitas pertambangan sudah ada sejak zaman


pra-kolonial, yaitu zaman Hindu Budha. Raja Majapahit Hayam Wuruk
pernah memerintahkan raja Kerajaan Melayu yang merupakan vasal
Majapahit, Adityawarman, untuk menguasai Sungai Batanghari di Jambi,
karena di sana ada pertambangan emas. Pada masa itu emas digunakan
sebagai alat tukar dan bahan utama pembuatan senjata tradisional (keris),
patung, maupun arca. Martin Sitompul, “Mendulang Sejarah Tambang
Nusantara”, https://historia.id/ekonomi/articles/mendulang-sejarah-
tambang-nusantara-P4WOp/page/1, 26/9/2017, diakses 20/10/2021.
11 Siti Rahmana, Dari Mendulang Jadi Menambang: Jalur Emas di Lebong
(Bengkulu) Abad XIX hingga Abad XX (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm.
6.
12 Yuda Prinanda, “Apa itu Pengertian VOC, Sejarah Kapan Didirikan, dan
Tujuannya?”, https://tirto.id/apa-itu-pengertian-voc-sejarah-kapan-didiri-
kan-dan-tujuannya-gaaG, 14/2/2021, diakses 20/10/2021.

478 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

lebih terarah.13
Upaya Belanda melakukan kegiatan pertambangan tersebut
diwarnai pula dengan kebijakan-kebijakan yang berlaku di negara
asalnya. Peraturan mengenai pertambangan pertama yang dibentuk
ialah Mijn Reglement 1850. Regulasi ini menjadi dasar hukum bagi
pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan konsesi kepada
swasta dalam mengusahakan pertambangan di Hindia Belanda. Ia
juga menjadi dasar hukum dalam penguasaan seluruh sumber daya
alam pertambangan yang ada di Hindia Belanda, termasuk dalam
pengambilalihan penambangan yang telah ada sebelum pemerintah
Hindia Belanda berdiri. Mijn Reglement 1850 ini dalam praktiknya
sangat efektif di luar Pulau Jawa, namun di Pulau Jawa sendiri tidak
karena potensi konflik pertanahan yang saat itu sedang diterapkan
sistem cultuur stelsel dalam pertanian dan perkebunan.14
Pada perkembangan kemudian berlaku pula di Hindia Belanda
adalah Indische Mijnwet Staatblad Tahun 1899 Nomor 214. Cikal
bakal regulasi ini adalah Undang-undang Pertambangan Tahun
1810 yang menggantikan Undang-undang Pertambangan 1791 di
Kota Limburg. Indische Mijnwet 1899 mengatur penggolongan bahan
galian dan pengusahaan pertambangan dengan sistem pengusahaan
konsensi. Setelah Indische Mijnwet, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan beberapa peraturan lainnya terkait pertambangan,
yaitu Mijnordonnantie 1907 yang mengatur mengenai pengawasan
keselamatan kerja, dan Mijnordonnantie 1930 yang mencabut Mijnor-
donnantie 1907. Dalam Mijnordonnantie 1930, pengaturan mengenai
pengawasan kerja dihapus.15
Indische Mijnwet memungkinkan pemerintah kolonial untuk

13 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, “Kilas


Balik Sejarah Pertambangan dan Energi di Indonesia”, https://www.esdm.
go.id/id/media-center/arsip-berita/kilas-balik-sejarah-pertambangan-
dan-energi-di-indonesia, 15/10/2008, diakses 20/10/2021.
14 Ahmad Redi, Hukum Energi: Konsep, Sejarah, Asas, dan Politik Hukum (Depok:
Rajawali Pers, 2020), hlm. 62-3.
15 Soetaryo Sigit, “Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangkitan
Pertambangan Indonesia”, Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar Doktor
Honoris Causa, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 1996, hlm. 8.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 479


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

memberikan hak konsesi kepada sektor swasta untuk jangka waktu


hingga 75 tahun. Pemegang hak pengusahaan diharuskan membayar
sewa tanah kepada pemerintah kolonial, sementara mineral, minyak
dan/atau gas yang dihasilkan dari areal konsesi menjadi milik
pemegang konsesi. Pada perubahannya di 1904, Indische Mijnwet
menetapkan hanya warga negara Belanda, penduduk Hindia Belanda,
atau perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Belanda atau
Hindia Belanda yang berhak diberikan konsesi. Pada perubahan
di 1918, Indische Mijnwet memungkinkan kepentingan asing non-
Belanda untuk mendapatkan hak konsesi, tetapi hanya untuk jangka
waktu hingga 40 tahun.16
Selama penerapan Indische Mijnwet, pemerintah Hindia Belanda
telah mengeluarkan 471 konsesi dan izin. 268 di antaranya merupakan
konsesi pertambangan untuk mineral/bahan galian yang tercantum
dalam Indische Mijnwet, tiga perusahaan pertambangan milik
pemerintah Hindia Belanda, dua usaha pertambangan patungan
antara pemerintah dan swasta, dua usaha pertambangan oleh swasta
untuk pemerintah dengan perjanjian khusus, 14 kontrak eksplorasi
dan 34 kontrak eksploitasi, serta 142 izin pertambangan mineral/
bahan galian yang tidak tercantum dalam Indische Mijnwet.17
Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan Indische Mijnwet 1899
dinilai menghambat kegiatan swasta. Untuk menghilangkan ham-
batan tersebut, Indische Mijnwet diamandemen pada 1910 dan 1918.
Amandemen tersebut berakibat pada perkembangan kegiatan
pertambangan sebelum terjadinya perang Dunia I.
Setelah berakhirnya pendudukan Belanda dan beralih pada
pendudukan Jepang, pengaturan kegiatan pertambangan tidak men-
jadi perhatian khusus oleh penguasa kolonial yang baru. Selama tiga
tahun masa penjajahan Jepang di Nusantara, tidak ada peraturan baru
mengenai pertambangan. Peraturan yang telah ada yang dibuat oleh
Pemerintah Hindia Belanda, juga tidak mengalami review, bahkan

16 Karen Mills dan Mirza A. Karim, “Disputes in the Oil and Gas Sector:
Indonesia”, Journal of World Energy Law & Business, 3, 1 (2010), hlm. 45.
17 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 66.

480 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

tetap dilaksanakan.18 Dokumen Dienst van den Mijnbouw hanya


diganti namanya menjadi Chisitsu Chosasho. Bahkan, karena Jepang
memberlakukan politik “bumi hangus” pada kantong-kantong
industri Belanda, sehingga pertambangan Belanda pada masa-masa
itu tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk digunakan oleh penjajah
Jepang. Kalaulah ada peninggalan pertambangan Jepang, peninggalan
tersebut adalah tambang batubara di Bayah, Banten, yang saat itu
dikelola oleh Bayah Kozan Sumitomo Kabushiki Kaisha.19
Uraian tentang kebijakan pertambangan pada masa kolonial atau
sebelum kemerdekaan ini memperlihatkan kebijakan pertambangan
sebagai bagian dari politik kolonialisasi. Sebagai bagian dari tujuan
kolonialisasi, maka barang-barang tambang bersama dengan rempah-
rempah yang telah terlebih dahulu dieksploitasi, dijadikan sebagai
kekayaan alam yang perlu dikeruk dari bumi Nusantara. Tidak hanya
mengeruk dan mengeksploitasinya, kegiatan-kegiatan pertambangan
melalui dukungan regulasi dan kelembagaan (VOC) juga dimonopoli
oleh Belanda, dengan tujuan menghindarkannya dari persaingan
dengan kompetitor bangsa-bangsa lain. Kebijakan pertambangan
pada masa kolonial juga meninggalkan ratusan konsesi, izin, dan
kontrak pertambangan. Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa
instrumen pengusahaan pertambangan minerba ketika itu ialah
konsesi, izin, dan kontrak.

C. Perkembangan Kebijakan Pertambangan Mineral dan


Batubara: Setelah Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menandai babak
baru perkembangan hukum di Indonesia. Dengan proklamasi kemer-
dekaan, maka tatanan hukum kolonial diganti, untuk selanjutnya
dibangun suatu tatanan hukum baru yaitu sistem hukum nasional20
18 Sigit, “Potensi Sumber Daya Mineral”, hlm. 41.
19 Arif R. Uropdana, “Pertambangan di Indonesia dari Masa VOC sampai
Orde Baru (Freeport)”, https://jubi.co.id/pertambangan-di-indonesia-dari-
masa-voc-sampai-orde-baru-freeport/, 30/5/2020, diakses 20/10/2021.
20 Jazim Hamidi, “Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17
Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Risalah
Hukum, 2, 2 (2006), hlm. 82.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 481


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter bangsa.21 Pada bagian


berikut dibahas tentang tatanan hukum yang baru itu dalam bidang
pertambangan mineral dan batubara. Oleh karena perkembangan
kebijakan pertambangan minerba ini tidak selalu dalam regulasi
tersendiri tentang pertambangan minerba, sebagaimana disampaikan
di awal tulisan, melainkan bisa juga dalam regulasi lainnya namun
memiliki keterkaitan dengan minerba, maka sebagian bahasan berikut
akan menyinggung pula regulasi lainnya yang kuat keterkaitannya
dengan minerba.
Pasca-kolonial, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi22 menetapkan landasan
konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
termasuk pada pertambangan mineral dan batubara. Landasan
konstitusional tersebut ialah Pasal 33 ayat (2), “Cabang-cabang pro-
duksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara”, dan ayat (3), “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal
ini berarti kegiatan usaha pertambangan, yang merupakan kegiatan
eskplorasi dan eksploitasi kekayaan alam, harus “dikuasai oleh ne-
gara” dan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Frasa “dikuasi oleh negara” ini sesungguhnya sakral dalam
pengelolaan sumber daya alam, namun sering kali dimaknai dan
diimplementasikan secara berbeda oleh rezim pemerintahan. Perbe-
daan tersebut utamanya pada soal apakah dengan begitu berarti nega-
ra harus terlibat langsung ataukah tidak. Pada bidang pertambangan
mineral dan batubara, perbedaan kebijakan pasca-kolonial apakah
sektor ini terbuka atau tertutup bagi investasi asing, sebetulnya dapat
dirunut dari pemaknaan “dikuasai oleh negara”. Belakangan, seiring
liberalisasi ekonomi yang semakin menguat, perbedaan pemaknaan
tersebut tampaknya tidak terlalu diperdebatkan lagi.

21 Indra Perwira, “Realitas Politik Hukum Perundang-undangan Indonesia


Pasca Reformasi”, Padjadjaran Law Review, 5 (2017), hlm. 1-2.
22 Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia (Bandung: Alumni, 1997),
hlm. 84.

482 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal sekaligus penafsir Kon-


stitusi,23 dalam putusan pengujian perkara Nomor 1-021-022/PUU-
I/2003, memberi penafsiran frasa “dikuasai oleh negara” sebagai
berikut:
“Dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup makna penguasaan
oleh negara dalam arti luas yang bersumber danberasal dari konsepsi
kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumberkekayaan “bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula
di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitasrakyat
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif
itudikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada
negara untukmengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad),pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.24

Seturut dengan itu, Jimly Asshiddiqie juga mengatakan, “di-


kuasai oleh negara” tidaklah identik dengan “dimiliki oleh negara”.
Penguasaan oleh negara dalam ketentuan Pasal 33 UUD bukanlah
dimaksudkan harus diwujudkan melalui pemilikan oleh negara.
Negara dalam hal ini cukup berperan sebagai regulator, bukan pelaku
langsung.25
Landasan konstitusional pengelolaan sumber daya alam tersebut
dalam sejarah kemerdekaan diimplementasikan atau dituangkan
secara berbeda-beda, sebagaimana nanti terbaca pada kebijakan
hukum pertambangan mineral dan batubara. Kalaupun berbeda,
hal ini sesungguhnya bagian dari dinamika yang berlangsung dalam
merespons situasi dan tantangan yang tentu tidak akan sama dalam
setiap masanya. Begitu pula, kalaupun ada yang tidak berubah,
maka hal itu juga menunjukkan keberlanjutan atau keajegan tatanan
hukum dalam menyikapi pertambangan.

23 Janedjri M. Gaffar, “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi


dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, makalah dalam Seminar
Nasional Pancasila, Surakarta, 17/10/2009, tersedia pada https://www.
mkri.id/public/content/infoumum/artikel/pdf/makalah_makalah_17_
oktober_2009.pdf, hlm. 1.
24 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, hlm.
334.
25 Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi ( Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 23.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 483


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

Pasca-kolonial, peraturan hukum pertama yang mengatur


pertambangan ialah Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang
Penanaman Modal Asing (UU PMA 1958). Dari nomenklatur
sudah terlihat jika UU ini tidak khusus mengatur pertambangan.
Namun demikian, ada bagian materi muatannya yang menyebut
dan karenanya mengatur pula bidang pertambangan. Pasal 3 ayat
(1) UU ini, yang menguraikan lebih lanjut ketentuan pembatasan-
pembatasan bidang usaha yang terbuka bagi modal asing,26 menyebut
“pertambangan bahan-bahan vital” sebagai perusahaan yang tertutup
bagi modal asing. Ketentuan ini menjadi penanda bahwa pada awal
perkembangannya dalam hukum nasional, sektor pertambangan
termasuk yang tidak dibuka untuk penanaman modal asing. Pada
bagian Memori Penjelasan UU ini ditegaskan, perusahan-perusahaan
tertentu termasuk dalam lapangan pertambangan bahan-bahan vital,
harus dimiliki oleh pemerintah (pusat atau daerah).
Peraturan hukum kedua yang mengatur tentang pertambangan
ialah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan
Hak-hak Pertambangan. Penerbitan UU 10/1959 ini dilatarbelakangi
oleh banyaknya hak-hak pembatalan yang dikeluarkan dan tersebar
di hampir seluruh wilayah Indonesia pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda berdasarkan Indische Mijnwet 1899 dan perubahannya.
Dalam konsideran bagian Menimbang UU ini disebutkan ada empat
alasan pembentukannya. Pertama, adanya hak-hak pertambangan
yang diberikan sebelum tahun 1949, yang hingga sekarang tidak
atau belum dikerjakan sama sekali, sehingga pada hakikatnya sangat
merugikan pembangunan negara. Kedua, pembiaran atas tidak
atau belum dikerjakannya hak-hak pertambangan tersebut lebih
lama tidak dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Ketiga,
agar hak-hak pertambangan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu
sependek mungkin guna kelancaran pembangunan, maka hak-hak
pertambangan tersebut harus dibatalkan dalam waktu yang sesingkat-

26 Pasal 2 UU PMA 1958: “Modal asing diperkenankan bekerja dalam lapangan


produksi dengan pembatasan-pembatasan terhadap jenis perusahaan
termaksud dalam Pasal 3 dan mengingat ketentuan termaksud dalam Pasal
4”.

484 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

singkatnya. Keempat, cara pembatalan hak-hak pertambangan seperti


dalam Indische Mijnwet yang berlaku sekarang tidak digunakan,
sehingga perlu suatu undang-undang khusus.
UU 10/1959 yang membatalkan hak-hak pertambangan terse-
but menjadi dasar awal sebelum diterbitkannya Undang-Undang
Pertambangan baru yang diharapkan akan mengatur pemberian hak-
hak pertambangan baru. Namun demikian, jauh sebelum itu pada
Juli 1951, sebagai bentuk kesadaran akan pentingnya penguasaan per-
tambangan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS)
Teuku Mr. Moh Hassan dan anggota DPRS lainnya menyusun mosi
mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah
guna membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan
di Indonesia. Mosi tersebut, yang dikenal dengan “Mosi Mr. Teunku
Hassan dkk.”, memuat desakan kepada Pemerintah agar,27
1. Membentuk suatu Komisi Negara urusan pertambangan dalam
jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut:
a. Menyelidiki masalah pengelolaan tambang minyak, timah,
batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di
Indonesia.
b. Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan
Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini.
c. Mencari pokok-pokok pikiran bagi pemerintah untuk
menyelesaikan/mengatur pengelolaan minyak di Sumatera
khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain.
d. Mencari pokok-pokok pikiran bagi pemerintah mengenai
status pertambangan di Indonesia.
e. Mencari pokok-pokok pikiran bagi pemerintah mengenai
status pertambangan di Indonesia.
f. Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai
sumber penghasilan negara.
2. Menunda segala pemberian izin, konsensi, eksplorasi maupun

27 Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Dapartemen dan Energi, Kilas


Balik 50 Tahun Pertambangan Umum dan Wawasan 25 Tahun Mendatang
( Jakarta: Direktorat Jenderal Pertambangan Umum Dapartemen dan
Energi, 1995), hlm. 11-20.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 485


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama


menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertam-
bangan.
Beberapa tahun sejak mosi tersebut, suasana kebatinan untuk
membentuk undang-undang pertambangan kembali mulai bergolak,
terutama pada 1958-1959. Pembentukan undang-undang didasari
oleh usaha-usaha untuk menjadikan semua tambang di Indonesia
menjadi milik bangsa Indonesia sekaligus keinginan melahirkan be-
berapa peraturan perundang-undangan yang menyangkut nasional-
isasi usaha pertambangan. Peraturan undang-undang yang mengatur
pengambilalihan usaha di bidang pertambangan tersebut, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1959 tentang Penentuan
Perusahaan Perindustrian/Pertambangan Milik Belanda yang Dike-
nakan Nasionalisasi (PP 50/1959). Dalam PP ini disebutkan, nasional-
isasi dikenakan pada perusahaan perindustrian/perdagangan milik
Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia berikut kantor
direksi atau administrasinya,28 serta berbentuk badan hukum
dan berkedudukan di Indonesia.29 Dengan nasionalisasi ini, maka
seluruh harta kekayaan dan harta cadangan yang pengurusan dan
penguasaannya diselenggarakan oleh perusahaan yang dinasional-
isasi, turut pula dikenakan nasionalisasi.30
Sebagai tindak lanjut mosi DPRS kepada pemerintah, dibentuk
sebuah panitia negara urusan pertambangan dengan dibantu oleh
suatu Panitia ahli, untuk melaksanakan tugas antara lain merenca-
nakan suatu Undang-Undang Pertambangan sebagai Pengganti
Indische Mijnwet. Ini berarti, mosi Mr. Teunku Moh. Hassan dkk.
merupakan titik awal politik hukum pertambangan yang meng-
upayakan sektor pertambangan sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD
1945. Keinginan untuk membenahi pengaturan dan pengawasan
usaha pertambangan di Indonesia merupakan polik hukum yang
menjadi dasar pembentukan produk hukum sesuai dengan apa yang
dicita-citakan.

28 Pasal 1 ayat (1) PP 50/1959.


29 Pasal 1 ayat (2) PP 50/1959.
30 Pasal 1 ayat (3) PP 50/1959.

486 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

Pada 1960, berdasaran mosi tadi, pemerintah menerbitkan sua-


tu kebijakan yang mengatur tentang pertambangan, yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1960 ten-
tang Pertambangan (Perpu Pertambangan 1960). Dalam riwayat
peraturan pertambangan, Perpu ini bisa dikatakan sebagai peraturan
ketiga tentang pertambangan, namun sebetulnya yang pertama yang
secara khusus mengatur bidang pertambangan. Dengan berlakunya
Perpu Pertambangan 1960, maka keberlakuan Indishe Mijnwet
1899 menjadi berakhir.31 Perpu Pertambangan 1960 mengizinkan
pemerintah menarik modal asing untuk mengembangkan kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi dalam usaha pertambangan di Indonesia.
Penarikan modal asing tersebut dilakukan dengan pola kerja sama
Production Sharing Contract sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1963 (PP 20/1963). Dengan demikian,
pengaturan dalam UU Pertambangan 1960 masih menganut asas
pengusahaan pertambangan yang sepenuhnya dilakukan dalam ne-
geri, karena pada saat UU ini lahir tengah berlangsung konfigurasi
politik demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno.32 Dalam
demokrasi terpimpin, antara lain dianut prinsip anti liberalisme-
kapitalisme; sedangkan investasi asing yang masuk ke dalam negeri
merupakan bentuk liberalisasi bidang usaha dalam negeri yang
tentunya tidak sesuai dengan prinsip Presiden Soekarno.33 Penanaman
modal asing hanya dapat dilakukan melalui bentuk pinajaman luar
negeri, yang akan dikembalikan dari hasil produksi bahan galian,
sesuai PP No. 20 Tahun 1963.
Dengan kebijakan tersebut, maka investasi pertambangan
menurun drastis, berlangsung dalam kurun waktu 1950-1965,
sehingga pemasukan keuangan kas negara pun turun drastis pula.
Pada saat yang sama, di berbagai bagian dunia lainnya justru sedang
berlangsung mining exploration boom yang menghasilkan temuan
cadangan bauksit, biji besi, mangan, tembaga dan bahan tambang

31 Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan di Bawah Rezim UU No. 4 Tahun
2009 ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015), hlm. 34.
32 Redi, Hukum Pertambangan ( Jakarta: Gramata Publishing, 2014), hlm. 46-7.
33 Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan, hlm. 34-5.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 487


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

lainnya yang berukuran besar. Kegiatan pertambangan terjadi besar-


besar dan sangat eksploratif.34
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah akhirnya meng-
ambil langkah kebijakan di bidang penenaman modal dengan
membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Pena-
naman Modal Asing (UU PMA 1967). UU ini dalam riwayat per-
aturan pertambangan bisa dikatakan sebagai peraturan keempat,
yang di dalamnya menyinggung atau berkaitan erat dengan
pertambangan. Berkebalikan dengan UU PMA sebelumnya di tahun
1958, UU ini memberikan kesempatan luas kepada pihak asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai aspek. Pasal
8 ayat (1) UU PMA 1967 menyatakan, “Penanaman modal asing di
bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan
Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku”.
Pada tahun yang sama dengan UU PMA yang baru tersebut, ter-
bit pula Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan (UU Pertambangan 1967). UU ini
bisa dikatakan sebagai peraturan kelima dalam riwayat peraturan
tentang pertambangan. UU baru ini memberi kesempatan kepada
investor asing untuk menenamkan modalnya dalam pengelolaan
pertambangan di Indonesia dan memberikan kewenangan penge-
lolaan pertambangan kepada pemerintah pusat, yang dalam hal ini
diserahkan kepada Menteri Pertambangan (khususnya untuk bahan
galian golongan a dan golongan b). UU ini juga memperkenalkan
sistem pengusahaan kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara, kuasa pertambangan.35
UU Pertambangan 1967 memiliki perbedaan dengan peraturan
sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain pada prinsip dasar
mengenai pemberian kesempatan kepada perusahaan swasta
yang bergerak dalam bidang pertambangan dan pengaturan baru
mengenai pengurangan pengusahaan tambang langsung oleh
negara dan bahwa negara berfungsi hanya sebagai pengawas dan
34 Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan, hlm. 35-6.
35 Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan, hlm. 36.

488 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

pemberi bidang serta pengarahan.36 Perbedaan lainnya yaitu mulai


diatur mengenai perjanjian karya sebagaimana dalam Pasal 10 UU
Pertambangan 1967,
1. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum
atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah
atau perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang
kuasa pertambangan.
2. Dalam menegakan perjanjian karya dengan kontrakor seperti
yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini instansi pemerintah atau
perusahaan negara harus berpegang pada pedoman-pedoman,
petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh
menteri.
3. Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sudah
disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a
sepanjang mengenai bahan galian yang ditentukan dalam Pasal
13 Undang-Undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya bentuk
penanaman modal asing.
Ketentuan Pasal 10 inilah yang menjadi dasar lahirnya sistem
pengusahaan kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara (PK2B) dalam pertambangan. Selain itu,
dalam UU No. 11 Tahun 1967 diatur mengenai kuasa pertambangan
yang merupakan izin yang diberikan oleh Menteri untuk melakukan
penambangan. Jika dibandingkan konsesi yang diperkenalkan Indis-
che Staatsblad 1899, kuasa pertambangan dalam UU ini memiliki
kemiripan, yaitu sama-sama merupakan perizinan. Namun kedua-
nya berbeda: kuasa pertambangan hanya memberi kekuasaan
untuk melaksanakan usaha pertambangan dan tidak kepemilikan
pertambangan kepada pemegang kuasa pertambangan, sedangkan
konsensi merupakan perizinan yang lebih luas dan kuat serta
pemegang konsensi langsung memiliki hasil pertambangan yang

36 Sajuti Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia (Bandung: Penerbitan Akademi


Geologi dan Pertambangan, 1974), hlm. 15.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 489


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

bersangkutan.37
Kuasa pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Per-
aturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 (PP 32/1969) terdiri atas
Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; Surat Keputusan Izin
Pertambangan Rakyat; dan Surat Keputusan Pemeberian Kua-
sa Pertambangan. Berdasarkan Pasal 7, Kuasa Pertambangan da-
pat berupa Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum; Kuasa
Pertambangan Eksplorasi; Kuasa Pertambangan Eksploitasi; Kuasa
Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian; Kuasa Pertambangan
Pengangkutan; dan Kuasa Pertambangan Penjualan.
Selain kekhasan mengenai kuasa pertambangan, dalam UU
Pertambangan 1967 terdapat peraturan baru mengenai pengusahaan
pertambangan kuasa pertambangan yang berbentuk KK atau PKP2B
Pertambangan. Pengaturan KK dan PKP2B ini menjadi perjanjian
bagi pemerintah Indonesia dengan kontraktor atau penanaman
modal dalam negeri dan asing. UU Pertambangan 1967 bahkan
memperbolehkan kepemilikan saham seluruh atau sebagian bagi
asing, dapat pula dilakukan dengan bentuk perusahaan patungan
antara perusahaan asing dengan perusahaan dalam negeri.38
UU Pertambangan 1967 ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan (PP 32/1969). PP 32/1969 kemudian juga
mengalami perubahan kembali melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun 1992 (PP 79/1992). Dalam PP 32/1969 disebutkan,
usaha pertambangan pada bahan galian vital dan strategis hanya bisa
dilakukan setelah mendapatkan kuasa pertambangan dari Menteri
Pertambangan,39 sedangkan usaha pertambanga selain bahan

37 Thalib, Hukum Pertambangan Indonesia, hlm. 15.


38 Redi, Hukum Pertambangan, hlm. 50-1.
39 Pasal 1 PP 32/1969: “Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk
dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital
baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa
Pertambangan dari Menteri Pertambangan, selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini disebut Menteri”.

490 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

galian vital dan strategis serta pertambangan rakyat bisa dilakukan


setelah mendapatkan kuasa pertambangan dari pemerintah daerah
dalam hal ini pemerintah provinsi.40 Pada PP 79/1992, tidak ada
perubahan tentang pemerintah level mana yang berwenang menge-
lola pertambangan. Perubahan tersebut hanya berkenaan dengan
perimbangan penerimaan hasil pungutan negara berupa iuran
tetap, iuran eksplorasi, dan iuran eksploitasi, yang perlu pula
mempertimbangkan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka
memberikan otonomi yang seluas-luasnya.41
Uraian tentang kebijakan pertambangan masa kemerdekaan
atau pasca-kolonial sejauh ini menunjukkan terjadi perubahan
mendasar dalam pengelolaan pertambangan. Pada mulanya,
pasca-proklamasi, dengan semangat membebaskan diri dari
sisa-sisa kolonialisasi, maka kebijakan pertambangan diarahkan
untuk mengambil alih usaha dan menjadikannya sebagai aset
nasional. Karena itu, nasionalisasi menjadi kata kunci dalam upaya
membebaskan diri dari pengaruh kolonial dan mewujudkan tatanan
hukum pertambangan yang baru. Sejalan dengan kebijakan tersebut,
maka penanaman modal asing terhadap “pertambangan bahan-
bahan vital” juga ditutup. Namun begitu, dalam perkembangan
berikutnya, melalui UU PMA 1967 dan UU Pertambangan 1967,

40 Pasal 5 ayat (2) PP 32/1969: “Menteri dapat menyerahkan pelaksanaan


permintaan Izin Pertambangan Rakyat kepada Gubernur/Kepala Daerah
Tingkat I yang bersangkutan dengan menyatakan syarat-syarat dan
petunjukpetunjuk yang perlu diindahkan dalam pelaksanaannya”. Pasal 47
ayat (1): “Pelaksanaan pengaturan usaha pertambangan bahan galian yang
tidak termasuk dalam golongan bahan galian vital dan golongan bahan
galian strategis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat
terdapatnya bahan galian tersebut sebagaimana termaksud dalam pasal 4
ayat (2) Undang-undang Pokok Pertambangan harus berpedoman pada
ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pemberian Kuasa Pertambangan
oleh Menteri”.
41 Bagian Menimbang PP79/1992: “bahwa dalam rangka memberikan
otonomi yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, dipandang
perlu meninjau kembali perimbangan penerimaan hasil pungutan Negara
dari sub sektor pertambangan umum berupa Iuran Tetap, Iuran Eksplorasi
dan Iuran Eksploitasi dengan mengubah Pasal 62 dan Pasal 63 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969”.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 491


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

konfigurasi kebijakan pertambangan berubah drastis. Modal asing


yang sebelumnya tertutup menjadi dibuka lebar. Sistem kontrak
karya, perjanjian karya (PK2B), dan kuasa pertambangan juga
diperkenalkan sebagai instrumen penambangan. Pada masa itu, yang
berwenang melakukan pengelolaan pertambangan ialah pemerintah
pusat untuk bahan galian vital dan strategis dan pemerintah daerah
provinsi untuk bahan galian bukan vital dan strategis.

D. Perkembangan Kebijakan Pertambangan Mineral dan


Batubara: Setelah Reformasi 1998
Reformasi 1998 menandai babak baru dalam upaya memperbaiki
tatanan pemerintahan di Indonesia. Pada bidang pertambangan,
banyak yang berubah setelah reformasi ini. Perubahan tidak
seluruhnya pada peraturan yang khusus mengatur pertambangan,
namun juga peraturan-peraturan lainnya tetapi memiliki keterkaitan
pada pertambangan, misalnya tentang pemerintahan daerah.
Pada peraturan pemerintahan daerah, Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1974)
diganti menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda 1999). Pergantian ini membawa
perubahan pada otonomi yang luas pada kabupaten dan kota,
yang mendapat kewenangan dengan cara open end arrangement,
yaitu penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan dengan rumusan umum, sehingga daerah otonom
berwenang melakukan berbagai urusan pemerintah yang tidak
dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau tidak termasuk
dalam yuridiksi pemerintahan yang lain.42 Di samping itu terjadi
pengutamaan penyelenggaraan desentralisasi dari pada dekonsen-
trasi. Hal tersebut membawa perubahan pula pada kewenangan
urusan pertambangan, di mana semula kewenangan perizinan
pertambangan berada di tangan pemerintah kemudian beralih
diserahkan kepada pemerintah daerah terutama kabupaten dan kota
42 Bhenyain Hoessin, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintah Daerah:
Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi ( Jakarta: Dapartemen Ilmu Administrasi
FISIP UI, 2009), hlm. 28.

492 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

yang mendapatkan otonomi seluas-luasnya.43


Pada tahap awal mula pemberian otonomi seluas-luasnya
kepada daerah, yaitu melalui UU Pemda 1999, pengelolaan
pertambangan belum dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini
karena UU Pemda ini mengatur kewenangan dalam pendayagunaan
sumber daya alam termasuk sebagai “kewenangan bidang lainnya”
yang dikecualikan diberikan kepada pemerintah daerah.44 Dalam
rezim UU Pemeritahan Daerah, kewenangan pemerintah daerah
dalam pertambangan dimungkinkan melalui Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintaha Daerah (UU Pemda
2004). Melalui UU Pemda terbaru ini, pengelolaan pertambangan
ditetapkan sebagai bagian urusan pilihan yang merupakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.45
Namun demikian, melalui rezim hukum pertambangan, sejak
2001 sebetulnya telah dimungkinkan pengelolaan pertambangan
oleh pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun
2001 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 (PP 75/2001) memberi kewe-
nangan pengelolaan pertambangan kepada pemerintah daerah.
Dalam PP ini disebutkan, gubernur atau bupati/walikota dapat

43 Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan, hlm. 47.


44 Pasal 7 ayat (1) UU Pemda 1999: “Kewenangan Daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”. Pada ayat (2),
yang merinci kewenangan bidang lain, disebutkan meliputi “kebijakan
tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional
secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara
dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi
yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional”.
45 Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan, sebagaimana Pasal 13 ayat (2)
UU pemda 2004, ialah meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Pada Penjelasan ketentuan ini disebutkan: “Yang dimaksud dengan ‘urusan
pemerintahan yang secara nyata ada’ dalam ketentuan ini sesuai dengan
kondisi, kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertambangan,
perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata”.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 493


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

menerbitkan Surat Keputusan Kuasa Pertambangan.46 Berdasarkan


PP ini, penerbitan keputusan kuasa pertambangan dapat dilakukan
oleh menteri, gubernur, bupati/walikota, yaitu disesuaikan dengan
wilayah kuasa pertambangannya.
Dengan demikian terjadi perubahan mendasar dalam tata
kelola pertambangan. Pada kebijakan yang baru, banyak urusan
pemerintahan yang kewenangannya diberikan kepada pemerintah
daerah, termasuk urusan pertambangan. Di sisi lain, pada kebijakan
sebelumnya, pengelolaan pertambangan menjadi kewenangan
pemerintah pusat, terutama untuk bahan galian golongan a dan
golongan b; pemerintah daerah berwenang hanya untuk bahan
galian golongan c. Dengan diberlakukannya PP 75/2001, yang
mengakomodasi kebijakan dasar dalam UU Pemda 1999, maka
keberlakukan UU Pertambangan 1967 menjadi dikesampingkan,
sekalipun secara yuridis UU Pertambangan 1967 masih tetap berlaku
sampai digantikan dengan UU Pertambangan berikutnya nanti di
2009.47
Seiring dengan pergeseran kewenangan tersebut, terjadi ber-
bagai permasalahan dalam pemberian izin pertambangan. Secara
tidak langsung, pendelegasian kewenangan berdampak terhadap
terjadinya tumpang tindih perizinan pertambangan, baik vertikal
maupun horizontal. Tumpang tindih perizinan pertambangan,
kehutanan, dan perkebunan merupakan potret buruknya sistem
perijinan pemanfaatan lahan di Indonesia. Tumpang tindih perizinan di
sektor pertambangan terjadi dalam izin usaha pertambangan (IUP);
antara IUP dan tanah ulayat; juga antara IUP dan aeral penggunaan
lahan lainnya. Tumpang tindih IUP sektor pertambangan dan lintas

46 Pada Pasal 1 angka 2 PP 75/2001 terkait perubahan Pasal 2 ayat (4)


disebutkan: “Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan adalah
Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/
Walikota sesuai kewenangannya kepada Perusahaan Negara, Perusahaan
Daerah, Badan Usaha Swasta atau Perorangan untuk melaksanakan
usaha pertambangan yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan
dan penjualan”.
47 Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan, hlm. 48-9.

494 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

sektor ini menyebabkan banyak kerugian bagi negara, seperti


konflik sosial, tidak maksimalnya penerimaan negara baik dari pajak
maupun penerimaan bukan pajak, serta terhambatnya kegiatan
ekonomi di sektor-sektor tersebut (tambang, hutan, perkebunan).
Hal tersebut dipicu dengan terbentuknya berbagai kebijakan di
level pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan kebijakan yang
ada di level pemerintah pusat. Misalnya pembentukan peraturan
daerah yang tidak berdasarkan lagi pada UU Pertambangan 1967.
Hal ini mendorong semakin semrawutnya pelaksanaan kegiatan
pertambangan di berbagai daerah.48
Terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan (UU Minerba 2009) menjadi momentum pembaru-
an hukum pertambangan Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda. Ia tergantung kondisi pada
waktu dibentuknya peraturan tersebut. Politik hukum pembentukan
peraturan perundang-undangan sangat kontekstual. Pengaruh
suasana politik, perekonomian, sosial akan menjadi aspek yang
mempengaruhi suasana batin pembentukan peraturan perundang-
undangan.49
Dengan berlakunya UU Minerba 2009, dimulailah babak baru di
mana dalam pengelolaan pertambangan hanya menganut rezim izin,
tidak mengenal rezim kontrak seperti pada UU Pertambangan 1967.
Untuk itu pada masa peralihan pelaksanaan UU Minerba 2009 terda-
pat beberapa kebijakan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya
berbagai permasalahan. Pengalihan dari rezim kontrak yang ada
kepada rezim izin, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. KK/
PKP2B tetap diakui sampai dengan berakhirnya kontrak/perjanjian.
Dalam kenyataannya, setalah 10 tahun berlakunya UU Minerba
2009 masih menyisihkan berbagai permasalahan terkait dengan
penyesuaian dari kontrak kepada rezim izin. Padahal Pasal 196 UU
Minerba 2009 memberikan waktu penyesuaian paling lambat satu
tahun, termasuk mengenai kepastian perpanjangan KK/PKP2B
menjadi izin. Masalah lainnya, yaitu berbagai kewajiban KK/PKP2B
48 Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan, hlm. 49.
49 Redi, Hukum Pertambangan, hlm. 52.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 495


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

yang diatur dalam UU Minerba 2009, seperti kewajiban divestasi


saham, kewajiban pengolahan dan permurnian mineral, penciutan
wilayah, dan penyesuaian penerimaan negara, tidak mampu
diselesaikan secara terang benderang. Pelaku usaha KK/PKP2B
berlindung dalam doktrin kesucian kontrak atau pacta sunt servanda,
bahwa kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
terikat.
Permasalahan pun berlarut-larut dengan posisi status quo dan
ancaman gugatan ke artbitrase apabila pemerintah memaksakan
pemegang KK/PKP2B untuk melaksanakan UU Minerba 2009
sebagaimana mestinya. Ada beberapa perusahaan yang memang mau
melakukan negosiasi dan mengikuti kehendak pemerintah, namun
perusahaan besar seperti Freeport dan Newmont Nusa Tenggara
tetap teguh hanya melaksanakan kontrak karya yang mereka miliki.
Seiring adanya kewenangan pemerintah daerah dalam
pengelolaan pertambangan, kerusakan fungsi lingkungan juga makin
banyak dijumpai.50 Dari aspek regulasi sebetulnya telah ada petunjuk
dan arahan bagaimana kegiatan pertambangan harus dilakukan.
Namun demikian, cara pandang dan orientasi tentang desentralisasi
dan otonomi daerah yang sebatas pada adanya kewenangan
pemerintah daerah dan distribusi pendapatan, berakibat pada upaya
eksploitasi potensi sumber daya mineral dan batubara yang ada di
daerah dengan tujuan memeroleh tambahan pendapatan. Cara
pandang dan orientasi tersebut di sisi lain mengabaikan partisipasi
masyarakat, pengawasan, dan pertanggungjawaban publik.51

50 Dalam kasus pertambangan timah di Bangka-Belitung misalnya, Erwiza


Erman menyebut aktivitas yang berlangsung pasca-reformasi sangat rakus.
Perusahaan tambang lama (PT Timah Bangka Tbk dan PT Koba Tin)
bersama perusahaan-perusahaan tambang baru dan penambangan ilegal
(tambang inkonvensional) melakukan penambangan secara eksploitatif
dengan mencari keuntungan secepat mungkin dalam waktu relatif
singkat dan tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Erwiza Erman,
“Aktor, Akses, dan Politik Lingkungan di Pertambangan Timah Bangka”,
Masyarakat Indonesia, 36, 2 (2010), hlm. 72.
51 Hartati, “Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Pertam-
bangan Mineral dan Batubara”, Masalah-Masalah Hukum, 41, 4 (2012), hlm.
537-8.

496 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

Pada saat UU Minerba 2009 diimplementasikan, tiba-tiba muncul


kebijakan pemerintah yang menarik kembali kewenangan pengelola-
an pertambangan dari kabupaten/kota, dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda 2014). Penataan dan penyesuaian pengelolaan pertambangan
yang semula sentralistis, lalu berubah menjadi desentraliasai, dengan
UU baru ini menjadi sentralistis kembali. Kewenangan pemerintah
kabupaten dan kota dalam penyelenggaraan pertambangan dicabut
bahkan sampai pada kewenangan pengelolaan bahan galian batuan
yang selayaknya berada di tingkat kabupaten/kota. Dengan demi-
kian UU Minerba 2009, yang baru berlaku dan berjalan lima tahun,
harus mendasarkan dan menyesuaikan ketentuannya dengan UU
Pemda 2014.52
Pada 2020 kembali terjadi perubahan kebijakan pertambangan
melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan
UU Minerba 2009 (UU Minerba 2020). Pada UU yang baru, kewe-
nangan penyelenggaraan pertambangan minerba yang semula
masih ada sebagiannya pada pemerintah provinsi beralih ke
pemerintah pusat. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara pun mempertegas sentralisasi kewenangan minerba ke
pemerintah pusat. Walau sesungguhnya dalam Pasal 35 UU Minerba
2020 kewenangan perizinan dapat didelegasikan ke pemerintah
daerah melalui sebuah peraturan pemerintah, kenyataannya per-
aturan pemerintah yang menjadi delegasi UU Minerba 2020 tidak
memberikan kewenangan perizinan selain kepada Menteri ESDM.
Namun demikian, UU Minerba 2020 yang dimohonkan peng-
ujian ke Mahkamah Konstitusi memberikan arahan baru bagi
perkembangan model pengusahaan minerba eks-KK/PKP2B.
Dalam Putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi
menyatakan Pasal 169A UU Minerba 2020 bertentangan dengan
UUD 1945. Pasal 169A UU Minerba 2020 mengatur, “KK dan PKP2B
diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan

52 Redi, Hukum Pertambangan, hlm. 51-2.

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 497


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

operasi KK/PKP2B setelah memenuhi persyaratan”. Mahkamah


Konstitusi menyatakan Pasal ini bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa
“diberikan jaminan”, apabila tidak dimaknai “dapat diberikan”. Pasal
169A UU Minerba 2020 harus dibaca menjadi: “KK dan PKP2B dapat
diberikan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi
KK/PKP2B setelah memenuhi persyaratan”.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan,
penambahan Pasal 169A UU Minerba 2020 yang memberikan
kesempatan kepada pemegang KK dan PKP2B memperoleh jaminan
perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK)
memiliki relevansi dengan konstruksi Pasal 75 ayat (3) UU Minerba
2020. Dalam Pasal 75 ayat (3) UU Minerba 2020 diatur bahwa Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
Ketentuan Pasal 75 UU Minerba 2020 telah jelas berkenaan
dengan pemberian IUPK pada badan swasta harus dilaksanakan
dengan cara lelang wilayah izin usaha pertambangan khusus
(WIUPK). Ketentuan yang membenarkan diberikannya jaminan
perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/
perjanjian tidaklah tepat, sebab KK dan PKP2B yang secara otomatis
mendapatkan jaminan perpanjangan menjadi IUPK merupakan
instrumen hukum yang bersifat privat, yang tentu saja harus sudah
selesai pada saat jangka waktu perjanjian tersebut berakhir.53 Menu-
rut Mahkamah Konstitusi, pemerintah seharusnya mulai melakukan
penataan kembali dengan mengejawantahkan penguasaan negara
terhadap sumber daya alam, khususnya dalam pemberian izin, untuk
mulai dilakukan penertiban dengan skala prioritas sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU Minerba 2009. Terlepas dari esensi adanya
jaminan terhadap KK dan PKP2B diberikan perpanjangan IUPK
setelah memenuhi persyaratan disebabkan karena faktor historis
berkenaan dengan sejarah investasi, namun pemberian jaminan yang
demikian akan menutup dan menjauhkan implementasi penguasaan

53 Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, hlm. 170-3.

498 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

sumber daya alam oleh negara.54


Putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi titik balik penguatan
BUMN dan BUMD tambang untuk mendapatkan prioritas atas
IUPK bekas KK dan PKP2B yang merupakan kehendak Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945. Tentu, pemberian prioritas ini memiliki tantangan
tersendiri bagi BUMN dan BUMD, misalnya terkait dengan potensi
corruption, rent seeking, dan weak governance. Namun, soal tata kelola
ini menjadi tugas dari pemerintah agar BUMN dan BUMD menjadi
organ penguasaan negara yang good corporate governance dalam
memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Di sisi lain, Ahmad Khoirul Umam mencatat beberapa per-
soalan mendasar dalam UU Pertambangan yang baru. Pertama,
debirokratisasi perizinan, yang terlihat dari pencabutan keharusan
pemerintah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
hal pengendalian produksi dan ekspor, dan penghapusan dualisme
izin usaha pertambangan (IUP) yang sebelumnya dipisahkan antara
eksplorasi dan operasi menjadi IUP saja. Kedua, revisi UU memangkas
peran dan kewenangan pemerintah daerah menjadi kewenangan
pemerintah pusat, yang ini berarti mengeluarkan pemerintah daerah
dalam konteks penguasaan minerba. Ketiga, UU Minerba baru mem-
beri peluang besar bagi pelaku usaha untuk mengoptimalkan kapa-
sitas perusahaannya, yang ini menunjukkan aturan negara sekadar
memfasilitasi kekuatan modal untuk mengeksploitasi kekayaan
tambang secara terstrutur dan masif. Keempat, upaya hilirisasi
berupa pemisahan kategori ativitas pengolahan dan pemurnian
hasil tambang tanpa mengubah sifat fisik dan kimiawinya, yang
sebelumnya digabung jadi satu. Kelima, UU Minerba baru membuka
pintu masuk perusahaan modal asing terlalu besar, disebabkan
memungkinkan area konsesi tambang perusahaan raksasa tambang
asing diubah menjadi wilayah usaha pertambangan khusus tanpa
harus kembali ke negara melalui wilayah pencadangan nasional dan
dilelang terlebih dahulu.55

54 Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, hlm. 170-3.


55 Ahmad Khoirul Umam, “Reformasi Tata Kelola ataukah Resentralisasi
Kekuasaan Negara? Arah Perubahan UU Minerba di Indonesia”, dalam

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 499


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

Uraian perkembangan kebijakan pertambangan minerba pasca-


reformasi 1998 memperlihatkan persoalan pertambangan sebagai
bagian dari persoalan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini
terlihat sekali dari tarik ulur pengelolaan pertambangan sebagai
urusan siapa dan mendapatkan apa. Pada mulanya, dengan semangat
reformasi berupa desentralisasi pemerintahan, maka pertambangan
termasuk sebagai bagian urusan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota, yang
disesuaikan dengan keberadaan dan luas wilayah pertambangan.
Belakangan, kewenangan ini diambil kembali oleh pemerintah
pusat. Pasca reformasi 1998, kebijakan pertambangan minerba juga
diwarnai dengan pengenalan dan pemberlakun rezim izin sebagai
instrumen penambangan, yang menggantikan kontrak. Penggantian
instrumen hukum penambangan ini sebetulnya penting dalam
upaya mereformasi pengelolaan pertambangan yang sejalan dengan
amanat Konstitusi, karena izin berada dalam dimensi hukum publik
sementara kontrak dalam dimensi hukum privat.56

E. Kesimpulan
Artikel ini telah memaparkan dinamika perkembangan kebijakan
hukum dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
sejak sebelum sampai sesudah masa kemerdekaan. Secara umum
praktik pengelolaan dan pengusahaan minerba didasarkan pada
pertimbangan cermat seperti pendapatan informasi geografis

Kuasa Oligarki atas Minerba Indonesia? Analisis Pasca Pengesahan UU Nomor


3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, ed. Ahmad Khoirul Umam
( Jakarta: Universitas Paramadina, 2021), hlm. 9-13.
56 Namun demikian, sebagaimana diingatkan Marulak Pardede, asumsi
kontrak akan menempatkan pemerintah dalam keadaan yang sejajar dengan
pelaku usaha sebetulnya tidak perlu dikhawatirkan apabila pemerintah
bersikap konsisten dan tidak menyalahgunakan kepentingan pelaku usaha.
Sebaliknya, izin yang seolah-olah menempatkan pemerintah dalam posisi
di atas pelaku usaha, juga tidak menjawab persoalan manakala izin ini
tidak melindungi kepentingan nasional dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Marulak Pardede, “Implikasi Hukum Kontrak Karya
Pertambangan terhadap Kedaulatan Negara”, Jurnal Penelitian Hukum De
Jure, 18, 1 (2018), hlm. 18.

500 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

dan geologis, ukuran bentuk endapan, distribusi lapisan minerba,


umur penambang, tingkat produksi yang dibutuhkan, ketersediaan
peralatan, dan lain-lain. Dalam upaya melakukan pertambangan,
beberapa jenis instrumen pengusahaan mineral dan batubara
diperkenalkan dan diberlakukan: konsesi, kontrak karya, perjanjian
karya, kuasa pertambangan, dan izin pertambangan. Pada masa
kolonial, konsesi, kontrak, dan izin pernah digunakan, namun
dengan tujuan kolonialisasi dan mendapatkan hak monopoli dalam
penambangan. Pada masa kemerdekaan, pada mulanya berlaku
kontrak karya, perjanjian karya, kuasa pertambangan, namun
belakangan setelah lebih satu dekade atau dasawarsa reformasi
1998 mulai digunakan izin usaha pertambangan. Tidak lama
setelah reformasi 1998, dijumpai pula dinamika berkenaan dengan
kewenangan pengelolaan pertambangan. Mulai 2001, pengelolaan
pertambangan dijadikan sebagai bagian dari urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Belakangan ini,
kewenangan tersebut diambil alih kembali oleh pemerintah pusat.
Berbagai dinamika perkembangan tersebut memperlihatkan banyak
hal yang berubah dalam pengelolaan pertambangan, utamanya
pada instrumen hukum yang digunakan dan kewenangan siapa.
Namun demikian, dari perkembangan yang telah dipaparkan juga
menunjukkan bahwa pertambangan mineral dan batubara selalu
dipandang sebagai komoditas penting dan strategis sehingga layak
diperebutkan, entah itu dulunya oleh penguasa kolonial maupun
belakangan oleh pemerintah pusat dan daerah, untuk kemudian
dituangkan dalam peraturan hukum.

Daftar Pustaka
Artikel, Buku, dan Laporan
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Kompas, 2010.
Ayudhia S., Amanda. “Batubara sebagai Sumber Energi: Asal,
Jenis, dan Kegunaannya”. https://ugrg.ft.ugm.ac.id/artikel/
batubara-sebagai-sumber-energi-asal-jenis-dan-kegunaannya/.
Diakses 10/10/2021.
Bank Dunia. “Ringkasan Eksekutif Perkembangan, Pemicu dan
Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 501
Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Per-


ekonomian Indonesia”. Laporan Pengembangan Sektor
Perdagangan, Kantor Bank Dunia Jakarta, Jakarta, 2010.
Bronto, Sutikno dan Udi Hartono. “Potensi Sumber Daya Geologi
di Daerah Cekungan Bandung dan Seitarnya. “Jurnal Geologi
Indonesia, 1, 1 (2006): 9-18.
Erman, Erwiza. “Aktor, Akses, dan Politik Lingkungan di
Pertambangan Timah Bangka”. Masyarakat Indonesia, 36, 2
(2010): 71-101. DOI: 10.14203/jmi.v36i2.640.
Gaffar, Janedjri M. “Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah
Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”.
Makalah dalam Seminar Nasional Pancasila, Surakarta,
17/10/2009. Tersedia pada https://www.mkri.id/public/
content/infoumum/artikel/pdf/makalah_makalah_17_
oktober_2009.pdf.
Hamidi, Jazim. “Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi
17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia”. Risalah Hukum, 2, 2 (2006): 68-86.
Hartati. “Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Pertambangan Mineral dan Batubara”. Masalah-Masalah Hukum,
41, 4 (2012): 529-39. DOI: 10.14710/mmh.41.4.2012.529-539.
Hayati, Tri. Era Baru Hukum Pertambangan di Bawah Rezim UU No. 4
Tahun 2009. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015.
Hoessin, Bhenyain. Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintah
Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi. Jakarta: Dapartemen
Ilmu Administrasi FISIP UI, 2009.
Manurung, Hotden dan Amanda Ayudhia S. “Sumber Daya Geologi
Indonesia”. https://ugrg.ft.ugm.ac.id/artikel/sumberdaya-geo-
logi-indonesia/. Diakses 20/10/2021.
Mills, Karen dan Mirza A. Karim. “Disputes in the Oil and Gas Sector:
Indonesia”. Journal of World Energy Law & Business, 3, 1 (2010):
44-70.
Pardede, Marulak. “Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan
terhadap Kedaulatan Negara”. Jurnal Penelitian Hukum De Jure,
18, 1 (2018): 1-22. DOI: 10.30641/dejure.2018.V18.1-21.

502 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

Perwira, Indra. “Realitas Politik Hukum Perundang-undangan Indo-


nesia Pasca Reformasi”. Padjadjaran Law Review, 5 (2017): 1-9.
Prinanda, Yuda. “Apa itu Pengertian VOC, Sejarah Kapan Didirikan,
dan Tujuannya?”. https://tirto.id/apa-itu-pengertian-voc-seja-
rah-kapan-didirikan-dan-tujuannya-gaaG, 14/2/2021. Diakses
20/10/2021.
Rahmana, Siti. Dari Mendulang Jadi Menambang: Jalur Emas di Lebong
(Bengkulu) Abad XIX hingga Abad XX. Yogyakarta: Deepublish,
2018.
Razak, Muhammad Ishak. “Kebijakan dan Dampak Ekonomi Sektor
Pertambangan”. Dalam Kuasa Oligarki atas Minerba Indonesia?
Analisis Pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Pertambangan Minerba, diedit oleh Ahmad Khoirul Umam, 192-
217. Jakarta: Universitas Paramadina, 2021.
Redi, Ahmad. “Dilema Penegakan Hukum Pertambangan Mineral
dan Batubara Tanpa Izin pada Pertambangan Skala Kecil”. Jurnal
Rechs Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 5, 3 (2016): 399-
420. DOI: 10.33331/rechtsvinding.v5i3.152.
Redi, Ahmad. Hukum Energi: Konsep, Sejarah, Asas, dan Politik Hukum.
Depok: Rajawali Pers, 2020.
Redi, Ahmad. Hukum Pertambangan. Jakarta: Gramata Publishing,
2014.
Republik Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Kilas Balik Sejarah Pertambangan dan Energi di Indonesia”.
https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/
kilas-balik-sejarah-pertambangan-dan-energi-di-indonesia,
15/10/2008. Diakses 20/10/2021.
Republik Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Laporan Kinerja Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Enegeri dan
Sumber Daya Mineral, 2019.
Republik Indonesia, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.
“Siaran Pers Cadangan Batubara Masih 38,84 Ton, Teknologi
Bersih Pengelolaannya Terus Didorong”, 26/7/2021. Diakses
10/10/2021.
Rizal, Samuel, DB. Paranoan, dan Suarta Djaja. “Analisis Dampak

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 503


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

Kebijakan Pertambangan terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi


Masyarakat di Kelurahan Makroman.” Jurnal Administrative
Reform, 1, 3, (2013): 516-30. DOI: 10.52239/jar.v1i3.482.
Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Salinding, Marthen B. “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan
Batubara yang Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat”.
Jurnal Konstitusi, 16, 1 (2019): 148-69. DOI: 10.31078/jk1618.
Sigit, Soetaryo. “Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangkitan
Pertambangan Indonesia”. Pidato Ilmiah Penganugerahan Gelar
Doktor Honoris Causa, Institut Teknologi Bandung, Bandung,
1996.
Sitompul, Martin. “Mendulang Sejarah Tambang Nusantara”.
https://historia.id/ekonomi/articles/mendulang-sejarah-
tambang-nusantara-P4WOp/page/1, 26/9/2017. Diakses
20/10/2021.
Soemantri M, Sri. Hak Uji Material di Indonesia. Bandung: Alumni,
1997.
Thalib, Sajuti. Hukum Pertambangan Indonesia. Bandung: Penerbitan
Akademi Geologi dan Pertambangan, 1974.
Umam, Ahmad Khoirul. “Reformasi Tata Kelola ataukah Resentral-
isasi Kekuasaan Negara? Arah Perubahan UU Minerba di
Indonesia”. Dalam Kuasa Oligarki atas Minerba Indonesia? Analisis
Pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan
Minerba, diedit oleh Ahmad Khoirul Umam, 8-25. Jakarta:
Universitas Paramadina, 2021.
Uropdana, Arif R. “Pertambangan di Indonesia dari Masa VOC sampai
Orde Baru (Freeport)”. https://jubi.co.id/pertambangan-
di-indonesia-dari-masa-voc-sampai-orde-baru-freeport/,
30/5/2020. Diakses 20/10/2021.

Peraturan dan Putusan Hukum


Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 ten-
tang Penanaman Modal Asing. Lembaran Negara Tahun 1958
Nomor 138.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang

504 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)


Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara

Pembatalan Hak-Hak Pertambangan. Lembaran Negara Tahun


1959 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1759.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 ten-
tang Penanaman Modal Asing. Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Lembaran Negara
Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2831.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintaha Daerah. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Lembaran Negara Tahun
2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4959.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara. Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6525.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Un-
dang Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan. Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2055.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1959
tentang Penentuan Perusahaan Perindustrian/Pertambangan
Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi. Lembaran Negara
Tahun 1959 Nomor 121, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1889.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969

Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021) 505


Ahmad Redi & Luthfi Marfungah

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967


tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Lembaran
Negara Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2916.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun
2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 141,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4154.
Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 64/
PUU-XVIII/2020, 7/10/2021, perihal Pengujian Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

506 Undang: Jurnal Hukum, Vol. 4, No. 2 (2021)

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy