Kematangan spiritual pemimpin Kristen masa depan merupakan
tantangan penting dan perlu ditangani sepanjang pelatihan teologis.
Pengaturan yang paling kondusif untuk pendidikan semacam itu
dilakukan adalah hal yang disengaja, kolaboratif dan komunitarian.
Buku ini telah menunjukkan identifikasi secara akurat dimensi
spesifik spiritual formation dan harapan spiritualitas kepemimpinan
Kristen dalam membawa wawasan penting untuk mengembangkan
lingkungan pendidikan dan pengasuhan yang lebih terintegrasi untuk
spiritualitas mahasiswa dalam pendidikan teologis.
Seiring pendidikan teologis terus menilai visinya dan tujuannya dalam
lanskap perubahan pendidikan tinggi buku ini menunjukkan bukti untuk
mendukung asumsi bahwa institusi teologis mempromosikan
pendekatan formatif untuk belajar dengan memenuhi tujuan mereka
yang dinyatakan dalam hal pembentukan kerohanian kepemimpinan
Dr. Robby Robert Repi adalah dosen pengampu di STT Indonesia
Jakarta di Program Studi Magister Teologi. Dosen yang aktif di aras
nasional ini melayani di salah satu gereja lokal di Jakarta. Bidang studi
konsentrasi dalam kepemimpinan Kristen.
PENERBIT
STT INDONESIA JAKARTA
Pendidikan Spiritualitas Kepemimpinan Kristen
Dr. Yusak Tanasyah adalah pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Moriah
Tangerang di Program Studi Magister Pendidikan Agama Kristen.
Selain aktif dalam karya tulis dengan menghasilkan beberapa buku
akademik yang dapat di akses di academia.edu. Pendidikan Agama
Kristen dan Christian Worldview bidang studi konsentrasi yang
menjadi fokus pengajaran dan pelayanannya.
Dr. Yusak Tanasyah, Dr. Robby Robert Repi
Pembentukan Rohani di
Perguruan Tinggi Kristen
Dr. Yusak Tanasyah
Dr. Robby Robert Repi
PEMBENTUKAN
ROHANI DI
PERGURUAN
TINGGI KRISTEN
STT INDONESIA JAKARTA
PEMBENTUKAN
ROHANI DI
PERGURUAN
TINGGI KRISTEN
Dr. Yusak Tanasyah
Dr. Robby Robert Repi
Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Jakarta
1 – Pembentukan Rohani
Penerbitan Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Jakarta memiliki visi
memberitakan Kabar Baik lewat penerbitan yang bermutu dan
berilmu berdasarkan kebenaran. Dengan membawa misi untuk
menerbitkan dan menyebarluaskan pengetahuan takut akan Tuhan
kepada semua orang dan Mengembangkan dan mendistribusikan
dengan integritas dan keunggulan dari sumber daya yang terpercaya
dan berdasarkan Alkitab.
Pembentukan Rohani di Perguruan Tinggi Kristen
Hak Cipta © Yusak Tanasyah
Penulis
Yusak Tanasyah, Robby Robert Repi
Editor
Ruthnawaty Setiawan
Margareth L. Risakotta
Diterbitkan: Penerbitan STT Indonesia Jakarta
Jalan Setiabudi No. 1 Ebenezer Building, Jakarta Selatan
Email sttijpress@gmail.com
Cetakan Pertama
Tahun: 2024
ISBN: 9 786238 928200
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
Dilarang memperbanyak, atau memfotokopi, sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
2 – Pembentukan Rohani
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Pendahuluan
5
7
I Kepemimpinan di Perguruan Tinggi Kristen
11
A. Spiritualitas dan Efektivitas Kepemimpinan
17
B. Integrasi Nilai-nilai Kristen dalam Kepemimpinan 26
II Pengembagnan Moral di Perguruan Tinggi Kristen
A. Tahap Perkembangan Moral J. Fowler
B. Tahap Perkembangan Moral L. Kohlberg
41
49
58
III Biblical Spiritual Formation
A. Definisi Spiritual Formation
B. Leadership Development
C. Spiritualitas dan Religi
65
68
84
95
IV Spiritualitas dan Perguruan Tinggi Kristen
A. Sejarah Spiritual Formation dalam Pendidikan
B. Pedagogi Pendidikan Kristen
111
112
125
V Spiritual Formation Yesus di Injil Markus
A. Injil Markus dan Spiritual Formation
B. Spiritual Formation Yesus di Injil Markus
C. Relevansi Spiritual Formation di Injil Markus di
Perguruan Tinggi
149
151
160
3 – Pembentukan Rohani
183
VI Tindakan Spiritual Formation di Perguruan
Tinggi Kristen
A. Spiritual Formation dalam Bingkai Pedagogikal
Pelayanan Yesus
B. Spiritual formation disampaikan Lewat Hubungan
C. Spiritual Formation difasilitasi lewat Kualitas
Hubungan
Daftar Pustaka
187
189
195
200
219
4 – Pembentukan Rohani
KATA PENGANTAR
Buku ini untuk memahami kompleksitas dari spiritual
formation dan kepemimpinan dalam Perguruan Tinggi Kristen
dalam upaya melahirkan pemimpin-pemimpin baru bagi
gereja dan bangsa ke depan. Bagaimana Perguruan Tinggi
Kristen menerapkan
spiritual formation
yang akan
melahirkan pemimpin masa depan.
Melihat bagaimana pentingnya spiritual formation di
dalam Perguruan Tinggi Kristen yang sangat berpengaruh
bagi lulusannya sebagai seorang pemimpin maka apakah
ketiadaan spiritual formation di dalam Perguruan Tinggi
Kristen adalah ketiadaan proses pembentukan karakter
Kristus? Menganalisis peranan spiritual formation di dalam
Perguruan Tinggi Kristen, apakah spiritual formation berjalan
dalam pembentukan? Bagaimana proses spiritual formation
diterjemahkan di dalam kehidupan sehari-hari di ruang kelas,
di luar kelas dan saat praktik lapangan?
Buku ini juga adalah sebagai kode etik bagi dosen
dengan mengidentifikasi promosi spiritual formation kepada
mahasiswa sebagai ‘Komitmen untuk peserta didik’. Bahkan
Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (1989) mengakui
5 – Pembentukan Rohani
pentingnya pengembangan spiritual anak-anak dan rohani dan
moral
kesejahteraan
mereka.
Dokumen-dokumen
ini
menegaskan kepada penulis bahwa spiritualitas bisa relevan
dengan kepemimpinan pendidikan berbasis sekolah.
Melihat fenomena spiritual formation bagi peserta
didik di Perguruan Tinggi Kristen sangatlah kompleks. Apa
mungkin spiritual formation di dalam sekolah berarti juga
bagi peserta didik di Perguruan Tinggi Kristen? Dengan cara
apakah pengaruh spiritual formation menjadi berpengaruh
bagi peserta didik? Buku ini membahas antara spiritual
formation di Perguruan Tinggi Kristen dan pengembangan
kepemimpinan.
6 – Pembentukan Rohani
PENDAHULUAN
Tujuan spiritual formation adalah untuk membantu
mahasiswa menjalani spiritual formation mendalam penggunaan hikmat pribadi tentang Tuhan, diri dan dunia di
mana pembelajaran bukan hanya masalah pribadi tapi
dilakukan demi kehidupan publik, kehidupan gerejani dan
kepemimpinan Gereja. Hal ini sejalan dengan apa yang oleh
Groome (1980) disebut sebagai praktisi reflektif: “Mereka
harus diajak untuk membedakan dan mengungkapkan
pemahaman kritis mereka sendiri tentang praksis dan teori
dan disponsori melalui penghakiman dan keputusan untuk
melihat sendiri dan secara bertanggung jawab memilih apa
yang sesuai untuk dijalani. Iman Kristen.”
Praktik dan sikap kristiani yang diajarkan di kelas
Pendidikan Agama juga harus tercermin dalam cara menjalani
hari, cara guru memberikan teladan dalam memperlakukan
orang lain, doa yang mengawali hari, persekutuan/ibadah di
sekolah, dan lain-lain, akan menandai perbedaan antara
lingkungan sekolah Kristen dan lingkungan lainnya. Sistem
sekolah di mana Pendidikan Keagamaan diajarkan sebagai
7 – Pembentukan Rohani
suatu disiplin akademis dalam konteks yang tidak secara
eksplisit bersifat keagamaan.
Beberapa konsep dipilih dari literatur yang akan
membuat penekanan spiritual formation pada institusi
pendidikan. Pertama, ini akan melibatkan intensionalitas
terhadap pengembangan spiritual yang dibuktikan dalam
kehidupan masyarakat dan dalam kurikulum yang holistik dan
integratif.
Sebuah
institusi
yang
membuat
keputusan
perusahaan untuk melakukannya harus menerapkan sumber
daya untuk tujuan tersebut. Pengaruh penting dalam spiritual
formation adalah keterlibatan staf karena mereka memodelkan
integritas kepada mahasiswa. Spiritual formation dalam
lingkungan akademis paling efektif saat dipahami dan
dilengkapi dalam kelas. Oleh karena itu, baik pembelajaran
formal maupun informal spiritualitas tertanam dalam konteks
kehidupan bersama.
Penelitian juga mendukung nilai hubungan sebagai alat
pembelajaran,
dan
kehidupan
masyarakat
dapat
melipatgandakan kesempatan belajar. Layanan lain seperti
konseling, penilaian progresif dan mentor, dan lainnya. Yang
secara khusus berfokus pada pengembangan spiritual dapat
diberikan kepada mahasiswa. Lembaga-lembaga teologis
harus menjadi komunitas penyembah yang dibuktikan oleh
berbagai
kegiatan
ibadah.
Konsep-konsep
8 – Pembentukan Rohani
ini
adalah
persyaratan penting yang masuk ke dalam program spiritual
formation, walaupun di dalam institusi teologi denominasi
mungkin ada perbedaan teologis lainnya, praktik dan ritual
yang mempengaruhi spiritual formation.
Misalnya tradisi yang berbeda akan mengidentifikasi
dengan banyak spiritualitas: spiritualitas spekulatif/, terutama
pendekatan "berpikir"; spiritualitas afektif - spiritualitas hati,
menggambar secara karismatik, cara yang efektif untuk
berhubungan dengan Tuhan; spiritualitas mistik, lebih tertarik
untuk berada bersama Tuhan daripada mengekspresikan diri
kepada Tuhan, dan spiritualitas kerajaan yang berkomitmen
untuk bersaksi kepada Tuhan di dunia.
Kematangan spiritual pemimpin Kristen masa depan
merupakan tantangan penting dan perlu ditangani sepanjang
pelatihan teologis. Pengaturan yang paling kondusif untuk
pendidikan semacam itu dilakukan adalah hal yang disengaja,
kolaboratif dan komunitarian. Buku ini telah menunjukkan
identifikasi secara akurat dimensi spesifik spiritual formation
dan harapan spiritualitas kepemimpinan Kristen dalam
membawa
wawasan
lingkungan
pendidikan
penting
dan
untuk
mengembangkan
pengasuhan
yang
lebih
terintegrasi untuk spiritualitas mahasiswa dalam pendidikan
teologis. Seiring pendidikan teologis terus menilai visinya dan
tujuannya dalam lanskap perubahan pendidikan tinggi buku
9 – Pembentukan Rohani
ini menunjukkan bukti untuk mendukung asumsi bahwa
institusi teologis mempromosikan pendekatan formatif untuk
belajar dengan memenuhi tujuan mereka yang dinyatakan
dalam hal pembentukan kerohanian mahasiswa.
10 – Pembentukan Rohani
I
KEPEMIMPINAN DI
PERGURUAN TINGGI KRISTEN
Kedewasaan pemimpin Kristen masa depan merupakan
tantangan penting dan perlu ditangani selama berada di
Perguruan
Tinggi
Kristen.
Mengembangkan
generasi
pemimpin dengan karakter yang berkualitas dan visi untuk
milenium baru tetap menjadi perhatian utama di dalam gereja
dan masyarakat. Bilamana hal tersebut adalah sangat penting
bagi lulusan Perguruan Tinggi Kristen menjadi seorang yang
berkompetensi dan berkarakter, maka spiritual formation
harus menjadi bagian dari agenda kompetensi dan tidak dapat
dibiarkan begitu saja. Spiritual formation harus dihargai
sebagai tanggung jawab yang signifikan dari pekerjaan
pendidikan dari Perguruan Tinggi Kristen.
Kita dapat memastikan bahwa prioritas dari spiritual
formation adalah salah satu unsur sasaran dan tujuan dari
pendidikan
Kristen.
Perguruan
Tinggi
Kristen
harus
berkomitmen pada spiritual formation dan pengembangan
karakter untuk setiap komunitas akademiknya. Pada akhirnya,
11 – Pembentukan Rohani
orang-orang yang efektif akan memenuhi panggilan mereka
dengan komitmen yang tinggi kepada Tuhan, disiplin dan
kebiasaan gaya hidup yang jelas, dan memiliki panggilan
apostolik yang jelas dan melayani umat manusia. Banyak
Perguruan Tinggi Kristen yang pasif daripada pro-aktif dalam
pengembangan karakter. Administrasi dan dosen sering
berasumsi bahwa sekolah hanya berfokus pada agenda
akademik; pengembangan karakter akan terbentuk dengan
sendirinya.
Sayangnya, tidak semua orang yang lulus Perguruan
Tinggi Kristen baik dalam kompetensi dan karakter memiliki
spiritual formation. Seharusnya spiritual formation menjadi
agenda akademik sebagai bagian kompetensi yang terintegrasi.
Sudah seharusnya sekolah membuatnya secara terjadwal dan
pro-aktif. Oleh sebab itu, spiritual formation di dalam setting
akademik adalah paling efektif saat ruang kelas diadakan dan
disiapkan, dimana unsur-unsur penting dari kehidupan rohani
didewasakan, diajarkan dan dikuatkan dalam setting ruang
kelas. Gordon T. Smith (2014) mengatakan bahwa pendidikan
teologi salah satu bagian penting dari spiritual formation;
spiritual formation adalah bagian penting dari pendidikan
teologi.
Data yang diungkapkan oleh Kementerian Agama
Bimas Kristen bahwa ada kurang lebih 350 Perguruan Tinggi
12 – Pembentukan Rohani
Kristen di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut ada sekitar
30 Perguruan Tinggi Kristen yang berdomisili di daerah
sekitar Jabotabek. Perguruan Tinggi Kristen yang berjumlah
30 di daerah sekitar Jabotabek ini terdiri dari berbagai aliran
gereja serta latar belakang teologi yang berbeda-beda. Ada
yang didirikan atas keinginan sinode, yayasan, pribadi hingga
perusahaan. Atas latar belakang pendirian Perguruan Tinggi
Kristen
dapat
juga
digambarkan
bahwa ada
banyak
kepentingan di dalam yang ingin dicapai. Tidak dapat
dipungkiri dengan semakin ketatnya pertumbuhan Perguruan
Tinggi Kristen akan berimbas kepada persaingan yang ketat
dalam menjalankan sekolah. Perebutan mendapatkan murid
dan dosen dengan berbagai cara dipakai untuk dapat
mempertahankan Perguruan Tinggi Kristen. Semua dampak
ini
berimbas
kepada
spiritual
formation
yang
akan
membentuk budaya dari sekolah dan sistem akademik yang
dipakai.
Spiritual formation sepertinya bukan menjadi bagian
terintegrasi tetapi hanya sekedar bahan perkuliahan dengan
nama mata kuliah yang berbeda-beda. Bahkan dimungkinkan
ada yang sudah menganggap bahwa spiritual formation bukan
menjadi hal penting dalam kehidupan Perguruan Tinggi
Kristen. Keadaan mahasiswa yang berasal dari berbagai latar
belakang tingkat keimanan yang berbeda juga sangat
13 – Pembentukan Rohani
menentukan pembentukan spiritual formation. Tidak jarang
peserta didik yang masuk ke Perguruan Tinggi Kristen belum
dibaptis atau tidak mengerti arti lahir baru apalagi panggilan
untuk melayani.
Terry Hulbert dari Columbia International University
mencatat bahwa, “dalam pertemuan dekan dari tiga belas
Perguruan Tinggi Kristen Injili di Amerika Serikat, pemikiran
terbesar dan terberat tentang diskusi yang ada adalah kualitas
dari kehidupan rohani mahasiswa dan cara-cara yang dapat
menolong mereka untuk bertumbuh.”
Apa yang dapat
dilakukan? Mengenali kebutuhan tidaklah sama seperti
mencari solusi dari masalah.
Kebanyakan literatur tentang subjek spiritual formation
lebih
banyak
membicarakan
definisi
terminologi
dan
mendiskusikan mencari jalan keluar dari masalah. George
Lindbeck mencatat bahwa mahasiswa Perguruan Tinggi
Kristen sekarang tidak memiliki latar belakang spiritualitas
pengetahuan Alkitab dan doa seperti tahun-tahun sebelumnya.
Douglas John Hall bahkan setuju bahwa ada masalah di sana,
tetapi ia meragukan bahwa Perguruan Tinggi Kristen
memiliki
kemampuan
untuk
menyelesaikannya.
Ia
berargumen bahwa spiritual formation yang sejati telah
kehilangan dirinya sendiri.
14 – Pembentukan Rohani
Spiritualitas adalah dimensi penting dari eksistensi
manusia, yang memungkinkan baik pemimpin dan pengikut
untuk menemukan makna yang lebih dalam pekerjaan mereka
(Dalia, 2007; Miller, 2006; Thompson, 2000). Namun,
dimensi spiritual dalam kepemimpinan pendidikan sering
dibungkam dalam sistem sekolah umum. Beberapa studi telah
menyarankan
gagasan
bahwa
sudah
waktunya
untuk
melepaskan dimensi spiritual dari eksistensi manusia keluar
dari kotak di mana ia sering dipenjarakan (Shields et al.,
2004).
Edward Farley (1983) menuliskan dalam Theologia:
fragmentasi dan kesatuan pendidikan teologi menjabat
sebagai katalis untuk mendorong diskusi tentang struktur
dasar dari pendidikan teologi. Farley mengembangkan
penjelasan historis untuk bagaimana saat 'struktur' dari
pendidikan Kristen telah memberikan kontribusi terhadap
masalah fragmentasi baik dari segi spesialisasi pengajar dan
profesionalitas karier pelayanan. Farley berpendapat bahwa
secara historis studi teologi itu, seperti Martin Luther
menggambarkannya, “proses spiritual formation.” Masalah
fragmentasi ini diidentifikasi lebih dari empat puluh tahun
yang lalu dalam studi AATS dan Carnegie, yayasan
pendidikan teologi tersebut mengatakan bahwa:
15 – Pembentukan Rohani
“Cacatan terbesar dalam pendidikan teologi saat ini
adalah bahwa terlalu banyak urusan sedikit demi
sedikit hanya mentransmisi pengetahuan dan
keterampilan, dan bahwa, akibatnya, ia
menawarkan terlalu sedikit tantangan kepada
peserta didik untuk mengembangkan sumber
dayanya sendiri dan untuk menjadi independen,
penanya seumur hidup, tumbuh terus-menerus
sementara dia terlibat dalam pekerjaan pelayanan.”
Spiritual formation adalah proses seumur hidup
menjadi, dari yang dibentuk dan dikembangkan dalam rupa
Kristus (Gal. 4:19; Kol. 1:28; Rom. 12:2). Ini adalah formasi
pribadi dan relasional yang berusaha untuk mempromosikan
pertemuan dan kerja sama dengan Allah dan masyarakat
secara keseluruhan. Johnson
berkaitan konsep spiritual
formation sebagai sarana transformasi “pembentukan karakter
Kristen (yang) menyiratkan transformasi karakter.”
Formasi dan transformasi, proses dan titik balik, yang
dijalin bersama dalam proses pengudusan seumur hidup,
menjadi Kristen, dan membentuk karakter Kristen. Orang
yang terus-menerus dalam proses pembentukan dalam
keluarga, jemaat, tradisi iman mereka dan melalui masyarakat
pada umumnya.
Pemahaman teologis hanya menjabat sebagai tujuan
pemersatu tradisional untuk belajar teologi, yang mengarah
kepada kebiasaan berorientasi praktis atau disposisi jiwa
16 – Pembentukan Rohani
seseorang. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendidikan
‘model Athena’ yang difokuskan pada pembentukan karakter
pendidikan pendeta. Farley menjelaskan bahwa pada abad ke18 di Jerman, spesialisasi meningkatnya disiplin akademis
dalam teologi menyebabkan pergeseran dari “studi teologi” ke
“ensiklopedia teologis” yang dibagi oleh studi teologi menjadi
empat disiplin khusus: Alkitab, sejarah gereja, dogmatika atau
teologi sistematis, dan teologi praktis. Dispersi teologi ini ke
dalam bermacam ilmu sekarang dikenal sebagai ‘model
Berlin’ sehingga menjadi “keberangkatan paling radikal dari
tradisi dalam sejarah pendidikan pendeta”, klaim Farley.
Banyak
lulusan
seminari
hari
ini
yang
kesulitan
mengintegrasikan potongan-potongan pendidikan mereka
seperti kritikan Farley:
Pendidikan di Perguruan Tinggi Kristen tidak
begitu banyak mengenai ‘studi teologi’ sebagai
sebuah pluralis dari disiplin ilmu tertentu, masingmasing dengan metode sendiri. Bidang-bidang
studi ini (‘sains’, disiplin, program, bidang
katalog) yang ditawarkan tanpa melihat alasan
yang menjelaskan pentingnya mereka dan
menampilkan interkoneksi mereka.
A. Spiritualitas dan Efektivitas Kepemimpinan
Spiritualitas dalam kepemimpinan secara prinsip
bukanlah merupakan salah satu bentuk kepemimpinan tetapi
17 – Pembentukan Rohani
mengakui prinsip-prinsip yang mengintegrasikan makna
pribadi dari spiritualitas dalam praktik kepemimpinan yang
disukai dengan cara yang tepat untuk kesejahteraan sendiri
dan kesejahteraan komunitas sekolah mereka. Beberapa
pertanyaan yang mungkin berhubungan dengan orang-orang
yang
terlibat
dalam
pendidikan
teologi:
Bagaimana
pendidikan teologi membuat upaya nyata untuk membawa
anak muda Kristen bersama-sama secara lokal? Bagaimana
pendidikan teologi membantu orang muda untuk membuat
hubungan antara realitas lokal dengan keprihatinan global?
Bagaimana cara membantu orang muda untuk merasa menjadi
bagian dari sejarah Kristen yang lebih besar dan keluarga?
Bagaimana pendidikan seperti diakses oleh orang-orang muda
meskipun ada perbedaan etnis, gender, kemampuan atau
kelas?
Bagaimana pendidikan teologi berhubungan dengan
perempuan muda dan laki-laki muda dan mendorong mereka
untuk bekerja sama sebagai mitra setara dengan raising
awareness tentang gender dan kekuasaan? Bagaimana
pendidikan teologi memperbaharui gereja dan mendorong
orang muda untuk menginvestasikan bakat dan waktu
mereka?
Bagaimana
pendidikan
teologi
membuat
ekumenisme diakses untuk eksplorasi praktis dalam gereja
dan pertemuan sehari-hari? Banyak ahli berharap strategi,
18 – Pembentukan Rohani
intelijen, bahkan kekejaman menjadi tanda dari pemimpin
yang sukses, tetapi tinjauan literatur menunjukkan bahwa hal
ini bukan pendefinisian elemen.
Sebaliknya, nilai-nilai spiritual seperti integritas,
kejujuran, dan kerendahan hati telah berulang kali ditemukan
sebagai elemen kunci dari keberhasilan kepemimpinan.
Integritas pribadi, misalnya, telah terbukti menjadi unsur yang
paling penting untuk melahirkan rasa hormat dan kepercayaan
dari pengikutnya. Ajaran spiritual juga mendesak praktek
memperlakukan orang lain dengan cinta dan kasih sayang:
menunjukkan
rasa
hormat,
menunjukkan
keadilan,
mengungkapkan kepedulian, mendengarkan dengan penuh
perhatian, dan menghargai pemberian dan kontribusi orang
lain.
Semua ajaran spiritual juga menekankan perlunya bagi
individu untuk terlibat dalam praktik reflektif seperti doa,
kontemplasi, atau meditasi. Tujuan dari praktik ini bagi
seorang individu adalah untuk mengembangkan hubungan
yang positif dengan orang lain, dengan diri sendiri, dan
dengan Tuhan. Pada gilirannya, praktik reflektif dari seorang
pemimpin telah terbukti mempengaruhi motivasi pengikut dan
produktivitas
kelompok
atau
kinerja,
serta
hubungan, dan ketahanan pemimpin itu sendiri.
19 – Pembentukan Rohani
motivasi,
Fairholm (1997) mengatakan bahwa individu yang
memanfaatkan spiritualitas untuk menemukan makna dalam
pekerjaan mereka adalah konsekuensi besar bagi para
pemimpin dalam lingkungan pendidikan. Pemimpin harus
memiliki pemahaman yang kuat tentang tujuan mereka sendiri
dan diri mereka yang sebenarnya untuk dapat memberikan
arah yang diperlukan untuk bawahan mereka (Conger, 1994;
Twigg & Parayitm, 2007).
Solomon dan Hunter (2002) berpendapat bahwa
spiritualitas
memberikan
kendaraan
yang
melaluinya
pemimpin pendidikan menunjukkan teladan perilaku yang
tepat
untuk
bawahan
mereka.
Solomon
dan
Hunter
menjelaskan, Pemimpin yang menganggap dirinya spiritual
dapat menjadi contoh bagi sesamanya melalui tindakan
sehari-hari mereka. Misalnya, melakukan tugas pekerjaannya
dan memperlakukan sesama dengan kerendahan hati dan rasa
hormat (nilai-nilai umum untuk berbagai jenis spiritualitas)
tidak hanya menyediakan model penting untuk bagaimana
orang lain harus melakukan sendiri, tetapi juga menetapkan
nada, atau etos, yang dapat diikuti dalam organisasi.
(Solomon dan Hunter, 2002).
Konsep
kepemimpinan
hamba
Greenleaf
(1997)
mendukung gagasan bahwa spiritualitas sangat penting untuk
meningkatkan persepsi individu diri dan pemanfaatan
20 – Pembentukan Rohani
kekuatan batin mereka. Pemimpin pelayan melibatkan
bawahan dalam hubungan yang bermakna. Orisinalitas yang
terbentuk dalam hubungan ini memungkinkan baik pemimpin
dan pengikut untuk membuat koneksi dengan sesuatu yang
lebih besar dari diri masing-masing (Bhindi & Duignan,
1997).
Greenleaf (1970) berpendapat kepemimpinan muncul
dalam kapasitas seorang pemimpin untuk melayani orang lain.
Artinya, kepemimpinan otentik dicapai melalui memberikan
diri dalam pelayanan terhadap orang lain (Riaz & Normore,
2008; Saunders, 1994). Fry (2003) merangkum kerangka
kepemimpinan pelayan menyatakan bahwa hal itu “terdiri dari
membantu orang lain menemukan semangat batin mereka,
mendapatkan dan menjaga kepercayaan orang lain, melayani
kepentingan orang lain, dan mendengarkan secara efektif.”
Covey (1989), kepemimpinan yang berpusat pada
prinsip, mirip dengan kepemimpinan pelayan Greenleaf
(1977), mengusulkan bahwa kepemimpinan yang efektif
didasarkan pada pelayanan kepada orang lain. Pemimpin yang
mendapatkan pewahyuan memanfaatkan seperangkat prinsipprinsip universal (Solokow, 2002; Tolle, 1999) untuk
mendirikan sebuah “pembaharuan kesadaran” (Thompson,
2004) dan untuk menemukan kejelasan dalam kekisruhan
(Thompson, 2004). Ini selaras dengan memperbaharui
21 – Pembentukan Rohani
spiritualitas seseorang yang menjadi bagian nilai-nilai pribadi
yang disesuaikan (Riaz & Normore, 2008).
Pendukung
utama teori kepemimpinan spiritual adalah bahwa organisasi
pembelajaran adalah sumber untuk kelangsungan hidup
spiritual
yang
menginspirasi
para
pekerjanya
dengan
segudang faktor motivasi intrinsik yang meliputi visi,
harapan/iman,
cinta
altruistis,
keterlibatan
tugas,
dan
identifikasi tujuan (Fry, 2003).
Menurut Fry (2003), “. . . kepemimpinan spiritual
diperlukan untuk transformasi dan kesuksesan organisasi
pembelajaran.” Lebih lanjut ia menjelaskan:
“Kepemimpinan spiritual dipandang sebagai
kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, untuk
organisasi untuk menjadi sukses dalam kecepatan
tinggi, lingkungan Internet berbasis sangat tak
terduga hari ini. Orang-orang perlu sesuatu untuk
percaya pada, seseorang untuk percaya pada, dan
seseorang untuk percaya pada mereka. Seorang
pemimpin spiritual adalah seseorang yang berjalan
di depan salah satu ketika salah satu kebutuhan
seseorang untuk mengikuti, di belakang salah satu
ketika salah satu kebutuhan encouragement, dan di
samping satu ketika salah satu kebutuhan teman.”
Meskipun ada banyak konsepsi spiritualitas dalam
kepemimpinan, namun terjadi ketidakjelasan definisi konsep
(Markow & Klenke, 2005). Sebuah konsep yang diusulkan
oleh Fry (2003), menjelaskan spiritualitas kepemimpinan
22 – Pembentukan Rohani
dalam model motivasi intrinsik yang menggabungkan visi,
kasih altruistis, dan harapan/iman; teori spiritualitas di tempat
kerja dan kelangsungan hidup spiritual; dan hasil komitmen
dan produktivitas organisasi. Dalam model ini, spiritualitas
meliputi nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk
memotivasi diri intrinsik dan pengikutnya untuk memiliki rasa
hidup rohani melalui panggilan dan keanggotaan.
Harvey Conn (1980) menyatakan bahwa pada dasarnya
sudah dua model sepanjang sejarah, pendidik dan bentukbentuk alternatif. Model Alkitabiah sebelumnya terbentuk
dalam membangun satu dengan yang lainnya (Rom. 15: 2)
melalui kasih (1 Kor. 8:1), membuka jalan untuk belajar dan
pertahanan intelektual dari Injil.
Meskipun selama gerakan monastik dan reformasi
cukup memberi nilai tambah, namun nilai-nilai sekuler tetap
pengaruh yang kuat, dan “hubungan guru-murid pindah dari
yang saudara dengan yang ayah-anak, dari persaudaraan
untuk paternalistis. Pengukuran dilakukan dalam hal masukan
kognitif bukan sekedar pelayanan karunia-karunia.’
Teori Munculnya Kepemimpinan Clinton memberikan
kerangka teoritis untuk penelitian, yang menyampaikan
konsep bahwa “semua kehidupan digunakan oleh Allah untuk
mengembangkan
kapasitas
seorang
pemimpin
untuk
mempengaruhi,” termasuk peristiwa-peristiwa kehidupan
23 – Pembentukan Rohani
dikategorikan sebagai proses internal, proses eksternal, dan
proses ilahi (Clinton, 1989). Pengalaman pendidikan Kristen
dipandang sebagai salah satu peristiwa yang bisa digunakan
untuk mengembangkan kepemimpinan karena melibatkan
(pengembangan karakter) internal, eksternal (orang dan
sastra), dan proses Ilahi (dasar kekristenan). Teori munculnya
kepemimpinan menunjukkan hubungan antara komponen dan
pengalaman pendidikan seseorang. Dari perspektif pengantar,
pengembangan kepemimpinan mencakup “semua proses
kehidupan, yang luas bukan hanya pelatihan formal.
Pemimpin dilatih dengan pelatihan yang disengaja dan oleh
pengalaman” (Clinton, 1988)
Spiritualitas, prinsip dasar kepemimpinan hamba,
menjadi
faktor
penentu
penting
dari
kepemimpinan
transformasional. Namun, penelitian telah gagal untuk
memeriksa orientasi spiritual pemimpin dan hubungannya
dengan perilaku kepemimpinan transformasional. Ini adalah
kekosongan penting sebagai tren saat ini yang menunjukkan
kebutuhan
yang
terus
meningkat
untuk
individu
memanfaatkan spiritualitas dalam menemukan makna di
pekerjaan mereka (Fairlholm, 1997) dan untuk mengurangi
dilema moral (Hillard, 2004).
Sering kali, pendidikan saat ini - di semua tingkatan terbatas pada elemen transaksional di mana guru menyajikan
24 – Pembentukan Rohani
ide dan siswa menawarkan tanggapan. Pengajaran ini terbatas
pada pertukaran informasi yang tetap ada di permukaan dan
gagal menembus makna atau hati. Sebaliknya, potensi
transformasi terjadi ketika pemimpin dan pengikut (atau guru
dan siswa) bekerja sama untuk meningkatkan motivasi dan
moralitas.
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Yesus Kristus,
kepemimpinan Kristen membutuhkan Roh Kudus dalam
pekerjaan pelayanan Kristen. Pelayanan publik Kristus di
dalam Roh Kudus merupakan contoh pemahaman akan
pribadi dan karya pendidikan Kristen serta Roh Kudus dalam
kepemimpinan
Kristen.
Pazmino
(2010)
menggunakan
beberapa contoh tentang Roh Yesus yang hadir dalam pribadiNya di mana kuasa Roh Kudus bergerak dengan cara yang tak
terduga dan ilahi untuk mengubah situasi yang menunjukkan
bagaimana Roh Kudus bekerja (Pazmino, 2010). Ketika
pendidikan
Kristen
berusaha
untuk
membentuk
perkembangan spiritual anak-anak dan remaja, kehadiran dan
kuasa Roh Kudus yang membimbing orang percaya ke dalam
seluruh kebenaran, merupakan hal yang sangat penting dan
menjadi syarat untuk mempertahankan hubungan dengan
Yesus Kristus (Pazmino, 2010).
Banyak literatur terkait tentang kepemimpinan sekolah
Kristen berfokus pada elemen, kompetensi, dan karakteristik
25 – Pembentukan Rohani
kepemimpinan spiritual, tetapi penelitian yang ada masih
terbatas pada praktik kepemimpinan sekolah Kristen. Bagian
berikut
ini
membahas
mengkomunikasikan
apa
literatur
yang
telah
terkait
untuk
diperiksa
dalam
kaitannya dengan studi penelitian, meningkatkan pemahaman
kepemimpinan
sekolah
Kristen
sebagai
kepemimpinan
spiritual, dan menjelaskan bagaimana penelitian ini mengisi
kesenjangan dalam literatur, memenuhi kebutuhan manusia.
Contoh-contoh seperti mengubah air menjadi anggur di
sebuah pesta pernikahan dan di mana Yesus menghembuskan
nafas kepada murid-muridnya dan mereka menerima Roh
Kudus dalam Injil pasca kebangkitan. Yesus menunjukkan
pentingnya
Roh
Kudus
Pendidikan
Kristen
dalam
adalah
kepemimpinan
pembentukan
rohani.
rohani
dan
pengembangan rohani "proses bertumbuh dalam hubungan
kita dengan Allah dan menjadi serupa dengan Kristus melalui
kuasa Roh Kudus.
B. Integrasi Nilai-nilai Kristen dalam Kepemimpinan
Kepemimpinan dan pendidikan dari sudut pandang
Kristen mengacu pada prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan
perspektif yang berasal dari ajaran Kristen yang memandu
dan menginformasikan praktik-praktik kepemimpinan dan
pendidikan. Hal ini menyiratkan bahwa para pendidik dan
26 – Pembentukan Rohani
pemimpin mengintegrasikan kepercayaan, nilai, dan standar
etika Kristen untuk memandu tindakan, pemahaman, dan
pengambilan keputusan mereka. Dari sudut pandang kerangka
berpikir Kristen, pendidikan mengakui pentingnya manusia
yang diciptakan menurut gambar Allah. Oleh karena itu,
pendidikan bertujuan untuk meningkatkan perkembangan
manusia dan mengasuh mereka secara intelektual, spiritual,
moral, emosional, dan dari dimensi sosial lainnya (Greenleaf,
2021).
Biasanya, pendidikan Kristen menggunakan kebenaran
dan
prinsip-prinsip
alkitabiah
dalam
pengajaran
dan
pembelajaran untuk memastikan perspektif Kristen pada
berbagai mata pelajaran dan disiplin ilmu. Di sisi lain, dari
sudut pandang Kristen, kepemimpinan dipandang sebagai
tanggung jawab yang didasarkan pada pelayanan, kerendahan
hati, dan integritas (Campbellsville University, 2018).
Pemimpin Kristen seharusnya mengikuti jejak Yesus
Kristus sebagai seorang pemimpin. Kepemimpinan Kristen
melibatkan kepemimpinan dengan belas kasihan, keadilan,
dan akuntabilitas. Oleh karena itu, makalah penelitian ini akan
menganalisis teori pendidikan dan kepemimpinan dari
pandangan dunia Kristen dan mengembangkan proposal untuk
kepemimpinan yang selaras dengan nilai-nilai Kristen.
Kerangka berpikir Kristen tentang kepemimpinan dan
27 – Pembentukan Rohani
pendidikan membantu mendasarkan tindakan terkait pada
kekristenan, menghilangkan bias pribadi.
Kerangka berpikir Kristen memiliki implikasi yang
beragam dalam pendidikan. Pertama, pandangan dunia
Kristen memupuk pertumbuhan rohani dan pengembangan
karakter.
Kekristenan
mengakui
bahwa
manusia
membutuhkan tindakan karena mereka tidak secara inheren
bersifat intelektual. Oleh karena itu, pendidikan sangat
penting dalam membantu siswa mengakses kesempatan yang
mendukung pertumbuhan spiritual untuk memperdalam
hubungan mereka dengan Tuhan. Para pendidik memelihara
pertumbuhan spiritual siswa dengan memberikan kesempatan
untuk berdoa, merenung, dan mengeksplorasi iman melalui
pelajaran Alkitab dan melakukan percakapan tentang nilainilai Kristiani (Kilner, 2015).
Hasilnya, para siswa tumbuh sesuai dengan nilai-nilai
Kristiani, yang secara positif berdampak pada kehidupan
pribadi, pendidikan, dan karier mereka. Selain itu, pendidikan
yang
digerakkan
oleh
agama
Kristen
membantu
mengembangkan karakter siswa dengan menumbuhkan
kebajikan seperti kejujuran, kebaikan, kerendahan hati, dan
integritas yang selaras dengan ajaran Alkitab. Para pendidik
menggabungkan pengembangan karakter bagi siswa dengan
memberikan proyek-proyek yang membutuhkan pendekatan
28 – Pembentukan Rohani
etis dan perilaku moral sehingga mereka dapat menerapkan
kebajikan yang berbeda.
Dampak lain dari Kerangka berpikir Kristen terhadap
pendidikan adalah menciptakan lingkungan belajar yang
inklusif. Mengacu pada ajaran dan perspektif Alkitab, Yesus
menunjukkan kasih, penerimaan, dan kepedulian kepada
orang lain, terlepas dari perbedaan atau latar belakang
mereka.
Oleh
karena
itu,
pandangan
dunia
Kristen
menyiratkan hal yang sama dalam pendidikan dengan
menekankan pada penciptaan ruang yang aman dan ramah di
mana semua siswa merasa dihargai, dihormati, dan didukung
tanpa memandang latar belakang mereka.
Cara-cara yang dilakukan oleh para pendidik untuk
mempromosikan lingkungan belajar yang inklusif antara lain
dengan terlibat dalam dialog terbuka dengan semua siswa,
menciptakan kesempatan bagi siswa untuk berbagi pemikiran,
mengajukan pertanyaan dari perspektif siswa yang mungkin
dipengaruhi oleh latar belakang mereka, dan terlibat dalam
diskusi yang saling menghormati tentang iman, nilai-nilai, dan
hal-hal lain tanpa mengambil posisi berdasarkan agama
mereka (Savarirajan & Fong, 2019).
Hasilnya, siswa merasa nyaman belajar di lingkungan
yang berempati di mana mereka memiliki akses yang sama
terhadap pendidikan dan kesempatan untuk berkembang.
29 – Pembentukan Rohani
Khususnya, peran pendidik dalam memasukkan pandangan
dunia
Kristen
mengidentifikasi
meluas
dan
hingga
mengatasi
secara
bias,
aktif
berusaha
prasangka,
dan
ketidaksetaraan yang mungkin ada dalam lingkungan
pendidikan.
Implikasi lain dari Kerangka berpikir Kristen dalam
pendidikan adalah mengintegrasikan prinsip-prinsip Alkitab
ke dalam kurikulum dan pengajaran. Ini adalah cara yang
signifikan dalam pendidikan yang berasal dari wawasan dunia
Kristen,
sehingga
memudahkan
para
pendidik
untuk
membantu para siswa memahami dunia melalui lensa Kristen.
Para pendidik sangat mengandalkan Alkitab sebagai referensi
yang membantu mereka menanamkan pemahaman yang lebih
dalam tentang ciptaan Tuhan (Hussin, 2021).
Beragam cara yang dilakukan oleh para pendidik untuk
melakukan hal ini termasuk mengajarkan narasi dan tematema
Alkitab
tentang
penciptaan,
kemanusiaan,
dan
dampaknya terhadap budaya, nilai-nilai, dan pengalaman
manusia. Sebagai hasilnya, para siswa mengembangkan rasa
yang
lebih besar
dalam
menggunakan prinsip-prinsip
alkitabiah dan menerapkan iman dalam semua bidang
kehidupan mereka untuk berpikir kritis dan membuat
keputusan yang tepat, menjalani kehidupan yang bermoral,
30 – Pembentukan Rohani
dan terlibat secara bijaksana dengan orang lain di seluruh
dunia.
Kerangka berpikir Kristen juga memiliki implikasi
yang
beragam,
termasuk
kepemimpinan
hamba
yang
dicontohkan oleh Yesus Kristus. Biasanya, pemimpin yang
melayani yang memimpin dari pandangan dunia Kristen
mencoba meniru tipe kepemimpinan Yesus Kristus yang
digambarkan sebagai pemimpin yang melayani. Sebagai
pemimpin yang melayani, para pemimpin Kristen harus
mengacu pada Yesus Kristus sebagai teladan sehingga mereka
dapat mempraktikkan nilai-nilai dan kebajikan yang diajarkan
oleh Yesus.
Pemimpin yang melayani juga harus memahami
pentingnya sikap tidak mementingkan diri sendiri di antara
para pemimpin yang melayani dengan terlebih dahulu
mengakui bahwa mereka adalah hamba dan bukan sosok yang
otoriter (Robbins, 2020). Dengan cara ini, para pemimpin
Kristen menunjukkan empati, secara aktif mendengarkan
keprihatinan dan kebutuhan para pengikut mereka, dan
membimbing mereka dengan penuh kasih. Sebagai hasilnya,
merangkul
kepemimpinan
yang
melayani
menciptakan
lingkungan yang membina orang lain untuk bertumbuh
menjadi pemimpin yang melayani.
31 – Pembentukan Rohani
Implikasi lain dari Kerangka berpikir Kristen adalah
kepemimpinan yang menumbuhkan budaya kepercayaan, rasa
hormat, dan akuntabilitas. Para pemimpin Kristen mengakui
aspek-aspek
ini
sebagai
faktor
yang
mempengaruhi
kepemimpinan yang sukses dan menyelaraskannya dengan
tindakan dan perilaku mereka untuk memunculkan pemimpinpemimpin yang luar biasa di dalam organisasi mereka. Oleh
karena itu, salah satu cara pandangan dunia Kristen
merefleksikan implikasi kepemimpinan dari aspek-aspek ini
adalah dengan membangun kepercayaan dengan para
pengikut mereka. Para pemimpin memastikan bahwa katakata mereka diterjemahkan ke dalam tindakan, menjaga
komunikasi yang transparan tentang isu-isu organisasi, dan
memperlakukan pengikut mereka dengan integritas yang
tinggi (Robbins, 2020).
Para pemimpin Kristen melakukan hal ini untuk
mempromosikan rasa hormat dengan mengakui nilai dan
martabat manusia serta memperlakukan pengikut mereka
sebagai cerminan dari gambar Allah. Untuk akuntabilitas,
para
pemimpin
memastikan
para
pengikut
mereka
bertanggung jawab penuh atas peran mereka, tetapi juga
menyediakan
sumber
daya
yang
diperlukan
mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan.
32 – Pembentukan Rohani
untuk
Menekankan nilai kepemimpinan yang berhati hamba
adalah implikasi lain dari Kerangka berpikir Kristen dalam
kepemimpinan. Para pemimpin Kristen percaya bahwa
pendekatan kepemimpinan yang melayani berakar pada ajaran
dan teladan Yesus Kristus. Para pemimpin biasanya
menghadapi situasi yang tidak menguntungkan dalam tugas
mereka, yang mengharuskan mereka untuk berpikir kritis
tentang
keputusan
mereka
untuk
memastikan
bahwa
keputusan tersebut berakar secara moral dan selaras dengan
etika Kristen (Appleton, 2020). Oleh karena itu, mereka
berusaha untuk mempraktikkan kepemimpinan yang melayani
dengan memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas
kebutuhan mereka sendiri. Selain itu, pemimpin yang
melayani
berusaha
kebutuhan
anggota
mendengarkan
untuk
tim
memahami
mereka
kekhawatiran
dan
dengan
mereka
dan
memenuhi
secara
aktif
memberikan
dukungan sehingga pengikut mereka mencapai potensi penuh
mereka.
Kerangka berpikir Kristen dalam kepemimpinan adalah
mendorong pengambilan keputusan yang etis berdasarkan
prinsip-prinsip Alkitab (Wilhoit, 1991). Para pemimpin
Kristen percaya bahwa prinsip-prinsip alkitabiah mengandung
ajaran moral dan nilai-nilai yang membantu menyelaraskan
keputusan mereka dengan keputusan yang akan diambil oleh
33 – Pembentukan Rohani
Tuhan. Biasanya, para pemimpin yang membuat pilihan etis
menerapkan hikmat alkitabiah untuk mengevaluasi dampak
dari setiap keputusan terhadap para pengikutnya dan
menetapkan keputusan yang paling tidak berbahaya (Wilhoit,
1991). Khususnya, dampak dari keputusan etis didasarkan
pada kemampuan pemimpin Kristen untuk mengintegrasikan
nilai-nilai moral dalam mengambil keputusan tersebut,
menunjukkan komitmen terhadap kebenaran dan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip keadilan dan moralitas yang diajarkan
oleh Yesus. Selain itu, mereka harus menyeimbangkan
pertimbangan
etis
dengan
tujuan
organisasi
dengan
memastikan bahwa keduanya tidak bertentangan.
Kerangka berpikir Kristen berakar pada prinsip-prinsip
dan ajaran Yesus Kristus, ada berbagai prinsip yang dapat
diintegrasikan oleh para pemimpin untuk memimpin dengan
keaslian, integritas, dan komitmen yang dalam terhadap nilainilai Kristen (Kok & Van Den Heuvel, 2019). Salah satu
aspek dari kerangka kerja yang diusulkan yang dapat
digunakan
oleh
para
pemimpin
Kristen
adalah
mengidentifikasi diri mereka dengan kepemimpinan yang
melayani. Hal ini melibatkan para pemimpin Kristen untuk
memahami karakteristik kepemimpinan yang melayani,
seperti mengutamakan orang lain dengan memprioritaskan
kebutuhan dan kepentingan mereka.
34 – Pembentukan Rohani
Aspek lainnya adalah memimpin dengan kerendahan
hati,
yang
melibatkan
pengakuan
akan
keterbatasan,
mengakui kesalahan, dan menghargai kontribusi orang lain.
Menunjukkan empati adalah karakteristik kepemimpinan
pelayan lainnya di mana para pemimpin memahami dan
berhubungan dengan pengalaman, emosi, dan perjuangan para
pengikut mereka. Yang terpenting, memelihara pertumbuhan
orang lain dengan berinvestasi dalam pertumbuhan mereka
juga menandakan seorang pemimpin yang melayani.
Cara lain para pemimpin Kristen mengidentifikasikan
diri mereka dengan kepemimpinan yang melayani adalah
dengan memandang Yesus Kristus sebagai contoh utama dari
seorang
pemimpin
menunjukkan
yang
kepemimpinan
melayani.
yang
Yesus
Kristus
melayani
selama
pelayanan-Nya melalui kata-kata, tindakan, dan interaksi-Nya
dengan orang lain (Stanton, 2019). Oleh karena itu, para
pemimpin Kristen, dengan menggunakan Yesus sebagai
teladan, mempelajari aspek-aspek berharga yang dapat
mereka tiru saat melayani orang lain. Salah satu pelajaran
penting yang dapat dipelajari oleh para pemimpin Kristen
dengan meneladani Yesus Kristus sebagai pemimpin yang
melayani adalah belas kasihan dalam melayani orang lain dan
mengangkat mereka melalui tindakan dan perkataan mereka.
35 – Pembentukan Rohani
Pemimpin Kristen perlu untuk mengidentifikasi diri
mereka sebagai pemimpin yang melayani adalah dengan
memahami betapa pentingnya kerendahan hati, empati, dan
sikap tidak mementingkan diri sendiri dalam kepemimpinan.
Para pemimpin yang melayani perlu menyadari bahwa
kerendahan hati memungkinkan mereka untuk memahami
orang lain, mempelajari kekuatan dan kelemahan mereka, dan
bagaimana mereka memengaruhi orang lain sehingga mereka
dapat menciptakan lingkungan yang akomodatif yang ramah
dan menginspirasi bagi semua individu (Galvão-Sobrinho,
2021). Mereka juga perlu mempelajari peran empati dalam
membantu mereka menghargai orang lain apa adanya, bahkan
ketika mereka memiliki beragam perspektif yang berbeda dari
mereka. Aspek terakhir yang perlu dikembangkan oleh para
pemimpin pelayan untuk mengembangkan pemahaman yang
lebih
dalam
tentang
pentingnya
adalah
sikap
tidak
mementingkan diri sendiri sebagai suatu kebajikan yang
mendukung pertumbuhan orang lain.
Pemimpin
yang
memiliki
kepemimpinan
belajar
tentang pengambilan keputusan yang etis. Hal ini melibatkan
pemahaman akan peran prinsip-prinsip Alkitab dalam
memandu pengambilan keputusan yang etis. Biasanya,
prinsip-prinsip dalam Alkitab mengajarkan apa yang benar
dan salah, adil dan tidak adil, serta dapat diterima atau tidak
36 – Pembentukan Rohani
dapat diterima secara moral ketika mengambil keputusan
(Appleton, 2020). Oleh karena itu, para pemimpin Kristen
harus memahami prinsip-prinsip Alkitab yang memandu
pengambilan keputusan yang etis untuk menggunakan
pengetahuan dan konsep-konsep seperti kejujuran, integritas,
keadilan, keadilan, belas kasihan, dan penghormatan terhadap
martabat manusia.
Cara untuk mempraktikkan pengambilan keputusan
yang etis adalah dengan menyeimbangkan tujuan organisasi
dengan pertimbangan etis dan konsekuensi jangka panjang.
Para pemimpin menghadapi tantangan dalam mengambil
keputusan yang harus memperhitungkan dampak etis dan
mencapai tujuan organisasi. Sebagian besar pemimpin
mengevaluasi hasil jangka pendek dan tergoda untuk
memprioritaskan tujuan organisasi dengan mengorbankan
pertimbangan etika (Stanton, 2019). Namun, para pemimpin
Kristen tetap teguh dalam mengambil keputusan dengan
memastikan bahwa mereka tidak mengorbankan nilai-nilai
Kristen
sebagai
seorang
pemimpin
untuk
mencapai
profitabilitas, efisiensi, dan kesuksesan jangka pendek yang
akan berdampak negatif dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, para pemimpin Kristen mengandalkan
panduan dari prinsip-prinsip Alkitab untuk terlibat dalam
pemikiran kritis dan penalaran etis serta membuat keputusan
37 – Pembentukan Rohani
yang benar secara moral. Khususnya, para pemimpin Kristen
mempertimbangkan bagaimana pilihan mereka mencerminkan
kasih Tuhan dan kesejahteraan orang lain untuk menentukan
apakah pilihan mereka selaras dengan ajaran Yesus.
Kepemimpinan yang visioner dan memiliki tujuan
adalah aspek lain dari rencana yang telah disusun untuk
menggabungkan
kerangka
berpikir
Kristen
dalam
kepemimpinan (McGregor, 1960). Dalam aspek ini, para
pemimpin Kristen menyelaraskan misi organisasi dengan
nilai-nilai
Kristen.
mengintegrasikan
Ini
iman
berarti
para
dengan
pemimpin
tanggung
jawab
kepemimpinan mereka. Ini berarti misi organisasi juga selaras
dengan prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran kekristenan sehingga
tindakan yang diambil untuk mencapai misi tersebut
menjunjung tinggi
nilai-nilai
alkitabiah
seperti
kasih,
keadilan, belas kasihan, dan penatalayanan. Selain itu,
menyelaraskan kepemimpinan dengan kekristenan berarti
kepemimpinan
yang
mendorong
pertumbuhan
dan
perkembangan spiritual karena para pengikutnya ingin meniru
pemimpin yang kepemimpinannya didasarkan pada ajaranajaran Kristen.
Aspek lain dari kepemimpinan yang visioner dan
memiliki tujuan dalam kerangka kerja yang diusulkan untuk
38 – Pembentukan Rohani
para pemimpin Kristen adalah mendorong pertumbuhan
pribadi dan profesional melalui bimbingan dan kesempatan
pengembangan. Mereka dapat mencapai hal ini dengan
mengenali potensi dan talenta yang unik, mendukung individu
melalui bimbingan, dan memberikan mereka kesempatan
untuk mengembangkan diri.
Aspek
lain
yang
perlu
dipertimbangkan
dalam
mengevaluasi terhadap kerangka berpikir Kristen untuk
memastikan keselarasan dengan ajaran Alkitab adalah apakah
membahas potensi konflik atau tantangan dari perspektif
kerangka berpikir Kristen. Biasanya, hal semacam itu dapat
menimbulkan perselisihan yang tidak sesuai dengan kerangka
berpikir Kristen. Oleh karena itu, proposal tersebut harus
membahas potensi konflik atau tantangan dari perspektif
kerangka berpikir Kristen dengan memeriksa aspek-aspek
yang mungkin bertentangan atau menyimpang dari ajaran
Alkitab. Isu-isu potensial yang mungkin menyebabkan konflik
termasuk kurangnya kejujuran, keadilan, dan pengambilan
keputusan moral (Galvão-Sobrinho, 2021).
Setelah mengidentifikasi konflik, peran pemimpin
Kristen harus diarahkan untuk menyelesaikan konflik-konflik
ini sehingga proposal yang diajukan selaras dengan kerangka
berpikir Kristen. Mereka dapat melakukan hal ini dengan
memodifikasi praktik-praktik yang ada untuk mendukung
39 – Pembentukan Rohani
perspektif Kristen. Para pemimpin juga dapat memilih
pendekatan alternatif yang lebih mencerminkan nilai-nilai
Alkitab.
Aspek terakhir dalam mengevaluasi untuk memastikan
keselarasannya dengan ajaran Alkitab adalah memastikan
bahwa hal tersebut menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai
Kristen. Hal ini akan membantu umat Kristen mengetahui
bahwa kepemimpinan mereka berpegang pada standar moral
yang berdasarkan iman. Dalam evaluasi ini, para pemimpin
Kristen
mempertimbangkan
apakah
hal
tersebut
mempromosikan keadilan, kejujuran, dan penghormatan
terhadap martabat manusia, karena manusia diciptakan
menurut gambar Allah. Biasanya, proposal yang menjunjung
tinggi
etika
dan
nilai-nilai
Kristen
mempromosikan
inklusivitas, keragaman, dan kesejahteraan semua individu
yang terlibat, termasuk siswa, guru, dan staf dari semua latar
belakang (Robbins, 2020). Selain itu, hal tersebut harus
selaras dengan ajaran Alkitab tentang kasih kepada sesama
dan pengejaran keadilan dan kebenaran seperti yang diajarkan
dan ditunjukkan oleh Yesus Kristus dalam karya-Nya.
40 – Pembentukan Rohani
II
PENGEMBAGNAN MORAL DI
PERGURUAN TINGGI KRISTEN
Pengembangan moral di perguruan tinggi Kristen
merupakan aspek kritis dalam pendidikan yang bertujuan
mencetak individu yang tidak hanya kompeten secara
akademis tetapi juga memiliki landasan moral yang kuat
sesuai dengan prinsip-prinsip agama Kristen. Artikel ini akan
membahas
beberapa
aspek
yang
penting
dalam
pengembangan moral di perguruan tinggi Kristen.
Perguruan tinggi Kristen memiliki tanggung jawab
untuk
mengintegrasikan
nilai-nilai
Kristen
ke
dalam
kurikulum mereka. Mata kuliah yang mencakup etika Kristen,
teologi moral, dan pemahaman Alkitab membentuk dasar bagi
mahasiswa untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip
moral dalam kehidupan sehari-hari dan karier mereka.
Pengembangan moral di perguruan tinggi Kristen
bukanlah sekadar pemberian aturan atau norma. Sebaliknya,
itu adalah pendekatan holistik yang mencakup aspek-aspek
41 – Pembentukan Rohani
seperti karakter, sikap, dan perilaku yang tercermin dalam
kehidupan sehari-hari mahasiswa.
Perguruan tinggi Kristen menciptakan lingkungan
komunitas yang mendukung pengembangan moral. Program
disiplin
rohani,
seperti
ibadah
bersama,
kelas-kelas
keagamaan, dan kelompok kecil, memainkan peran penting
dalam membentuk karakter dan moralitas mahasiswa.
Pendekatan mentorship atau pembimbingan personal
menjadi sarana efektif untuk membantu mahasiswa dalam
pengembangan moral. Dengan memiliki mentee-mentor yang
dapat memberikan nasihat dan membagikan pengalaman,
mahasiswa dapat lebih baik memahami dan mengatasi dilema
moral dalam kehidupan mereka.
Perguruan
tinggi
Kristen
mendorong
partisipasi
mahasiswa dalam pelayanan masyarakat dan misi. Melalui
pengalaman praktis ini, mahasiswa dapat mengaplikasikan
nilai-nilai moral mereka dalam situasi kehidupan nyata,
membantu mereka mengembangkan empati dan tanggung
jawab sosial.
Di antara misi terpenting pendidikan tinggi Kristen
adalah memfasilitasi pengembangan moral dan spiritual
peserta didik. Sementara prioritas kembar ini semakin banyak
dalam agenda di kebanyakan universitas non-religius,
menanamkan nilai, mendorong perilaku etis, dan mendukung
42 – Pembentukan Rohani
praktik keagamaan selalu menjadi inti misi perguruan tinggi
Kristen. Akibatnya, universitas-universitas Kristen harus
memiliki kebijakan, praktik, dan program yang lebih koheren
yang memfasilitasi pertumbuhan moral dan spiritual, jaringan
masyarakat yang berkembang dengan baik untuk memelihara
dan mempertahankan vitalitas religius para mahasiswa, dan
bertahun-tahun berlatih mengasah bagian misi mereka ini.
Tetapi apakah Perguruan Tinggi Kristen benar-benar
menghasilkan hasil moral dan spiritual yang lebih baik untuk
mahasiswa mereka? Sekolah agama dan sekuler sama-sama
peduli dengan perkembangan moral mahasiswa. Sebagai
pemangku kepentingan dari berbagai perspektif, mereka
memiliki ketertarikan untuk mendorong pemikiran moral dan
perilaku prososial.
Sejumlah inisiatif dan penilaian, kemudian, telah
dikembangkan oleh perguruan tinggi untuk mempromosikan
jenis kemajuan yang telah disebut berbagai karakter, nilai,
moral dan / atau pengembangan etis. Sebagian besar penilaian
dalam hal ini berpusat pada teori pembangunan moral
Lawrence Kohlberg. Kohlberg mengajukan teori multi tahap
dimana orang berpindah dari pemikiran konvensional berbasis
aturan menjadi pemikiran berprinsip, situasional, rasional, dan
perhatian terhadap berbagai perspektif.
Sejumlah instrumen psikometri telah dikembangkan
43 – Pembentukan Rohani
untuk mengukur perkembangan dengan menggunakan teori
Kohlberg, namun yang paling sering digunakan adalah Uji
DIT atau Mendefinisikan Masalah (Rest 1986). DIT meminta
responden untuk menilai seberapa pasti mereka tentang
berbagai respons terhadap lima dilema moral (Rest 1986).
Mahasiswa-mahasiswa Perguruan Tinggi Kristen, di sisi lain,
mendapatkan nilai yang lebih buruk di DIT. Mereka tidak
hanya bernilai rendah, tetapi mereka juga gagal bertumbuh
selama tahun-tahun mereka di perguruan tinggi. Ini mungkin
mengindikasikan
iklim
yang
tidak
mendukung
untuk
pertumbuhan dalam pembangunan moral (setidaknya jenis
yang ditangkap oleh DIT).
Pola yang ditunjukkan oleh mahasiswa di Perguruan
Tinggi Kristen juga penting untuk alasan lain. Kelemahan
mereka menunjukkan bahwa pertumbuhan yang dipamerkan
oleh mahasiswa lain bukan sekadar artefak transisi penuaan
atau transisi hidup, atau menghadiri kuliah. Studi selanjutnya
harus menentukan betapa berbedanya pengalaman kuliah
teologi dari jenis pengalaman kuliah lainnya. Namun, kita
dapat menduga dengan pasti, bahwa ada manfaat positif dari
pendidikan seni liberal Kristen yang lebih luas yang tidak
diaktualisasikan dalam atmosfer Perguruan Tinggi Kristen.
Waktu kapel seharusnya tidak terbatas pada ibadah atau
berkhotbah. Hal itu bisa menjadi pertemuan yang sangat
44 – Pembentukan Rohani
berguna untuk menjembatani antara dosen dan mahasiswa,
atau untuk menghubungkan seminari ke dunia luar dan gereja
pada umumnya. Saling berbagi pengalaman, perasaan, sudut
pandang dan bidang yang menjadi perhatian selama masa
kapel membuktikan berkat yang besar baik untuk dosen dan
mahasiswa di sekolah. Pertemuan harian secara rutin, jika
serius diatur sebelumnya, dapat menjadi saat menyegarkan
dan mendidik. Kegiatan komunal di luar kelas harus menjadi
bagian program yang disengaja. Ini termasuk acara, retret,
hari doa, minggu spiritual exercises, dan makan bersama.
Acara tersebut diperlukan untuk menciptakan solidaritas di
kalangan dosen dan mahasiswa.
Ketika berbicara kepemimpinan, apakah Perguruan
Tinggi Kristen melihat spiritual formation sebagai bagian
kunci darinya? Philip Ryken, Presiden dari Wheaton Collage
berkata bahwa “bagi saya, paradigma kepemimpinan rohani
berbentuk tiga tugas Kristus, dimana memiliki dimensi imam
dari doa dan memberi kepada orang-orang yang menjadi
beban mereka. Memiliki dimensi nubuatan yang tidak hanya
berbicara masa depan (walau itu menjadi bagian), tetapi juga
membedakan waktu sekarang dan berbicara kebenaran Tuhan
ke dalam waktu. Adalah memiliki dimensi raja karena ada
otoritas
yang
dipraktikkan
dengan
45 – Pembentukan Rohani
benar.
Panggilan
kepemimpinan adalah multidimensi. Yang terpola dalam
kehidupan Kristus dan kepemimpinannya.”
Spiritual formation dilihat sebagai hal penting dalam
kepemimpinan. Doa, nubuatan dan pernyataan iman yang
adalah ketiga komponen kunci menjadi seperti Kristus yang
dibutuhkan untuk dimodelkan oleh pemimpin. Rob Rhea
mengatakan bahwa mereka melakukan tugas yang baik dalam
memenuhi mandat ini, “kebanyakan walau tidak semua
Universitas Kristen mengklaim bahwa mereka memberikan
perhatian pada wilayah pertumbuhan rohani. Namun, apakah
mereka mengaitkannya bersama-sama dengan leadership
formation? Hal ini secara otomatis berimplikasi bahwa hal itu
terikat pada spiritual formation mereka. “(There is a) unifying
there for spiritual formation being conformity of the Chrisfollower’s life to the life of Christ. Oleh sebab itu, Kristus
harus menjadi tema sentral dalam spiritual formation untuk
menciptakan pemimpin Kristen.
Beberapa sekolah diwawancara jikalau mereka harus
memilih antara spiritual formation dan pencapaian akademik.
Dalam suatu wawancara dengan dua presiden Perguruan
Tinggi Kristen, Timoty C Morgan, dengan pertanyaan yang
sama kepada Gordon Collage D. Michael Lindsay menjawab
bahwa keduanya dapat diintegrasikan.
46 – Pembentukan Rohani
"Saya melihat pembentukan moral mahasiswa saya
sebagai hal mendasar dari apa yang saya coba lakukan di
kelas akademik. Manfaatnya [di perguruan tinggi Kristen]
adalah Anda memiliki dukungan institusional untuk dapat
melakukannya. Itu sebabnya mahasiswa di perguruan tinggi
dan universitas Kristen lebih setia kepada almamater mereka.
Mereka telah dibentuk lebih dalam daripada yang ada di
sekolah-sekolah sekuler." Anda tidak harus memilih di antara
keduanya. Sebuah perguruan tinggi dapat menyediakan
komponen pembentukan spiritual yang konsisten bersama
dengan akademisi yang berkualitas.
Spiritual formation muncul di luar dari struktur formal
pendidikan tinggi. “Kepemimpinan integritas pribadi,
komitmen kepada Yesus Kristus - bukan hanya untuk
program tentang Yesus Kristus - dan kesetiaan tanpa
kompromi kepada Injil adalah satu-satunya dinamika
yang akan memberi gereja kekuatan untuk menjadi
kekuatan pendorong yang dibutuhkan ketika kita
mendekati tantangan yang luar biasa dari milenium baru.
Howard Hendricks, Dallas Theological Seminary
mengatakan dengan cara ini:
“Pendidikan Kristen bukanlah sebuah pilihan,
itu adalah sebuah perintah; itu bukan sebuah
47 – Pembentukan Rohani
kemewahan, itu adalah sebuah kehidupan. Ini
bukan sesuatu yang baik untuk dimiliki, itu
adalah sesuatu yang perlu dimiliki. Itu bukan
bagian dari pekerjaan gereja, itu adalah
pekerjaan gereja. Itu tidak asing, itu penting.
Itu bukan kewajiban kami, bukan hanya
pilihan."
Spiritual formation harus muncul dalam seluruh aspek
kehidupan.
Beberapa pemimpin Kristen berfokus kepada spiritual
formation sebagai kunci di rumah juga. “Meskipun Tuhan
adalah penulis dan kekuatan utama dalam pembentukan
spiritual seseorang, orang tua harus mengambil peran
aktif melalui cara-cara yang disengaja dan sistematis
dalam kehidupan anak-anak mereka.” Semua hal ini untuk
menambahkan satu hal – spiritual formation berjalan untuk
sepanjang waktu.
Hal itu yang membentuk karakter, tindakan dan sikap
kita. "Ini adalah hasil kerja sama seluruh hidup kita dengan
kuasa dan kehadiran Roh Kristus yang hidup dan bekerja di
dalam seluruh pribadi – tubuh dan jiwa, pikiran dan perasaan,
emosi dan nafsu, harapan dan ketakutan dan impian."
Pekerjaan Roh Kudus ini untuk secara harfiah membentuk roh
kita dan membentuk kita sebagai orang Kristen jelas
48 – Pembentukan Rohani
mempengaruhi siapa kita sebagai pemimpin. Kepemimpinan
itu sendiri merupakan proses perkembangan, dan kapasitas
pemimpin, tidak peduli apa peran fungsionalnya, tergantung
pada tingkat perkembangan spiritual orang tersebut." Formasi
spiritual kita menentukan akan menjadi pemimpin seperti apa
kita kelak.
A. Tahap Perkembangan Moral J. Fowler.
Ada tujuh tahap perkembangan iman menurut J. Fowler
berdasarkan masing-masing usia.
Usia 0-3 tahun ialah tahap kepercayaan elementer awal.
Kepercayaan pada tahap ini belum ter diferensiasikan, Karena
diposisi preverbal si bayi terhadap lingkungannya belum
dirasakan dan disadari sebagai hal yang terpisah dan berbeda.
Usia 4-6 tahun disebut kepercayaan intiutif-proyektif.
Pada tahap ini daya imajinasi dan dunia gambaran sangat
berkembang, walaupun si anak belum memiliki kemampuan
operasi logis yang mantap. Daya imajinasi dan gambarangambaran tersebut dapat dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat,
upacara, simbol-simbol dan kata-kata. Kemampuan untuk
membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain
sangat terbatas.
Usia 7-12 tahun, pada usia ini disebut kepercayaan
mistik harafiah. Imajinasi dan gambaran masih berpengaruh
49 – Pembentukan Rohani
kuat, namun mulai muncul tindakan-tindakan logis yang
melampaui tingkat perasaan dan imajinasi sebelumnya. Mulai
membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain,
serta memperluas perspektifnya dengan mengambil alih
perspektif orang lain.
Usia 13-17 tahun disebut kepercayaan sintesiskonvensional. Pada tahap ini si anak mulai berpikir abstrak.
Remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam
cara memberi arti. Remaja mulai mengambil alih pandangan
pribadi orang lain menurut pola pengambilan perspektif antar
pribadi secara timbal balik. Remaja berjuang menciptakan
suatu sintesis dari berbagai keyakinan dan nilai religius yang
dapat mendukung proses pembentukan identitas diri.
Usia 18-29 tahun, tahap ini disebut tahap refleksi dan
individu. Pada tahap ini orang sudah mempunyai sistem dan
konsep berpikir yang jelas dan mampu mengontrolnya.
Usia 30-45 tahun, disebut kepercayaan konsolidasi dan
paradoks. Pada tahap ini semua yang diupayakan di bawah
kuasa
kesadaran dan pengontrolan rasio pada tahap
sebelumnya ditinjau kembali, hal ini terjadi karena munculnya
kesadaran akan batas akal. Melihat hal-hal yang paradoks dan
muncul macam-macam pandangan dalam hidupnya.
50 – Pembentukan Rohani
Usia 45 tahun ke atas, kepercayaan eksistensial yang
mengacu pada universalitas. Pada tahap ini orang hidup
berdasarkan prinsip cinta dan kasih.
Inti teori J. Fowler lengkap dalam tabel di bawah ini.
No
Usia
Tahap Perilaku/Uraian
1
2
0-3 tahun
4-6 tahun
Belum dapat membedakan
Proyeksi dan intuitif
- Gabungan imajinasi
pengalaman dan keyakinan
- Cerita-cerita dari orang tua,
membentuk gambaran tentang
Tuhan (irasional)
3
7-12 tahun
4
13-17 tahun
Mistik harafiah
- Cerita-cerita ajaib digunakan
untuk menyampaikan makna
spiritual (mulai rasional)
- Kisah-kisah agama ditafsirkan
secara harafiah
- Simbol-simbol mempunyai arti
yang khusus
Tiruan dan konvensional(sudah
mulai berpikir abstrak)
- Imannya menyesuaikan diri
dengan iman orang lain
- Penyesuaian diri tersebut
membentuk perilaku
51 – Pembentukan Rohani
5
18-29 tahun
6
30-45 tahun
7
+ 45 tahun
- Fokus masa ini adalah hubungan
dengan orang lain
Refleksi dan individu
- Kesadaran diri sudah cukup
tinggi
- Memiliki sistem dan konsep
berpikir yang jelas
- Memeriksa kembali imannya
secara kritis
- Iman ditata ulang lagi, sehingga
hasilnya menjadi iman yang
individu
Konsolidasi dan paradoks
- Sadar akan batas akal
- Ia melihat bahwa di dunia ini
ada hal yang paradoks
- Muncul macam-macam
pandangan, sehingga ia berpikir
“benar itu apa?” Benar adalah
dapat didapatkan dimana-mana.
Orang yang benar/iman yang benar
adalah iman yang memiliki
toleransi atau muncul
pemahaman/membentuk
pemahaman keyakinannya yang
baru
Universal
Hidup berdasarkan prinsip kasih
dan keadilan
52 – Pembentukan Rohani
Teori J. Fowler sangat penting dikuasai dan
dimengerti
oleh
seorang
pemimpin
Kristen
dalam
pelayanannya. Seorang pemimpin Kristen adalah guru dan
pembimbing rohani bagi orang yang dilayani. Dengan
mengetahui dan menguasai teori Fowler, seorang pemimpin
Kristen dapat dengan mudah melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai pelayan bagi pertumbuhan iman.
Pemimpin Kristen juga
kemudian
mendorongnya
dapat mengetahui tingkat iman,
agar
iman
tersebut
dapat
berkembang dengan baik.
Usia 0-3 tahun, si anak diperkenalkan pada suasana
kasih, dibawa dalam ibadah atau persekutuan-persekutuan,
dinina-bobokan
dengan
lagu-lagu
rohani.
Hal
ini
dimaksudkan agar si anak terbiasa berada dalam lingkungan
gereja dan dalam suasana rohani sejak dini.
Usia 4-6 tahun, pada usia ini si anak diberikan ceritacerita teladan dalam Alkitab, cerita-cerita yang menggugah
hati dan merangsang pertumbuhan iman. Namun harus diingat
bahwa pada tahap ini si anak belum bisa membedakan
perspektif dirinya sendiri dan perspektif orang lain, jadi,
cerita-cerita yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan si
anak. Imajinasi si anak benar-benar mengarah pada kebenaran
tentang Tuhan.
53 – Pembentukan Rohani
Usia 7-12 tahun, cerita-cerita Alkitab yang ajaib dapat
mendorong perkembangan iman si anak, dengan cerita-cerita
tersebut si anak percaya adanya kuasa Tuhan. Walaupun
cerita-cerita tersebut masih ditafsirkan secara harafiah, namun
metode cerita ini sangat membantu si anak untuk mengenal
kuasa
Tuhan.
Memperkenalkan
simbol-simbol
dalam
kekristenan, dan memberitahu arti yang sesungguhnya, agar si
anak tidak salah mengerti tentang simbol-simbol tersebut.
Usia 13-17 tahun, si anak mulai membandingbandingkan imannya dengan iman orang lain, dan berusaha
menyesuaikan diri dengan iman orang lain. Penyesuaian
tersebut membentuk perilaku si anak. Dalam hal ini, seorang
pendeta benar-benar harus membimbing si anak, agar
penyesuaian imannya tidak keliru. Orang lain yang menjadi
objek perbandingan tersebut janganlah orang yang imannya
tidak taat, agar perilaku yang terbentuk pada si anak adalah
perilaku yang baik, yang sesuai dengan firman Tuhan. Perlu
juga diperhatikan hubungan si anak dengan orang lain, agar
hubungan tersebut tidak membawa
dampak negatif bagi
perkembangan iman si anak.
Usia 18-29, pada masa ini disebut masa remaja atau
masa muda awal. Remaja sudah mempunyai kesadaran yang
tinggi dan memiliki konsep berpikir yang jelas. Remaja
berusaha mengoreksi imannya dan menata ulang kembali.
54 – Pembentukan Rohani
Tugas seorang pendeta pada masa ini ialah mengawasi proses
ini, memberi pengarahan, membantu mengontrol imannya,
sehingga si anak muda menjadi individu yang beriman teguh.
Usia 30-45 tahun, masa ini ialah masa dewasa. Pada
tahap ini orang menyadari akan batas akal. Muncul bermacam
pandangan-pandangan terhadap iman. Pemimpin Kristen
bertugas meluruskan pandangan-pandangan tersebut, agar
pandangan tersebut tidak menyimpang dari Alkitab. Inti iman
orang Kristen ditekankan dalam hidup orang tersebut, agar
pandangan-pandangan baru tidak menggoyahkan iman orang
tersebut.
Usia di atas 45 tahun, orang hidup berdasarkan prinsip
kasih dan keadilan. Ini merupakan buah iman orang yang
bersangkutan.
Pola
hidup
ini
perlu
ditekankan
dan
dipertahankan dalam prinsip hidup. Pemimpin Kristen
bertugas menuntun orang tersebut agar mau membagi
imannya
kepada
orang
lain,
dengan
mengajar
dan
membimbing orang lain pula, sehingga buah iman orang
tersebut benar-benar nampak dalam hidupnya.
Semua hal yang diuraikan diatas dapat terlaksana
dengan baik, jika seorang Pemimpin Kristen mengetahui dan
menguasai teori J. Fowler, serta menerapkannya terlebih
dahulu dalam kehidupannya, kemudian menerapkannya dalam
pelayanannya.
55 – Pembentukan Rohani
James
Fowler,
seorang
teolog
dan
psikolog,
mengembangkan teori perkembangan keimanan yang dikenal
sebagai "Stages of Faith" atau Tahapan Keimanan. Fowler
mengidentifikasi enam tahapan perkembangan keimanan yang
mencerminkan perjalanan individu dari keyakinan awal
hingga kedewasaan spiritual. Perguruan tinggi Kristen dapat
memanfaatkan teori ini sebagai panduan untuk mendukung
perkembangan moral dan keimanan mahasiswa.
Perguruan tinggi Kristen dapat mengintegrasikan
konsep-konsep dari teori Fowler ke dalam kurikulum teologi
mereka. Mata kuliah tentang perkembangan keimanan dapat
membantu mahasiswa memahami dan menghargai tahapantahapan tersebut dalam konteks keyakinan Kristen. Diskusi
kelompok atau diskusi kelas dapat menjadi platform untuk
merangsang refleksi tentang keimanan dan moralitas.
Mahasiswa
dapat
mempertimbangkan
berbagi
bagaimana
pengalaman
keyakinan
dan
mereka
berkembang seiring waktu, sambil merujuk pada tahapan
perkembangan Fowler.
Program pelayanan dan misi dapat dirancang untuk
memfasilitasi pertumbuhan moral dan keimanan. Mahasiswa
dapat terlibat
dalam
proyek-proyek
yang mendukung
pelayanan sosial dan refleksi keagamaan, membantu mereka
menginternalisasi nilai-nilai Kristen dalam tindakan mereka.
56 – Pembentukan Rohani
Perguruan tinggi Kristen dapat menyelenggarakan kegiatan
rohani dan ibadah yang sesuai dengan tahapan perkembangan
keimanan. Ini menciptakan pengalaman beribadah yang
mendalam dan relevan dengan tahap keimanan masingmasing mahasiswa.
Program mentoring dan pembimbingan rohani dapat
memberikan dukungan yang diperlukan bagi mahasiswa
untuk merenungkan dan menjelajahi perjalanan keimanan
mereka. Melalui hubungan ini, mahasiswa dapat mendapatkan
pandangan dan arahan yang dapat membantu mereka
melewati tahapan perkembangan. Pendidikan karakter dan
etika Kristen dapat diperkuat dengan mempertimbangkan
tahapan perkembangan keimanan Fowler. Ini membantu
membangun pemahaman tentang bagaimana nilai-nilai moral
dan etika Kristen dipahami dan diinternalisasi oleh mahasiswa
di berbagai tahap perkembangan.
Perguruan tinggi Kristen dapat merancang program
kepemimpinan
yang
menggabungkan
konsep-konsep
perkembangan keimanan. Pemimpin di perguruan tinggi dapat
diberdayakan untuk memahami dan merespons perbedaan
dalam tahapan keimanan mahasiswa. Mahasiswa dapat
diberikan peluang untuk menjalankan proyek penelitian atau
pemahaman diri yang terkait dengan perkembangan keimanan
57 – Pembentukan Rohani
mereka. Ini dapat membantu mereka menjelajahi pertanyaanpertanyaan keagamaan dan moral yang relevan dengan
tahapan perkembangan mereka.
Melalui penerapan konsep-konsep perkembangan moral
James Fowler di perguruan tinggi Kristen, lembaga tersebut
dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan
keimanan dan moralitas mahasiswa sesuai dengan landasan
nilai-nilai
Kristen.
Pendekatan
holistik ini
membantu
membentuk lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan
akademis tetapi juga memiliki dasar moral yang kuat dan
berkembang dalam iman mereka.
B. Tahap Perkembangan Moral L. Kohlberg
Teori L. Kohlberg tentang
perkembangan moral
merupakan kemampuan seseorang untuk memakai cara
tertentu yang dapat menerangkan pilihannya, mengapa
melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu, tingkah laku
jenis penalaran yang dipakai seorang anak menunjukkan
tingkat
perkembangan
moralnya.
Alasan-alasannya
menggambarkan meningkatnya derajat motif yang tidak
ditujukan kepada dirinya sendiri.
Tahap pra konvensional. Usia 0-9 tahun, pada tingkat
ini suatu tindakan dilihat sebagai baik atau buruk tergantung
pada akibat fisik dari tindakan tersebut. Tingkah laku yang
58 – Pembentukan Rohani
baik ialah tingkah laku yang menyenangkan orang lain.
Tindakan baik dan buruk sangat relatif, ditentukan oleh
kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
Tahap konvensional. Usia 9-15 tahun, di sini tingkah
laku
yang baik adalah yang menyenangkan orang lain,
membantu orang lain atau apa yang mereka sepakati bersama,
serta yang sesuai dengan tugas dan kewajiban seseorang yang
menaruh hormat pada otoritas dan kewajiban sosial demi
otoritas dan ketertiban itu sendiri.
Tahap post konvensional. Usia 16 tahun ke atas. Di sini
sudut pandang hukum amat ditekankan, tetapi disertai
kemungkinan perubahan hukum atas dasar pertimbangan
rasional tentang kegunaan bagi masyarakat. Serta yang benar
dan yang baik ditentukan oleh keputusan suara hati sesuai
dengan kaidah-kaidah moral yang dipilih secara pribadi sesuai
dengan pemahaman logis, universal dan konsisten.
Inti teori perkembangan moral L. Kohlberg sebagai
berikut.
No
1
Usia
0-9 tahun
Tingkat Perilaku
Pra-konvensional
a. Ketaatan dan hukuman
b. Relatif dan hedonis
- Kalau perilaku salah, maka akan
59 – Pembentukan Rohani
dihukum
- Kalau baik/benar, maka tidak
akan dihukum
- Menyenangkan orang lain
- Memenuhi kebutuhan orang lain
Konvensional
c. Harmoni dan interpersonal
d. Norma dan aturan masyarakat
- Dapat penghargaan dan diterima
oleh orang lain
- Patuh dan taat terhadap aturan dan
norma-norma masyarakat
2
9-15 tahun
3
16 tahun ke Post konvensional
atas
e. Kontrak sosial dan legalistik
- Mengikuti aturan-aturan yang ada
dengan tujuan menjaga hak orang
lain dan kesejahteraan orang lain
f. Etis universal
- Moral universal terwujud dalam
tingkah laku
- Menghargai orang lain
- Relasi saling percaya
Teori L. Kohlberg sangat bermanfaat bagi pelayanan
seorang pemimpin. Dengan memahami dan menguasai teori
ini, seorang pemimpin mempunyai pedoman dalam mendidik
60 – Pembentukan Rohani
jemaat agar bermoral baik. Bimbingan dan didikan berbedabeda sesuai dengan tingkat usia masing-masing.
Tahap pra konvensional, usia 0-9 tahun. Si anak hanya
mengetahui hal yang baik dan yang buruk melalui hasil dari
tindakan tersebut, jika perbuatan baik, maka akan menuai
pujian dan jika
perbuatan buruk, maka akan menuai
hukuman. Oleh sebab itu si anak akan selalu berusaha
menyenangkan orang lain. Dalam hal ini, dukungan pendeta
kepada si anak sangat penting dalam masa ini, agar si anak
selalu berbuat baik. Memujinya jika ia berbuat baik, dan
menasihatinya, jika ia berbuat buruk. Nasehat yang dimaksud
ialah nasehat yang membangun ke arah perkembangan moral
yang baik, tanpa harus menghukumnya secara fisik. Contoh
yang baik perlu diperagakan seorang pemimpin Kristen, agar
pola hidup bermoral baik dapat dengan mudah diserap oleh si
anak.
Tahap konvensional, usia 9-15 tahun. Pada tahap ini si
anak mendapat penghargaan dan diterima oleh orang lain,
patuh dan taat aturan dan norma-norma dalam masyarakat.
Pendeta hendaknya membimbing dan menasihati si anak agar
tidak terlena terhadap penghargaan dan penerimaan orang
lain. Dan agar tetap taat dan patuh terhadap peraturan yang
ada dalam masyarakat, sebagai kewajiban sebagai anggota
masyarakat.
61 – Pembentukan Rohani
Tahap post konvensional, usia 16 tahun ke atas.
Perkembangan moral pada tahap ini sangat bagus, dimana
yang bersangkutan mengikuti peraturan yang ada demi
menjaga hak dan kesejahteraan orang lain. Moral yang
universal terwujud dalam tingkah laku, menghargai orang lain
dan relasi saling percaya dengan orang lain. Pembinaan dari
seorang pendeta akan menguatkan
moral yang sudah
terbentuk ini, Oleh sebab itu pemimpin Kristen harus tetap
memantau dan mengoreksi moral orang pada tahap ini. Agar
moral tersebut mengakar dalam pola hidup orang yang
bersangkutan.
Perkembangan moral, seperti yang dijelaskan oleh
Lawrence Kohlberg, adalah suatu proses yang berlangsung
sepanjang kehidupan individu. Di perguruan tinggi Kristen,
fokus pada perkembangan moral menjadi penting karena
menyangkut pengintegrasian nilai-nilai iman ke dalam
kehidupan sehari-hari dan pengambilan keputusan mahasiswa.
Artikel ini akan membahas perkembangan moral menurut
teori Kohlberg dan bagaimana pendekatan ini dapat
diterapkan di perguruan tinggi Kristen.
Kohlberg
mengemukakan
enam
tingkatan
perkembangan moral yang dibagi menjadi tiga tingkatan
utama: prekonvensional, konvensional, dan postkonvensional.
Setiap tingkatan mencerminkan tahapan dalam pemahaman
62 – Pembentukan Rohani
etika
dan
moralitas.
Perguruan
tinggi
Kristen
dapat
menggunakan kerangka Kohlberg sebagai dasar untuk
memahami dan mendorong perkembangan moral mahasiswa.
Dalam
konteks
Kristen, fokus
dapat diberikan pada
pengembangan nilai-nilai Alkitab dan etika Kristen yang
sesuai dengan setiap tahapan perkembangan moral.
Perguruan tinggi Kristen dapat mengintegrasikan
kurikulum berbasis etika Kristen yang mendalam. Ini
mencakup pemahaman dan aplikasi nilai-nilai Kristen dalam
kehidupan sehari-hari, dilema etika, dan tanggung jawab
sosial. Membawa diskusi etis ke dalam kelas dapat membantu
mahasiswa
mempertimbangkan
perspektif
moral
yang
berbeda. Diskusi seperti ini dapat mencakup topik-topik yang
relevan
dengan
kehidupan
mahasiswa
sehari-hari,
memberikan kesempatan untuk refleksi dan pertumbuhan
moral.
Perguruan tinggi Kristen dapat mendorong mahasiswa
untuk terlibat dalam pelayanan masyarakat yang berbasis
keimanan. Ini tidak hanya memberikan pengalaman praktis,
tetapi juga mengembangkan empati, tanggung jawab sosial,
dan penerapan nilai-nilai moral dalam tindakan nyata.
Perguruan tinggi Kristen dapat menyediakan program
mentoring dan pembimbingan rohani yang mendukung
perkembangan moral mahasiswa. Melalui hubungan ini,
63 – Pembentukan Rohani
mahasiswa dapat mendapatkan pandangan, nasehat, dan
bimbingan dalam konteks nilai-nilai Kristen.
Komunitas
rohani
di
perguruan
tinggi
Kristen,
termasuk kegiatan keagamaan dan ibadah bersama, dapat
menjadi lingkungan yang mendukung perkembangan moral.
Partisipasi dalam kegiatan ini memperkuat pengalaman
keagamaan dan memberikan landasan moral yang kokoh.
Program kepemimpinan di perguruan tinggi Kristen dapat
ditekankan
pada
pengembangan
kepemimpinan
moral.
Mahasiswa dapat dilibatkan dalam proyek-proyek yang
menekankan nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab
sosial.
Perkembangan moral menurut teori Kohlberg dapat
diintegrasikan secara efektif di perguruan tinggi Kristen.
Dengan memahami tahapan perkembangan moral, perguruan
tinggi dapat merancang program-program yang mendukung
pertumbuhan moral mahasiswa sesuai dengan nilai-nilai
Kristen. Melalui pendekatan holistik ini, perguruan tinggi
Kristen dapat membantu mahasiswa menjadi individu yang
tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki
dasar moral yang kuat sesuai dengan ajaran agama Kristen.
64 – Pembentukan Rohani
III
BIBLICAL SPIRITUAL FORMATION
Pembentukan rohani yang alkitabiah berdiri sebagai
proses transformatif yang berakar kuat dalam ajaran Alkitab.
Ini
melampaui
perolehan
pengetahuan,
menekankan
pengembangan holistik karakter, nilai, dan keterampilan
kepemimpinan individu. Dalam konteks kepemimpinan,
formasi rohani alkitabiah memainkan peran penting dalam
membentuk pemimpin yang tidak hanya kompeten tetapi juga
didasarkan pada pandangan dunia berbasis iman.
Inti dari pembentukan rohani alkitabiah adalah
keterlibatan yang mendalam dengan Alkitab. Para pemimpin
yang menjalani proses ini membenamkan diri dalam ajaran
Alkitab,
mengambil
hikmat
dan
bimbingan
untuk
pengambilan keputusan yang etis dan kepemimpinan yang
berprinsip.
Formasi
rohani
alkitabiah
menempatkan
penekanan yang signifikan pada pengembangan karakter,
selaras erat dengan ajaran Yesus Kristus. Para pemimpin
didorong untuk menumbuhkan kebajikan seperti kasih,
65 – Pembentukan Rohani
kerendahan
hati,
integritas,
dan
hati
hamba,
yang
mencerminkan kekuatan transformatif dari prinsip-prinsip
alkitabiah tentang karakter kepemimpinan.
Doa
berfungsi
sebagai
landasan
dalam
pembentukan rohani alkitabiah, membina hubungan
yang mendalam dengan yang ilahi. Para pemimpin
diajarkan pentingnya mencari bimbingan melalui doa,
mempromosikan rasa ketergantungan pada Tuhan dan
mengakui
pentingnya
persekutuan spiritual
dalam
pengembangan kepemimpinan.
Alkitab menyediakan sumber yang kaya akan prinsipprinsip etika yang menjadi dasar bagi perilaku kepemimpinan.
Para pemimpin yang tenggelam dalam formasi rohani
alkitabiah dilengkapi dengan kerangka etika yang kuat,
membimbing mereka untuk membuat keputusan yang selaras
dengan nilai-nilai moral dan ajaran alkitabiah.
Konsep kepemimpinan hamba, yang dicontohkan oleh
Yesus, adalah tema sentral dalam formasi spiritual alkitabiah.
Para pemimpin dipanggil untuk meniru model kepemimpinan
Yesus
yang
ditandai
dengan
kerendahan
hati,
tidak
mementingkan diri sendiri, dan komitmen untuk melayani
orang lain, menumbuhkan budaya kerja tim dan kolaborasi.
Hikmat alkitabiah, seperti yang ditemukan dalam Kitab
66 – Pembentukan Rohani
Amsal dan perumpamaan Yesus, berfungsi sebagai panduan
praktis bagi para pemimpin. Para pemimpin yang terlibat
dalam pembentukan rohani alkitabiah mendapatkan wawasan
tentang pengambilan keputusan yang efektif, resolusi konflik,
dan penanaman hikmat dalam peran kepemimpinan.
Nasihat
rasul
Paulus
untuk
diubahkan
oleh
pembaharuan pikiran (Roma 12:2) bergema kuat dalam
formasi rohani yang alkitabiah. Para pemimpin didorong
untuk mengembangkan pola pikir yang selaras dengan
prinsip-prinsip
alkitabiah,
mendorong
kepemimpinan
transformasional yang berdampak positif baik bagi individu
maupun organisasi. Spiritual formation yang alkitabiah
menekankan pentingnya komunitas dan persekutuan. Para
pemimpin didorong untuk terlibat dalam hubungan yang
mendukung dan bertanggung jawab dalam komunitas iman,
menyediakan konteks untuk saling mendorong, tumbuh, dan
nilai-nilai
bersama.
Spiritual
formation
alkitabiah
menawarkan pendekatan yang mendalam dan holistik
untuk
pengembangan
kepemimpinan.
Dengan
membumikan para pemimpin dalam hikmat Alkitab yang
abadi, proses ini membentuk individu-individu yang
memimpin tidak hanya dengan kompetensi tetapi juga
dengan tujuan yang mendalam, integritas etis, dan
67 – Pembentukan Rohani
komitmen untuk melayani orang lain. Di dunia di mana
kepemimpinan sering diuji, formasi rohani alkitabiah
berdiri sebagai panduan abadi bagi para pemimpin yang
berusaha membuat dampak yang langgeng dan positif
pada lingkup pengaruh mereka.
A. Definisi Spiritual formation
Kata “spirituality” datang dari akar kata bahasa Latin
spiritus, yang berarti “napas” atau “kehidupan” Makna ini
dinyatakan
dalam
banyak
perjumpaan
sejarah
antara
spirituality dan meditative breathing. Seperti dengan religi,
spirituality melibatkan banyak dimensi termasuk sosial,
kultural, kognitif, afektif, behavior, neurobio-logika, dan
existensial. Banyak orang yang menjelaskan pengalaman
spiritual lewat kaca mata worldview yang diinformasikan oleh
tradisi dan komunitas keagamaan mereka. Masing-masing
orang menemukan jalannya berhubungan dengan hubungan
dialektika antara secred dan profane. Spiritual transformation
melibatkan perubahan yang mendalam dalam bagaimana
seseorang berhubungan kepada secred dan profane.
Apa artinya spiritual formation? Dewan Gereja Sedunia
menerbitkan definisi formasi spiritual sebagai "proses
yang disengaja yang dengannya tanda-tanda spiritualitas
68 – Pembentukan Rohani
Kristen yang otentik dibentuk dan diintegrasikan."
Spiritualitas demikian selalu mencakup Tuhan sebagai pusat
dan mendarat di bumi. Melihat definisi di atas maka ada dua
alasan. Pertama, bahwa spiritualitas kekristenan melibatkan
suatu proses; dalam hal ini spiritual formation dari mahasiswa
Perguruan Tinggi Kristen adalah tanggung jawab pengajaran
dosen secara keseluruhan. Kedua, mengindikasikan bahwa
spiritualitas kekristenan yang sejati harus terintegrasi dalam
kehidupan mahasiswa dan dosen dan dapat diobservasi, baik
di ruang kelas, asrama atau gereja.
Istilah “formasi” memiliki berbagai makna dalam
konteks yang berbeda. Tradisi Katolik Roma memiliki
konsepsi pelayanan sakramental sebagai imam. Pembentukan
terjadi melalui penyediaan program dan sumber daya yang
diselenggarakan di sekitar tujuan institusional yang jelas.
Dokumen terbaru adalah seruan apostolik 1992 (PDV) yang
menyoroti hubungan mendasar keimaman kepada Yesus
Kristus dan Gereja. Dokumen tersebut menegaskan bahwa
misi seminari mencakup empat dimensi utama pembentukan:
manusia, intelektual, spiritual dan pastoral. Edisi keempat dari
program pembinaan imam (1993) menyoroti kebutuhan untuk
penekanan baru pada identitas imam dengan desakan bahwa
imam adalah unik dalam Gereja dan karena itu harus memiliki
69 – Pembentukan Rohani
program khusus belajar dan pembentukan sendiri. (Schuth
1999).
National Conference of Catholic Bishops menjelaskan
bahwa spiritual formation adalah life-long task yang mana
para imam membagi dengan pengikut Yesus Kristus yang
lain. Adalah tujuan dari para imam untuk menjadi murid
Yesus Kristus yang lebih baik dan khususnya menjadi tanda
sakramen yang lebih transparan akan Dia sebagai manusia
seutuhnya.
Lebih lanjut dikatakan Formasi spiritual para
imam yang sedang berlangsung perlu bergerak dalam lima
dimensi: formasi dalam pemuridan, formasi dalam amal
pastoral, formasi dalam selibat, formasi dalam ketaatan dan
formasi dalam kesederhanaan lifesyle.
Dalam lembaga teologi Protestan pembentukan lebih
mungkin diupayakan melalui kontribusi individu dosen dan
kegiatan ekstra kurikuler (Liefeld & Cannell 1992: 244; Reisz
2003: 29-40). Bahasa pembentukan digunakan dalam konteks
ini berarti spiritual formation dan manusia, meskipun
Protestan jarang berbicara secara eksplisit pembentukan
manusia. Mereka biasanya berbicara tentang pembentukan
sebagai pusat dalam spiritualitas, tetapi dipahami ekspansif
daripada sempit. Jadi seminari Protestan dapat menggunakan
bahasa (spiritual) formation untuk menyertakan secara luas
apa yang Perguruan Tinggi Katolik sebut secara terpisah
70 – Pembentukan Rohani
sebagai pembentukan manusia. Di rata-rata lembaga teologi
Protestan, spiritual formation sekarang menjadi area penting
dari mandat.
Howard mendefinisikan spiritual formation Kristen
sebagai “proses yang disengaja dan semi-disengaja oleh orang
beriman (individu dan masyarakat) menjadi lebih sepenuhnya
sesuai dan bersatu dengan Kristus, khususnya yang berkaitan
dengan kematangan hidup dan panggilan” (Howard 2008,
268).
Sementara transformasi Kristen menggambarkan
seluruh pekerjaan manusia ilahi membawa manusia semakin
dekat
dengan
kehidupan
dan
kehendak
ilahi,
kita
menggunakan istilah “pembentukan” untuk berbicara tentang
langkah-langkah yang diambil untuk memfasilitasi atau
menanggapi transformasi yang dimulai secara ilahi (Howard
2008).
Langkah-langkah ini diambil, baik “proses” yang
disengaja dan semi-disengaja.
Howard melanjutkan bahwa mereka memutuskan untuk
membuat praktik menarik diri sekali dalam sebulan untuk
setengah hari dalam kesendirian. Hal ini disengaja. Tapi
formasi ini tidak hanya “diajarkan” tetapi juga “tertangkap.”
Kami datang ke gereja dan belajar sesuatu dari Injil hanya
dengan cara gerakan tubuh berhubungan dengan beberapa
elemen
dari
pelayanan (berlutut, mengangkat tangan,
membuat tanda lintas, menari, dan sebagainya). Ini adalah
71 – Pembentukan Rohani
semi intensional. Spiritual formation Kristen bertujuan
sengaja dan semi-sengaja bagi individu dan masyarakat untuk
menolong mengambil langkah-langkah menuju “kesesuaian
dan kesatuan dengan Kristus.” Ini bukan hanya tentang
keterlibatan dalam program, hal ini terutama tentang
“kedewasaan dan panggilan kehidupan.” Pembinaan rohani
Kristen tentang membantu masyarakat dan individu untuk
berpikir sama seperti Yesus, merasa sama seperti Yesus,
untuk bertindak sama seperti Yesus.
Transformasi spiritual formation adalah proses dimana
Kristus menjadi di dalam diri kita. Ini adalah proses organik
yang jauh melampaui perilaku semata, kepada perubahan
mendasar
pada
inti
keberadaan
kita.
Dalam
proses
transformasi spiritual formation, Roh Allah menggerakkan
kita dari perilaku dimotivasi oleh rasa takut dan melindungi
diri sendiri untuk percaya dan berserah kepada Allah, dari
keegoisan
dan
penyerapan
diri
sendiri
untuk
bebas
menawarkan karunia dari diri sendiri yang otentik, dari upaya
putus asa ego untuk mengontrol hasil dari kehidupan kita
menjadi kemampuan untuk melakukan kehendak Allah
bahkan ketika itu adalah kebodohan bagi dunia di sekitar kita.
Spiritual formation melibatkan pengalaman belajar
transformatif. Ketika pemahaman intelektual Allah dan
kerajaan-Nya ditransfer dari kepala ke hati, perubahan terjadi
72 – Pembentukan Rohani
dalam hubungan seseorang dengan Allah dan dengan orang
lain. Glen Scorgie di A Little Guide to Christian Spirituality
menggambarkannya sebagai “sebuah perjalanan batin. . . dari
pengetahuan untuk pengalaman; dari kesadaran hanya
kebenaran kognitif kepada aktualisasi mendalam dalam
hubungan, jiwa, dan cara kita berinvestasi hidup” (Scorgie
2007). Meskipun sejumlah bantuan disiplin yang disengaja
dalam membangun spiritualitas pada dasar yang kuat,
perubahan tersebut didefinisikan oleh
Dallas Willard menyebutnya “proses dituntun Roh
Kudus membentuk dunia batin diri manusia menjadi
sedemikian rupa sehingga memiliki batin seperti Kristus
sendiri”
(Willard,
2002).
Roh
membimbing
dan
memberdayakan kita untuk mencari Tuhan, untuk menyambut
Tuhan ke dalam hati kita, dan untuk menemukan Tuhan
dalam diri orang lain. Dengan mendengarkan suara Roh
Kudus dan menjadi terbuka untuk kuasa transformasi Roh,
kita secara permanen diubah oleh kehadiran berdiam ini.
Tidak ada rumus universal untuk mendorong perkembangan
spiritual dalam peserta didik di Perguruan Tinggi Kristen.
Masing-masing kita di berbagai titik dalam perjalanan iman
kita, dan kita datang untuk mengenal dan mengasihi Allah
melalui berbagai tempat baik intelektual dan praktis.
73 – Pembentukan Rohani
Begitu banyak definisi dari spiritual formation. Salah
satu yang membantu untuk memahami ini ditemukan dalam
Dewan Gereja Dunia publikasi yang mendefinisikan spiritual
formation sebagai “proses yang disengaja sebagai tanda dari
sebuah spiritualitas Kristen otentik yang terbentuk dan
terintegrasi” (Amirtham & Pryor 1989). Dalam definisi ini
proses tertentu dibahas. Mereka menyinggung proses
pembangunan spiritual yang dibutuhkan untuk spiritualitas
Kristen untuk menjadi otentik. Dengan demikian spiritualitas
Kristen harus diintegrasikan ke dalam kehidupan para peserta
didik dan jadi diamati, apakah itu di kelas, gereja atau
masyarakat.
Dalam pendidikan teologi, spiritual formation dipahami
sebagai pemberian apa yang dibutuhkan untuk membentuk
mahasiswa teologi menjadi orang-orang yang memiliki
perpaduan yang tepat dari kualitas yang akan memungkinkan
mereka untuk bekerja secara efektif dalam komunitas mereka.
Ini mencakup berbagai kompetensi dan sifat-sifat. Ini
mencakup “konversi pikiran dan hati, mendorong berpikir
integratif, pembentukan karakter, mempromosikan pemuridan
otentik, perampasan pribadi iman dan pengetahuan, dan
menumbuhkan
spiritualitas
kehidupan
(Lamoureux 1999).
74 – Pembentukan Rohani
intelektual”
Ruang
lingkup sering diringkas
dalam formula
“bertindak-menjadi-tahu”. Istilah yang digunakan untuk
menggambarkan
dimensi
bervariasi. Mereka
termasuk,
misalnya, “menjadi seperti Kristus, untuk mengetahui Firman
Tuhan, dan untuk melakukan pekerjaan pelayanan” (Chow
1981); “Masukan kognitif, keterampilan psikomotor, dan
tujuan afektif” (Griffiths 1990); “Akademik, teknis, dan
pembentukan karakter dan spiritualitas” (Hwa Yung 1995: 4);
“Memperoleh kognitif ketaatan spiritual-moral dan praktis,”
(Bank 1999); dan “beasiswa, pelatihan dan iman” (Smith
1999).
Ekspresi dari tiga dimensi utama tersebut dapat
diringkas sebagai akuisisi kognitif pengetahuan yang tepat,
kompetensi dalam diperlukan keterampilan pelayanan dan
pengembangan karakter pribadi, yang secara luas membuat
spiritual
formation
di
lembaga
teologi
Protestan.
Pertimbangan utama dalam menentukan tujuan dan isi dari
pembentukan adalah untuk menghormati harapan bahwa
gereja
memiliki
pembentukan,
pemimpinnya.
pendidik
harus
Pada
yakin
akhir
periode
bahwa
mereka
merekomendasikan calon yang layak untuk ditahbiskan atau
pelayanan gereja lainnya.
Menurut Fry (2003), spiritualitas mencakup dua elemen
penting dalam kehidupan seseorang: (a) transendensi diri,
75 – Pembentukan Rohani
diwujudkan dalam rasa panggilan atau desteni, dan (b)
keyakinan bahwa kegiatan seseorang memiliki makna dan
nilai di luar manfaat ekonomi atau kepuasan diri. Keyakinan
panggilan
dan
makna
yang
lebih
tinggi
mendorong
pengembangan nilai-nilai tertentu, termasuk visi (yaitu,
mendefinisikan tujuan, yang mencerminkan cita-cita yang
tinggi, dan mendorong harapan/iman), kasih altruistis (yaitu,
pengampunan,
kebaikan,
integritas,
empati,
kejujuran,
kesabaran, keberanian, kepercayaan, dan kerendahan hati),
dan harapan/iman (yaitu, daya tahan, ketekunan, dan
mengharapkan imbalan/ kemenangan).
Reave (2005) melakukan kajian mendalam lewat
literatur dan mencatat bahwa spiritualitas mengekspresikan
dirinya
dalam
perwujudan
nilai-nilai
spiritual
(yaitu,
integritas, kepercayaan, pengaruh etika, komunikasi yang
jujur, dan kerendahan hati) dan perilaku spiritual (yaitu,
menunjukkan rasa hormat, memperlakukan orang lain dengan
cukup,
mengungkapkan
perhatian
dan
kepedulian,
mendengarkan secara responsif, menghargai kontribusi orang
lain, dan terlibat dalam latihan spiritual). Reave mencatat
bahwa tidak ada penulis melakukan kajian dalam tinjauan
literatur yang diusulkan akan potensi sumber spiritualitas,
selain berkomentar bahwa iman spiritual tidak diperlukan
untuk berlatih spiritualitas.
76 – Pembentukan Rohani
Pembentukan rohani cenderung merujuk pada sisi
manusia dari persamaan, cara-cara yang dengannya kita
berusaha untuk mengerjakan transformasi di tempat Roh
Kudus bekerja.
bukanlah
Peterson, menjelaskan bahwa spiritualitas
rahasia
pengetahuan,
spiritualitas
tidak
ada
hubungannya dengan bakat atau temperamen, spiritualitas
bukan terutama tentang Anda atau saya; ini bukan tentang
kekuatan atau pengayaan pribadi. Ini tentang Tuhan.
Averback menjelaskan bahwa spiritual formation
dibuat oleh Roh Kudus yang mana lewat pelayanannya kita
mencari
stimulasi
dan
dukungan
atas
spiritualitas
berkelanjutan dengan mentransformasi pekerjaan Roh Kudus
di dalam dan lewat kehidupan, hubungan, pelayanan pribadi
orang-orang percaya sehingga diubah menjadi serupa dengan
Kristus menurut kehendak Bapa.
Namun, dari sudut pandang Alkitab, spiritual formation
memusatkan perhatian kita pada dinamika bagaimana Roh
Kudus bekerja di dalam kita, di antara kita, dan melalui kita.
Dipahami dengan cara ini, pembentukan rohani pertama-tama
di atas segalanya dan di seluruh pekerjaan pembentukan Roh
Kudus ilahi, yang dilakukan sesuai dengan kehendak Allah
Bapa, untuk tujuan menyesuaikan kita dengan gambar
Kristus.
77 – Pembentukan Rohani
Willard mengatakan "kita harus memiliki kesiapan
tanpa syarat untuk berubah agar menjadi diubahkan di dalam
Kristus: tidaklah cukup bagi kita untuk percaya; kita harus
tahu bagaimana menjalankan keyakinan kita." Willard
melanjutkan bahwa "bagian dari kita yang mendorong dan
mengatur hidup kita bukanlah fisik. Ini tetap benar bahkan
jika kita menyangkalnya. Anda memiliki roh di dalam diri
Anda dan itu telah terbentuk."
Willard mencatat bahwa spiritual formation Kristen
difokuskan sepenuhnya pada Yesus. Tujuannya adalah
ketaatan atau kesesuaian dengan Kristus yang muncul dari
transformasi batin yang dicapai melalui interaksi dengan kasih
karunia Allah di dalam Kristus. Spiritualitas digambarkan
sebagai hubungan kita dengan apa pun yang paling penting
dalam hidup kita. Atau mungkin sebagai proses menjadi orang
yang positif dan kreatif. Spiritual formation bagi orang
Kristen pada dasarnya mengacu pada proses pembentukan
dunia batin diri manusia sedemikian rupa sehingga menjadi
seperti makhluk batin Kristus sendiri.
Oleh karenanya, sarana spiritual formation Kristen
lebih banyak melibatkan usaha dan tindakan manusia yang
berada di bawah kendali kita. Upaya manusia yang
terinformasi dengan baik sangat diperlukan, karena formasi
spiritual bukanlah proses pasif. Tapi keserupaan dengan
78 – Pembentukan Rohani
Kristus bukanlah keberadaan manusia. Ini adalah hadiah
anugerah abadi.
Oleh sebab itu Willard mengatakan bahwa: spiritual
formation bukan hanya pembentukan roh atau makhluk batin
individu, meskipun itu adalah proses dan hasilnya. Itu juga
dibentuk oleh Roh Tuhan dan oleh kekayaan spiritual dari
inkarnasi Kristus yang berkelanjutan dalam bangsanya –
termasuk yang paling menonjol adalah harta dari kata-katanya
yang tertulis dan diucapkan dan kepribadian luar biasa dari
mereka yang paling dia tinggali sepenuhnya.
Willard lebih
lanjut mengatakan bahwa spiritual formation di
dalam
Kristus bukanlah proses yang misterius, irasional–mungkin
histeris; sesuatu yang menyerang seperti keringanan, kapan
pun dan di mana pun itu akan terjadi, jika sama sekali.
Spiritual formation adalah sesuatu yang dapat dan
harus dilakukan oleh manusia–sebagai makhluk individu dan
dalam persekutuan dengan murid Yesus lainnya. Meskipun
secara bersamaan, tindakan mulia Tuhan memanifestasikan
diri-Nya secara mendalam melalui Firman dan Roh-Nya, ini
juga merupakan tanggung jawab kita di hadapan Allah dan
dapat menentukan pencapaian dengan cara yang masuk akal
dan sistematis.
Spiritual formation di dalam Kristus adalah proses
menuju akhir yang ideal itu dan hasilnya adalah kasih kepada
79 – Pembentukan Rohani
Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan serta
sesama sebagai diri sendiri. Diri manusia kemudian
sepenuhnya terintegrasi di bawah Tuhan, demikian penjelasan
Willard. Roh pertama-tama harus hidup kembali kepada dan
melalui Tuhan, tentu saja. Sebaliknya, kita tetap mati bagiNya dalam pelanggaran dan dosa (Efesus 2:1). Tetapi begitu
roh menjadi hidup di dalam Tuhan, proses panjang untuk
menundukkan semua aspek diri di bawah Tuhan dapat
dimulai. Ini adalah proses pembentukan spiritual yang dilihat
secara keseluruhan
Pekerjaan spiritual formation dalam keserupaan dengan
Kristus adalah pekerjaan mengklaim tanah susu dan madu di
mana kita berada, secara individu dan kolektif untuk tinggal
bersama Tuhan. Salah satu hambatan terbesar untuk spiritual
formation yang efektif
di dalam Kristus saat ini adalah
kegagalan sederhana untuk memahami dan mengakui realitas
situasi manusia karena hal itu mempengaruhi orang Kristen
dan non Kristen. Kita harus mulai dari tempat kita sebenarnya
berada. Lawrance menjelaskan tentang fondasi-fondasi dari
kehidupan rohani di dalam Dia, "telah menjadi gagasan dan
penghargaan yang tinggi tentang Allah dalam iman; yang
ketika dia pernah mengandung dengan baik, dia tidak
memiliki perhatian lain pada awalnya, tetapi dengan setia
80 – Pembentukan Rohani
menolak setiap pemikiran lain, agar dia dapat melakukan
semua tindakannya demi kasih Allah."
Dalam permulaan kehidupan rohani, kita harus setia
dalam menjalankan tugas dan menyangkal diri kita; namun
setelahnya; kesukaan yang tak terkatakan akan mengikuti;
bahwa dalam segala kesulitan kita perlu bersumber kepada
Yesus Kristus, dan meminta kasih karunia-Nya supaya
semuanya menjadi mudah.
Pelayanan utama disiplin spiritual – seperti kesendirian
(sendirian dengan Tuhan untuk jangka waktu yang lama),
puasa (belajar kebebasan dari makanan dan bagaimana Tuhan
secara langsung memelihara kita), penyembahan (pemujaan
terhadap Tuhan) dan pelayanan (berbuat baik membuat orang
lain tidak memikirkan diri kita sendiri) – adalah menyebabkan
duplikasi dan kedengkian yang terkubur dalam kehendak dan
karakter kita muncul ke permukaan dan ditangani (Willard,
1988).
Willard menjelaskan bahwa hasil akhir pembentukan
spiritual adalah transformasi realitas batin diri sedemikian
rupa sehingga perbuatan dan perkataan Yesus menjadi
ekspresi alami dari siapa kita (Willard. 1988). Willard juga
menjelaskan bahaya terbesar dari prospek-prospek spiritual
formation adalah apa yang akan gagal kita ambil semua
pembicaraan ini tentang bagian tubuh kita setiap secara
81 – Pembentukan Rohani
harfiah itu dapat membantu kita untuk mempertimbangkan
situasi godaan biasa. Spiritual formation baik atau buruk
selalu sangat sosial. Anda tidak dapat menyimpannya untuk
diri sendiri. Siapa pun yang menganggapnya sebagai masalah
pribadi belaka telah salah paham (Willard. 1988).
Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan saya dengan
orang lain juga memodifikasi saya dan sangat memengaruhi
hubungan saya dengan Tuhan. Oleh karena itu hubungan itu
harus diubah jika ingin diubah. Meskipun spiritualitas dapat
menjadi sumber transformasi yang kuat, kita semua mungkin
mengenal orang-orang yang telah berpesta dalam komunitas
spiritual atau agama selama beberapa dekade tanpa perubahan
sama sekali. Proses transformasi rohani dapat menyakitkan
namun tanpa mereka kehidupan dapat direduksi menjadi
sedikit lebih dari 'waktu untuk dilahirkan dan waktu untuk
mati.'
Konsep spiritualitas itu sendiri bersifat ambigu dan
multivalen, yang secara parsial menjelaskan mengapa lebih
dari seratus definisi istilah telah dilanggar dalam literatur
ilmiah. Masing-masing definisi ini dibentuk oleh konteks,
tradisi,
dan
perhatian
orang-orang
yang
melakukan
pendefinisian.
James
Loder
juga
menyediakan
model
untuk
bagaimana berhubungan dengan mengajar, belajar, dan
82 – Pembentukan Rohani
pertumbuhan rohani. Dia mengusulkan “logika transformasi”
ditafsirkan sebagai lima bagian proses berpola, bahwa ia
berpendapat memiliki kekuatan penjelas tidak hanya cara kita
mengetahui, tetapi juga untuk proses dasar pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Loder menjelaskan proses ini
dinamis sebagai:
(1) konflik - dalam konteks,
(2) selingan untuk pemindaian (sadar dan tidak sadar) yang
mengarah ke,
(3) tindakan konstruktif imajinasi sering merasa dengan
kekuatan intuitif. Pemahaman ini menghasilkan
(4) pelepasan energi dan menempatkan diri lebih dalam
kembali ke dunia. Akhirnya, pada langkah
(5) interpretasi dibuat dan tindakan yang diambil. Dia
berpendapat, inilah pola lima bagian dari logika
transformasionalis,
membimbing
pada
berfungsi
sebagai
manusia
pola
yang
mengetahui
dan
bertransformasi.
Dalam bukunya, Invitation to a Journey, Robert
Mulholland mencatat bahwa "Pembentukan rohani adalah
proses dibentuk menurut gambar Kristus demi orang lain."
Dia mencatat bahwa pembentukan rohani kita memerlukan
peziarahan yang memperdalam tanggapan terhadap kendali
Allah atas kehidupan dan keberadaan kita.
83 – Pembentukan Rohani
B. Leadership Development
Rosner (2001) setuju dengan pernyataan ini, bahwa
tujuan
spiritualitas
tidak
untuk
melayani
pekerjaan.
Sebaliknya, pekerjaan adalah untuk melayani spiritualitas.
Sebagai individu terus mencari makna di tempat kerja dan
berusaha
untuk menyelaraskan
nilai-nilai
pribadi
dan
organisasi mereka, jelas bahwa perlu untuk mengeksplorasi
hubungan antara orientasi spiritual dari para pemimpin dan
perilaku mereka. Meskipun literatur menunjukkan bahwa
spiritualitas merupakan dimensi yang signifikan di tempat
kerja (Mitroff & Denton, 1999; Riaz & Normore, 2008),
secara tradisional telah dibungkam dalam sistem sekolah
umum (Shields et al, 2004). Skeptisisme sering dinyatakan
tentang legitimasi spiritualitas di tempat kerja (Fairholm,
1997; Thompson, 2004). Permusuhan ini mungkin disebabkan
tidak adanya definisi yang jelas tentang “spiritualitas”
(Giacalone & Jurkiewicz, 2003; Klenke, 2006). King dan
Nicol
(1999)
menyarankan
bahwa
masalah
dengan
menanamkan spiritualitas ke dalam suatu organisasi adalah
keliru sebagaimana seperti agama.
Stephan
Gerhard
Huber
“Professional school leadership”
yang
pasti
dan
bertujuan,
mengatakan
tentang
mengambarkan sebagai
berbagi
84 – Pembentukan Rohani
tanggung
jawab
kepemimpinan, terlibat di dalamnya dan pengetahuan tentang
apa yang terjadi di dalam kelas. Itu berarti bahwa penting
untuk memiliki partisipasi yang menentukan dan berorientasi
pada tujuan orang lain dalam tugas-tugas kepemimpinan,
bahwa ada pemberdayaan nyata dalam hal mendelegasikan
kekuasaan
kepemimpinan
dengan
benar
(distribusi
kepemimpinan), dan bahwa ada minat khusus untuk dan
pengetahuan tentang apa yang terjadi selama pelajaran
(tindakan kepemimpinan sekolah yang efektif dan profesional
berfokus
pada
pengajaran
dan
pembelajaran
dan
menggunakan tujuan sekolah sebagai patokan).
Lebih lanjut Huber mengatakan dalam pengembangan
kepemimpinan di sekolah “Untuk semua tahapan proses
pengembangan sekolah, kepemimpinan sekolah dianggap
penting dan bertanggung jawab untuk menjaga sekolah secara
keseluruhan dalam pikiran, dan mengkoordinasikan kegiatan
individu selama proses perbaikan dengan memadai.”
Teori Munculnya Kepemimpinan Clinton (1988)
menyediakan kerangka kerja teoritis untuk studi, yang
menyampaikan konsep bahwa “semua kehidupan dipakai
Tuhan untuk mengembangkan kapasitas seorang pemimpin
untuk mempengaruhi,” termasuk peristiwa dikategorikan
sebagai proses internal, proses eksternal, dan proses ilahi
(Clinton, 1988).
85 – Pembentukan Rohani
Pengalaman pendidikan Kristen dipandang sebagai
salah
satu
peristiwa
yang
bisa
digunakan
untuk
mengembangkan kepemimpinan karena melibatkan internal
(pengembangan karakter), eksternal (orang dan literatur), dan
proses
ilahi
(dasar
Kristen).
Teori
Clinton
(1988)
menggunakan pendekatan sejarah kehidupan, dalam hal ini
“jejak ekspansi kapasitas kepemimpinan dalam seorang
pemimpin
Kristen
ialah
selama
seumur
hidup.
Ini
mengasumsikan bahwa sepanjang hidup seorang pemimpin
terus belajar tentang kepemimpinan.”
Teori ini menjelaskan melalui penggunaan tiga
variabel: waktu, proses, dan respons. Proses variabel adalah
“variabel teori inti dimana semua diintegrasikan”, dan
didefinisikan sebagai “insiden spiritual penting dalam
kehidupan para pemimpin, kisah kehidupan sepanjang hidup
mereka. Yang sering menjadi titik balik dalam hal wawasan
kepemimpinan.”
Baik kepemimpinan dan spiritualitas
pelayan, secara terpisah, dapat meningkatkan efektivitas
kepemimpinan dan menginspirasi kinerja individu dan
organisasi yang lebih tinggi karena meningkatkan mereka
akan saling menghargai, kasih sayang, dan kepercayaan antar
anggota organisasi (Yukl, 2010). Menurut Fry (2003),
spiritualitas dapat menciptakan visi dan nilai kongruen,
86 – Pembentukan Rohani
mendorong tingkat yang lebih tinggi dari komitmen dan
kinerja individu.
Dalam sebuah pemeriksaan literatur ilmiah, tahun 2005
mencatat
meningkatnya
spiritualitas
dan
menyimpulkan
efektivitas
bahwa
menghipotesiskan
minat
korelasi
untuk
kepemimpinan,
sebagian
antara
menghubungkan
dan
besar
peneliti
keduanya
efektivitas
spiritualitas dan kepemimpinan, diukur melalui produktivitas
organisasi. Tinjauan menyeluruh Reave (2005) menunjukkan
konsistensi yang jelas antara konstruksi spiritualitas dan
kepemimpinan yang efektif. Ulasannya juga termasuk studi
empiris
yang
menunjukkan
hubungan
positif
antara
kepercayaan spiritual (Misalnya, melihat pekerjaan sebagai
panggilan yang lebih tinggi dari Tuhan) dan praktik spiritual
(mis., merenungkan firman, membaca kitab suci, dan
penjurnalan) untuk efektivitas pemimpin individu.
Spiritual formation sangat diperlukan bagi pemimpin
Kristen terlebih dahulu karena menghasilkan visi realitas yang
lebih luas dan keterlibatan yang semakin dalam dengan
masyarakat. Spiritual formation ini memungkinkan para
pemimpin untuk menjalani visi spiritual dan moral Injil
Kristen. Kretzschmar menjelaskan pentingnya spiritual
formation bagi para pemimpin Kristen. Spiritual formation
ini membantu mereka menghindari jebakan moral dan
87 – Pembentukan Rohani
lainnya. Spiritual formation ini membantu para pemimpin
untuk membuka pintu gerbang menuju kebenaran, misalnya,
dalam kajian kepemimpinan manajemen psikologis dan
bisnis.
Spiritual formation memungkinkan para pemimpin
semakin memahami kebaikan dan kejahatan di dunia dan
untuk merefleksikan pelayanan mereka sendiri dengan
kejujuran dan ketajaman yang lebih besar. Pengembangan
kepemimpinan dan spiritual formation mengusulkan agar
integrasi nilai inti dan kepercayaan pemimpin menjadi
identitas diri merupakan inti pengembangan karakter.
Kekuatan karakter pendukung, kesadaran diri, pengaturan diri,
motivasi diri, dan kesadaran sosial dan hubungan dengan
orang lain membantu internalisasi dan integrasi nilai inti,
kepercayaan, dan standar moral menjadi identitas pemimpin
dan juga memastikan moral yang konsisten. Nilai yang telah
lama dianggap sebagai cita-cita spiritual, seperti integritas,
kejujuran, dan kerendahan hati, telah terbukti berpengaruh
pada kesuksesan kepemimpinan.
Demikian pula, praktik yang secara tradisional
dikaitkan dengan spiritualitas seperti yang ditunjukkan dalam
kehidupan sehari-hari juga terbukti terkait dengan efektivitas
kepemimpinan. Semua praktik berikut telah ditekankan dalam
banyak ajaran spiritual, dan juga telah ditemukan sebagai
88 – Pembentukan Rohani
keterampilan kepemimpinan yang penting: menunjukkan rasa
hormat kepada orang lain, menunjukkan perlakuan yang adil,
mengungkapkan perhatian dan kepedulian, mendengarkan
secara responsif, mengenali kontribusi orang lain, dan
keterlibatan.
Salah
spiritualitas
satu
dalam
alasan
untuk
melihat
kepemimpinan
adalah
secara
bahwa
dekat
para
pemimpin dalam organisasi spiritual telah terbukti lebih tinggi
dalam
mengukur
efektivitas
kepemimpinan
daripada
pemimpin di lingkungan lain (Druskat, 1994). Meskipun ada
masalah dengan definisi teoritis karisma, tidak ada keraguan
tentang efektivitas kepemimpinan transformasionalis, yang
telah ditunjukkan dalam ratusan penelitian (Den Hartog et al.,
1999; Fiol et al., 1999). Dalam mengelola Kuesioner
Kepemimpinan Multifaktor (MLQ) kepada 3352 saudara
perempuan, 1541 saudara laki-laki, dan 1466 imam di Gereja
Katolik Roma di AS, Druskat (1994) menemukan bahwa para
pemimpin spiritual ini dinilai secara signifikan lebih tinggi
dalam kepemimpinan transformasionalis daripada pemimpin
di masyarakat umum.
Sebagian besar individu
mencoba
mengikuti model kesuksesan spiritual, bukan konstruksi dari
penelitian kepemimpinan. Mengapa, kemudian, apakah
mereka mencetak secara signifikan lebih tinggi pada ukuran
efektivitas kepemimpinan?
89 – Pembentukan Rohani
Pertanyaan ini membahas kebutuhan penting lain dalam
pengembangan
teori:
kebutuhan
untuk
jawaban
atas
pertanyaan tentang pola empiris yang diamati. Motivasi dan
kepercayaan spiritual dapat dilihat sebagai variabel pembeda,
penyebab banyak kepemimpinan transformasionalis. Sebagai
faktor penyebab, sering digambarkan dalam literatur sebagai
asal mula motivasi pemimpin transformasionalis. Misalnya,
Bass (1998) menyatakan bahwa komitmen pemimpin
transformasionalis berasal dari hati nurani pemimpin dan nilai
internalisasi. Suara hati nurani dan nilai-nilai sering berasal
dari ajaran agama atau perasaan spiritual berhubungan dengan
Kekuatan Maha Tinggi atau Tuhan. Memang benar bahwa
nilai etika dapat diundangkan tanpa iman atau niat spiritual.
Namun, spiritualitas sejati tidak bisa ditunjukkan tanpa
nilai etika. Kuhnert & Lewis (1987) berpendapat bahwa
kepemimpinan
pengembangan
transformasionalis
moral
yang
matang.
membutuhkan
Filsafat
dapat
memberikan sumber bimbingan bagi beberapa individu,
namun kebanyakan orang melihat ke spiritualitas atau
keyakinan mereka untuk mengembangkan jenis pertumbuhan
pribadi ini. Ada kebutuhan dalam teori kepemimpinan untuk
meneliti sumber komitmen pemimpin. Teori transformasi
menggambarkan proses bagaimana pemimpin mempengaruhi
90 – Pembentukan Rohani
motivasi pengikut, namun sejauh ini mereka tidak membahas
sumber motivasi pemimpinnya sendiri.
Spiritualitas juga merupakan sumber motivasi yang
kuat bagi pengikut. Pemimpin yang menekankan nilai
spiritual sering kali dapat membangkitkan motivasi laten pada
orang lain yang telah ditemukan untuk meningkatkan
kepuasan dan produktivitas mereka di tempat kerja. Ketika
membahas nilai dan tujuan pengikut independen yang lebih
tinggi,
para
pemimpin
mentransformasikan
ini
individu
tidak
sebagai
begitu
banyak
membangkitkan
motivasi yang ada.
Popularitas buku saat ini yang membahas topik
spiritualitas di tempat kerja menunjukkan bahwa banyak
individu berusaha untuk mengekspresikan spiritualitas mereka
melalui pekerjaan mereka. Sebaliknya, statistik menunjukkan
bahwa keanggotaan dan kehadiran gereja telah menurun
secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Misalnya,
gereja Episkopal dan Metodis telah kehilangan setidaknya
sepertiga dari keanggotaan mereka dalam 30 tahun terakhir
(Shorto, 1997). Namun, pada saat yang sama, survei
menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika (lebih
dari 90%) menggambarkan spiritualitas pribadi dan pribadi
yang
memasukkan
kepercayaan
pada
91 – Pembentukan Rohani
Tuhan
dan
mempraktikkan kehidupan doa (Shorto, 1997; Zinnbauer et
al., 1999).
Mengakui tujuan spiritual individu dan memasukkan
nilai spiritual di tempat kerja dapat menjadi tujuan penting
bagi para pemimpin karena kepuasan pekerja telah terbukti
tidak hanya mempengaruhi semangat kerja tetapi keuntungan,
dalam beberapa cara. Emmons (1999) mengutip tujuh
penelitian yang telah dilakukan sejak 1995 yang telah
menemukan korelasi yang signifikan antara spiritualitas dan
indeks
kesehatan
mental
tentang
kepuasan
hidup,
kebahagiaan, harga diri, harapan dan optimisme, dan makna
dalam kehidupan.
Dampak spiritual formation pada pengembangan
kepemimpinan adalah kompleks dan beragam, sering dibahas
dalam konteks kepemimpinan organisasi dan pribadi.
Pembentukan spiritual mengacu pada proses pengembangan
dan pendalaman spiritualitas seseorang, sering berakar pada
keyakinan agama atau filosofis. Berikut adalah beberapa cara
di mana pembentukan spiritual dapat mempengaruhi dan
berkontribusi pada pengembangan kepemimpinan:
Nilai
dan
Etika.
Pembentukan
spiritual
sering
menekankan pengembangan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
etika. Pemimpin yang menjalani formasi spiritual dapat
dibimbing oleh kompas moral yang kuat, membuat keputusan
92 – Pembentukan Rohani
yang selaras dengan keyakinan mereka yang dipegang teguh.
Ini dapat berkontribusi pada pengembangan kepemimpinan
etis.
Pengembangan
Karakter.
Pembentukan
spiritual
berfokus pada pengembangan karakter, menekankan kualitas
seperti integritas, kerendahan hati, kasih sayang, dan
kesabaran. Pemimpin yang memprioritaskan pembentukan
spiritual cenderung menunjukkan kualitas-kualitas ini dalam
gaya kepemimpinan mereka, menumbuhkan kepercayaan dan
rasa hormat di antara pengikut mereka.
Emotional Intelligence. Pembentukan spiritual sering
melibatkan kesadaran diri dan introspeksi. Pemimpin yang
terlibat dalam praktik spiritual dapat mengembangkan tingkat
kecerdasan emosional yang lebih tinggi, memungkinkan
mereka untuk lebih memahami dan mengelola emosi mereka
serta berempati dengan orang lain.
Mekanisme Ketahanan dan Koping. Pembentukan
spiritual sering memberikan individu dengan rasa tujuan dan
ketahanan dalam menghadapi tantangan. Pemimpin yang
memiliki fondasi spiritual yang kuat mungkin lebih siap untuk
menangani
stres,
kemunduran,
dan
ketidakpastian,
berkontribusi pada efektivitas kepemimpinan mereka secara
keseluruhan.
93 – Pembentukan Rohani
Kepemimpinan yang Melayani. Banyak tradisi spiritual
menekankan konsep kepemimpinan yang melayani, di mana
para pemimpin memprioritaskan melayani orang lain dan
kebaikan yang lebih besar. Pendekatan ini dapat mengarah
pada gaya kepemimpinan yang lebih kolaboratif dan inklusif
yang berfokus pada kesejahteraan tim atau organisasi.
Visi
dan
Tujuan.
Pembentukan
spiritual
sering
melibatkan pencarian makna dan tujuan dalam hidup.
Pemimpin yang memiliki pengertian yang jelas tentang tujuan
mereka sendiri mungkin lebih siap untuk mengartikulasikan
dan menginspirasi visi yang menarik untuk organisasi mereka,
mengumpulkan orang lain di sekitar rasa misi bersama.
Hubungan Interpersonal. Pembentukan spiritual dapat
menumbuhkan rasa keterkaitan dan kepedulian terhadap
orang lain. Pemimpin yang menghargai perkembangan
spiritual dapat memprioritaskan hubungan interpersonal yang
positif, menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan
harmonis.
Pengambilan keputusan. Pembentukan spiritual dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan, mendorong
para pemimpin untuk mempertimbangkan tidak hanya aspek
praktis tetapi juga dimensi etika dan moral dari pilihan
mereka.
94 – Pembentukan Rohani
Kemampuan Beradaptasi dan Belajar. Sifat reflektif
dari praktik spiritual dapat berkontribusi pada keterbukaan
seorang pemimpin terhadap pembelajaran dan kemampuan
beradaptasi. Kemampuan untuk terus belajar dan tumbuh ini
sangat
penting
dalam
menavigasi
kompleksitas
kepemimpinan.
Penting untuk dicatat bahwa dampak pembentukan
spiritual pada pengembangan kepemimpinan dapat bervariasi
berdasarkan keyakinan individu, budaya organisasi, dan
konteks spesifik di mana kepemimpinan dilakukan. Selain itu,
para pemimpin dapat mengambil dari berbagai sumber,
termasuk tradisi keagamaan, filsafat, atau spiritualitas pribadi,
untuk menginformasikan pembentukan rohani mereka.
C. Spiritualitas dan Religi
Pertama, apakah itu spiritualitas, dan bagaimana ia
berbeda dari agama? Beberapa peneliti (Scott, 1997;
Zinnbauer, 1997) telah menemukan keragaman definisi yang
luar biasa antara ratusan peserta penelitian, tetapi kesimpulan
utama sebuah meta-analisis baru-baru ini ialah bahwa religi
itu didominasi dengan mengaitkan dengan agama resmi/
organisasi, sedangkan spiritualitas adalah lebih sering
dikaitkan dengan kedekatan dengan Tuhan dan perasaan
keterkaitan dengan dunia dan hidup (Zinnbauer, Pargament, &
95 – Pembentukan Rohani
Scott, 1999). Analisis kata kunci lain dari penggunaan dua
istilah dalam 30 tahun terakhir literatur keperawatan
menemukan bahwa religiositas didefinisikan sebagai sistem
keyakinan terorganisir dan ibadah yang dipraktikkan orang,
dan
spiritualitas
didefinisikan
sebagai
bagian
prinsip
kehidupan pribadi yang menjiwai transenden kualitas
hubungan dengan Tuhan (Enblem, 1992).
Agama lebih berfokus pada kelompok tertentu dan
organisasi, sementara spiritualitas yang lebih generik, dan
bahkan dapat mencakup lebih dari satu pendekatan agama.
Willard mengatakan bahwa spiritualitas dalam diri manusia
bukanlah mode eksistensi ekstra atau "superior". Ini bukan
aliran tersembunyi dari realitas yang terpisah, kehidupan
terpisah yang berjalan sejajar dengan keberadaan tubuh kita.
Itu tidak terdiri dari tindakan "ke dalam" khusus meskipun
memiliki aspek batin. Sebaliknya, ini adalah hubungan atau
diri kita yang diwujudkan kepada Tuhan yang memiliki efek
alami dan tak tertahankan untuk membuat kita hidup bagi
Kerajaan Allah – di sini dan sekarang di dunia material.
Bagian dari upaya untuk mengetahui perbedaan antara
kepemimpinan
spiritual
dan
religius
adalah
dengan
mengklarifikasi istilah "spiritual" dan "religius". Pielstick
(2005)
melihat
"spiritual"
sebagai
sebuah
kekuatan,
"sinkronisitas" dan "energi dan pengaruh yang diperoleh dari
96 – Pembentukan Rohani
hidup selaras dengan tujuan yang lebih tinggi, yang sering
kali didasarkan pada pandangan dunia tentang realitas
transenden (nonmaterial) yang hakiki". Hal ini dapat berupa
jalan batin yang memberikan arahan kepada diri, "rasa makna
dan keutuhan... keterkaitan, transendensi diri, dan/atau
pandangan dunia yang transenden".
Dengan
menggunakan
kategorisasi
perkembangan
spiritual dari Wilber (1984), Pielstick (2005) menunjukkan
bahwa individu dan kelompok dapat memiliki pengalaman
progresif ketika mereka bergerak ke pengalaman spiritual
yang lebih kompleks. Urutan tersebut dipandang sebagai
Magis (melihat fenomena spiritual sebagai hasil dari kekuatan
magis atau makhluk gaib) dan Mitos (penjelasan supernatural
yang dipegang dalam kisah-kisah dewa atau dewi yang
bertindak atas pengalaman manusia dan memberikan berkah
atau kutukan dan ajaran) di ujung yang lebih primitif, dan
logis (ide dan pengalaman spiritual yang dijelaskan dengan
alasan dan logika) dan ssistemis (di mana spiritualitas
mengacu pada jaringan hubungan dan membayangkan
keterkaitan dan keutuhan sebagai manifestasinya) di tingkat
keterlibatan spiritual yang lebih pragmatis.
Mereka tampaknya lebih menyukai Transpersonal (di
mana spiritualitas dibangun melalui komunikasi transenden
97 – Pembentukan Rohani
dan kosmik) atau Mistik (sebuah pandangan tentang
pengalaman kesatuan dari semua hal).
Agama tampaknya lebih terkait dengan kepercayaan
pada keilahian dan sumber daya, tradisi, adat istiadat, dan
praktik-praktik yang muncul sebagai hasil dari kepercayaan
tersebut. Agama adalah "kepercayaan dan penghormatan
terhadap kekuatan supernatural... terutama ketika diorganisir
ke dalam sistem doktrin dan praktik" ("Religion," 2011).
Agama biasanya merupakan pengalaman yang dibagikan
secara sosial di mana anggota suatu kelompok berafiliasi
dengan pengalaman spiritual dan kepercayaan yang sama.
Mereka juga mempraktikkan kontrol sosial satu sama lain,
menantang dan mendorong satu sama lain dalam kegiatan
spiritual bersama.
Di sini, keyakinan kelompok menjadi penting dan
ditegaskan kembali, dan pemeriksaan terhadap kesetiaan
kelompok terhadap keyakinan tersebut merupakan bagian dari
pengalaman religius. Dengan definisi dan pemahaman ini,
"spiritual" dipandang lebih bersifat pribadi dan individual
serta merupakan hak pribadi dari pemikiran dan tindakan
seseorang terhadap pandangan dunia pribadi. Pandangan ini
mungkin memiliki tuhan atau tidak, dan mungkin juga tidak
menumbuhkan keinginan untuk mengubah orang lain ke
pandangan spiritual tersebut. Namun, "agama" dan "religius"
98 – Pembentukan Rohani
memiliki manifestasi sosial yang lebih kuat dari pemikiran
spiritual bersama. Agama memberikan lebih banyak kontrol
sosial, mensosialisasikan anggota baru ke dalam ortodoksientah dalam keyakinan atau dalam praktik
Wright menuliskan dalam bukunya Simply Christian,
"mengikuti Yesus bukan hanya agar kita dapat yakin untuk
pergi ke tempat yang lebih baik dari ini setelah kita mati."
Lebih lanjut Wright menjelaskan bahwa sifat pengharapan
Kristen sedemikian rupa sehingga bermain kembali ke
kehidupan sekarang. Wright menjelaskan bahwa spiritualitas
adalah fitur kedua dari kehidupan manusia. (Wright: 2021).
Willard memberikan pemahaman bahwa spiritualitas
hanyalah kualitas holistik kehidupan manusia sebagaimana
mestinya, yang intinya adalah hubungan kita dengan Tuhan.
Dalam buku The Spirit the Discipleship, mengutip dari Lewis
Sperry Chafer menjelaskan bahwa spiritualitas bukanlah pose
saleh. Itu bukanlah suatu keniscayaanmu; itu adalah engkau
yang tertinggal. Kita tidak bisa menjadi normal secara fisik,
mental atau spiritual jika kita menghilangkan faktor vital ini
dalam kehidupan manusia. Allah telah menyediakan bahwa
sukacita kita akan penuh. Kerohanian adalah yang paling
penting dari istilah kita, merujuk pada hubungan dengan Allah
melalui Roh Kudus dan pada reses terdalam dari pengalaman
manusia. Studi dalam beberapa dekade terakhir telah melacak
99 – Pembentukan Rohani
sejarah kata spiritualitas melalui spiritualitas Latin, yang pada
gilirannya menerjemahkan pneumatiko dari Bahasa Yunani.
Prinsip yang dikutip dalam journal of spiritual
formation mengatakan bahwa ada tiga level yang terpisah
dalam
menjelaskan
spirituality).
kerohanian
Kristen
(Christian
Dalam level praktis, kerohanian Kristen
menunjuk kepada hubungan aktual dan kehidupan kita
bersama Tuhan lewat Kristus. Dalam level dinamis,
kerohanian Kristen menunjuk kepada formula pengajaran
tentang atau bagaimana memahami hubungan yang hidup
bersama Allah lewat Kristus. Dan level ketiga, level studi,
kerohanian
Kristen
adalah
disiplin
akademik
yang
menyistematikkan penyelidikan baik pengalaman hidup atau
formula-formula tentang dinamisnya hubungan dengan
Tuhan.
Spiritualitas hanyalah kualitas holistik kehidupan
manusia sebagaimana mestinya, yang merupakan hubungan
kita dengan Tuhan.
Mengenai “spiritualitas sejati” Francis Schaeffer secara
tepat mengamati: Menyapu keluar dari realitas positif batin,
harus ada manifestasi positif secara eksternal. Bukan hanya
bahwa kita mati untuk hal-hal tertentu, tetapi kita harus
mengasihi Tuhan, kita harus hidup bagi-Nya, kita berada
dalam persekutuan dengan-Nya, di saat sejarah sekarang ini.
Dan untuk mengasihi sesama, untuk hidup bagi sesama
100 – Pembentukan Rohani
sebagai manusia dan untuk berkomunikasi pada tingkat
pribadi yang benar dengan sesama, di saat sejarah saat ini.
Spiritualitas didefinisikan sebagai kesadaran yang
tinggi dari diri sendiri dan keinginan untuk terhubung dengan
sumber makna transenden (Riaz & Normore, 2008). Dalam
pemeriksaan spiritualitas mereka di tempat kerja, Giacalone
dan Jurkiewicz (2003) mendefinisikan spiritualitas kerja
sebagai, “Sebuah kerangka nilai-nilai organisasi dibuktikan
dalam budaya yang mempromosikan pengalaman karyawan
transenden melalui proses kerja, memfasilitasi rasa yang
terhubung dengan cara yang memberikan perasaan belas kasih
dan sukacita.”
Para peneliti berhati-hati untuk membedakan antara dua
istilah, tapi banyak orang merasa bahwa konsep tersebut
tumpang tindih. Satu studi dari 305 orang dari berbagai latar
belakang profesi dan agama menemukan bahwa 74%
mengidentifikasi diri mereka sebagai baik dalam spiritual dan
religius (Zinnbauer et al., 1997). Perbedaan ini penting untuk
studi spiritualitas di tempat kerja dan dalam kepemimpinan,
namun, karena bahaya dari pemurtadan dan invasi privasi.
Beberapa penulis telah membuat perbedaan antara
spiritualitas dan agama (Bhindi & Duignan, 1997; King &
Nicol, 1999; Riaz & Normore, 2008). Namun, perbedaan
101 – Pembentukan Rohani
antara dua konsep harus dimulai dengan definisi yang jelas
tentang spiritualitas. Klenke (2006) menjelaskan:
Spiritualitas sering didefinisikan oleh apa yang
bukan. Spiritualitas. . . bukan agama. agama yang
terorganisasi tampak luar; tergantung pada ritual
dan kitab suci; dan cenderung dogmatis, eksklusif,
dan sempit didasarkan pada seperangkat
diformalkan dari keyakinan dan praktik.
Spiritualitas, di sisi lain, melihat ke dalam,
cenderung inklusif dan berlaku lebih universal, dan
mencakup ekspresi beragam keterkaitan.
Spiritualitas dikonseptualisasikan dengan dua dimensiketerhubungan dan transenden. Artinya, hal ini ditandai
dengan kebutuhan untuk koneksi sosial dan keinginan untuk
terhubung dengan
sumber makna
transenden
(Elkins,
Hedstrom, Hugh, Leaf & Saunders, 1988; Fleischman, 1994;
Maddock & Fulton, 1998; Riaz & Normore, 2008). Dalam
analisis mereka spiritualitas di tempat kerja, Giacalone dan
Jurkiewicz (2003) mendefinisikan spiritualitas sebagai,
“kerangka nilai-nilai organisasi dibuktikan dalam budaya
yang mempromosikan pengalaman karyawan transenden
melalui proses kerja, memfasilitasi rasa yang terhubung
dengan cara yang memberikan perasaan belas kasih dan
sukacita.”
Semangatnya adalah apa yang membuat kita menjadi
manusia dan individu. Hal ini menentukan siapa kita di
102 – Pembentukan Rohani
tempat kerja. Ini tidak terlepas dari diri pribadi. Kita menarik
pada nilai-nilai sentral dalam bagaimana berurusan dengan
orang-orang setiap hari. Nilai-nilai kita menentukan apakah
kita memberi contoh yang baik, mengurus orang, atau
melakukan Amanat Agung. Spiritualitas kita membantu
berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kita.
Agama
ditandai
dengan
doktrin-doktrin
dan
keistimewaan tertentu sedangkan spiritualitas adalah generik
dan memberikan pemimpin kualitas yang dinamis yang
mampu memanfaatkan sistem kepercayaan yang beragam
(Riaz & Normore, 2008; Twill & Parayitm, 2007). Fairholm
(1997) menegaskan, “Spiritualitas tidak berlaku untuk agama
tertentu, meskipun nilai dari beberapa agama dapat menjadi
bagian dari fokus spiritual seseorang. Kata lain, spiritualitas
adalah lagu yang kita semua nyanyikan. Setiap agama
memiliki penyanyi sendiri.”
Dengan demikian, spiritualitas diperlukan untuk agama,
tetapi agama tidak diperlukan untuk spiritualitas (Fry, 2003).
Hal ini juga penting untuk dicatat bahwa agama dan
mengembangkan hubungan dengan kekuatan yang lebih
tinggi tidak saling eksklusif (Covey, 2004). Bahkan, satusatunya kesamaan mencolok antara spiritualitas dan agama
adalah altruistis cinta-tanpa pamrih, pengabdian untuk
kepentingan orang lain (Fry, 2003). Semua agama besar di
103 – Pembentukan Rohani
dunia sama ketika bertolak dari prinsip yang mendasari ini
(Bolman & Deal, 1995; Covey, 2004; Fry, 2003). Dalam
agama, prinsip kasih altruistis diwujudkan melalui Perintah
Agung; “Memperlakukan orang lain seperti Anda ingin
diperlakukan” (Beckner, 2004; Fry, 2003).
Pengalaman Kristen adalah pengalaman menerapkan
Alkitab,
pengalaman
mengizinkan
Alkitab
membentuk
imajinasi dan perasaan dan persepsi dan interpretasi dan
tindakan seseorang. Spiritualitas ditandai sebagai keinginan
untuk berhubungan dengan sumber makna transenden.
Meskipun konsep “transenden” diremehkan dalam literatur
(Riaz & Normore, 2008) namun itu merupakan aspek integral
dari definisi kepemimpinan spiritual. Kemampuan untuk
membangun koneksi dengan sesuatu di luar pengalaman fisik
semata
memberikan
pemimpin
kekuatan
batin
untuk
menghadapi situasi sulit.
Ini juga mendekati pendekatan universal. Banyak jalan
spiritual memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi mengenai
nilai-nilai spiritual. Menurut Smith (1992), semua agama
memiliki nilai kerendahan hati, amal, kejujuran, dan
penglihatan yang sama. Juga, dalam beberapa penelitian
terbaru mengenai sifat dan perilaku kepemimpinan lintas
budaya yang efektif (Den Hartog et al., 1999), atribut dan
104 – Pembentukan Rohani
praktik yang secara luas dikaitkan dengan spiritualitas telah
ditemukan memiliki daya tarik global.
Lebih dari separuh atribut pemimpin yang disahkan
secara universal dapat dianggap terkait dengan spiritualitas,
nilai,
dan
etika:
menguntungkan,
pemecah
dapat
menguntungkan,
masalah
dipercaya,
mendorong
motivasi,
yang
adil,
saling
saling
komunikatif,
berorientasi pada keunggulan, membangun kepercayaan,
jujur, dinamis, pembangun tim, motivasi, dan handal.
Kumpulan atribut ini menunjukkan bahwa pengikut
secara universal mencari pemimpin dengan integritas yang
memedulikan hubungan dengan orang lain. Sebaliknya,
kualitas yang memiliki variasi respons yang luas berlaku
terutama untuk perilaku sosial atau budaya daripada perilaku
spiritual. Para peneliti menemukan variasi yang luas pada
sensitivitas, ambisi, independen, pengambilan risiko, otonomi,
penghindaran konflik, keteledoran, ketepatan,
elitismu,
individualisme, dan formalitas, serta kualitas lainnya (Den
Hartog et al., 1999).
Namun, ada kesepakatan luas mengenai kualitas
spiritual pemimpin yang tidak efektif dan efektif. Hampir
semua kualitas negatif universal memiliki dimensi spiritual:
kejam, asosial, mudah tersinggung, penyendiri, egosentris,
tidak kooperatif, diktatorial (Den Hartog et al., 1999).
105 – Pembentukan Rohani
Kualitas ini berlawanan dengan nilai spiritual integritas dan
kerendahan hati, dan hal itu tidak sesuai dengan praktik
spiritual untuk memperlakukan orang lain dengan rasa
hormat, belas kasih, dan penghargaan.
Penelitian antar budaya ini menunjukkan bahwa teori
kepemimpinan spiritual dapat melampaui batasan situasi atau
budaya tertentu. Sebaliknya, teori kontingensi memberikan
panduan hanya untuk skenario tertentu. Dalam memeriksa
nilai dan praktik spiritual, ada potensi teori kepemimpinan
efektif yang benar-benar dapat melayani dunia yang bergerak
menuju globalisasi, sebuah teori yang berlaku lintas budaya.
Dengan
demikian,
adalah
penting
memahami
perbedaan antara religi dan spirituality dalam literatur socialscientific dan psychotherapy. Psychologis, Peter Hill dan
rekan-rekan-rekannya memberikan review yang luar biasa
tentang perbedaan ini. Kata “religion” datang dari akar kata
bahasa Latin religio yang berkonotasi “a bond between
humanity and some greater-than-human power.”
Pakar
psychology religion David Wulff telah melacak sejarah dari
arti “religion” dan berargumentasi bahwa secara historis
berimplikasi baik pribadi, dinamika kualitas pengalaman
keagamaan dan dimensi-dimensi institusional keagamaan atau
sosial. Lebih lanjut dikatakan Agama paling baik dipahami
sebagai konstruksi multidimensi yang dapat mencakup
106 – Pembentukan Rohani
perhatian utama, identitas sosial, dan komunal, ritual, dan
mediator simbolis ruang dan pengalaman suci, bentuk teks
dan media suci serta praktik moral dan spiritual.
Dengan pemahaman "spiritual" dan "religius" ini, kita
sekarang dapat melihat perbedaan yang dibawa kedua bidang
ini ke kepemimpinan. Marinho (2013) telah mengatur
perbedaan dengan baik, seperti yang ditunjukkan pada Tabel
1. Menggunakan ide-ide dari bukunya (Marinho & Oliveira,
2005), kontras Marinho (2013) sebagian besar berfokus pada
perbedaan struktural dan otoritatif antara kedua jenis
kepemimpinan. Dia membahas kekuatan Paus Katolik Roma
di dunia modern sebagai menunjukkan kepemimpinan agama.
Dia mencatat bahwa kepemimpinan agama itu penting tetapi
berbeda dari kepemimpinan spiritual karena yang terakhir
lebih menyebar dan kurang terikat pada kapasitas resmi.
Sementara seorang pemimpin agama dapat memanifestasikan
kepemimpinan spiritual, seorang pemimpin spiritual mungkin
tidak harus memiliki kepemimpinan agama dalam kapasitas
resmi apa pun. Pandangan ini sangat membantu. Sementara
Marinho (2013) tidak menyajikan pandangan negatif tentang
kepemimpinan agama, ia mengakui hal-hal berikut:
Mungkin ada beberapa tumpang tindih antara dua
perspektif yang berbeda, tetapi sifat dari kedua pendekatan
kepemimpinan jelas berbeda satu sama lain, dan konsep ini
107 – Pembentukan Rohani
dapat diterapkan pada setiap pemimpin lembaga keagamaan
mana pun. Refleksi ini dapat mengambil banyak arah yang
berbeda, tetapi saya harap ini dapat membawa beberapa ide
yang menggugah pikiran. (Marinho, 2013)
Tabel 1.
Kontras Marinho (2013)
Antara Kepemimpinan Religius dan Spiritual
Kepemimpinan Agama
Tergantung posisinya
Dipaksakan oleh hukum dan
peraturan
Dikendalikan oleh institusi
Diberikan oleh masyarakat
Fokus pada tugas
Prioritas pada otoritas
Ditopang oleh hierarki
Kepemimpinan Spiritual
Terlepas dari posisi apa pun
Diterima dengan pilihan
bebas
Dikendalikan oleh prinsip
Diberikan dengan contoh
Fokus pada hubungan
Prioritas untuk layanan
Ditopang oleh inspirasi
Apa yang mungkin tidak ditekankan dengan jelas
dalam model ini adalah peran otoritas ilahi dan otoritas tulisan
suci atau beberapa proses komunitas dalam mengotentikasi
para pemimpin. Kepemimpinan, menurut definisi, adalah
peran pengaruh.
Namun, kepemimpinan agama dapat memanifestasikan
keaslian itu dalam kepemimpinan melalui kesetiaan pada
108 – Pembentukan Rohani
proses yang lebih resmi atau diterima secara organisasi.
Kepemimpinan spiritual, di sisi lain, dapat menerima
otentikasi melalui bentuk-bentuk kepemimpinan dan pengikut
yang lebih karismatik dan visioner. Kepemimpinan spiritual
lebih banyak disahkan dari pengikut.
Menariknya, keduanya dapat diuji dengan cara
otentikasi ketiga: keselarasannya dengan prinsip-prinsip
tulisan suci. "Saudara-saudaraku yang terkasih, janganlah
percaya kepada setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu untuk
melihat apakah mereka berasal dari Allah, karena banyak nabi
palsu telah pergi ke dunia" (1 Yohanes 4: 1, NIV). Kebutuhan
untuk "menguji para pemimpin" ditekankan dalam bagian ini.
Ini adalah panggilan untuk melihat apakah mereka sesuai
dengan karakter dan tujuan Allah.
Apakah mereka dipilih oleh tradisi atau proses
organisasi, atau dipilih sendiri, atau dipromosikan oleh orang
lain, tindakan dan keyakinan mereka harus diuji oleh referensi
otoritatif. Bagi orang Kristen, titik referensi itu adalah
Alkitab.
Dalam
mengontraskan,
hal
dan
ini
kita
telah
mengeksplorasi
mendefinisikan,
hubungan
antara
kepemimpinan spiritual dan agama. Kami merangkul fokus
baru ini pada kerohanian dalam kepemimpinan ketika itu
didasarkan pada asas-asas kitab suci. Kami menyuarakan
keprihatinan
tentang
praktik
beberapa
109 – Pembentukan Rohani
orang
yang
menyarankan
penolakan
besar-besaran
terhadap
kepemimpinan agama. Kami percaya beberapa karakteristik
dalam kepemimpinan agama, ketika selaras dengan Alkitab,
memberikan
kepercayaan,
praktik,
dan
tradisi
yang
bermanfaat yang mendukung dan memelihara kesejahteraan
individu dan kelompok. Spiritualitas dalam kepemimpinan
adalah fokus penting bagi para sarjana dan praktisi
kepemimpinan.
110 – Pembentukan Rohani
IV
SPIRITUALITAS DAN
PERGURUAN TINGGI KRISTEN
Perguruan tinggi Kristen memainkan peran yang sangat
penting dalam mempromosikan dan membentuk spiritualitas.
Kombinasi antara pendidikan tinggi dan spiritualitas Kristen
menciptakan lingkungan di mana mahasiswa dapat tumbuh
secara holistik, mencapai keberhasilan akademis, dan
mengembangkan iman mereka. Perguruan tinggi Kristen
berakar pada nilai-nilai spiritualitas yang berasal dari ajaran
Alkitab dan tradisi Kristen. Landasan spiritualitas ini
membentuk fondasi bagi seluruh kegiatan dan pendekatan
pendidikan di institusi tersebut.
Spiritualitas di perguruan tinggi Kristen memiliki fokus
pada pengembangan karakter dan moral. Mahasiswa diajak
untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moral
Kristen dalam kehidupan sehari-hari dan pengambilan
keputusan. Institusi-institusi ini memberikan ruang bagi
mahasiswa untuk mendalami dan menghayati nilai-nilai
111 – Pembentukan Rohani
Kristen, termasuk kasih, kerendahan hati, pelayanan kepada
sesama, dan keadilan sosial.
A. Sejarah Spiritual Formation dalam Pendidikan
Sekolah Alexandria, lembaga pendidikan tinggi Kristen
pertama, didirikan pada pertengahan abad ke-2 Masehi di
Alexandria, Mesir. Di bawah para pemimpinnya yang paling
awal dikenal (Pantaenus, Clement, dan Origenes), itu menjadi
pusat
terkemuka
metode
alegoris
interpretasi
aletik,
mendukung pemulihan hubungan antara budaya Yunani dan
iman Kristen, dan berusaha untuk menegaskan ajaran Kristen
ortodoks terhadap pandangan heterodoks di era fluks doktrinal
(Britannica, 2023).
Sekolah Alexandria meninggalkan warisan abadi,
menandai dimulainya pendidikan teologi formal yang terus
membentuk keilmuan dan kepemimpinan Kristen di berbagai
denominasi di seluruh dunia. Kelahiran lembaga pendidikan
tinggi teologi pertama menandai tonggak penting dalam
perkembangan intelektual dan spiritual agama Kristen.
Sekolah Alexandria membuka jalan bagi pertumbuhan
pendidikan teologi, berkontribusi pada kekayaan pemikiran
dan keilmuan Kristen sepanjang sejarah.
112 – Pembentukan Rohani
Sementara Sekolah Antiokhia, lembaga teologi Kristen
di Suriah, secara tradisional didirikan sekitar tahun 200 M,
yang menekankan interpretasi literal Alkitab dan kelengkapan
kemanusiaan
Kristus,
bertentangan
dengan
Sekolah
Alexandria, yang menekankan interpretasi alegoris Alkitab
dan menekankan keilahian Kristus. Berkembang pada abad
ke-4 hingga ke-6, Sekolah Antiokhia menghasilkan beberapa
teolog penting, termasuk Diodoros dari Tarsus, Theodore dari
Mopsuestia, St. Yohanes Krisostomus, dan Theodoret dari
Cyrrhus (Britannica, 2023).
Tempat penting untuk memulai diskusi tentang
pembentukan spiritual di perguruan tinggi adalah dengan awal
dari perguruan tinggi itu sendiri. Ada banyak hal dalam
sejarah skolastik Kristen yang dapat membantu menerangi
visi, semangat, dan tujuan pendidikan tinggi berbasis agama
saat ini. Konsep perguruan tinggi modern dimulai di gereja di
Paris pada abad kesebelas dengan pertumbuhan pesat
universitas yang terjadi di seluruh Eropa pada abad kedua
belas; Namun, tidak sampai abad ketiga belas bahwa
universitas menjadi pusat studi utama (Gonzalez, 1984).
Skolastik Kristen, bagaimanapun, tidak dimulai dengan
dimulainya
universitas
modern
pada
abad
kesebelas.
Sebaliknya itu dimulai di gereja pada awal abad kedua dan
113 – Pembentukan Rohani
ketiga
dengan
munculnya
sekolah-sekolah
kateketik
(Gonzalez, 1984). Pendidikan telah menjadi bagian penting
dari
kehidupan
Kristen
dan
salah
satu
yang
telah
diperjuangkan oleh para pemimpin agama, dimulai dengan
para bapa gereja mula-mula dan berlanjut hingga hari ini
(Holmes, 2001).
Sekolah kateketik yang paling terkenal di gereja mulamula berada di Kartago, di bawah Tertulianus, dan di
Aleksandria, di bawah Origenes. Tujuan dari sekolah-sekolah
ini adalah untuk mengambil orang-orang Kristen muda dari
daerah tersebut dan melatih mereka dalam teologi dengan
belajar satu-satu dengan teolog utama sekolah. Para siswa
akan belajar teologi, sastra, dan filsafat, tetapi semuanya
dipelajari untuk satu tujuan yang sama — peningkatan jiwa
(Holmes, 2001).
Fungsi utama pendidikan ini berlanjut ke skolastisisme
abad pertengahan dan awal universitas modern, di mana
subjek kebenaran menjadi diperdebatkan secara serius
(Holmes, 2001). Fungsi pendidikan dalam sistem ini
membantu
diberikan
siswa
Tuhan
mengembangkan
untuk
kemampuan
yang
kebenaran,
yang
mengetahui
merupakan titik paling terhormat dari spiritual formation
(Holmes, 2001).
114 – Pembentukan Rohani
Humanis Kristen John Milton, menulis pada abad
ketujuh belas, membuat perbedaan penting dalam tujuan
pendidikan ini. Milton berpendapat bahwa pembelajaran dan
pembentukan spiritual harus mengarah tidak hanya pada
kehidupan kontemplasi, tetapi juga harus mengarah pada
kehidupan tindakan sosial. Tujuan belajar, bagi Milton, adalah
kebebasan untuk mempelajari semua orang tentang Tuhan,
manusia, dan dunia untuk menjadi hamba Tuhan dan
kebenaran (Holmes, 2001).
Ketiga periode dalam sejarah pendidikan Kristen ini
(yaitu, sekolah katekese, skolastik abad pertengahan, dan
universitas modern) terbukti menjadi periode formatif yang
mempengaruhi lebih dari sekadar orang-orang pada zaman
mereka, tetapi juga kehidupan orang Kristen selama berabadabad. Benang merah menghubungkan persepsi dari ketiga era
pendidikan
ini,
yaitu
bahwa
lembaga
pendidikan
menginvestasikan semua yang mereka bisa untuk membantu
siswa menjadi berkembang dengan baik dalam iman mereka
(Holmes, 2001).
Spiritual formation adalah elemen penentu pendidikan
tinggi
Kristen.
Formasi
spiritual
adalah
"respons
berkelanjutan kita terhadap realitas kasih karunia Allah yang
membentuk kita menjadi serupa dengan Yesus Kristus,
melalui karya Roh Kudus, dalam komunitas iman, demi
115 – Pembentukan Rohani
dunia" (Greenman, 2015). Perguruan Tinggi Kristen tidak
hanya
tertarik
untuk
mempromosikan
pengembangan
akademik siswa, tetapi juga pengembangan rohani siswa.
Tujuan
ganda
ini
dijelaskan
oleh
Dockery
(2008)
menggunakan frasa Latin "religio et eruditio", yang
menegaskan "cinta kepada Tuhan dan cinta untuk belajar,
pentingnya pengabdian dan pentingnya pengajaran." Moto ini
sama-sama mewakili institusi pendidikan tinggi Kristen
modern dalam menjalin dua tujuan iman dan pembelajaran,
dengan penekanan khusus pada bagaimana iman adalah dasar
untuk belajar. Secara historis, pembentukan spiritual telah
menjadi hasil yang diinginkan untuk institusi pendidikan
tinggi dan tradisi komitmen iman ini dilanjutkan dalam
pendidikan tinggi Kristen.
Pendidikan
Tinggi
Kristen
mengandung
banyak
prasuposisi teologis yang telah diwariskan sepanjang sejarah
gereja. Agustinus adalah tokoh berpengaruh dalam sejarah
gereja,
menyumbangkan
epistemologi
iluminasi
ilahi.
Agustinus menggambarkan pendekatan ini sebagai "iman
yang mencari pemahaman" yang mewakili bagaimana iman
dipandang sebagai prasyarat untuk pengejaran akademis
(Holmes, 2001). Epistemologi mengakui peran Tuhan dalam
pembelajaran
ini
tetap
menjadi
bagian
integral
dari
pendidikan tinggi Kristen, karena "itu berarti bahwa
116 – Pembentukan Rohani
kebenaran pada akhirnya berasal dari Tuhan, tidak peduli apa
artinya kebenaran itu ditemukan" (Holmes, 2001). Pendidikan
Tinggi Kristen mengandaikan elemen inti teologi sebagai
dasar untuk pendidikan tinggi. Ini mencontohkan keterkaitan
teologi dan pembelajaran, bagaimana pandangan teologis
Kristen tentang Tuhan memengaruhi pendekatan mereka
terhadap pembelajaran dalam pendidikan tinggi Kristen.
Misi dan nilai-nilai Perguruan Tinggi Kristen secara
historis tercermin dalam aspek praktis pendidikan mahasiswa
seperti struktur dan harapan. Perguruan Tinggi Kristen telah
mendorong mahasiswa untuk mengambil mata kuliah teologi
dan berpartisipasi dalam program spiritual formation dalam
pemenuhan aspek iman dari misi sekolah. Ini umum bahkan
di antara lembaga-lembaga publik, mirip dengan mata kuliah
pendidikan umum yang diperlukan di universitas negeri
modern.
Pendidikan teologi memiliki sejarah yang kaya yang
dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno. Perkembangan
pendidikan teologi terkait erat dengan pertumbuhan dan
perluasan tradisi agama, khususnya dalam agama Kristen.
Pada abad-abad awal era Kristen, pendidikan teologi sering
bersifat informal dan dilakukan dalam konteks komunitas
Kristen. Para pemimpin dan guru menyediakan petunjuk
dalam tulisan suci, ajaran, dan kehidupan Kristen.
117 – Pembentukan Rohani
Ketika agama Kristen menjadi terkenal, struktur
pendidikan
formal
muncul.
Sekolah-sekolah
kateketik
didirikan untuk mengajar orang-orang yang baru bertobat
dalam
dasar-dasar
iman
Kristen.
Sekolah-sekolah
ini
memainkan peran penting dalam pembentukan teologis orangorang percaya. Dengan berdirinya sekolah-sekolah katedral di
Eropa abad pertengahan, pendidikan teologi menjadi lebih
terorganisir. Sekolah-sekolah ini, yang terkait dengan katedral
dan biara, bertujuan untuk mendidik pendeta dan merupakan
pusat kehidupan intelektual saat itu.
Pendirian
universitas
pada
abad
ke-12,
seperti
Universitas Bologna dan Universitas Paris, menandai
perkembangan yang signifikan dalam pendidikan teologi.
Teologi menjadi salah satu disiplin dasar, dan fakultas teologi
didirikan di dalam universitas-universitas ini. Reformasi
Protestan pada abad ke-16 membawa perubahan dalam
pendidikan teologi. Para reformis seperti Martin Luther dan
John Calvin menekankan perlunya pendeta untuk dididik
dalam teologi, yang mengarah pada pendirian seminari
Protestan. Menanggapi Reformasi, Gereja Katolik memulai
reformasi melalui Konsili Trente. Periode ini menyaksikan
penguatan pendidikan seminari bagi klerus Katolik.
Perguruan tinggi adalah salah satu pusat pendidikan
teologis. Diasumsikan bahwa pemahaman alkitabiah dan
118 – Pembentukan Rohani
kontekstual tentang sifat dan pelayanan gereja mendukung
tujuan semua pendidikan teologis. Namun, kita mungkin
harus mengakui bahwa pemahaman yang kabur tentang
pelayanan, perkembangan dalam pendidikan teologi yang
lebih tinggi, profesionalisme dalam pelatihan, afiliasi dengan
universitas, dan perubahan dalam kehidupan kongregasi dan
paroki
telah
mengurangi
hubungan
tradisional
antara
gereja/lembaga misi dan perguruan tinggi.
Para pemimpin gereja dalam keprihatinan mereka yang
semakin meningkat tentang praktik pendidikan teologis saat
ini meratapi bahwa kualitas pelatihan telah menurun karena
institusi teologis menjadi berorientasi pada akademis murni.
Banyak lulusan merasa tidak siap menghadapi tantangan di
bidang ketenagakerjaan, karena isi dan metode pelatihan
mengabaikan dimensi praktis pendidikan teologis. Kritikus
membebankan seminari dengan perhatian yang berlebihan
terhadap teori selama latihan, sementara para pemimpin
seminari terus menegaskan bahwa mereka memberikan
pelatihan berkualitas kepada mahasiswa dengan landasan
biblika/teologis yang solid untuk pelayanan.
Secara historis, pendidikan teologis telah identik
dengan pelatihan pendeta, dipandang sebagai kader yang
terpisah secara khusus di gereja. Namun, hal ini telah menjadi
tugas yang lebih kompleks, beragam dan sering bermasalah
119 – Pembentukan Rohani
baik bagi gereja maupun seminari untuk mendefinisikan
'pendidikan teologis' di abad kedua puluh satu. Pertanyaan
yang sering diajukan adalah: Apa itu pendidikan teologis?
Apa tujuan pendidikan teologis? Apakah pelatihan teologis
saat
ini
memberi
perhatian
yang
memadai
terhadap
pembentukan gereja? Apakah kurikulum sekarang dan metode
pelatihan
untuk
berbagai
program
pelatihan
teologis
memerlukan revisi dalam hal pembentukan pelayanan? Tidak
diragukan lagi, perdebatan intensif diadakan mengenai tujuan
dan tujuan pendidikan teologis di seluruh dunia.
Timbul minat serius dari para pemimpin gereja dan
pendidik teologis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
sejak tahun 1980-an. Mengacu pada konteks Amerika Utara,
Carroll
menyatakan,
“seminari
teologi
terlibat
dalam
persiapan laki-laki dan perempuan untuk kepemimpinan
religius, yang biasanya sebagai imam, pendeta atau rabi.”
Saat membahas sifat umum Kolese Alkitab di Inggris, Tidball
mengatakan,
“Perguruan
Tinggi
Kristen
telah
sangat
memperhatikan pelatihan para pemimpin, atau mereka yang
dipanggil untuk bekerja dalam kapasitas penuh-waktu, bukan
kepada pribadi setiap orang.” Penelitian ekstensif Bernhard
Ott mendukung hal ini, dengan mengatakan, “Perguruan
Tinggi Kristen gerakan evangelis di benua Eropa didirikan
dengan tujuan melatih anak-anak muda, orang-orang yang
120 – Pembentukan Rohani
berkomitmen untuk pekerjaan misi di luar negeri atau
pelayanan gereja penuh waktu.”
Semua aspek pendidikan Perguruan Tinggi Kristen
awal diarahkan pada dimensi misi dan karya pastoral penuh
waktu dari pelayanan gereja. Seiring tuntutan profesional
untuk pendeta berpendidikan meningkat, pendidikan teologis
bergeser dari gereja-gereja yang dikuasai gereja ke universitas
berafiliasi independen, antar denominasi dan non-denominasi.
Institusi yang dimulai oleh gereja dan uskup menawarkan
‘model pengakuan’ untuk pendidikan teologis dan mulai
mencari validasi publik untuk lulusan mereka dalam
perjalanan waktu. Pergeseran seperti itu, meskipun pada
tingkat yang berbeda-beda, terbukti dalam pendidikan teologis
di seluruh dunia. Sebagai hasil dari perubahan tujuan
pendirian dan tujuan pendidikan teologis, ketegangan juga
muncul.
Hal ini penting untuk dicatat bagi pembentukan
identitas pelayanan dalam konseptualisasi spiritual formation.
Westerhoff (1982) menyatakan bahwa kelemahan utama dari
pendidikan teologi adalah penekanan pada pengetahuan dan
keterampilan bukan pada pengembangan spiritual dari
keimaman dan pembentukan karakter keimaman. Dia
berpendapat demikian dalam status sebagai pendeta. Dalam
mempertimbangkan
tantangan
untuk
121 – Pembentukan Rohani
mengembangkan
pandangan spiritual peserta didik Perguruan Tinggi Kristen
(meski dibentuk atau tidak, peserta didik demikian mungkin
tampak dalam struktur denominasi mereka), harus diakui
bahwa siswa secara bersamaan telah dibentuk oleh pribadi,
budaya dan spiritual lainnya. Mahasiswa yang masuk lembaga
teologi berakar dalam tradisi keluarga dan lokal, subkultur
regional. Mereka telah dipengaruhi oleh nilai-nilai dari iklan
dan budaya populer dan telah diinternalisasi pandangan
tentang ras, jenis kelamin, kelas sosial dan ekonomi dan
keragaman agama.
Para pendidik teologi telah mencatat bahwa mahasiswa
dapat menolak atau mengurungkan niat mereka kepada dosen
karena spiritual formation dan profesional mereka yang
bertentangan dengan keyakinan dan tradisi mereka. (Foster et.
Al. 2006). Kemungkinan hal ini menyinggung pelatihan dan
kompetensi dari orang-orang yang bertanggung jawab untuk
“membentuk”, dan menimbulkan masalah hubungan hierarki
dan penyalahgunaan potensi kekuasaan.
Sejumlah penelitian mencoba menganalisis ranah
pembelajaran dan salah satu yang paling banyak dikenal dan
digunakan adalah taksonomi yang dikembangkan oleh Bloom,
Krathwohl dan Masia. Ketiga taksonomi tujuan pendidikan ini
- yang sering disebut Taksonomi Bloom - adalah klasifikasi
dari berbagai tujuan dan keterampilan yang ditetapkan oleh
122 – Pembentukan Rohani
pendidik bagi peserta didik. Tujuan pendidikan teologi,
seperti halnya pendidikan profesional, mencakup aspek nonkognitif tertentu dalam pembelajaran, yang dikategorikan
sebagai ‘ranah afektif dan psiko-motor’ dalam penelitian
pendidikan. Menurut Ferris, sejumlah besar seminari dan agen
akreditasi belum benar-benar memahami perubahan radikal
yang dibutuhkan untuk pembentukan yang efektif. Banyak
dari yang dianggap ‘formasi’ dalam pendidikan teologi
berkaitan dengan fitur pembelajaran ini, yang biasanya sulit
untuk dijelaskan.
Secara umum, pendidik teologis dan lembaga
akreditasi telah mengikuti taksonomi tujuan pendidikan yang
dikembangkan oleh Benjamin Bloom. Mereka bersifat
kognitif - cakrawala dan pengetahuan - sebagai-proses, sikap
afektif, perasaan, emosi dan keterampilan psikomotor/domain
perilaku yang saling terkait. Sebagai hasil dari Konsili
Vatikan II dan perkembangan selanjutnya dalam pendidikan
teologi, di dalam bagian Spiritual Development, minat khusus
telah terbukti dalam “mengembangkan peserta didik ke dalam
tingkat
kematangan
manusia
yang
tepat.”
Ini
akan
menunjukkan dirinya dalam stabilitas karakter. Kemampuan
untuk mengambil keputusan, penilaian yang baik atas orang
dan kejadian, pengendalian diri, kekuatan karakter, ketulusan,
cinta, keadilan, kesetiaan, sopan santun, kerendahan hati,
123 – Pembentukan Rohani
kasih dan amal.
Untuk itu, disiplin kehidupan seminari
menjadi bagian persiapan dan pelatihan manusia untuk masa
depan seiring dengan disiplinnya, siswa secara bertahap
mendapatkan penguasaan diri dan belajar berhubungan
dengan orang lain.
Hal ini mengakibatkan beberapa kasus dalam formasi
model empat kali lipat yang membagi domain afektif menjadi
dua dengan membedakan antara formasi pribadi dan spiritual.
Susan Graham mengamati bahwa “keseluruhan tujuan
pendidikan teologis dapat dilihat sebagai gabungan empat
tujuan; Pembelajaran teologis, persiapan praktis untuk
pelayanan,
pembentukan
spiritual
dan
pelayanan
dan
pertumbuhan dalam kedewasaan pribadi.” Namun, lembaga
pendidikan teologi non-Katolik dan lembaga akreditasi,
umumnya mengikuti model tiga kali lipat dari yang
tradisional.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, Perguruan Tinggi
Kristen perlu menelusuri fondasi sejarah mereka dengan
kebutuhan gereja-gereja bagi para pemimpin yang terpelajar.
Model awal pendidikan teologis lebih praktis daripada
intelektual dan lebih dipengaruhi oleh pietisme daripada
metode
keilmuan
ilmiah
dengan
perhatian
untuk
mempersiapkan orang-orang untuk pelayanan revivalis.
Seiring bertambahnya jumlah gereja dengan tantangan baru di
124 – Pembentukan Rohani
paruh kedua abad ke-20, gagasan tentang kepemimpinan
profesional dipeluk oleh gereja-gereja dan mereka semakin
menekankan pada pelatihan profesional. Salah satu kritik
serius terhadap pendidikan teologi kontemporer yang
menyebabkan kemunculan kesenjangan dalam kaitannya
dengan pelayanan adalah pada fungsionalisme pendidikan
atau paradigma pendeta.
B. Pedagogi Pendidikan Kristen
Tantangan pedagogis lain adalah tugas membantu
banyak mahasiswa untuk mengatasi kenaifan, praktis,
sentimental atau fundamentalis kesalehan mereka pada saat
mereka masuk Perguruan Tinggi Kristen menjadi apa yang
disebut oleh filsuf agama Paul Ricoeur (1980) “kenaifan
kedua”. Diharapkan mahasiswa “bergerak dari seorang yang
naif, tidak perlu lagi meragukan keyakinan iman yang kritis.”
Seharusnya memiliki pemahaman eksistensialis mereka dari
tradisi yang diperluas dan diperdalam. Mahasiswa teologi
sering menganggap bahwa dosen mereka menjauhkan mereka
dari kesalehan mereka. Mereka merespons baik dengan
membiarkan hal ini terjadi, dan hanyut ke semacam sinisme,
atau dengan membangun cangkang pelindung di sekitar iman
mereka sehingga mencegah pendidikan teologi dari penetrasi
keyakinan dan praktik mereka sendiri.
125 – Pembentukan Rohani
Selanjutnya pendidik teologis merasa sulit untuk
membawa mahasiswa membumi dalam tradisi agama untuk
benar-benar “formatif” dalam menghadapi nilai-nilai budaya
dan sosial yang saling bertentangan, dan, pada saat yang
sama, melibatkan mereka untuk merefleksikan kebenaran di
tradisi agama lain (Foster et. al. 2006). Farley mengkritik
paradigma profesional atau pendeta dalam pendidikan teologi
pertama di buku ‘Theologia’, adalah seperti di bawah ini
• Pembentukan pribadi biasanya hilang-menjadi cokurikuler.
• Pendidikan gerejani tidak dilakukan-pendidikan teologis
menjadi individualistis dan afiliasi gereja dan hubungan
telah diremehkan.
• Sosio-politik turun-aktivitas budaya tidak memiliki dasar
untuk berdiri. (Tanpa komitmen gerejani yang umum,
keterlibatan etis tetap tidak berakar.).
• Teori dan praktik tetap terbagi, seminari cenderung
menekankan satu hal yang merugikan orang lain.
Niebuhr, Williams dan Gustafson memperhatikan
peningkatan ketelitian dalam standar pendidikan teologi
dalam
kualifikasi
saringan
masuk,
kebutuhan
dosen,
perpustakaan dan sumber belajar; Namun, mereka khawatir
bahwa pengajaran teologi yang efektif sedang dirusak oleh
meningkatnya beban mahasiswa dan tugas administratif;
126 – Pembentukan Rohani
ketegangan kurikuler; tuntutan denominasi; gereja dan
lembaga lainnya; dan kesulitan keuangan yang sering
menyebabkan sekolah untuk “menambah penghasilan dengan
kegiatan di luar sekolah.”
Visi pendidikan teologis profesional menciptakan
beberapa area ketegangan bagi institusi pendidikan teologis
karena mereka merasa sulit untuk mempertahankan hubungan
efektif antara keilmuan dan kesalehan. Spesialisasi akademis
dan kebutuhan pelayanan multifaset dari gereja, pembelajaran
teologis dan keragaman universitas. Hal ini membuat para
pemimpin
seminari
menyadari
bahwa
mereka
“harus
berurusan dengan sebuah jurang yang memisahkan dua
komunitas tanggung jawab, universitas dan gereja, sama
seperti
mereka
harus
menghadapi
pembagian
yang
memisahkan teori dan praktik.”
Mengesampingkan tujuan bersama yang luas ini,
tingkat keterbukaan dilihat sebagai pendekatan keyakinan
yang diinginkan dan praktik bervariasi “orang lain” dari
denominasi ke denominasi dan lembaga-lembaga teologis
yang berbeda. Model pendidikan yang dilembagakan sering
kali lebih memperhatikan teori pengetahuan dan oleh karena
itu dianggap lebih unggul sedangkan model non-formal
ditangani dengan pelatihan dan teknik dan oleh karena itu
dianggap inferior.
127 – Pembentukan Rohani
Dengan kata lain, kelembagaan, pendidikan akademis
teologi bisa menjadi tidak efisien dalam melayani kebutuhankebutuhan
pelayanan
gereja multi-segi. Sebagai
hasil
institusionalisme, Perguruan Tinggi Teologi yang didirikan
dengan tujuan tunggal menyimpang dari visi dan pemimpin
tersebut mulai bekerja untuk gerakan tersebut dengan alasan
selain hanya memenuhi tujuan utamanya. Juga perasaan
‘kelas elite’ menjadi lebih jelas seperti yang oleh Heywood
disebut “sikap superioritas.” Struktur, peran, dan formalitas
kantor muncul untuk memberi pinjaman pada stabilitas
institusi. Ini membuka pintu bagi birokrasi, dengan perhatian
lebih untuk pemeliharaan dan perlindungan kepentingan
pribadi daripada mencapai tujuan pendirian dan visi institusi.
Kepemimpinan menjadi pemalu dan lesu daripada vital dan
progresif. Pada saat itu, alternatif lembaga pendidikan
penyuluhan untuk pelatihan teologis disarankan sebagai
pilihan yang tepat oleh banyak orang.
Banyak institusi teologi saat ini tampil sebagai institusi
yang hanya peduli terhadap keunggulan akademis. Dalam
proses akreditasi, universitas kadang-kadang dilibatkan tidak
hanya di dalam penerimaan, ujian, dan pengangkatan fakultas
tetapi juga dalam isi setiap program. Cheesman merangkum
argumen melawan akreditasi universitas / nasional pendidikan
teologi evangelis,
128 – Pembentukan Rohani
1. Ini memperkuat elitis di gereja
2. Ada tuduhan kompromi karena kebutuhan untuk
menyeimbangkan kepentingan dua jenis pendidikan
yang berbeda.
3. Mereka yang berada di luar gereja seharusnya tidak
membuat penilaian mengenai bagaimana orang-orang
dilatih untuk pelayanan Kristen.
4. Dalam situasi validasi, atau hubungan perguruan tinggi /
universitas lainnya, pasti ada sedikit perubahan sikap
universitas
yang
bertentangan
dengan
pekerjaan
pelatihan pelayanan Kristen.
5. Sebuah produk dari paradigma akademis universitas
adalah bahwa isi dan metode pendidikan didefinisikan
oleh struktur internal disiplin karena telah berkembang
sepanjang sejarah.
Cheesman juga telah mengidentifikasi keuntungan
potensial dari Perguruan Tinggi Teologi dalam mengadopsi
hubungan kerja dengan universitas seperti di bawah ini
1. Hal ini membantu untuk menghindari obskurantisme.
2. Keterlibatan di akademi memiliki efek terbuka terhadap
sesama orang Kristen.
3. Hubungan dengan akademi sangat sesuai dengan
pandangan teologi yang terbuka, yang mendekati tugas
129 – Pembentukan Rohani
misi daripada pengerasan yang terkait dengan definisi
iman
4. Gereja-gereja dan perguruan tinggi mereka memiliki
hak tertentu untuk dilayani oleh masyarakat, di mana
hal itu mungkin dan bermanfaat.
5. Akreditasi universitas dapat dianggap sebagai bentuk
kontekstualisasi.
6. Universitas terkait Perguruan Tinggi Kristen memiliki
kesempatan unik untuk menumbuhkan ekumenisme.
Para rasul hanya memiliki firman Allah, Roh Kudus
dan doa sebagai sumber daya untuk pendidikan Kristen.
Mereka terlibat dalam mengajar dan dalam doa bukan hanya
metode mempertimbangkan keselamatan dari Tuhan. Teologi
Alkitab adalah landasan pendidikan Kristen. Alkitab adalah
standar untuk pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan
dan isi pendidikan Kristen. Pendidikan teologi tidak sempit
hanya pada firman Tuhan tetapi juga menempatkan bidang
ilmu lain yang menjadi pertimbangan sebagaimana terungkap
dari Kitab Suci. Dengan kata lain, dalam hal apa pun, orang
akan belajar tentang Tuhan mengenai apa yang Dia
ungkapkan tentang diri-Nya dalam Kitab Suci. (Ulangan
28:28). Pendidikan teologi tidak menetapkan untuk mencari
Tuhan dari luar, tetapi bertolak untuk mencari apa yang Allah
130 – Pembentukan Rohani
telah nyatakan dalam firman-Nya. Pendidikan teologi
demikian dapat dipahami sebagai sebuah program yang
dirancang untuk mengubah dan melatih mereka yang
dipanggil oleh Allah untuk pelayanan.
Pendidikan teologi tidak dirancang untuk melepaskan
diri teolog dari masyarakat tetapi untuk memberikan
kontribusi secara rohani kepada masyarakat. Tujuan dari
pendidikan teologi adalah memimpin orang kepada konsep
Allah dalam Alkitab sebagai Pencipta, Tuhan, dan Penebus.
Tujuan pendidikan teologi adalah untuk mengungkapkan
konsep Alkitabiah mengenai manusia yang diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah, tetapi jatuh ke dalam dosa
dan membutuhkan keselamatan. Pendidikan teologi harus
mengarahkan manusia pada konsep Alkitabiah tentang
keselamatan yang hanya dapat diperoleh dengan kasih
karunia.
Pendidikan
Kristen
berpusat
pada
Kristus
atau
pendidikan dilakukan berpusat pada Tuhan di rumah-rumah,
gereja, atau sekolah. Pendidikan Kristen, seperti Sara Little
tegaskan, “adalah hamba dan bukan tuan dari wahyu.”
Wahyu Alkitab menentukan tugas pendidikan dan memandu
proses pendidikan karena fungsi Alkitab ialah sebagai sumber
utama dan kriteria satu-satunya tanpa salah mengenai
kebenaran, semua fakta, anggapan dan opini harus diuji oleh
131 – Pembentukan Rohani
Firman Allah. Pemahaman tentang sifat wahyu Alkitab
memiliki implikasi yang sangat besar bagi Pendidikan
Kristen.
Menurut John Wade, dalam bukunya “Pengantar
Pendidikan Kristen”, Wahyu Alkitab menetapkan standar dan
memberikan dasar untuk semua pendidikan Kristen, termasuk
baik isi yang diajarkan dan metode yang diajarkan. Semua
faktor pendidikan harus sesuai dengan realitas Alkitab.
Karena pendidikan Kristen harus sesuai dengan apa yang kita
ajarkan dan bagaimana kita mengajarkannya. Esai ini akan
seperti mengutip pentingnya Alkitab untuk pembelajaran dari
Buku Kent Hodge: Pemahaman Eksegesis kitab suci, paparan
ajaran pelayanan, studi pribadi, aplikasi untuk kehidupan
sehari-hari, mentoring dan Roh Kudus.
Hulbart
menguraikan
lima
perbedaan
kontras
pendidikan Kristen dengan pendidikan sekuler :
1. Tanggung Jawab kepada Allah. Kita harus menanggapi
perintah Allah sebagai yang terutama, bukan kepada
pasar ide atau sistem nilai masyarakat.
2. Signifikansi Abadi. “Hasil mengajar kita, apakah baik
atau biasa-biasa saja, adalah permanen.”
3. Kebenaran mutlak. (tidak ditentukan, tetapi ditemukan).
Kita harus menjadi “penjaga terhadap Farisi modern
132 – Pembentukan Rohani
yang
akan
menekankan
penambahan-penambahan
teologis lebih dari Firman Tuhan itu sendiri.”
4. Spiritual Dinamis. Hal ini “bukan pengganti untuk
ketekunan tetapi faktor tambahan yang mempengaruhi
alasan dan hasil pembelajaran. ... Tanpa spiritual
formation siswa, pendidikan teologi berbeda dari
pendidikan sekuler terutama dalam materi pelajaran.”
5. Sentralisasi gereja. Lembaga teologis yang ada untuk
melayani gereja-gereja dan karena itu harus mempertanggungjawabkan kepada mereka.
Spiritual formation tidak akan menjadi agenda eksplisit
banyak program karena lebih mudah didekati secara tidak
langsung daripada langsung. Tapi dengan cara tertentu bahkan
mood dominan, iklim belajar dan hubungan antara pengajar
dan
peserta
didik
dalam
Perguruan
berkontribusi
pada
proses
spiritual
Tinggi
Kristen
formation
secara
keseluruhan. Oleh karena itu perhatian harus diberikan juga
untuk faktor bawah sadar yang mempengaruhi kepercayaan
dan ketidakpercayaan, keterbukaan atau ketertutupan. Gross
menguraikan visi pendidikan Kristen sebagai keyakinan dasar
di bawah ini, yang mirip dengan Hulbert. Kemudian ia
melanjutkan: “Kami mungkin meluluskan peserta didik yang
memiliki intelektual elite, sangat termotivasi secara akademis,
133 – Pembentukan Rohani
dipersiapkan untuk lulusan sekolah terbaik dan kesuksesan.
Tetapi jika hati mereka tidak condong kepada Allah, kami
telah gagal untuk mewujudkan visi kami.”
Standar akreditasi dari ATS memiliki harapan yang
jelas untuk anggota pengajar di bidang spiritual formation,
dan beberapa catatan dari antaranya yang cukup menolong
adalah
(Meye,1988)
“moral,
agama
dan
kedalaman
intelektual, keunggulan dalam pengajaran dan kepedulian
untuk pelayanan harus mencirikan anggota pengajar teologi.”
“Beban kerja dari anggota pengajar akan mengizinkan
perhatian kepada siswa.” “Program-program [harus] meliputi
konseling yang memadai, pribadi dan spiritual, serta
akademik. ”Anggota pengajar harus siap untuk melayani para
siswa dalam pengembangan pribadi / spiritual mereka.”
Menurut Joseph Hough dan John Cobb dalam
tulisannya tahun 1985, gereja selama beberapa abad telah
menentukan membuat lembaga yang diberikan tanggung
jawab guna menyiapkan pemimpin-pemimpin gereja sebagai
“teolog-teolog praktika.”
Orang-orang ini terlibat dalam
“refleksi kritis akan praktek gereja”.
Jika tidak ada
kepemimpinan reflektif yang demikian, maka gereja akan
kehilangan identitas Kristennya. Oleh sebab itu, kurikulum
Perguruan Tinggi Kristen harus membawa pada pertumbuhan
134 – Pembentukan Rohani
antara gereja dengan seminari dalam upaya mendidik caloncalon rohaniwan.
Diusulkan calon rohaniwan melakukan praktik selama
satu tahun di bawah supervisi pendeta pengajar. Oleh Kelsey,
dalam tulisannya tahun 1993, pandangan Hough dan Cobb ini,
dan juga pandangan Niebuhr mengenai pendidikan teologi,
dimasukkan ke dalam kelompok yang disebut tipe “Berlin,”
yaitu kelompok yang sangat mementingkan penelitian teologi.
Dalam tulisannya tahun 1985, 1993, 1994, Charles Wood,
menyatakan bahwa tujuan pendidikan teologi jangan hanya
dibatasi pada pengertian pendidikan profesional untuk
pendeta-pendeta, tetapi juga untuk penelitian teologi sebagai
instrumen kesaksian gereja. Ia menghindari konsep antara
teori dengan praktik.
Dalam pelaksanaan pendidikan, ia
sejalan dengan Hough dan Cobb dalam kerja sama Perguruan
Tinggi Kristen dengan gereja.
David
menyatakan
Kelsey
bahwa
dalam
tujuan
tulisannya
pendidikan
tahun
teologi
1992
adalah
pencapaian pengenalan akan Allah lebih benar. Tujuan itulah
yang mempengaruhi semua kehidupan dari suatu lembaga
khusus seperti Perguruan Tinggi Kristen maupun gereja
sebagai komunitas.
Hal-hal yang membawa kita lebih
mengenal Allah, disebut Kelsey sebagai “barang-barang
Kristen” yang harus menjadi fokus dari sekolah teologi, bukan
135 – Pembentukan Rohani
penyiapan kepemimpinan gereja , sehingga hubungan
Perguruan Tinggi Kristen dengan gereja menjadi hubungan
“untuk,” yaitu menggembalakan, dan hubungan “menentang,”
yaitu mengoreksi secara teologis.
Hendricks mengatakan
bahwa Christian Education today is entirely too passive. and
thats
incongruous,
because
Christianity
is
the
most
revolutionary force on the planet. It change people.
Tinjauan historis dari misionaris terhadap pendidikan
teologi di Edinburgh 1910 dan selanjutnya mencatat,
“Pendidikan teologi adalah persemaian untuk pembaharuan
gereja, pelayanan mereka dan misi serta komitmen mereka
untuk kesatuan gereja di dunia sekarang ini” Kristen sebagai
agama berkomitmen untuk pendidikan. Kekristenan adalah
tentang mengingat dengan rasa syukur dan merayakan dalam
komunitas Allah melalui Yesus Kristus dalam penebusan dan
pembaharuan seluruh ciptaan. Dari awal, pendidikan Kristen
telah memainkan peran utama dalam memungkinkan tradisi
iman Kristen untuk diingat dan dirayakan. Kekristenan awal,
yang berakar dalam tradisi Judeo, memiliki komitmen
intrinsik pendidikan dari sejak mulanya.
Pada awal Injil Lukas itu menunjukkan bahwa orang
Kristen memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk
melanjutkan “tradisi para Rasul” ke generasi berikutnya.
Demikian juga dalam Kisah Para Rasul. (Kisah 1,1-2 dan
136 – Pembentukan Rohani
Kisah Para Rasul 2,42). Dari awal, kekristenan adalah agama
yang belajar dan mengajar, sebagaimana sumber dari iman
Kristen bukan berasal dari perasaan emosional individu tetapi
dari tradisi kompleks yang ditransmisikan dalam narasi, lagulagu, liturgi dan kemudian di akidah umum untuk mayoritas
Kristen di tempat yang berbeda yang dapat dihafal dan harus
kembali disesuaikan lagi di setiap generasi.
Hal ini sangat penting dalam tradisi Alkitab seperti
misalnya desakan terhadap Timotius “Tetapi hendaklah
engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau
terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang
yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa
dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat
memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada
keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Tim. 3:1415). Karena itu dilihat dari perspektif sejarah, komitmen
untuk pendidikan bukanlah hak prerogatif Kristen Barat atau
penemuan akhir dalam gerakan misionaris abad ke-19,
meskipun gerakan misionaris sangat berkontribusi terhadap
penyebaran pendidikan teologi.
Perhatian untuk pendidikan Kristen dan lebih khusus
untuk pendidikan teologi adalah fitur penting dan panggilan
batin iman Kristen dari permulaan. Oleh karena itu tidak
mengherankan bahwa konferensi misi dunia di Edinburgh
137 – Pembentukan Rohani
tahun 1910, yang dapat dilihat sebagai puncak dari semangat
misionaris Kristen Barat di abad ke-19, ditandai dengan
komitmen yang kuat untuk pendidikan Kristen. Hal ini dapat
dilihat:
a) dalam kepentingan kebijakan yang tepat untuk
pendidikan umum bagi orang-orang (pada waktu itu
sering disebut “pendidikan moral”),
b) dalam perhatian utama bagi pendekatan umum dalam
pendidikan teologi yang lebih tinggi dari para
misionaris khususnya dan
c) perhatian khusus untuk pelatihan teologis pemimpin
gereja pribumi dalam bahasa sehari-hari. Pendidikan
teologi dapat berfungsi sebagai jembatan dalam dua
cara.
Pertama,
untuk
membantu
mentransfer
pengetahuan dari generasi ke generasi. Baik tentang
prestasi, kegagalan
dan tantangan
yang sedang
berlangsung dari gerakan gereja. Hal ini akan
membantu
orang
muda
untuk
memiliki
rasa
kepemilikan warisan ekumenis dan memahami sejarah
bahwa mereka mewarisi dan akhirnya akan membentuk
mereka. Kedua untuk memfasilitasi perjanjian gereja
atau proses tindak lanjut menjadi kenyataan lokal dan
praktis.
138 – Pembentukan Rohani
Banyak pekerjaan masih diperlukan di bagian ini
sehingga bentuk utama dan prestasi dari gerakan gereja
memiliki resonansi dan relevansi dalam konteks gereja lokal.
Ada kesenjangan antara keputusan bersama pengakuan para
pemimpin gereja dan proses penyampaian kepada jemaat
lokal. Pendidikan teologi bisa membantu gerakan gereja
bekerja bukan dengan pendekatan dari atas ke bawah
melainkan menemukan kebutuhan dari gereja-gereja lokal
pertama dan memastikan proses menginformasikan dari
gereja
yang
lebih
besar
melalui
metode
partisipasi.
Pendidikan teologi juga dapat memediasi komunikasi antara
pelaku gereja yang berbeda dan menjadi ajang pengujian
untuk pemikiran inovatif dan pendekatan baru untuk
pekerjaan ini.
Maria Harris mengidentifikasi beberapa cara bahwa
teologi memberikan informasi mengenai pemahaman kita
tentang pengajaran dan pembelajaran. Ia melihat pengajaran
diri sebagai latihan spiritual “dalam menanggapi dan bekerja
sama dengan Pencipta yang mana Allah bertindak.”
Perguruan Tinggi Kristen berkomitmen untuk dua dimensi
pembelajaran, intelijen /akademik, dan formasi. Keduanya
penting, dan jika kita melakukan satu tanpa yang lainnya kita
akan gagal untuk menghasilkan hamba yang efektif bagi
Kristus.
139 – Pembentukan Rohani
Peserta didik membutuhkan kedua dimensi, dan mereka
juga membutuhkan integrasi dari kedua dimensi dalam
kehidupan
dan
pelayanan
mereka.
Intelijen/akademik
mencakup informasi, keterampilan, kemampuan berpikir, pola
pembelajaran, dan lainnya.
Formasi termasuk personal,
sosial, spiritual, komunal dan pembentukan profesional dan
pelatihan. Charles Foster telah melakukan penelitian yang
luas di Amerika pada pelatihan untuk pelayanan profesional
dan pendeta. Dia menggambarkan kebutuhan untuk tiga jenis
magang.
Gagasan magang ini relasional, ia menyebut sebagai
investasi yang harus dilakukan dosen untuk mahasiswa, dan
juga menyampaikan fakta bahwa mahasiswa harus siap untuk
menjadi pribadi yang diubah dan diperlengkapi untuk
kehidupan masa depan dan pelayanan mereka. Magang bukan
hanya tentang keterampilan belajar, namun juga mengenai
pembelajaran nilai-nilai dan standar kerajinan. Hal ini juga
merupakan magang komunal, di mana siswa belajar bersamasama dari banyak orang yang memiliki karunia pengajaran,
pelatihan, dan pendampingan.
Foster menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi Kristen
harus menyediakan:
1. Sebuah magang menuntut landasan Alkitab dan
pemikiran
Kristen,
serta
keterampilan
140 – Pembentukan Rohani
berpikir,
membaca, memahami dan mengevaluasi. Hal ini
memberikan dua tantangan yang signifikan: mahasiswa
perlu banyak mempelajari informasi untuk memiliki
bahan untuk bekerja, dan mereka perlu belajar untuk
berpikir
secara
mendalam,
kreatif,
kritis,
dan
membedakan.
2. Sebuah
magang
menuntut
pembentukan
pribadi,
spiritual, sosial dan komunal. Hal ini terjadi dalam
model yang disediakan untuk mahasiswa oleh dosen,
dengan kualitas dan budaya kehidupan masyarakat
perguruan tinggi, dan oleh interaksi personal dalam
perguruan
tinggi,
termasuk
antara
dosen
dan
menuntut
keterampilan
yang
kemampuan
untuk
mahasiswa.
3. Sebuah
magang
dibutuhkan
untuk
pelayanan,
merefleksikan teologi pelayanan, dan mengembangkan
pola-pola baru pelayanan. Hal ini terjadi pada
kecerdasan / pengajaran akademis dan pelatihan
pelayanan praktis, dalam kehidupan masyarakat dan
interaksi,
di
kapel,
dalam
penempatan
dan
pembelajaran yang berasal dari refleksi pelayanan.
Foster juga menunjuk perlunya integrasi lanjutan dari
ketiga magang tersebut, sehingga tidak muncul isolasi dari
141 – Pembentukan Rohani
yang lain, dan masing-masing membentuk orang lain. Ketiga
jenis magang membutuhkan dosen yang berfokus pada
pembentukan siswa dan berinvestasi di dalamnya. Hal ini
membutuhkan bakat, pelatihan, waktu, tenaga, dan karena itu
sumber daya. Setiap magang membutuhkan berbagai jenis
pedagogi, karunia khusus untuk pelayanan, dan kesabaran
untuk berinvestasi dalam hasil jangka panjang di pelayanan
masa depan mahasiswa.
Spiritual formation di Perguruan
Tinggi Kristen juga mencakup apa yang dikatakan oleh
Socrates akan pentingnya unsur pendidikan yang disebut
ethos, panthos, dan logos. Ethos menjelaskan tentang
karakter, panthos menjelaskan tentang belas kasih dan logos
menjelaskan tentang isi.
Service-Learning Berbasis Pendidikan Tinggi
Service-Learning telah muncul sebagai sarana yang
efektif untuk menghubungkan materi mata kuliah dengan
pengalaman dunia nyata dalam pendidikan tinggi. Tidak
seperti sukarelawan layanan masyarakat pada umumnya,
proyek Service-Learning adalah bagian dari kurikulum dan
tujuan pembelajaran kursus perguruan tinggi (Zlotkowski,
1998). Service-learning memberikan manfaat timbal balik
baik bagi institusi akademik maupun bagi masyarakat yang
dilayani (Bringle & Hatcher, 1996). Lembaga akademik
142 – Pembentukan Rohani
mendapat manfaat dengan peningkatan citra di masyarakat
(Eyler, Giles, Stenson, & Gray, 2001) dan peningkatan hasil
belajar mahasiswa di beberapa domain (Conway etal., 2009).
Berkenaan dengan hasil akademik dari pembelajaran
layanan, tiga meta-analisis telah menemukan dampak positif
pada hasil akademik, termasuk IPK, motivasi akademik, dan
perkembangan kognitif, terlepas dari apakah meta-analisis
hanya mencakup studi hasil terkontrol (Celio et al., 2011) atau
termasuk studi yang kurang ketat secara metodologis
(Conway et al., 2009; Yorio &; Ye, 2012).
Contoh ilustratif adalah studi longitudinal oleh Astin,
Vogelgesang, Ikeda, dan Yee (2000), yang menemukan
bahwa mahasiswa yang berpartisipasi dalam proyek ServiceLearning memiliki IPK, keterampilan menulis, keterampilan
berpikir kritis, dan keterampilan kepemimpinan yang lebih
baik daripada mahasiswa yang tidak berpartisipasi dalam mata
kuliah Service-Learning.
Keuntungan akademik bukan satu-satunya manfaat dari
Service-Learning. Service-learning juga telah ditunjukkan,
dalam meta-analisis, untuk memperdalam pemahaman tentang
isu-isu sosial dan meningkatkan wawasan pribadi (Conway et
al., 2009; Yorio &; Ye, 2012). Partisipasi dalam ServiceLearning dapat menumbuhkan identitas prososial yang kuat
pada mahasiswa. Selain itu, partisipasi dapat meningkatkan
143 – Pembentukan Rohani
sikap terhadap diri sendiri, termasuk harga diri yang positif,
evaluasi kemampuan sendiri, rasa kontrol, dan self-efficacy
(Celio et al., 2011).
Mahasiswa yang terlibat dalam Service-Learning
biasanya terlibat dengan individu dari latar belakang ekonomi
dan etnis selain mereka sendiri, memungkinkan paparan yang
lebih besar terhadap keragaman dan membangun kesadaran
akan hak istimewa seseorang (Jones &; Abes, 2004).
Hubungan yang terbentuk antara mahasiswa dan anggota
masyarakat yang mereka layani memberi mahasiswa rasa
tanggung jawab pribadi untuk berusaha membuat kondisi
lebih adil bagi orang-orang itu dan orang lain seperti mereka
(Mitchell, 2015). Di antara alumni yang diwawancarai tentang
partisipasi mereka dalam mata kuliah Service-Learning,
beberapa melaporkan bahwa pengalaman itu menanamkan
kewajiban moral untuk melayani yang tetap ada bahkan
bertahun-tahun kemudian (Jones & Abes, 2004).
Spiritualitas dan Service-Learning
Hasil tambahan dari pembelajaran pelayanan yang
perlu dipertimbangkan adalah pendalaman spiritualitas. Di
sini kita menganggap spiritualitas secara luas mencakup
keyakinan dan praktik agama, integritas etis, rasa tujuan,
mistisisme, dan transendensi (Welch & Koth, 2013). Bukti
144 – Pembentukan Rohani
tentang hasil spiritual dari Service-Learning terutama teoritis,
tetapi satu studi kuantitatif mahasiswa sarjana yang
menggunakan pemodelan persamaan struktural menemukan
bahwa kegiatan pelayanan adalah prediksi "panggilan
kejuruan," yang dioperasionalkan sebagai rasa keterlibatan
yang bertujuan dan bermakna (Phillips, 2011).
Temuan ini menunjukkan bahwa pelayanan dapat
menghasilkan efek pada persepsi mahasiswa tentang karier
dan pekerjaan, termasuk melihat pekerjaan melalui lensa
spiritual. Analisis lain dari Service-Learning telah membahas
berbagai manfaat lain yang mungkin yang dapat dimasukkan
sebagai hasil spiritual. Service-learning telah dilihat sebagai
kesempatan untuk pertumbuhan moral dan untuk menghargai
hubungan antara keterlibatan sipil dan spiritualitas (Dalton,
2006).
Louie-Badua dan Wolf (2008) menekankan bahwa
Service-Learning memberikan kesempatan untuk mengalami
keterhubungan, kesempatan untuk "membuka hati Anda," dan
perluasan penyelidikan diri dan pengetahuan diri. Proyek
pembelajaran pelayanan telah dianggap sebagai kesempatan
yang baik bagi mahasiswa Kristen untuk berlatih memerankan
keyakinan mereka di perguruan tinggi mereka, daripada hanya
merenungkan atau merenungkannya (Schaffer, 2004).
145 – Pembentukan Rohani
Welch dan Koth (2013) berpendapat untuk metateori
spiritual formation melalui pelayanan, menunjukkan bahwa
transformasi dan transenden dapat terjadi melalui pertemuan
dengan orang lain yang tidak diketahui. Koth (2003)
berpendapat bahwa kegagalan untuk memasukkan spiritualitas
dalam Service-Learning adalah kesempatan yang terlewatkan
untuk memperdalam praktik kontemplatif di kalangan
mahasiswa dan memperkuat komitmen jangka panjang untuk
melayani.
Tentu saja, pertimbangan penting lainnya mengenai
Service-Learning
adalah
bagaimana
spiritualitas
dapat
memengaruhi keterlibatan awal dalam pelayanan. Praetorius
dan Machtmes (2005) menemukan dalam sebuah studi
kualitatif bahwa spiritualitas adalah motivator penting bagi
relawan di hotline krisis 24 jam. Relawan dalam penelitian itu
mencatat keinginan mereka untuk "memberi kembali," untuk
mencapai perspektif baru tentang tantangan dan kesulitan
yang dirasakan dalam kehidupan seseorang, dan untuk
mengenali keterkaitan di antara kita semua sebagai bagian
dari tatanan sosial. Hunsberger dan Platonow (1986) juga
menemukan bahwa relawan lebih mungkin di antara mereka
yang memiliki motivasi religius intrinsik daripada mereka
yang memiliki motivasi ekstrinsik.
146 – Pembentukan Rohani
Spiritualitas juga relevan untuk kesempatan untuk
terlibat dalam Service-Learning, karena keyakinan iman telah
terbukti terkait dengan keputusan untuk memulai komponen
Service-Learning untuk mata kuliah (Helm-Stevens et al.,
2015). Selain itu, karakteristik yang berbeda dari spiritualitas
peserta pada gilirannya dapat berdampak pada efektivitas
Service-Learning (Park, Helm, Kipley, & Hancock, 2009).
Pelayanan dan Perguruan Tinggi Berbasis Iman.
Mempertimbangkan kemungkinan efek motivasi spiritualitas
pada pelayanan, serta hasil akademik, institusional, altruistis,
dan
spiritual
dari
pembelajaran
pelayanan,
tidak
mengherankan bahwa program pembelajaran layanan akan
dilembagakan di universitas berbasis agama. Literatur
penelitian mencakup sejumlah argumen teoritis tentang
relevansi pembelajaran layanan untuk institusi berbasis agama
(Hesser, 2003; Radecke, 2007; Schaffer, 2004).
Namun, penting untuk dicatat bahwa spiritualitas
mahasiswa dapat sangat bervariasi, bahkan di perguruan
tinggi berbasis agama, dengan cara yang dapat mempengaruhi
persepsi mahasiswa tentang proyek pelayanan. Alih-alih
berfokus pada efek dari terlibat dalam pelayanan pada
spiritualitas, studi ini melihat secara khusus pada spiritualitas
sebagai pengaruh pada niat untuk terlibat dalam proyek147 – Pembentukan Rohani
proyek pelayanan tertentu di perguruan tinggi Kristen.
Meskipun layanan di lembaga ini merupakan persyaratan
untuk kelulusan, mahasiswa masih memiliki pilihan dalam
proyek yang mereka ikuti. Oleh karena itu, memahami faktorfaktor yang membentuk proyek mana yang dikejar mungkin
penting dalam menetapkan hasil iman yang tepat. Studi saat
ini mengeksplorasi hubungan antara spiritualitas individu dan
niat mereka untuk terlibat dalam proyek layanan di
lingkungan perguruan tinggi.
148 – Pembentukan Rohani
V
SPIRITUAL FORMATION YESUS
DI INJIL MARKUS
Injil Markus adalah kitab kedua dalam Perjanjian Baru
Kristen dan merupakan satu dari empat Injil. Penulis
tradisionalnya adalah seorang pria bernama Yohanes Markus,
teman Simon Petrus, yang menulis Injil dengan menggunakan
catatan salah satu saksi mata kehidupan Yesus secara
langsung, yakni Petrus. Injil Markus memiliki 16 pasal, lebih
pendek dari tiga Injil lainnya. Kitab ini oleh sebagian besar
ilmuwan dianggap sebagai yang pertama dari keempat Injil
yang ditulis dengan penanggalan antara 50 dan 70 M. Markus
kemungkinan menulis dari Roma kepada Roma, lebih luas
lagi, orang bukan Yahudi. Tujuan Injil adalah untuk
menyajikan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Yahudi
dan untuk mendorong orang percaya untuk bertahan dan
bertekun dalam menghadapi penganiayaan dan kemungkinan
kematian sebagai martir. Penekanan Markus tidak hanya
berkisar pada peristiwa penting dalam kehidupan Kristus,
149 – Pembentukan Rohani
seperti penyaliban dan penderitaan-Nya saja, melainkan juga
pada cara Yesus bertindak dan beristirahat.
Sebenarnya, penulisnya itu anonim, karena tidak ada
klaim siapa pengarang yang dibuat secara inheren dalam surat
itu sendiri. Namun, ada bukti baik di dalam Alkitab maupun
dalam sejarah untuk mendukung Yohanes Markus, sepupu
Barnabas (Kolose 4:10), teman seperjalanan Paulus yang
mula-mula (Kis 12:25), dan putra rohani Petrus (I Petrus 5:13)
Sebagai penulis Injil.
Gaya penulisan non-sastra dan fitur sintaktis mungkin
menunjukkan bahwa bahasa pertama penulis bukanlah bahasa
Yunani, melainkan bahasa Semit seperti bahasa Aram. Penulis
juga mencakup rincian yang jelas yang tidak perlu untuk
aliran naratif, sebuah indikasi bahwa penulis menulis dari
laporan saksi mata. Faktor-faktor ini dapat diartikan konsisten
dengan pandangan tradisional bahwa Markus, seorang Yahudi
Palestina, menulis Injil dengan menggunakan Petrus sebagai
sumbernya.
Bukti internal dikuatkan dengan pengesahan awal,
termasuk teks kuno (“menurut Markus”), dan kesaksian oleh
Papias, Justin Martyr, Irenaeus, Tertullian, Clement dari
Alexandria, dan Origen. Penerimaan Markus yang hampir
universal sebagai pengarang Injil mengingat fakta bahwa dia
bukanlah seorang rasul atau pahlawan di gereja abad pertama
150 – Pembentukan Rohani
memberikan kepercayaan pada validitas klaim tradisional
bahwa Yohanes Markus menulis Injil yang menyandang
namanya.
A. Injil Markus dan Spiritual Formation
Penjelasan tentang kebiasaan orang Yahudi (mis. 7:3;
14:12; 15:42) dan terjemahan ungkapan bahasa Aram ke
dalam bahasa Yunani (mis. 3:17; 5:41; 7:11, 34; 9:43; 10 : 46;
14:36; 15:22, 34) menunjukkan bahwa mereka mungkin
bukan orang-orang Yahudi berbahasa Aram (Wallace, 1998).
Mengacu pada empat jam malam (6:48; 13:35), Markus juga
menggunakan sistem waktu Romawi dan bukan tiga Yahudi
tradisional. Dimasukkannya istilah Latin transliterasi yang
mengacu pada militer (misalnya legion di 5:9; praetorium
(gedung pengadilan) di 15:16; perwira di 15:39), pengadilan
(misalnya spekulan (penggal) 6:27; flagellare (sesah) di
15:15), dan perdagangan (misalnya dinar di 12:15; quadrans
(peser) di 12:42) menyiratkan tujuan Romawi, karena penutur
bahasa Latin pasti ditemukan paling mudah di sana. Selain itu,
kemungkinan bahwa identifikasi Alexander dan Rufus
sebagai anak-anak Simon si Kirene (15:21) adalah karena
orang-orang ini diketahui oleh penerima yang ditunjuk oleh
Markus - orang Kristen Roma (Roma 16:13).
151 – Pembentukan Rohani
Ada juga bukti eksternal dan bukti kuat yang
menunjukkan bahwa pembaca yang dimaksud adalah orang
Kristen Roma. Petrus dan Markus diyakini
berkumpul di
Roma (2 Timotius 4:11, 1 Petrus 5:13) di mana Clement dari
Alexandria dan Irenaeus menemukan tulisan Injil ini.
Eusebius juga menyatakan bahwa Papias menulis mengenai
Markus menyusun Injilnya untuk pendengar Petrus di Roma.
Meskipun
tidak
mungkin
untuk
memastikan
tanggal
komposisi, bukti-bukti yang ada menunjukkan sekitar tahuntahun terakhir dari dekade ketujuh, setelah kemartiran Petrus
di tahun 64 M, dan kemungkinan sebelum penghancuran
Yerusalem pada tahun 70 M. Jika dia menulis di Roma,
entahkah saat berada di sana bersama Petrus, atau mungkin
sesaat setelah kematian Petrus, maka Markus kemungkinan
sedang menulis untuk orang-orang Kristen Roma, dengan
tujuan untuk mengatasi krisis di gereja seputar penganiayaan
yang terus berlanjut yang mulai diarahkan pada mereka
selama ini.
Adalah penting bahwa meskipun Injil Markus selalu
dikaitkan dengan Rasul Petrus, tampaknya tidak ada
kecenderungan untuk menyebut karya itu “Injil Menurut
Petrus.” (Hal yang sama berlaku untuk hubungan Lukas
dengan Rasul Paulus). Hal ini meningkatkan kemungkinan
bahwa Markus sebenarnya adalah penulisnya, karena “tidak
152 – Pembentukan Rohani
mungkin gereja mula-mula akan memberikan nama Injil
kepada seorang tokoh kecil seperti Yohanes Markus kecuali
jika dia berada di posisi pengarang yang sebenarnya, karena
kitab-kitab
Perjanjian
Baru
biasanya
mewajibkan
kepengarangan oleh seorang rasul untuk memenuhi syarat
untuk diterima di dalam kanon.”
Secara umum disepakati bahwa Markus ini adalah
orang yang sama dengan Yohanes Markus yang disebutkan
dalam Kisah Para Rasul (lihat 12:12, 12:25, 13: 5, 13:13,
15:36). Secara tradisional, Injil Markus didasarkan pada
khotbah Petrus, yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan
berbagai komunitas Kristen dan karena itu tidak dalam bentuk
naratif. Mungkin inilah sebabnya Papias mencatat bahwa
Markus tidak menuliskan kejadian kehidupan Yesus “secara
tepat.” Markus mungkin juga menggunakan koleksi cerita
mukjizat dan ucapan Yesus yang masih ada untuk menyusun
Injilnya.
Injil Aksi
Menurut rasul Paulus, setiap kata dalam Alkitab
diilhami dan “bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik
orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16). Oleh karena itu,
Tuhan akan membuat Markus menulis sebuah narasi bukan
153 – Pembentukan Rohani
hanya untuk mencatat serangkaian peristiwa, melainkan untuk
membangun argumen teologis yang memungkinkan abdi
Allah “kompeten, diperlengkapi untuk setiap pekerjaan baik”
(2 Timotius 3:17). Dua penulis Injil lainnya menjelaskan
alasan mereka secara eksplisit di dalam teks mereka - Lukas
menyatakan maksudnya “menulis sebuah catatan yang
teratur” bahwa Anda mungkin memiliki kepastian mengenai
hal-hal yang telah diajarkan “(Lukas 1: 3-4), dan Yohanes
menjelaskan bahwa “ini ditulis supaya kamu percaya bahwa
Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu
memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yohanes 20:31).
Sementara Markus, hanya menyisakan petunjuk tersirat
mengenai tujuan utamanya menulis.
Injil Markus dicirikan oleh tindakan (action), dengan
jelas menggambarkan karya Yesus yang tidak henti-hentinya,
sering menggunakan kata kunci Yunani yang berarti segera
atau langsung dan konjungsi tersebut diterjemahkan sebagai
dan, juga, atau bahkan untuk mengikat kejadian bersama, dan
memberi keajaiban tempat yang menonjol dalam catatan.
Penggunaan berlimpah dari sesegera, yang dibumbui dengan
banyak sentuhan pribadi, meninggalkan kesan bahwa
ceritanya terbentang di depan mata pembaca. Markus berhatihati tidak hanya untuk mencatat emosi kemanusiaan Yesus –
belas kasihan (1:41, 6:34, 8:2), menghela napas (7:34; 8:12),
154 – Pembentukan Rohani
kemarahan (3:5; 10:14), dan penderitaan (14: 33-34) - tetapi
untuk memperhatikan reaksi orang-orang di sekeliling-Nya kekaguman (1:27), kritik (2:7), ketakutan (4:41), tercengang
(7:37), dan kebencian (14:1). Dia juga mendokumentasikan
lebih dari seratus pertanyaan yang berbeda, banyak dari
mereka bertanya kepada Yesus dan bahkan lebih banyak
ditanyakan oleh-Nya. Setelah bertanya tentang pendapat
orang lain, Dia bertanya, “Tapi siapa yang Anda katakan itu
saya?” (8:27). Bisa dikatakan bahwa Markus menulis Injilnya
untuk meminta tanggapan dari pembacanya mengenai
pertanyaan yang paling penting ini.
Markus menyodorkan premis teologisnya sebelum para
pembaca di dalam ayat pertama, yang menyatakannya sebagai
permulaan, asal mula, atau dasar Injil, bahwa Yesus bukan
hanya Mesias Yahudi yang telah lama ditunggu-tunggu, tapi
juga Anak Allah. Dia kemudian menggambarkan Yesus
sebagai orang yang simpatik, mengidentifikasikan diri dengan
laki-laki, menunjukkan belas kasihan kepada mereka, dan
berbagi penderitaan mereka. Penulis mencurahkan sebagian
besar teksnya ke pelayanan dan penderitaan yang saling
mendukung. Dua ayat penting berfungsi sebagai akhir kitab
ke bagian tengah kitab di mana Yesus pertama-tama
menuliskan standar pemuridan yang menuntut: “Setiap orang
yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya,
155 – Pembentukan Rohani
memikul
salibnya
dan
mengikut
Aku.”
(8:34).
Dia
membungkus serangkaian tiga prediksi gairah dengan
menegaskan kembali standar itu dengan diri-Nya sebagai
modelnya: “Sebab Anak Manusia datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (10:45).
Injil Istirahat
“Musuh nomor satu spiritual formation Kristen hari ini
adalah kelelahan,” tulis Jim Smith dalam buku penting The
Good and Beautiful God. Ini adalah proklamasi yang berani,
tapi saya yakin itu benar. Tentunya kebutuhan untuk
beristirahat bukan merupakan perkembangan baru, juga bukan
instruksi dari Tuhan untuk menghentikan sebuah instruksi
baru. Tuhan memerintahkan umat-Nya: “Ingatlah hari Sabat
dan jagalah tetap kudus! Enam hari Anda harus bekerja dan
melakukan semua pekerjaan Anda. Tetapi hari ketujuh adalah
sabat bagi TUHAN, Allahmu; Anda tidak boleh melakukan
pekerjaan apapun” (Keluaran 20:9-10). Kebutuhan untuk
beristirahat dengan serius, untuk melakukannya sebagai
disiplin spiritual, lebih banyak dibutuhkan saat ini daripada
sebelumnya. Sepanjang sebagian besar sejarah manusia, lakilaki dan perempuan telah dibantu untuk beristirahat karena
kenyataan bahwa ada sedikit cahaya yang bisa digunakan
156 – Pembentukan Rohani
hanya untuk sebagian setiap hari. Seiring perkembangan
peradaban, manusia menemukan cara menghasilkan cahaya
untuk melihat di kegelapan, namun sumber cahaya itu
biasanya mahal dan seringkali langka. Dihadapkan dengan
kenyataan tidak ada cahaya untuk bekerja, manusia tidur
selama dalam kegelapan. Skenario itu telah berubah. Manusia
telah mengembangkan cara yang lebih dapat diandalkan untuk
menghasilkan cahaya, mereka telah secara bersamaan
menghindari kegelapan untuk waktu yang lebih lama dan
lebih lama. Apa yang dulunya merupakan sumber irama yang
andal untuk siklus kerja dan istirahat sekarang hilang.
Kita sekarang bisa memiliki cahaya yang tersedia 24
jam sehari, tujuh hari seminggu. Kegelapan sekarang sulit
didapat di beberapa belahan dunia. Namun cara fungsi tubuh
manusia tidak banyak berubah selama bertahun-tahun sejak
Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk menikmati hari
istirahat. Jumlah waktu yang umumnya disisihkan untuk tidur
telah menyusut, tapi kebutuhan untuk itu tidak. Pada hari-hari
ini dipenuhi dengan cahaya buatan dan kesempatan larut
malam untuk bekerja dan bermain, kita sekarang harus sangat
terarah dalam mengejar istirahat fisik.
Penulis
pikir
mempertimbangkan
kita
bahwa
sering
kita
harus
gagal
untuk
memilih
untuk
beristirahat atau jika tidak, kita cenderung memiliki sisa yang
157 – Pembentukan Rohani
dipaksakan pada kita saat kita kelelahan sampai pada titik
tekanan fisik, mental, atau emosional. Pernahkah Anda
menemukan diri Anda dipaksa tidur setelah memaksa diri
bekerja terlalu keras? Perlu diingat adalah bahwa orang lain
mungkin mempertanyakan motif kita saat kita berhenti untuk
beristirahat. Markus 4 mencatat kisah tentang suatu malam
ketika
Yesus
dan
pengikut-pengikut
terdekat-Nya
menyeberangi Laut Galilea dengan perahu. Karena begitu
lelah dari pelayanan-Nya, Yesus tertidur di kapal. Ketika
badai dahsyat muncul, murid-murid-Nya dipenuhi dengan
rasa takut, dan dalam keadaan ketakutan mereka, mereka
mempertanyakan motif Yesus. “Tidakkah kamu peduli jika
kita tenggelam?” Mereka menuntut (Markus 4:38, NIV) yang
tidak mereka sadari adalah bahwa tidur Yesus adalah tanda
kepercayaan dan kepercayaan-Nya terhadap Bapa-Nya. Yesus
mengerti bahwa Tuhan memiliki kuasa atas segalanya,
termasuk alam itu sendiri.
Perkataan Yesus kepada angin dan ombak adalah katakatanya kepada pengikut-Nya saat itu dan sekarang ini,
“Damai sejahtera! Tetaplah tenang!”. Memahami bahwa
Tuhan memiliki kekuatan untuk menyelamatkan kita dapat
menggantikan rasa takut kita dengan kepercayaan dan
kepercayaan diri, membiarkan kita beristirahat dengan tenang.
Akan selalu ada lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan,
158 – Pembentukan Rohani
seperti akan selalu ada badai. Saat kita mempraktekkan
disiplin beristirahat, orang lain mungkin bertanya kepada kita,
dan kita mungkin meragukan diri kita sendiri. Tetapi di dalam
hatinya, mempraktikkan disiplin istirahat adalah tindakan
kepercayaan: pernyataan kepercayaan kepada Tuhan dan
pemberian-Nya untuk kita, untuk orang yang kita cintai, dan
untuk pekerjaan yang Tuhan telah berikan untuk kita lakukan.
Akankah pekerjaan itu menumpuk saat kita beristirahat?
Mungkin. Tapi kemampuan kita untuk melakukan pekerjaan
kita juga bisa terakumulasi, dan tentunya kemampuan kita
untuk membedakan apa yang paling dibutuhkan akan
meningkat. Beristirahat tidaklah sia-sia. Spiritual formation
ditunjukkan oleh Yesus sendiri kepada murid-muridnya.
Setelah Yesus menghabiskan waktunya mengajar para muridNya, Dia mengutus mereka untuk pergi melayani orang lain
(yang juga dicatat dalam Lukas 9-10).
Sepanjang tiga tahun pelayanan-Nya, ini adalah pola
yang Ia tetapkan. Ia akan menghabiskan waktu-Nya untuk
mengajar dan menyatakan perilaku-Nya dan kemudian Dia
mengutus mereka keluar untuk melakukan hal yang sama.
Kita dapat menemukan momen terbesar itu saat di
Pengangkatan Yesus di bukit, ketika murid-murid terakhir
kalinya diutus dan diberi perintah untuk “menjadikan semua
bangsa murid-Ku, membaptis mereka, mengajar mereka
159 – Pembentukan Rohani
melakukan segala perintah-Ku” (Matius 28). Aprila Welch
mengatakan bahwa
Dalam kehidupan seseorang, terus-menerus
memelihara formasi rohani Anda akan menolong
Anda tumbuh menjadi lebih seperti Kristus.
Melalui penelaahan Kitab Suci, peran serta aktif
dalam komunitas iman, dan kepatuhan terhadap
perintah-perintah untuk menjangkau orang lain,
Anda akan tumbuh dan meregangkan diri Anda
lebih ke dalam keserupaan dengan Juruselamat
Anda. Pada akhirnya, itulah tujuannya sebagai
"Kristus-Kristus kecil."
B. Spiritual Formation Yesus di Injil Markus
Injil Markus ditulis untuk menetapkan identitas Yesus
dan untuk menginstruksikan pembaca dalam meresponi
dengan tepat saat membacanya. Donald English, dalam
bukunya The Message of Mark: The Mistery of Faith, melihat
motivasi ganda ini terjalin di seluruh Injil sebagai tanggapan
terhadap dua kemungkinan pertanyaan yang diajukan oleh
pembaca. Pertanyaan pertama – “siapakah Yesus?” - adalah
pertanyaan identitas; pertanyaan kedua – “bagaimana
seharusnya kita merespons?” - adalah pertanyaan tanggapan,
atau kepercayaan? Kedua tema tersebut menyajikan Yesus
sebagai fokus Injil, dan keduanya tampak jelas dari permulaan
Injil. Misalnya, “permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak
Allah” (Markus 1:1) bergerak cepat ke “Engkaulah Anak-Ku”
160 – Pembentukan Rohani
(Markus 1:11) sebagai jawaban dari pertanyaan identitas.
Kemudian, saat Markus mencatat jawaban pertanyaan
mengenai tanggapan, Yesus mengumumkan: “Waktunya telah
genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan
percayalah kepada Injil!”(Markus 1:15). Contoh lain adalah
jawaban Petrus “Engkau adalah Mesias” (Markus 8:29)
pengakuannya di Kaisarea Filipi. Pengakuannya dengan cepat
dikonfirmasi melalui suara Transfigurasi “Inilah Anak-Ku,
yang Kukasihi” (Markus 9:7) diikuti oleh respons yang
diinginkan dari “Dengarkan Dia!” (Markus 9: 7). Mengikuti
Guru:
langkah-langkah
wawasan
tentang
pemuridan
tema
Yesus
menawarkan
“identitas-respons”
Injil
mengungkapkan konflik yang muncul di antara kedua sudut
pandang yang berlawanan dalam Injil Markus: “memikirkan
hal-hal tentang Allah” dan “memikirkan hal-hal dari manusia”
(Markus 8:33).
Konflik fokus ini paling jelas dalam diri Petrus, yang
mendapatkan teguran Yesus setelah “tanggapannya” yang
kebingungan dalam pemahamannya yang terus berkembang
tentang “Identitas” Yesus. “Misteri Yesus dan Salib” sulit
bagi semua orang yang mau mengikuti Yesus dengan syarat
pribadi mereka sendiri.
“Hal-hal umat manusia” meliputi
harapan dan stereotipe para murid terhadap Yesus, yang pada
dasarnya menghancurkan identitas Mesias yang menderita.
161 – Pembentukan Rohani
Di sisi lain, Michael Wilkins berpendapat, “Memikirkan halhal dari Tuhan” memungkinkan identifikasi Yesus Mesias
menderita yang tepat - dan respons kepadanya - hidup dalam
pelayanan di antara umat Allah.
Berpikir dari sudut pandang Tuhan tentang bagaimana
memahami esensi pelayanan Yesus sebagai hamba sejak
Yesus mengungkapkan bahwa tujuan-Nya datang ke bumi
adalah naik ke kayu salib (Markus 8:31). Pada akhirnya,
ajaran spiritual formation Injil Markus mengungkapkan
Yesus mengarahkan pengikutnya untuk “memikirkan jalan
Tuhan, jalan penderitaan dan salib lewat melayani”. Melayani
“Memikirkan hal-hal dari Tuhan.”
Menurut Injil Markus,
apakah “masa depan yang disukai” dari mereka yang mencari
tanggapan yang tepat sebagai murid Yesus? Jawaban atas
pertanyaan ini tergantung pada yang sebenarnya kesimpulan
dari
Injil
yang
diterima
oleh
pembaca.
Jika
Injil
menyimpulkan, “Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada
siapa pun juga karena takut.” (Markus 16:8), maka tidak ada
amanat yang spesifik di akhir Injil untuk masa depan muridmurid setelah kenaikan Yesus.
Jika berakhir seperti ini, maka kemungkinan akhir yang
tersedia bagi pembaca ialah dipaksa untuk mencari beberapa
perintah yang mengarahkan murid-murid ke arah “masa depan
yang lebih disukai” dalam Injil. Jika Injil diakhiri pada saat
162 – Pembentukan Rohani
itu, maka Suara yang mengkonfirmasikan identitas Yesus
menjadi semakin penting bagi spiritual formation pembaca.
Suara itu memerintah, “Dengarkan Dia!” (Markus 9:7). Sesuai
konteksnya, para murid harus mendengarkan hanya kepada
Yesus saat Dia berbicara kepada mereka tentang Keinginan
Hamba yang Menderita, yang secara efektif diumumkan
bahwa kelanjutan “kuasa” ialah melalui “pelayanan”. Bahkan
Petrus mengusulkan agar Elia dan Musa disamakan dengan
Yesus, dan dia gagal memahami bahwa Yesus lebih tinggi di
atas Elia dan Musa.
Dalam Injil Markus, “masa depan yang lebih disukai”
bagi
komunitas
murid
adalah
perintah
Bapa
untuk
“mendengarkan” Anak baik sekarang maupun di masa depan.
“Mendengarkan” diterjemahkan dari bahasa Yunani yaitu
akouete,
yang
berarti
“mendengar
apa
yang
sedang
diungkapkan,” dan mengambilnya pada signifikansi sebagai
“penerimaan anugerah dan seruan untuk bertobat dalam
menanggapi keselamatan dan tuntutan etisnya.”
Yohanes Paulus Heil menulis bahwa perintah mendesak
Allah untuk melakukan “dengarkan dia!”
memperkuat
permintaan Yesus sendiri untuk benar-benar “mendengar” dan
memahami pengajarannya (Markus 4:3, 9, 23; 7:14), dengan
tegas menarik perhatian khusus pada pengajaran-Nya. Bahwa
Dia harus menderita, mati dan bangkit (Markus 8:31). Ini juga
163 – Pembentukan Rohani
mengingatkan pembaca untuk memperhatikannya apa yang
Yesus ajarkan. Dengan demikian, pembaca diperintahkan
untuk “mendengarkan Yesus” sedemikian rupa sehingga iman
(identitas) dan ketaatan (respons) menjadi tanda pendengaran
nyata.
Setelah eksplorasi Injil Markus “mendengarkan
Yesus,” berdasarkan perintah saat Transfigurasi, maka kita
harus mengembangkan respons yang tepat dari “pemikiran
Jalan Tuhan” dalam kehidupan sehari-hari.
Injil Markus menyajikan Yesus sebagai orang yang
aktif sepanjang kehidupan publik dan pelayanan-Nya. Melalui
salah satu kata favoritnya – “sesegera”
Paul Ellingworth
menyatakan semakin kata itu dipakai, semakin berkurang
tekanannya untuk pembaca. Untuk alasan gaya sendiri, oleh
sebab itu tidak baik bagi penerjemah untuk menulis
“sesegera” setiap kali dia menemukan kata euthus dalam teks,
khususnya
jika
dalam
bahasa
Inggris
kata
tersebut
diterjemahkan dalam lima silabus bukannya dua. Tetapi
masalahnya bukan di masalah gaya; adalah masalah arti.
Euthus dalam Kitab Markus sering kali tidak berarti
“sesegera.” Malahan, hal itu tidak memberikan ekspresi yang
demikian. Mungkin, dalam sumber Aram yang mana Kitab
Markus paling banyak didasarkan, kata yang sama yang di
dalam kitab Injil diterjemahakan “behold” atau “look.”
Adalah tidak kebetulan bahwa Markus hampir selalu
164 – Pembentukan Rohani
menggunakan euthus dalam naratif dan “behold” dalam katakata yang dikatakan oleh orang yang sama di dalam kisah
Injil.
Sebuah istilah karakteristik yang terjadi dengan
frekuensi yang besar dalam Injil Markus adalah kata Yunani
Eutheos, yang banyak diterjemahkan “langsung, segera” dll.
Perhatikan beberapa kejadian dari kata ini dalam pasal
pertama saja: “Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit
terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya”
(ayat 10). “segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang
gurun” (ayat 12). “dan setelah Yesus meneruskan perjalananNya, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes,
saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus
segera memanggil mereka” (ayat 19,20). “Mereka tiba di
Kapernaum. Setelah hari Sabat mulai, Yesus segera masuk ke
dalam rumah ibadat dan mengajar” (ayat 21). “Sekeluarnya
dari rumah ibadat itu Yesus dengan Yakobus dan Yohanes
pergi ke rumah Simon dan Andreas” (ayat 29). “Ia pergi ke
tempat perempuan itu, dan sambil memegang tangannya Ia
membangunkan dia,
lalu lenyaplah demamnya. Kemudian
perempuan itu melayani mereka.” (ayat 31). “Segera Ia
menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras” (ayat. 43).
Dalam keseluruhannya, kata ini ditemukan tidak kurang
dari empat puluh kali dalam Injil Markus. Ini adalah istilah
165 – Pembentukan Rohani
yang paling sugestif dan ekspresif, membawa keluar
kesempurnaan dari Hamba Allah dengan menunjukkan
kepada kita bagaimana Ia melakukannya.
Tidak ada
keterlambatan tentang pelayanan Kristus, tetapi “langsung”
Dia harus mengurus bisnis Bapa-Nya. “Tidak ada penundaan,
tapi “segera” Dia melakukan pekerjaan yang diberikan-Nya
untuk dilakukan. Kata ini menceritakan tentang ketangkasan
pelayanan-Nya dan urgensi misi-Nya. Tidak ada mengunggununggu, tidak ada keengganan, tidak ada kelambanan, tapi
diberkati “langsung” semua pekerjaan-Nya. Kita semua harus
belajar dari contoh sempurna ini yang Dia telah wariskan pada
kita.
Markus menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang
yang beraktivitas, sibuk, aktif dan terlibat dalam spiritual
formation orang-orang yang mengelilingi Dia. Dua kata kerja
mengungkapkan Yesus sebagai “pusat penaklukan yang
sangat kuat dari energi ilahi.” Kumpulan kata kerja pertama
mengungkapkan aktivitas Yesus sebagai tokoh masyarakat
yang terlibat dalam pelayanan publik “berkhotbah ... mengajar
...
penyembuhan.”
Kata
kerja
kedua
mengungkapkan
aktivitasnya sebagai pribadi yang menjalani hidupnya sesuai
dengan pola kehidupan tertentu. Kedua “rangkaian kegiatan”
ini mengekspos pembaca untuk “memikirkan jalan Tuhan,”
dan ditujukan untuk spiritual formation pembaca. Injil
166 – Pembentukan Rohani
Markus membagikan undangan, dan komitmen Yesus kepada
empat orang: "Mari, Ikuti aku, dan aku akan menjadikanmu
penjala manusia" (Markus 1:17).
Secara harfiah, Yesus mengundang Petrus dan Andreas,
Yakobus dan Yohanes untuk “datang setelah / di belakangku.”
Ungkapan kunci dari undangan ini adalah hopiso mou, atau
“ikuti saya,” yang berarti, “Mengikuti seseorang, ikuti
seseorang,” dan mengambil arti figuratif untuk “menjadi
penganut” keberadaan seseorang diikuti. Komitmen Yesus“Aku akan menjadikan engkau penjala manusia” – segera
terlibat dalam sebuah pola pelayanan “kotbah ... pengajaran ...
penyembuhan”. Misalnya, awal dalam pelayanannya, Yesus
“berkhotbah di rumah-rumah ibadat mereka di seluruh
Galilea, dan mengusir setan” (Markus 1:39)
Beberapa saat kemudian, menghadapi orang banyak,
Yesus “berkhotbah kepada mereka” (Markus 2:2). Kemudian
pada hari yang sama, dengan orang banyak berkumpul di
sekelilingnya, Yesus “mengajar mereka” (Markus 2:13).
Selanjutnya, dihadapkan dengan
“Orang banyak yang
hancur,” Yesus “menyembuhkan banyak orang” (Markus
3:10). “Dan lagi dia mulai mengajar Laut” (Markus 4: 1)
Kemudian, Yesus “mulai mengajar di rumah ibadat mereka”
(Markus 6:2). Kemudian, mengikuti strategi yang telah
ditentukan sebelumnya, Yesus “pergi berkeliling desa-desa
167 – Pembentukan Rohani
untuk mengajar” (Markus 6:6). Segera setelah itu, Yesus
merasa belas kasih kasihan kepada orang banyak yang
mengikuti dia kemudian “mengajari mereka banyak hal”
(Markus 6:34).
Markus juga mencatat bahwa murid-murid didorong ke
dalam pelayanan sama yang dimiliki Yesus seperti mereka
melakukan “Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang
harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan
mengoles
banyak
orang
sakit
dengan
minyak
dan
menyembuhkan mereka.” (Markus 6:12-13). Mereka terlibat
dalam aspek kunci dari pola “pelayanan kuasa”. Jelas, melalui
pengajaran dan teladan-Nya, Yesus telah secara efektif
melakukan spiritual formation bagi para murid “berkhotbah ...
mengajar ... penyembuhan” pola pelayanan yang telah
dipekerjakan-Nya.
Tercatat dengan jelas bahwa pengikut Yesus belajar
dari-Nya bagaimana menggunakan pola pelayanan yang sama,
bahkan dalam hal melakukan apa yang telah dilakukan-Nya.
Sehubungan dengan pola “pelayanan kuasa” yang diajarkan
oleh Yesus, Markus juga mengungkapkan pola hidup yang
sebenarnya Yesus jalani. Pasal pertama Markus menulis
pengajaran, berkhotbah dan penyembuhan di samping
berbagai kegiatan spiritual formation yang dipraktikkan
Yesus - sinagoge, belajar, mengajar, berdiam, menyendiri,
168 – Pembentukan Rohani
dan berdoa - yang membuat pengikut-Nya belajar. Misalnya,
Yesus pergi ke tempat yang sepi untuk berdoa pada dini hari
(Markus 1:35), Dia mempraktikkan Sabat sesuai dengan
kebiasaan budayanya (Markus 2:22-28), Dia menghadiri
sinagoge lokal (Markus 3:1), Dia mengajar, berdasarkan studi
pemahaman-Nya, topik utama adalah Firman (Markus 4: 334),
Dia
menasihati
para
pengikut-Nya
untuk
mengembangkan keterampilan mendengar (Markus 4:24), Dia
menganjurkan istirahat dan kesendirian (Markus 6:31)
digabungkan dengan doa (Markus 6:36).
Mengumumkan pentingnya disiplin latihan spiritual,
puasa khususnya, Yesus mengajar: “Tidak seorangpun
menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang
tua,
karena
jika
demikian
kain
penambal
itu
akan
mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin
besarlah
koyaknya.
Demikian
juga
tidak
seorangpun
mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua
, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong
itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang.
Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong
yang baru pula” Markus 2:21-22.
Cara hidup yang baru adalah fajar pada orang-orang
yang mengikuti Yesus – “cara lama” tidak
cocok untuk
“kehidupan baru” ini. Yesus juga mengakui pentingnya
169 – Pembentukan Rohani
“melakukan Kehendak Tuhan” sebagai bukti spiritual
formation (Markus 3:35). Sesaat sebelum Transfigurasi,
Yesus menjelaskan masalah identitas. Sebuah pertanyaan
menyelidik “Kata orang, siapakah Aku ini?” Ditindaklanjuti
dengan pertanyaan lebih tegas “Tetapi apa katamu, siapakah
Aku
ini?”
(Markus
8:27,29)?
Sebagai
jawaban
atas
pertanyaan Yesus, Petrus menanggapi, “Engkau adalah
Mesias” (Markus 8:29).
Kemudian, dalam pergeseran penekanan yang tak
terduga dari “kuasa” untuk “melayani,” Yesus “mulai
mengajar mereka bahwa Anak Manusia harus menderita
banyak hal dan ditolak oleh para tua-tua, imam-imam dan
guru-guru, dan dia harus dibunuh dan setelah hari ketiga
bangkit kembali” (Markus 8:31). Menjadi “Kristus,” yang
didasari oleh
“pelayanan kuasa,” sekarang termasuk
“penderitaan, penolakan, kematian dan kebangkitan.”
Sayangnya, identifikasi Petrus yang luar biasa tentang
Yesus sebagai “Kristus” runtuh dengan kebingungan tentang
arti sebenarnya dari “Kristus.” Petrus menegur Yesus karena
memberi saran bahwa menjadi Kristus mencakup jalan
penderitaan,
kematian
dan
kebangkitan.
Yesus
mengidentifikasi sumber kebingungannya dengan tanggapan,
“Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang
dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia”
170 – Pembentukan Rohani
(Markus 8:33), untuk kedua kalinya, Yesus memberi perintah
“hopiso mou” – “di belakang saya.”
Williamson menunjukkan bahwa “di belakangku”
(Markus 8:33) dan “sesudah Aku” (Markus 8:34) adalah sama
dalam bahasa Yunani. Murid tidak membimbing, melindungi,
atau memiliki Yesus; Mereka harus mengikutinya. Spiritual
fomation, Yesus mengajar, memusatkan pola pikir muridmurid atas “hal-hal dari Tuhan,” bukan pada setan menjadi
pola pikir. Yesus memberi indikasi yang jelas tentang karakter
pelayanan yang sejati - melayani - dan dapat kontur untuk
respons yang tepat di dalam kehidupan para murid:
Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-muridNya dan berkata kepada mereka: "Setiap orang yang mau
mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul
salibnya
dan mengikut Aku.
Karena siapa yang mau
menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya;
tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan
karena Injil, ia akan menyelamatkannya.
Apa gunanya
seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan
nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai
ganti nyawanya? Sebab barang siapa malu karena Aku dan
karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak
setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena
171 – Pembentukan Rohani
orang itu apabila Ia datang kelak
dalam kemuliaan Bapa-
Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus. Markus 8: 34-38
Alkitab secara keseluruhan dinyatakan kepada kita dari
bentuk naratif, dan dalam hal naratif inilah Markus menulis
injilnya. “We live mainly forms dan patterns,” kata Wallace
Stegner seorang ahli storyteller kontempoter. Lebih lanjt dia
mengatakan bahwa “if the forms are bad, we live badly.” Injil
adalah bentuk kebenaran dan kebaikan, dimana kita hidup
baik dalamnya.
Baik Peterson dan Stegner, keduanya
memberikan pendapat bahwa lewat bentuk dan pola maka kita
bisa mendapatkan hidup yang baik. Jika bentuk dan polanya
buruk maka kita hidup dengan buruk juga.
Spiritual formation yang dicatat dalam kitab Markus
memberikan gambaran lewat pribadi Yesus bagaimana pola
ini harus dibentuk. Pola yang diberikan Yesus adalah action
and rest. Sekalipun Injil ini begitu banyak menjelaskan kata
sesegera namun dalam setiap pelayanan kita juga membaca
bahwa Yesus menyingkirkan dirinya, ia pergi menyendiri, ia
naik ke atas gunung bahkan ia naik ke perahu. Keseimbangan
di dalam action and rest merupakan pola yang diterapkan oleh
Yesus
yang
diharapkan
membawa
pengembangan
kepemimpinan bagi murid-murid-Nya.
Pelatihan dalam sikap dan penerapan pelayanan dimulai
segera setelah Transfigurasi. Pertama, dalam menanggapi
172 – Pembentukan Rohani
pertanyaan tentang Elia, Yesus menggunakan nabi Israel yang
terkenal sebagai contoh perlakuan yang diharapkan oleh
otoritas yang berkuasa: "mereka telah melakukan kepadanya
segala sesuatu yang mereka inginkan, seperti yang tertulis
tentang dia" (Markus 9: 13). Segera setelah contoh ini, Yesus
menggunakan seorang anak kecil sebagai ungkapan sikap
yang tepat mengenai kehidupan seorang hamba: "Barang
siapa ingin menjadi yang pertama, ia harus menjadi yang
terakhir dan hamba bagi semua orang" (Markus 9:35-36).
Yesus melanjutkan untuk mengajarkan pelayanan melalui
perawatan dan berkat-Nya bagi anak-anak yang dibawa
kepada-Nya (Markus 10: 13-16).
Pada akhirnya, Yesus menggunakan diri-Nya sebagai
ekspresi utama dari gaya hidup hamba, berkomentar bahwa
tujuan utama hidupnya adalah pelayanan: Anda tahu bahwa
mereka yang dianggap sebagai penguasa bangsa-bangsa lain
berkuasa atas mereka, dan pejabat tinggi mereka menjalankan
otoritas atas mereka. Tidak demikian halnya dengan Anda.
Sebaliknya, siapa pun yang ingin menjadi besar di antara
kamu harus menjadi pelayanmu, dan siapa pun yang ingin
menjadi yang pertama harus menjadi budak dari semua.
Karena bahkan Anak Manusia tidak datang untuk dilayani,
tetapi untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya
sebagai tebusan bagi banyak orang (Markus 10: 42-45).
173 – Pembentukan Rohani
Bahkan ketika masuk ke dalam kota Yerusalem dengan
kemenangan, Ia mengendarai keledai, sifat-hamba Yesus
dinyatakan (Markus 11:1). Di luar Transfigurasi, pelayanan
Yesus ditandai dengan ketaatan, penderitaan, dan kehambaan
agar kehendak Allah terpenuhi. Dan, seperti sebelumnya,
Yesus menekankan disiplin ilmu yang menopang “kehidupan
pelayanan.” Dia mengajarkan bukti kehidupan dengan
berbagai
disiplin
spiritual
formation.
Misalnya,
dia
berkomentar mengenai kedewasaan seorang murid dan
kehidupan secara keseluruhan (Markus 9:50) ditambah
dengan sikap dan praktik “perdamaian.”
Dia menganjurkan menjalani kehidupan di sepanjang
waktu dengan “iman” dan “doa” (Markus 11:20) Yesus
menggarisbawahi kebutuhan untuk memahami Kitab Suci dan
kekuasaan
Allah.
Ia
mendorong
kemampuan
untuk
mendengar Roh bahkan di tengah-tengah penganiayaan dari
ketaatan kepada kehendak Allah (Markus 13:11). Penting
untuk praktik berkelanjutan dari kehidupan spiritual adalah
instruksi Yesus untuk menjadi siap, waspada, sadar dan siap
untuk pindah ke hidup sepanjang garis yang ditetapkan oleh
Allah terlepas dari keadaan (Markus 13:5, 9, 33-37). Dengan
demikian, persiapan spiritual penting untuk “pelayanan
rohani” yang matang melalui sikap dan praktik kehambaan.
174 – Pembentukan Rohani
Pada titik ini, satu pertanyaan penting lainnya harus
diperhatikan: bagaimana jika Injil Markus tidak berakhir
dengan “karena mereka takut” (Markus 16:8), tetapi benarbenar berakhir “maka pergilah dan berkhotbah di mana-mana,
dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan
tanda-tanda yang menyertainya”(Markus 16:20)? Ketika
berakhir lagi untuk Injil Markus diterima, “masa depan
disukai” pengikut Yesus menjadi: Pergilah ke seluruh dunia
dan memberitakan kabar baik untuk semua ciptaan Siapa yang
percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang
tidak percaya akan dihukum Tanda-tanda ini akan menyertai
orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan;
.. mereka akan berbicara dalam bahasa baru, mereka akan
memegang ular dengan tangan mereka, dan ketika mereka
minum racun mematikan, itu tidak akan menyakiti mereka
sama sekali, mereka akan meletakkan tangannya atas orang
sakit, dan mereka akan sembuh (Markus 16:15 -18).
Jika ini adalah “masa depan pilihan” yang dimaksudkan
oleh Injil Markus, maka hidup “pelayanan hamba” oleh Yesus
disisihkan untuk mendukung “pelayanan kuasa” yang
dipraktikkan oleh Yesus. Bahkan, di tengah-tengah bahasa
yang
jelas
mencerminkan
“pelayanan
kuasa”
porsi
pemberitaan Injil, tanda-tanda, mengusir, berbicara, sembuh –
Yesus memerintahkan untuk spiritual formation bagi para
175 – Pembentukan Rohani
pengikutnya lewat "preach the good news." Perintah "to
preach" diulang dari salah satu unsur yang diajarkan Yesus
"preaching, teaching, and healing." Memenuhi perintah ini
memang meniru Yesus yang datang untuk tujuan pemberitaan
(Markus 1:38) Dan, sebagaimana Injil Markus mencatat
bahwa para murid sudah berpartisipasi dalam apa yang
diperintahkan Yesus di sini:. Mereka “pergi keluar dan
memberitakan di mana-mana” (Mark 1 0:27). Selain itu, akhir
dari Injil Markus mencatat bahwa “Tuhan turut bekerja”
(Markus 16:20) sebagaimana perintah tersebut terpenuhi.
Kunci dari konsep ini adalah present tense dari kata kerja
sunerguntos, yang berarti, “untuk bekerja sama dengan yang
lain.”
Pada kenyataannya, meskipun ia tidak lagi hadir
langsung bersama-sama dengan mereka secara jasmaniah,
Injil Markus mengajarkan kemitraan Tuhan dimiliki oleh
mereka yang telah mengalami spiritual formation di bawah
bimbingan-Nya. Tampaknya masuk akal untuk mengakui
bahwa Yesus bekerja sama dengan para murid, baik “kuasa”
dan “pelayanan” akan tetap bersama-sama serta "pelayanan
kuasa" mungkin menjadi fokus alternatif terakhir untuk Injil
Markus, tetapi Tuhan jelas hadir untuk memastikan bukti
utama otentik spiritual formation: kehambaan.
176 – Pembentukan Rohani
Apapun yang berakhir untuk Injil Markus diterima,
Yesus jelas berfokus dari teks spiritual formation ini.
Pemeriksaan yang disajikan di atas mencatat Yesus
membimbing mereka yang akan 'mengikuti' dia untuk tujuan
menjadi 'penjala manusia.' Pembaca mulai memahami bahwa
untuk "mengikuti" Yesus adalah untuk mengambil pola
pemikirannya, bukan pola pemikiran duniawi yang salah
memahami dan menyangkal tempat sah dalam hidup. Dan,
bimbingan ini adalah untuk tujuan mengenali Guru dan
menyadari respons yang tepat untuk Dia, bahkan jika murid
mengikuti Yesus sebagai seorang hamba berakhir dengan
kematian.
Injil Markus juga menyatukan pelayanan "kuasa"
dengan pelayanan "hamba" dan keduanya diekspresikan
penuh di dalam Yesus. Tanggapan yang tepat bagi komunitas
murid-murid untuk "mengikuti" Yesus baik di pola pelayanan
dan kehidupan. Pada akhirnya, untuk spiritual formation dari
komunitas
murid-murid,
pembaca
diperintahkan
untuk
"mendengarkan dia" oleh Suara yang berusaha untuk
pengembangan mereka lebih lanjut terlepas dari bagian
pelayanan kuasa/hamba. Dan, komunitas mengakui kemitraan
Tuhan karena mereka "mendengarkan dia" dan memenuhi
perintah-Nya di masa depan. Proses seperti apakah yang
177 – Pembentukan Rohani
Yesus
gunakan
untuk
mengaktifkan
mereka
untuk
"mengikuti" Dia?
Yang penting dalam perintah "mendengarkan dia"
adalah observasi dan imitasi dari kehidupan bahwa Yesus
benar-benar hidup. Penyelidikan di atas telah menunjukkan
bahwa baik pelayanan "kuasa" dan "hamba" didasarkan dari
cara motif hidup yang unik. Yesus mempraktikkan apa yang
umumnya dikenal sebagai "disiplin untuk kehidupan spiritual"
yang
memberikan
pelayanannya.
dukungan
"mengikuti"
hidup
Yesus
juga
untuk
berarti
seluruh
untuk
mengikutinya ke dalam pola kehidupan yang sebenarnya
bahwa ia hidup. Salah satu proses kunci pembentukan
spiritual seperti diungkapkan melalui Injil Markus adalah
belajar dari Yesus untuk menjalani hidup sehari-hari seperti
Yesus.
Spiritual formation di masa depan akan berlangsung
terus menerus, berorientasi disengaja terhadap Yesus. Sweet
mengembangkan dua "navigasi" gambar yang mendukung
orientasi disengaja untuk spiritual formation orang Kristen.
Pertama, Yesus adalah "titik referensi tetap" titik iman dan
kehidupan Kristen : "Yesus dari Nazaret adalah kami Bintang
Utara." Setiap Kristen, dan atau masyarakat imannya, mulai
"perjalanan iman dengan Kristus sebagai titik acuan tetap,"
dan berkembang dalam pengetahuan bahwa semua kehidupan
178 – Pembentukan Rohani
"dimulai dan diakhiri dengan Yesus." Kekristenan adalah
"agama hubungan" dengan inti hubungan yang terhubung
dengan Kristus.
Gambar kedua untuk perjalanan spiritual formation
ialah menerima Yesus sebagai "target bergerak." Pada laju
kehidupan di dunia sekarang ini, pertama-tama Sweet
memperingatkan, untuk 'bertujuan hari ini' adalah untuk
'ditangkap dalam keseharian dan merindukan misi,' dan
kemudian mendorong, "bertujuan ke depan, dan Anda akan
mencapai tanda panggilan Allah yang tinggi."
Tujuan
“panggilan Allah yang tinggi” untuk "gambar dan rupa
Kristus."
Dengan demikian, spiritual formation dalam komunitas
Kristen setempat perlu bertujuan pada Kristus, tidak begitu
banyak seperti pemanah membidik target tetap, tetapi
penembak bertujuan membidik target bergerak. Tidak hanya
belajar tentang hubungan pembelajaran masa depan bersifat
interaktif, dinamis, dan kolaboratif, hubungan pembelajaran
juga akan dibangun di sekitar "gambar, logo, metafora,
upacara-upacara dan cerita." Carpe Manana mengaku" Yesus
tahu bahwa gambar melebihi dari kata-kata terbaik yang bisa
menekuk
dunia
untuk
makhluk
Allah,
sehingga
ia
mengkomunikasikan sebagian besar kebenaran melalui
gambar visual dibungkus suara."
179 – Pembentukan Rohani
Sweet mencerminkan pentingnya kebenaran ini untuk
masa depan, “jika gereja adalah untuk menyajikan figur
Kristus yang lokal, ia harus belajar untuk berkomunikasi
seperti Yesus dan pengikut pertamanya lakukan-melalui
metafora, gambar, perumpamaan, dan ikon.” Spiritual
formation di masa depan akan melibatkan pembelajaran yang
lebih merupakan konsekuensi dari berpikir. Tidak hanya
mengajar karena “metafora, gambar, perumpamaan dan ikon”
melibatkan pembelajar berpikir tentang apa yang sedang
dikomunikasikan. “Metafora adalah hal-hal tempat dimana
pikiran difungsikan," jelas Sweet, “mengubah metafora, dan
arsitektur jiwa Anda diubah.”
Proses
implantasi
spiritual
formation
adalah
“mematung sebuah metafora yang baru ‘untuk membentuk’
arsitektur jiwa.” Jadi, cerita sangat penting untuk transformasi
dalam membentuk jiwa:" Ketika kisah-kisah Alkitab menjadi
cerita kita, ketika gambar alkitabiah dan metafora menjadi
gambar dan metafora kita, ketika struktur kehidupan kita di
sekitar landasan kisah Yesus, arsitektur baru bagi jiwa kita
dibangun." Sweet melanjutkan yang pada akhirnya Being with
Jesus, learning from Jesus, listening to Jesus and being
implanted with his Story shapes the soul.
Franscis J. Moloney dalam buku komentari Injil
Markus menjelaskan fokus dari komentarnya dari Injil
180 – Pembentukan Rohani
Markus hanya pada dua karakter yaitu Yesus dan muridmurid-Nya.
Moloney mengidentifikasi bahwa hubungan
Yesus dan murid-murid sebagai salah satu faktor kunci yang
menyetir cerita dan membawa kisah tersebut kepada klimaks
diatas kayu salib.
Hubungan Yesus dengan murid-murid
menjadi penekanan yang khusus jika di lihat dalam spiritual
formation. Bagaimana Yesus memperlakukan murid-murid
dalam hubungan spiritual formation sangat jelas di catat oleh
Injil Markus sebagai berikut:
1. Yesus memanggil murid-murid (1:16-20; 2:13-14;
3:13-14). Bahwa tidak ada istilah murid sukarelawan dalam
Injil Markus. Orang-orang menjadi murid pada inisiatif
Yesus, sebagai hasil dari panggilannya.
2. Yesus mengumpulkan murid-murid ke dalam suatu
“keluarga” (3:34-35). Yesus menjelaskan kepada para murid
(dan semua yang melakukan kehendak bapa-Nya) sebagai
“saudara laki-laki dan saudara perempuan.” Identitas dari
murid-murid sebagai suatu kelompok dan hubungan mereka
satu sama lain didasarkan pada hubungan mereka kepada
Yesus.
3. Yesus mengajar murid-murid, mencerahkan mereka
dengan
pengetahuan
yang
berharga
(4:33-34).
Yesus
mengajar mereka tentang misteri kerajaan Allah (4:11) dan
kadang kala memberikan penjelasan yang pribadi atas apa
181 – Pembentukan Rohani
yang
diucapkan
(4:10-20;
7:17-23).
Signifikan,
Dia
merespons akan kesalahpahaman mereka tentang arti murid
yang sejati (8:34-38; 9:35-37; 10:42-45).
4. Yesus memperlengkapi murid-murid untuk Misi
(3:14-15; 6:7-13). Yesus memberikan kepada murid-murid
otoritas
yang
mereka
perlukan
untuk
berkhotbah,
menyembuhkan, dan mengusir setan.
5. Yesus tetap menjaga murid-murid walaupun mereka
tidak setia (14:26-27; 16:7). Yesus mengatakan kepada muridmurid bahwa sekalipun mereka akan meninggalkan dia, Dia
menginginkan mereka untuk kembali bergabung dengannya
setelah kebangkitan.
C. Relevansi Spiritual Formation di Injil Markus di
Perguruan Tinggi
Injil Markus dalam Perjanjian Baru memberikan
wawasan
tentang
Spiritual
Formation
Yesus
selama
pelayanannya di bumi. Sementara Injil, termasuk Markus,
terutama berfokus pada pelayanan publik Yesus, ada unsurunsur dalam narasi Markus yang menawarkan sekilas ke
dalam perjalanan spiritual Yesus. Memahami aspek-aspek ini
dapat relevan bagi universitas-universitas Kristen dalam
membentuk filosofi dan tujuan pendidikan mereka. Berikut
adalah poin-poin penting tentang pembentukan rohani Yesus
182 – Pembentukan Rohani
dalam Injil Markus dan relevansinya bagi perguruan tinggi
Kristen:
1. Baptisan dan Penegasan Ilahi (Markus 1:9-11):
Menekankan pentingnya mengenali dan menegaskan
identitas ilahi dan tujuan individu. Perguruan tinggi Kristen
dapat
menumbuhkan
lingkungan
di
mana
mahasiswa
memahami identitas mereka di dalam Kristus, mendorong
eksplorasi dan penegasan rohani.
2. Doa dan Kesendirian (Markus 1:35):
Menyoroti pentingnya doa dan kesendirian dalam
pembentukan rohani Yesus. Perguruan tinggi Kristen dapat
mempromosikan disiplin spiritual, termasuk doa dan refleksi,
sebagai komponen integral dari pengembangan pribadi dan
akademik mahasiswa.
3. Pemuridan yang disengaja (Markus 3:13-19):
Menunjukkan seleksi yang disengaja dan pemuridan
individu. Perguruan tinggi Kristen dapat memprioritaskan
program bimbingan dan pemuridan untuk membimbing
mahasiswa dalam perjalanan spiritual dan akademis mereka.
4. Perumpamaan dan Pengajaran Kerajaan (Markus
4:1-34):
Menunjukkan penggunaan perumpamaan Yesus untuk
menyampaikan kebenaran rohani. Perguruan tinggi dapat
menekankan integrasi iman dan pembelajaran, mendorong
183 – Pembentukan Rohani
fakultas untuk mengajar melalui pandangan dunia Kristen dan
menggunakan perumpamaan atau aplikasi dunia nyata dalam
pengajaran mereka.
5. Belas kasihan dan penyembuhan (Markus 5:24-34):
Menyoroti tanggapan belas kasih Yesus terhadap
penderitaan manusia. Perguruan tinggi dapat menanamkan
komitmen untuk kasih sayang dan pelayanan, menginspirasi
mahasiswa untuk terlibat dalam keadilan sosial dan
penjangkauan masyarakat.
6. Perubahan batiniah (Markus 9:2-8):
Mengilustrasikan perjumpaan mendalam dengan yang
ilahi. Perguruan tinggi Kristen dapat mendorong mahasiswa
untuk mencari pengalaman transformatif dan perjumpaan
dengan Tuhan, mendorong pertumbuhan rohani di luar
pengetahuan intelektual.
7. Getsemani dan Ketundukan pada Kehendak Allah
(Markus 14:32-42):
Menggambarkan ketundukan Yesus pada kehendak Allah,
bahkan dalam menghadapi penderitaan. Perguruan tinggi
Kristen dapat mengajarkan siswa pentingnya menyerah pada
rencana Allah, memelihara ketahanan dan kepercayaan dalam
keadaan yang menantang.
8. Amanat Agung (Markus 16:15):
184 – Pembentukan Rohani
Diakhiri dengan panggilan untuk membagikan Injil.
Perguruan tinggi Kristen dapat membekali mahasiswa dengan
semangat misi, mempersiapkan mereka untuk mempengaruhi
dunia dengan iman dan pendidikan mereka.
Spiritual Formation Yesus dalam Injil Markus
memberikan model bagi perguruan tinggi Kristen untuk
membentuk filosofi pendidikan mereka. Dengan menekankan
identitas dalam Kristus, disiplin spiritual, pemuridan yang
disengaja, belas kasih, pengalaman transformatif, tunduk pada
kehendak Allah, dan semangat misi, perguruan tinggi Kristen
dapat berkontribusi pada pengembangan holistik mahasiswa
ketika mereka berusaha untuk mengintegrasikan iman dan
pembelajaran.
185 – Pembentukan Rohani
186 – Pembentukan Rohani
VI
TINDAKAN SPIRITUAL FORMATION
DI PERGURUAN TINGGI KRISTEN
Perguruan tinggi Kristen sering kali menjadi tempat
yang unik untuk pengembangan kepemimpinan, di mana
spiritual formation, atau pembentukan spiritual, menjadi unsur
integral dalam proses tersebut. Dalam konteks ini, spiritual
formation bukan hanya terbatas pada aspek agama, tetapi
mencakup pengembangan spiritualitas sebagai landasan bagi
pemimpin Kristen. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana
spiritual formation di perguruan tinggi Kristen dapat berperan
dalam pengembangan kepemimpinan.
Perguruan tinggi Kristen memainkan peran penting
dalam
mengintegrasikan
nilai-nilai
Kristen
ke
dalam
pembelajaran dan kehidupan sehari-hari. Melalui kelas-kelas,
kegiatan
rohani,
dan
keterlibatan
dalam
komunitas,
mahasiswa mengalami spiritual formation yang membentuk
dasar nilai-nilai Kristen dalam kepemimpinan.
Pembentukan karakter menjadi fokus utama dalam
spiritual formation di perguruan tinggi Kristen. Mahasiswa
187 – Pembentukan Rohani
diajak untuk mengembangkan karakter yang sesuai dengan
ajaran agama, seperti integritas, kerendahan hati, dan
pelayanan kepada sesama. Kepemimpinan yang dibangun di
atas dasar karakter Kristen memiliki dampak positif dalam
lingkungan organisasi.
Pendidikan di perguruan tinggi Kristen mencakup
pemahaman Alkitab dan teologi kepemimpinan. Mahasiswa
tidak hanya belajar konsep-konsep kepemimpinan praktis
tetapi juga merenungkan prinsip-prinsip moral dan etika yang
diakui dalam ajaran Kristen. Ini membentuk dasar spiritual
yang mendalam bagi pemimpin Kristen.
Salah satu aspek penting dari spiritual formation adalah
pengembangan sikap pelayanan. Mahasiswa diajak untuk
mengamalkan kepemimpinan yang berpusat pada pelayanan,
mencerminkan konsep Yesus Kristus sebagai teladan utama
dalam pelayanan kepada orang lain. Spiritual formation di
perguruan
tinggi
Kristen
mendukung
pengembangan
pemimpin melayani, yaitu pemimpin yang tidak hanya fokus
pada kepentingan diri sendiri tetapi juga melayani kebutuhan
orang lain. Konsep kesatuan spiritual menjadi landasan bagi
pemimpin Kristen untuk memimpin dengan kasih dan
perhatian.
Spiritual formation mendorong terbentuknya komunitas
yang mendukung dan akuntabilitas di antara sesama
188 – Pembentukan Rohani
mahasiswa.
Ini
menciptakan
lingkungan
di
mana
pertumbuhan spiritual dan kepemimpinan saling mendukung,
dan dimana pemimpin dapat tumbuh bersama dalam iman
mereka. Spiritual formation mendorong refleksi diri yang
mendalam dan pertumbuhan pribadi. Pemimpin Kristen
dilatih
untuk
terus-menerus
mengevaluasi
diri,
mengidentifikasi area pengembangan, dan menumbuhkan
hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan.
Spiritual formation di perguruan tinggi Kristen
memiliki
dampak
signifikan
dalam
pengembangan
kepemimpinan. Proses ini bukan hanya tentang pemberian
pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter, nilai-nilai,
dan spiritualitas yang mendasari kepemimpinan. Perguruan
tinggi Kristen, dengan pendekatan holistiknya, menciptakan
pemimpin yang tidak hanya kompeten secara profesional
tetapi juga tercermin nilai-nilai dan etika Kristen dalam setiap
aspek kehidupan dan kepemimpinan mereka.
A. Spiritual Formation dalam Bingkai Pedagogikal
Pelayanan Yesus
Bingkai pedagogis berasal dari kata Yunani paideia
(anak) dan agogos (pemimpin) dan dipandang sebagai praktek
kuno yang bergantung pada teks-teks untuk pembentukan
seseorang menurut Small (2009). “Ini adalah bentuk
189 – Pembentukan Rohani
pendidikan yang berpusat di kebajikan dan keterlibatan
budaya
melalui
praktek
pembelajaran
terus-menerus
(mathesis), mengajar (didaskalia), dan praktek (askesis) –
“ini” dengan tujuan menciptakan habitus, atau sifat kedua.
“Sifat kedua” ini mengacu pada penebus atau identitas
pembaptisan, tidak berhubungan dengan warisan atau
keturunan. Kelsey (1992) membahas cara di mana pendidikan
Kristen paideia disesuaikan untuk mencapai transformasi
Kristen tentang pribadi sebagai bagian dari proses pendidikan
yang berlangsung, dengan tujuan menemukan tujuan dari
paideia Kristen yang Ilahi dan baik adalah pembentukan,
termasuk kebajikan, pengetahuan tentang ilahi, kebijaksanaan
dan konversi" (Small 2009).
Untuk pengembangan kerangka pedagogis penulis
menggunakan studi komprehensif Foster (2006), yang
berjudul: Mendidik Hamba Tuhan: Mengajar praktek dan
imajinasi pastoral. Dalam buku tersebut membahas empat
strategi pedagogis yang berbeda dari yang penulis akan
gunakan tiga dalam upaya untuk menerangi operasi strategi
program pedagogis.
1. Pedagogi Konstekstual
Pedagogi kontekstualisasi mengacu pada pedagogi
bahwa semua, dalam beberapa cara, menekankan situasi sosial
dan praktik pengetahuan (Foster et al 2006). Tujuannya
190 – Pembentukan Rohani
adalah untuk membantu mereka untuk mencerminkan
kontekstual tentang tugas kepemimpinan misioner. Kita tidak
bisa berlatih teologi misi tanpa perhatian serius terhadap
perubahan sosial.
Sebuah pedagogi kedua berfokus pada pengembangan
kemampuan
konstruktif
mahasiswa
dalam
untuk
pertemuan
berpartisipasi
tersebut
antara
secara
konteks
ekumenis campuran yang berbeda dari siswa yang mengikuti
sekolah berasal dari latar belakang denominasi yang berbeda,
lokasi sosial yang berbeda dan ukuran yang berbeda. Inilah
kemampuan kontribusi mereka untuk menafsirkan berbagai
konteks. Sebuah pedagogi untuk mahasiswa menyadari proses
transformasi sosial dan sistemis dari konteks. Proses seperti
modernisasi, globalisasi dan sekularisasi terus mengubah
adegan sosial. Mahasiswa menyadari prasangka budaya
mereka sendiri dan orang lain dan pentingnya mendekati
analisis sosial dari perspektif yang berbeda. Dari pedagogi ini
jelas bahwa situasi sosial mahasiswa memiliki pengaruh besar
pada latihan keterampilan kepemimpinan misioner.
2. Pedagogi Interpretatif
Ada konsensus dalam teori penafsiran bahwa empat
realitas yang berbeda dapat dilihat dalam proses interpretasi
ini meliputi: (a) fenomena yang harus ditafsirkan, (b) penafsir,
191 – Pembentukan Rohani
(c) interaksi penafsir dengan itu yang harus ditafsirkan, dan
(d) kepentingan komunitas interpretasi.
Semua praktik penafsiran ini memiliki satu tujuan
komunal yaitu untuk membantu mahasiswa berpikir kritis
(Foster et al 2006). Dalam hal ini, pedagogi yang berbeda
interpretasi dapat dibedakan sebagai berikut: interpretasi
sebagai dialog terus menerus di mana berbagai tingkat dialog
dapat dilihat mengenai aspek program pengajaran. Ini berarti
mahasiswa didorong untuk berpartisipasi dalam berbagai
dialog baik dengan Alkitab dan tradisi. Ini termasuk dialog di
dalam kelas dengan bantuan metode Sokrates (pertanyaan dan
jawaban), percakapan dengan sesama mahasiswa dalam
latihan yang berbeda dari mendengarkan (“tinggal di dalam
Firman”) serta diskusi kelompok di kelas pada topik yang
terkait dengan Missio Dei dan teologi misional. Interpretasi
sebagai aplikasi dari tradisi.
Mahasiswa berasal dari tradisi keagamaan yang
berbeda. Setiap tradisi bertindak sebagai lensa, mewarnai
proses interpretasi. Apresiasi tradisi ini membantu mahasiswa
untuk memahami bagaimana interpretasi yang berbeda dari
kegiatan kepemimpinan yang sama dapat menyebabkan
aplikasi yang berbeda dari tradisi.
Interpretasi melalui pilihan dari “metode yang tepat”
sangat penting untuk dicatat bahwa hasil dari modul
192 – Pembentukan Rohani
menentukan metode. Jika ada konsensus bahwa hasilnya
harus menjadi pengembangan kemampuan berpikir kritis
mahasiswa, maka penting bahwa metodologi yang harus
melayani hasil. Jika tujuan dari berpikir kritis adalah
"understanding", metode harus membantu siswa untuk
mengembangkan kemampuan untuk memahami teks, situasi
atau konteks, dan acara. Mereka harus mampu menganalisis
teks, situasi dan hubungan, dan untuk mengintegrasikan
mereka ke dalam kerangka pemahaman. Mahasiswa harus
dipandu untuk memahami bahwa mereka adalah bagian dari
dialog yang berlangsung dengan dokumen sumber, tradisi dan
praktik kontemporer komunitas iman.
3. Pedagogi Formatif
Karakteristik yang membedakan dari pedagogi formatif
adalah bahwa mereka berusaha untuk berkontribusi pada
pembentukan pengetahuan, sikap, keterampilan dan kebiasaan
yang terkait dengan pengembangan identitas profesional dan
yang menyertainya praktik, komitmen dan integritas. Tujuan
pedagogi formatif berusaha untuk dalam kasus kepemimpinan
misioner, adalah keterlibatan dalam misteri keberadaan
manusia (Foster 2006). yang ditafsirkan sebagai missio Dei
dan ecclesiones missio dalam konteks pendekatan untuk
pedagogi formasi dapat dibedakan: praktik kehadiran Allah.
193 – Pembentukan Rohani
Pedagogi ini adalah tentang membuat mahasiswa sadar
- melalui teks dan realitas itu sendiri - bahwa yang suci dan
misterius, melampaui kesadaran manusia, berhubungan
dengan transformasi kesadaran yang memiliki kemampuan
untuk memahami hal-hal dari perspektif
“sangat berbeda,
yang merupakan simbol dari Tuhan, yang kudus dan
misterius” (Foster 2006)
Penyucian sebagai praktik pedagogi ini sependapat
dengan yang sebelumnya, tetapi juga lebih jauh “untuk
menghidupi setiap kata dan isyarat, rasa, sentuhan, bau ,suara,
dan mata merupakan liturgi mereka untuk dirasakan dengan
orang-orang” (Foster 2006) Melalui kebiasaan dan sikap yang
berkaitan dengan yang terakhir, mahasiswa belajar tentang
cara menjadi. (“menjadi fungsi”), yang unik untuk setiap satu
tradisi individu. Tujuan pedagogis adalah perwujudan dari
tradisi keagamaan tertentu dengan cara di mana mereka
berpikir, berbicara, bertindak dan mengembangkan hubungan.
Praktek agama (missional) kepemimpinan. Pedagogi ini
berkaitan erat dengan sikap dan kebiasaan pedagogi
sebelumnya, tapi di sini secara khusus berlaku untuk praktek
peran dan tanggung jawab dari panggilan religius. Mahasiswa
dibimbing untuk menguasai keterampilan tertentu yang
mengarah pada pembentukan pola kepemimpinan. Dalam
setiap pedagogi ini, jelas bahwa integrasi tangan, kepala dan
194 – Pembentukan Rohani
hati - apa yang mahasiswa lakukan (pathos), apa yang mereka
ketahui (logo) dan siapa mereka (etos) adalah penting karena
itu, pedagogi ini saling bergantung satu sama lain untuk
membantu dan melatih kemampuan kognitif, perkembangan
emosi, keterampilan praktis dan pembentukan identitas siswa,
memberikan kontribusi untuk spiritualitas yang terintegrasi.
B. Spiritual formation disampaikan Lewat Hubungan
Pengembangan iman dan komitmen Kristen disebut
oleh sebagian ahli sebagai spiritual formation.
Spiritual
formation bukanlah istilah baru (Bramer, 2010), dan ada
ratusan buku yang ditulis secara khusus pada spiritualitas
manusia
(Ratcliff,
2010).
Spiritual
formation
Kristen
melibatkan pengajaran pengetahuan formal dan instruksi
formational dalam cara untuk menerapkan pengetahuan
tersebut untuk hidup. Pengetahuan dan tindakan adalah dua
tahap spiritual formation dalam pendidikan Kristen (Wilhoit,
2008).
Pazmino (2010) menegaskan bahwa peserta didik harus
diberi
informasi
yang
diperlukan
untuk
memperoleh
pengetahuan tentang apa yang diperlukan dalam komitmen
iman Kristen. Setelah pengetahuan diperoleh, siswa akan baik
percaya atau tidak percaya tentang ajaran agama imannya.
Kepercayaan
adalah
tahap
spiritual
195 – Pembentukan Rohani
formation
antara
pengetahuan dan tindakan. Namun, spiritual formation tidak
berfokus hanya pada upaya orang, melainkan sering
“mengacu pada pekerjaan Roh Kudus sebagai pribadi
mengajar dan belajar” (Pazmino 2010). Ini adalah sesuatu
yang tidak bisa diajarkan di kelas. Keyakinan yang benar, atau
iman yang total, dalam pesan Kristen ditemukan dalam
Alkitab hanya dapat dihasilkan oleh Roh Kudus. Oknum
ketiga ini dari Trinitas adalah penyebab iman dalam Kristus
dan Kristen (Pazmino, 2010).
Iman awal seseorang adalah karunia dari Allah dan
tidak dapat diterima dengan mempelajari atau cara lain
(Efesus 1:8). Pengembangan pengetahuan dan keyakinan
menyebabkan
tindakan
baru
dalam
seseorang
mengembangkan komitmen untuk iman Kristen. Tindakan ini
berfokus pada komunitas daripada diri (Peck, 1998) dan
Alkitab mengacu pada orang tersebut sebagai yang diubah
oleh iman yang baru ditemukan (2 Korintus 5:17).
Di antara volume penelitian di bidang spiritual
formation, teori perkembangan iman Fowler (1981) masih
salah satu karya paling berpengaruh yang tersedia (Coyle,
2011). Fowler mengusulkan enam model tahap untuk
memahami perkembangan, atau pembentukan, iman dalam
diri seseorang.
196 – Pembentukan Rohani
Pertama, tahap Intuitif-proyektif mengacu anak-anak
sangat muda dan tayangan Allah dikembangkan dari orang tua
dan masyarakat pada usia dini ini.
Kedua, tahap Mythic-Literal melibatkan belajar cerita
dari komunitas iman dan percaya mereka semua untuk
menjadi literal. Beberapa individu menetap pada tahap ini.
Ketiga, kebanyakan orang pindah ke tahap SyntheticConvensional
saat
remaja.
Tahap
ini
melibatkan
pengembangan sebuah sistem kepercayaan yang dapat
mencakup semua masyarakat dan lingkungan sosial di mana
seseorang terlibat. Kepercayaan rakyat dan diikuti individu
dan kelompok berbagi pandangan dunia mereka dan
pembentukan spiritual dari kebanyakan orang berhenti pada
tahap ini.
Keempat, tahap Individuate-Reflektif melibatkan
penemuan
dan
eksplorasi
pandangan
dunia
lainnya.
Mempertanyakan iman dan keyakinan dalam tahap ini adalah
hasil dari pengembangan iman dan tidak kehilangan iman
sebagai individu dalam tahap ketiga mungkin menduga ketika
menonton orang yang beroperasi di keempat dari enam
tahapan Fowler.
Kelima, tahap konjungsi Iman sering hanya terjadi di
individu yang berpengalaman dalam hidup dan telah
mencapai usia pertengahan. Orang-orang di tahap ini
197 – Pembentukan Rohani
menyadari batas-batas dan batas-batas pengetahuan manusia
dan logika dan meninjau kembali cerita dan ajaran-ajaran dari
tahap Mythic-Literal. Sekarang, bagaimanapun, individu
dalam tahap ini menghargai ajaran-ajaran ini dengan
pemahaman yang lebih luas dan tidak mental terikat oleh
suatu teologi yang sempit.
Tahap akhir diberi label Universalisasi Iman dan
jarang dicapai dalam hidup. Orang-orang yang mengalami
tingkat akhir pengalaman spiritual formation ini sedikit atau
tidak ada kekhawatiran dan keraguan sementara hidup
melayani orang lain (Fowler, 1981).
Spiritual formation lengkap membutuhkan perubahan
besar-besaran dalam kehidupan makhluk individu (Learned,
1999). Perubahan ini difokuskan pada pengembangan
pemahaman, keyakinan, dan komitmen untuk tindakan yang
dihasilkan dari pengetahuan dan keyakinan agama atau ide
spiritual. Alkitab membahas pentingnya orang-orang yang
diubah oleh pembaharuan pikiran (Roma 12:2).
Peck (1998) membahas pentingnya pengetahuan,
keyakinan, dan tindakan dengan menawarkan versi sederhana
dari enam tahap pembentukan iman Fowler. Sementara
tahapan paling umum ditawarkan oleh Fowler, Peck
menyajikan
tahapan
Chaotic-antisosial,
Formal-Institusi,
Skeptic-individu, dan Mistis-Komunal sebagai model empat
198 – Pembentukan Rohani
tahap yang menjelaskan pembentukan spiritual. Tahap satu
berisi individu berfokus pada diri daripada orang lain. Hal ini
dapat menggambarkan anak-anak yang belum menyadari
pentingnya komunitas yang lebih besar di mana mereka
bertumbuh. Jika orang terjebak pada tahap ini, biasanya
membutuhkan waktu yang luar biasa untuk memindahkan
mereka ke tahap dua. Tahap dua, termasuk yang terkait
dengan sistem dan organisasi iman formal seperti gereja.
Individu dalam tahap ini menjadi sangat defensif ketika
orang lain tidak setuju dengan sistem agama atau pandangan
dunia yang mereka telah bersekutu. Tahap berikutnya
melibatkan
menentukan
mempertanyakan
kebenaran
dan
pengajaran
formal
untuk
keabsahan
ajaran
agama
organisasi formal. Individu yang tidak maju dari tahap ini
sering muncul non-agama atau apatis tentang agama
diformalkan.
Tahap keempat
dan terakhir melibatkan
menyeimbangkan sifat paradoks tahap dua dan tiga dengan
keyakinan yang mendalam dalam ajaran agama dan
penerimaan struktur organisasi.
Dalam tahap ini seseorang apakah difokuskan untuk
membantu masyarakat dan menjadi kurang terfokus pada
keprihatinan pribadi (Peck, 1998). Yakobus 1:27 membahas
tahap perkembangan iman ketika ia menulis "Ibadah yang
murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita,
199 – Pembentukan Rohani
ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam
kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak
dicemarkan oleh dunia." Yakobus menunjuk merawat anak
yatim dan janda sebagai bentuk tertinggi ibadah. Ayat ini
cocok dengan tahap tertinggi spiritual formation Peck.
C.
Spiritual
Formation
difasilitasi
lewat
Kualitas
Hubungan
“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala
sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat
mengetahuinya?” (Yeremia 17:9). Karena Kejatuhan manusia
ke dalam dosa, hati para mahasiswa kita tidak secara inheren
cenderung kepada Tuhan. Sifat berdosa keluar dari hati
(Markus 7:21-23). Hati itu membutuhkan transformasi.
Pendidik Perguruan Tinggi Kristen pasti akan sering bertanya,
“Bagaimana transformasi kerja hati?” Dan “Bagaimana
transformasi itu bisa terjadi di sekolah kita?” Penelitian ini
menyoroti sebuah model relasional spiritualitas dengan dasar
pemikiran bahwa semua transformasi spiritual terjadi dalam
hubungan. Jadi, transformasi spiritual hati terjadi dalam
hubungan, termasuk hubungan yang kita dapat di sekolah kita.
Kita harus menjadi komunitas yang sangat relasional.
Pikiran
mahasiswa
kita
tidak
secara
alami
memikirkan pikiran Tuhan. Sebenarnya, kita diberitahu untuk
200 – Pembentukan Rohani
“berubah oleh pembaharuan pikiran [kita]” (Roma 12:2).
Harry Blamires (2005). menulis bukunya The Christian Mind
dengan mengatakan, “Tidak ada lagi pikiran orang Kristen”
Dia berpendapat bahwa kebanyakan orang Kristen yang
mengaku tidak lagi berpikir secara Kristen.
Perguruan Tinggi Kristen memiliki kesempatan yang
luar biasa untuk mengajar mahasiswa selama bertahun-tahun.
Kita harus berkomitmen untuk tidak mengajar mahasiswa apa
yang harus dipikirkan dan dipusatkan pada bagaimana
berpikir dan bagaimana melakukannya secara alkitabiah.
Paulus
menginstruksikan
orang-orang
Korintus
untuk
menerima "menawan setiap pikiran untuk ketaatan Kristus" (2
Korintus 10: 5).
Transformasi pikiran adalah pembaharuan dengan
mengganti pemikiran manusia dengan pikiran Tuhan. Yesaya
memberi pemahaman akan pikiran manusia yang sangat jauh
dari
pikiran
Tuhan:
Sebab
rancangan-Ku
bukanlah
rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah
firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi,
demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu. Yesaya 55: 8-9.
Melihat
analisis
spiritual
formation
dalam
pembentukan di Perguruan Tinggi Kristen maka dapat
201 – Pembentukan Rohani
dijelaskan berdasarkan kitab Markus beberapa faktor yang
diperlukan untuk dilihat yaitu
1. Hubungan dengan Tuhan, semua aspek pengukuran
rasa kedekatan mahasiswa dengan Tuhan. Dalam hal
adalah pengukuran seberapa jauh mahasiswa memiliki
waktu doa atau memberi waktu pribadi dengan Tuhan
selama dia mengikuti pendidikan teologi.
2. Kitab Suci - mengukur perasaan pentingnya Kitab Suci
bagi siswa sebagai sumber makanan rohani. Bagaimana
peranan
penggunaan
Alkitab
dalam
kehidupan
Orang
Lain,
mengukur
mahasiswa sehari-hari?
3. Hubungan
dengan
pertanggungjawaban dan dukungan siswa dari orang
lain, apakah gereja mereka pada umumnya, kelompok
kecil, atau individu. Bagaimana hubungan sosial
peserta didik dengan orang lain, seperti dosen, teman
sesama mahasiswa, di gereja atau kelompok kecil
dimana peserta didik berada.
4. Mitra Doa, mengukur kehidupan doa siswa dalam hal
komitmen mereka kepada mitra doa atau rekan kerja.
Bagaimana mahasiswa membangun kehidupan doa
dengan mitra atau rekan sesama mahasiswa atau gereja
atau keluarga.
202 – Pembentukan Rohani
5. Panggilan, berusaha untuk mengukur perasaan siswa
tentang Tuhan yang diberikan kepada pelayanan
Kristen. Seberapa besar panggilan Tuhan dalam
kehidupan mahasiswa berpengaruh dalam kehidupan
pribadinya?
6. Teman
Spiritual,
berusaha
untuk
mendapatkan
keterbukaan siswa terhadap orang lain di bidang
pencarian dan penerimaan nasihat spiritual. Seberapa
besar
peserta
didik
memiliki
teman-teman
di
sekelilingnya yang dapat menolongnya dalam menshare
kehidupan dan memberi masukan.
7. Tubuh Kristus, semua merefleksikan hubungan siswa
dengan, dan pentingnya hubungan dengan, gereja lokal
mereka. Apakah mahasiswa beribadah di gereja lokal
dan berkomitmen untuk pelayanan Tubuh Kristus.
Hubungan pribadi mahasiswa dengan Tuhan tidak
sepenting studi akademis mereka di sekolah teologi.
Kurikulum terpadu yang menyediakan dan mengharapkan
mahasiswa untuk terlibat dalam refleksi spiritual dan
intelektual tampaknya akan mencapai tujuannya. Dengan
menggunakan kata-kata F. Freeman, mahasiswa Perguruan
Tinggi Kristen memberikan indikasi bahwa "bertemu dengan
Tuhan berulang kali secara langsung dan sebagian dapat
digambarkan" Dengan demikian, lulusan Perguruan Tinggi
203 – Pembentukan Rohani
Kristen tampaknya dipersiapkan dengan baik secara pribadi
dan akademis untuk berbagi kasih Tuhan yang mengubah,
mempertahankan, dan memberdayakan cinta dengan orangorang yang membutuhkan di jemaat lokal mereka.
Literatur mendukung gagasan bahwa spiritualitas
adalah "sistem makna" (Solomon & Hunter, 2002) yang
memiliki makna luas tentang bagaimana para pemimpin
berpikir dan bertindak dalam rutinitas kehidupan sehari-hari.
Ini adalah perasaan koneksi internal yang mendalam terhadap
hal-hal di luar dan / atau di dalam diri seseorang. Bila para
pemimpin sekolah telah membuat hubungan ini kemungkinan
besar mereka bisa memotivasi orang lain.
Salomon dan Hunter selanjutnya mengklaim bahwa,
"mendekati tugas kerja dan rekan kerja dengan kerendahan
hati dan rasa hormat tidak hanya menyediakan model penting
untuk bagaimana orang lain harus melakukan diri mereka
sendiri tetapi juga menetapkan nada, atau etos", yang
cenderung pada tuntutan moral dari Sekolah. Peneliti lain
(Houston, 2002; Sergiovanni, 2006) berpendapat bahwa
otoritas kepemimpinan sekolah tidak berasal dari posisi tetapi
dari otoritas moral bahwa pemimpin dipercayakan untuk
membawa saat mereka membangun masa depan melalui anakanak. Houston (2002) mengemukakan ada hubungan yang
kuat antara spiritualitas dan kepemimpinan. Pemimpin
204 – Pembentukan Rohani
mendapatkan pekerjaan mereka, bukan melalui mandat dan
niat, tapi dengan mengumpulkan orang dan membujuk
mereka untuk melakukan yang benar.
Pemimpin pendidikan yang berorientasi spiritual
membangun hubungan asli dengan mereka yang bekerja
dengan
mereka
termasuk
sesama
pemimpin
sekolah,
administrator, dosen, orang tua, siswa, dan masyarakat luas.
Hubungan ini selanjutnya membantu menciptakan lingkungan
yang aman dan percaya dimana pertimbangan risiko pribadi
dihargai dan di mana pemimpin menemukan diri mereka
dikelilingi oleh orang-orang yang diberi hak dalam apa yang
mereka lakukan. Kepemimpinan spiritual dapat memberi
kesempatan bagi dosen dan administrator sekolah untuk
merenungkan kehidupan, kepercayaan, tradisi mereka yang
membentuk
"sistem
makna"
mereka
dan
tujuan
transendennya. Pendidikan spiritual formation menekankan
tidak hanya pembelajaran pengetahuan yang obyektif tetapi
juga hubungan pribadi dan relevansi pengetahuan yang
dimiliki dengan kehidupan seorang mahasiswa.
1. Hubungan Mahasiswa dengan Tuhan
Mahasiswa yang memasuki spiritual formation pada
suatu titik dalam kehidupan mereka di mana mereka telah
membuktikan sejumlah besar pemeriksaan spiritual dan
205 – Pembentukan Rohani
pribadi dan perubahan. Mahasiswa pada tahun-tahun sebelum
pendaftaran sekolah teologi, hubungan mahasiswa dengan
Tuhan adalah wilayah yang kurang mengalami pertumbuhan
dan perubahan paling besar. Setelah mengikuti Perguruan
Tinggi Kristen mahasiswa belajar tentang Tuhan, cinta Tuhan,
percaya kepada Tuhan, kepercayaan diri mereka terhadap
tindakan Tuhan, dan mereka mencari pemahaman Allah atas
kejadian kehidupan secara konsisten mencatat nilai spiritual
formation.
Setelah terlibat langsung dalam proses di Perguruan
Tinggi Kristen selama empat tahun, penulis tidak terkejut
dengan nilai tinggi pada profil mahasiswa yang masuk
sehubungan dengan Tuhan. Perasaan penulis sendiri dalam
berurusan dengan orang-orang yang bertanya tentang dan
mendaftar ke Perguruan Tinggi Kristian adalah periode
pertumbuhan
dengan
Tuhan
adalah
katalisator
yang
membawa mereka sampai pada pokok mempertimbangkan
kebutuhan untuk mempersiapkan diri secara pribadi dan
profesional untuk menanggapi Tuhan dan panggilannya.
Peringkat mahasiswa tentang hubungan mereka dengan
Tuhan, kepercayaan kepada Tuhan, rasa kehadiran aktif
Tuhan, dan cinta Tuhan menduduki peringkat tertinggi. Bukti
lebih lanjut tentang hubungan dialogis yang dinamis dengan
Tuhan saat mahasiswa mencari jawaban spiritual untuk
206 – Pembentukan Rohani
peristiwa
kehidupan
tertentu.
Pandangan
mahasiswa
Perguruan Tinggi Kristen tentang Tuhan bersamaan dengan
kesadaran akan kegiatan Tuhan dalam situasi kehidupan
sehari-hari, memiliki hubungan dengan Tuhan, tumbuh,
praktis (berdampak pada kehidupan dan keputusan mereka),
dan pribadi.
2. Pertumbuhan Hubungan dengan Tuhan
Dalam
jawabannya,
mahasiswa
menggambarkan
pertumbuhannya dengan Tuhan dalam hal kemampuan baru
ditemukan hadir bersama Tuhan dimanapun dia berada,
terlepas dari perasaannya. Yang cukup menarik, menyadari
kehadiran Tuhan mungkin kadang-kadang merupakan salah
satu hal tersulit bagi mahasiswa - sesuatu yang mahasiswa
cari dan merasakan semacam kekosongan, kekurangan
kadang-kadang. Mahasiswa mulai mengerti bahwa Tuhan
tidak hadir baginya, tapi mereka berlatih untuk hadir pada
Tuhan. Jadi selama beberapa tahun terakhir ini, mereka telah
menemukan cara lain untuk mendekati hubungan mereka
dengan Tuhan, cara lain untuk melatih disiplin spiritual,
mereka mengenalnya dengan cara yang berbeda, dan mereka
mengetahui hubungan mereka. dengan dia dengan cara yang
berbeda. Mereka pikir itu telah membantu mahasiswa sampai
pada gagasan bahwa Tuhan hadir bersama mereka di manamana,
walaupun
kadang-kadang
mereka
207 – Pembentukan Rohani
tidak
dapat
merasakannya, dan untuk benar-benar memahami spiritualitas
yang berada di luar perasaan sangat besar dalam membantu
mahasiswa untuk memahami Tuhan dengan cara baru.
Terlepas dari apa yang mahasiswa rasakan, Tuhan masih ada
di sini.
Pargament and Emmons telah mendokumentasikan
studi yang menghubungkan kekuatan kehidupan spiritual
seseorang dengan kemampuan untuk mengatasi stres dan
dengan kepuasan hidup dan kesejahteraan keseluruhan.
Bahkan
seseorang
A.
Headley
dengan
juga
Tuhan
menghubungkan
untuk
memenuhi
keintiman
kepuasan
seseorang dalam pelayanan. Pengamatan Smith bahwa
komitmen yang mendalam kepada Tuhan merupakan faktor
kunci dalam memenuhi panggilan seseorang secara efektif
didukung oleh temuan ini. Hubungan para lulusan yang
semakin meningkat dengan Tuhan tampaknya membawa
masuk ke dalam pelayanan mereka ketika, setidaknya dua
tahun kemudian, tidak ada tanda-tanda khas kelelahan dan
tidak mengurangi antusiasme untuk pelayanan terbukti.
Perguruan Tinggi Kristen harus berusaha untuk
menganggap serius keadaan kehidupan spiritual mahasiswa
dengan menyatukan kembali formasi spiritual dengan semua
program akademik. Perguruan Tinggi Kristen dapat memiliki
dampak positif pada pembentukan pribadi dan spiritual
208 – Pembentukan Rohani
formation mahasiswanya. Bahkan pertumbuhan ini dapat terus
berlanjut di kalangan alumni selama dua tahun pertama
setelah lulus. Program dan kurikulum spiritual formation
memiliki dampak yang diharapkan terhadap pertumbuhan
spiritual dan pribadi mahasiswa selama di Perguruan Tinggi
Kristen dan setelah lulus.
Kurikulum
Kurikulum
menanggapi
spiritual
seruan
untuk
formation
berusaha
mendapatkan
untuk
pengalaman
Perguruan Tinggi Kristen yang tidak hanya menyediakan
persiapan akademis yang ketat untuk mahasiswa, tetapi juga
yang memupuk jalan hidup mahasiswa dengan Tuhan.
Pendekatan klasik Perguruan Tinggi Kristen terhadap
pendidikan teologis dalam hal pendekatan terpadu terhadap
desain kurikulum inti membuat langkah besar untuk
menghilangkan de-fragmen pendidikan teologis. Penekanan
besar untuk menciptakan masyarakat, melalui penggunaan
model kohort, retret, dan kelompok berbagi iman, telah
berusaha untuk membuat model pendekatan trinitarian
terhadap pelayanan mutualitas dan kerjasama daripada
pendekatan hierarkis dan kompetitif. Sepanjang desain
kurikulum, namun terutama di inti, penekanannya adalah pada
pengembangan keseluruhan orang untuk pelayanan sambil
209 – Pembentukan Rohani
mengenalkan mahasiswa pada model spiritualitas yang
ditemukan di seputar kekristenan klasik. Model Faith-Sharing
Group telah mendorong peserta untuk mendengarkan dan
bekerja sama dengan apa yang sedang dilakukan Tuhan
terhadap kehidupan satu sama lain. Sebagai mahasiswa dan
fasilitator memasuki keramahan mendengarkan ini, mereka
diperbolehkan untuk masuk lebih intim ke dalam hubungan
satu sama lain.
Spiritual formation di Kelas
Untuk spiritual formation menjadi lebih dari komponen
tambahan dari perguruan tinggi Kristen, diturunkan ke
kehidupan kampus di luar kelas, integrasi formasi spiritual
harus terjadi di kelas (Litfin, 2004). Institusi pendidikan tinggi
Kristen
memiliki
keunggulan
tersendiri
dibandingkan
perguruan tinggi sekuler dalam kemampuan mereka untuk
membantu pembentukan rohani melalui pengembangan
kurikulum.
Sebagian
besar
perguruan
tinggi
Kristen
menawarkan pendidikan seni liberal, yang merupakan
pendidikan yang lebih fokus pada mendidik seluruh orang
daripada mempersiapkan siswa untuk panggilan tertentu
(Davis, 2012).
Pendidikan seni liberal adalah kombinasi dari berbagai
disiplin ilmu seperti sains, humaniora, teologi, psikologi,
210 – Pembentukan Rohani
sastra, sejarah, dan filsafat, tetapi dengan satu tujuan berbeda
yang berusaha untuk melanjutkan kesatuan kebenaran di
berbagai
disiplin
ilmu.
Lalu,
bagaimana
seharusnya
pendidikan seni liberal Kristen berbeda dari institusi seni
liberal lainnya? Litfin (2004) berpendapat bahwa pendidikan
seni liberal Kristen harus sepenuhnya Kristosentris. Kristologi
yang berkembang sepenuhnya untuk memahami Yesus
sebagai pencipta dan tujuan penciptaan (diciptakan oleh-Nya
dan untuk Dia), pemelihara kehidupan, penebus, dan hakim,
sangat penting untuk menawarkan pendidikan Kristen yang
sejati (Litfin, 2004).
Menurut Davis (2012), ketegangan antara Athena
(pengetahuan sekuler) dan Yerusalem (kebenaran alkitabiah)
yang membuat seni liberal efektif dalam pengembangan iman
mahasiswa. Mahasiswa harus terus mendapatkan dan belajar
pengetahuan di berbagai bidang, tetapi kemudian harus
memeriksa pengetahuan itu melalui kerangka alkitabiah dan
pemahaman tentang peran Kristus (Davis, 2012). Oleh karena
itu, pendidikan seni liberal Kristen adalah pendidikan yang
terintegrasi dengan iman yang tumbuh dalam pengetahuan
akademis, dengan fokus pada peran sentral Kristus dalam
semua pengajaran.
Pendidikan
seni
liberal
berusaha
mendefinisikan
seseorang dalam tiga cara dan kemudian membahas bidang211 – Pembentukan Rohani
bidang tersebut untuk membantu seseorang menjadi manusia
yang lebih utuh: (a) seseorang adalah makhluk reflektif atau
berpikir; (b) seseorang adalah makhluk yang menghargai; dan
(c) seseorang adalah agen yang bertanggung jawab (Holmes,
2001). Untuk pendidikan untuk menggambarkan seseorang
sebagai makhluk reflektif atau berpikir tidak mengherankan
karena berusaha untuk melibatkan kecerdasan mahasiswa.
Bagaimanapun,
pendidikan
seni
liberal,
mengharuskan mahasiswa untuk menggunakan kekuatan
reflektif dan berpikir ini dengan cara-cara baru karena
menantang mereka untuk berpikir kreatif, mengajukan
pertanyaan yang baik, dan mencoba menyatukan berbagai hal
dalam jenis kerangka berpikir intelektual. Di sinilah
pendidikan seni liberal mulai membantu mahasiswa dalam
spiritual formation, karena melalui pembelajaran kritis
mahasiswa mengembangkan lebih penuh kecerdasan yang
diberikan Tuhan (Davis, 2012).
Murphy (2005) menghubungkan perdebatan modern
tentang apakah seni liberal sudah ketinggalan zaman untuk
masyarakat postmodern dan teknosentris kita dengan argumen
Aquinas bahwa apa yang dicintai, dikejar. Untuk memiliki
kurikulum berdasarkan integrasi iman dan pembelajaran
adalah mengejar Tuhan, dan Kristus, melalui pengetahuan
(Murphy, 2005).
212 – Pembentukan Rohani
Dalam mendefinisikan seorang intelektual Kristen, Sire
(2000)
memperjuangkan
pendidikan
liberal
dengan
menyatakan: Seorang intelektual Kristen adalah orang yang
mencintai cita-cita, berdedikasi untuk mengembangkannya,
menjelaskannya ... Melihat implikasinya ... menilai mereka ...
mengubah mereka, membawa mereka ke dalam kontak
dengan rekan-rekan mereka dalam sistem pemikiran lain ...
dan melakukan semua ini untuk kemuliaan Allah. (hlm. 27–
28)
Ini adalah deskripsi yang baik untuk mahasiswa yang
dididik dalam tradisi Kristen. Definisi Sire menyentuh
masing-masing
dari
tiga
karakteristik
seseorang
dan
menunjukkan bagaimana karakteristik ini bekerja sama dan,
pada akhirnya, untuk tujuan apa mereka bekerja—kemuliaan
Tuhan. Seorang intelektual Kristen, kemudian, adalah seorang
sarjana Athena dengan pemahaman yang berkembang tentang
peran sentral Yerusalem. Seni liberal Kristen membantu
menumbuhkan intelektual Kristen dengan mempersiapkan
mereka untuk menjadi pemikir kritis dan untuk melihat dan
memahami ide dan kata-kata baik dalam konteks yang
dimaksudkan maupun implikasi spiritual mereka (Mead,
2012)
213 – Pembentukan Rohani
Spiritual formation Kristen dalam Komunitas
Tujuan pendidikan tidak hanya untuk mengajarkan
fakta, tetapi juga untuk mengajarkan nilai-nilai. Setiap sistem
pendidikan di dunia mengajarkan nilai-nilai dari beberapa
jenis, dan jenis nilai-nilai kampus mendukung sangat
mempengaruhi nilai-nilai setiap mahasiswa, baik positif atau
negatif-sering mengarah ke semacam tindakan sosial (Astin et
al., 2011).
Pematangan seni liberal membantu mahasiswa untuk
memahami hubungan dan mengejar pengetahuan dengan
iman, yang akan membantu mahasiswa pada akhirnya untuk
menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam masyarakat
(Murphy, 2005). Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk
membantu dalam pengembangan mahasiswa untuk menjadi
anggota umat manusia yang bertanggung jawab; prihatin
tentang
ketidakadilan
dan
berusaha
untuk
membawa
perubahan positif. Proyek tindakan, ketika dimasukkan ke
dalam pendidikan di kelas, membantu menghubungkan kepala
dan hati melalui fokus pada akademisi yang berdampak pada
masyarakat (Setran, Wilhoit, Ratcliff, Haase, & Rozema,
2010).
Dengan menghubungkan ruang kelas ke masyarakat
(yaitu, kampus, lokal, gereja, dan budaya), misi perguruan
tinggi Kristen dapat menambahkan spiritualitas Kristen
214 – Pembentukan Rohani
tradisional sebagai komponen kunci untuk integrasi iman dan
pembelajaran, yang memiliki potensi untuk menumbuhkan
keranka berpikir Kristen dan kehidupan Kristen (Setran et al.,
2010).
Kampus
perguruan
tinggi
Kristen
menawarkan
mahasiswa kesempatan untuk mengerjakan tujuan iman dalam
komunitas.
Wuthnow
(1998)
percaya
bahwa
kampus
perguruan tinggi mempertahankan keunggulan yang berbeda
atas semua institusi lain dalam membantu membentuk
spiritualitas orang dewasa muda melalui eksplorasi hubungan
antara yang sakral dan sekuler.
Menurut Wuthnow, keuntungan ini berkaitan dengan
kemampuan dan kapasitas perguruan tinggi Kristen untuk
melibatkan mahasiswa secara rasional dan emosional dalam
diskusi iman. Diskusi tentang pengembangan komunitas
holistik di dalam perguruan tinggi Kristen dibantu melalui
tahapan pengembangan masyarakat yang ditawarkan oleh
Westerhoff (2012).
Westerhoff (2012), dalam karyanya yang penting
tentang pengembangan iman-komunitas holistik, membahas
tiga fase pengembangan masyarakat: (a) cara afiliatifekspresi, (b) cara iluminasif reflektif, dan (c) cara unitifintegratif. Cara mengekspresikan afiliatif memperkenalkan
pengembangan masyarakat melalui proses yang disengaja
215 – Pembentukan Rohani
untuk menciptakan pengalaman ekspresif seperti simbol,
ritual, dan bercerita. Cara iluminasi-reflektif membahas
bagaimana individu dalam komunitas didorong untuk
merefleksikan tradisi bersama ini, mempertimbangkan apa
artinya bagi individu, tetapi tetap mengekspresikannya di
dalam komunitas. Cara unitif-integratif mendorong individu
untuk berinteraksi dengan kedua dari dua fase pertama, dan
melalui karya Kristus sebuah komunitas iman dikembangkan.
Dengan melibatkan mahasiswa melalui pemahaman
yang diperkaya tentang tradisi Kristen dan perannya di
akademi dan melalui keterlibatan siswa dalam proses refleksi
tentang bagaimana hal ini membentuk individu, lembaga
Kristen kemudian dapat dengan
sengaja menciptakan
komunitas Kristen yang mendalam. Proses ini didekati dari
semua aspek pelayanan lembaga Kristen. Kampus ini
menyediakan siswa dengan berbagai interaksi masyarakat
yang mendorong siswa untuk belajar bagaimana hidup dalam
lingkungan masyarakat. Tempat ini adalah tempat mahasiswa
akan mulai memahami pentingnya karakter karena karakter
itu dibentuk dan dibentuk bersama orang lain.
Komunitas adalah tempat di mana spiritual formation
terbentuk, karena memaksa siswa untuk mulai memahami
hubungan antara keyakinan dan perilaku ketika kehidupan
sehari-hari di kampus mulai membantu memahami semua
216 – Pembentukan Rohani
yang terjadi (Garber, 1996). Alasan penting bagi perguruan
tinggi untuk memamerkan dan menawarkan shalom adalah
karena kampus ini penuh dengan orang-orang yang berjuang
untuk memahami dunia; dengan menawarkan tempat yang
menunjukkan dan menawarkan kedamaian, masyarakat
dibantu untuk bergulat dengan isu-isu dalam lingkungan yang
aman (Wolterstorff, 2003).
Perguruan tinggi dan universitas Kristen memiliki
keunggulan yang berbeda dibandingkan lembaga-lembaga
lain dalam spiritual formation yang menghadiri lembagalembaga ini. Untuk disengaja tentang proses spiritual
formation ini, perguruan tinggi Kristen harus berusaha untuk
menciptakan, melalui responsif terhadap Tuhan, lingkungan
yang ditujukan untuk pengembangan pendidikan terpadu yang
berpusat pada Kristus dan komunitas yang penuh kasih yang
memungkinkan mahasiswa untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan penting tentang iman.
Spiritual formation tidak dipandang sebagai satusatunya tujuan penting dari perguruan tinggi, sehingga
mengorbankan pengembangan intelektual atau relasional.
Sebaliknya, spiritual formation harus dilihat sebagai produk
dari semua yang dilakukan perguruan tinggi Kristen. Ini
bukan fenomena, tetapi komitmen terkoordinasi yang harus
dilibatkan secara holistik. Untuk itu, pendidikan tinggi Kristen
217 – Pembentukan Rohani
memiliki beberapa keuntungan berbeda dalam sejarah
pembentukan spiritualnya, kurikulum yang didasarkan pada
seni liberal Kristen, dan manfaat hidup dan belajar di
masyarakat. Ada juga tantangan yang harus dihadapi dari
postmodernisme, keragaman, dan penilaian.
Jauh di luar tanggung jawab mengapa perguruan tinggi
harus berkonsentrasi pada bidang-bidang ini untuk membawa
spiritual formation yang disengaja, tetapi harus dipandang
sebagai sarana untuk mewujudkan lingkungan yang ditandai
dengan shalom. Sangat penting untuk memiliki lingkungan
pendidikan yang mendukung spiritual formation, karena kita
memahami perguruan tinggi adalah saat ketika mahasiswa
mencoba untuk memahami dan menanggapi panggilan Tuhan
dalam kehidupan mereka.
218 – Pembentukan Rohani
DAFTAR PUSTAKA
Astin, A., Astin, H. S., & Lindholm, J. A. (2011). Cultivating
the spirit: How college can enhance students’ inner
lives. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Benne, R. (2001). Quality with soul. Grand Rapids, MI: Wm.
B. Eerdmans Publishing. Council for Christian Colleges
& Universities (CCCU), Task Force on Spiritual
Formation in Christian Higher Education. (2011).
CCCU report of the task force on spiritual formation in
Christian higher education. Retrieved from
http://www.cccu.org/professional_development/resourc
e_library/2011/ cccu_report_on_spiritual_formation
Bringle, R. G., & Hatcher, J. A. (1996). Implementing service
learning in higher education. The Journal of Higher
Education, 67(2), 221–239.
Clinton Robert (1988) The Making of a Leader: Recognizing
the Lessons and Stages of Leadership Development.
NavPress.
Davis, J. C. (2012). The countercultural quest of Christian
liberal arts. In J. C. Davis & P. G. Ryken (eds.),
Liberal arts for the Christian Life (pp. 113–123).
Wheaton, IL: Crossway.
Fennema, J. (2010). Constructivism: A critique from a biblical
worldview. In H. Lee (Ed.), Faith based education that
constructs (pp. 23–36). Eugene, OR: Wipf & Stock.
219 – Pembentukan Rohani
Fowler, J. W. (1981). Stages of faith: The psychology of
human development and the quest for meaning. San
Francisco, CA: Harper & Row.
Garber, S. (1996). The fabric of faithfulness. Downers Grove,
IL: InterVarsity Press.
Gonzalez, J. (1984). The story of Christianity: Vol. I. San
Francisco, CA: Harper Books.
Groome, Thomas H. (1980) Christian Religious Education:
Sharing Our Story and Vision. San Francisco: JosseyBass Publishers,
Groome, Thomas H. and Horrell, Harold Daly, eds. (2003)
Horizons and Hopes: The Future of Religious
Education. Mahwah, NJ: Paulist Press,
Holmes, A. (1975). The idea of a Christian college. Grand
Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing.
Holmes, A. (2001). Building the Christian academy. Grand
Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing.
Jacobsen, D., & Jacobsen, R. (2012). No longer invisible:
Religion in university education. Oxford, England:
Oxford University Press.
Joeckel, S., & Chesnes, T. (2010). A slippery slope to
secularization? An empirical analysis of the Council for
Christian Colleges & Universities. Christian Scholar’s
Review, 39, 177–196.
Joeckel, S., & Chesnes, T. (2012). The Christian college
phenomenon: Inside America’s fastest growing
220 – Pembentukan Rohani
institutions of higher learning. Abilene, TX: Abilene
Christian University Press.
King, S. (2015). A study of the prevalence, primary
responsibilities, and perceived effectiveness of
multicultural offices on Christian campuses using select
member institutions from the Council for Christian
Colleges & Universities (Unpublished EdD
dissertation). Oral Roberts University, Tulsa,
Oklahoma.
Lehmann Curtis (2019) Understanding the Intersection of
Spirituality and Service Engagement Among
Undergraduates from a Reasoned Action Approach,
Journal of Higher Education Outreach and
Engagement, Volume 23, Number 2, p. 20.
Litfin, D. (2004). Conceiving the Christian college. Grand
Rapids, MI: Eerdmans.
Ma, S. Y. (2003). The Christian college experience and the
development of spirituality among students. Christian
Higher Education, 2(4), 321-339.
Mead, M. L. (2012). The lost tools of learning and the habits
of a scholarly mind. In J. C. Davis & P. G. Ryken
(Eds.), Liberal arts for the Christian Life (pp. 113–123).
Wheaton, IL: Crossway.
Meehan, C. (2002). Resolving the confusion in the spiritual
development debate. International Journal of Children’s
Spirituality, 7(3), 291–308. doi:
10.1080/1364436022000023202 Moore, S. G. W.
(1998a). The university as a place of spiritual
formation. In S. Moore (Ed.), The university through
221 – Pembentukan Rohani
the eyes of faith (pp. 155–166). Indianapolis, IN: Light
and Life Communications.
Moore, S. G. W. (1998b). Christian higher education: The
church at the frontlines of the culture. In S. Moore
(Ed.), The university through the eyes of faith (pp. 155–
166). Indianapolis, IN: Light and Life
Communications.
Murphy, C. (2005). The academy, spirituality, and the search
for truth. New Directions for Teaching & Learning,
2005(104), 23–29.
Otto Patrick & Harrington Michael (2016) Spiritual
Formation Within Christian Higher Education,
Christian Higher Education, 15:5, 252-262, DOI:
10.1080/15363759.2016.1208594
Paredes-Collins, K. (2014). Campus climate for diversity as a
predictor of spiritual development at Christian colleges.
Religion & Education, 41(2), 171–193.
doi:10.1080/15507394.2013.864206
Parks, S. D. (2000). Big questions, worthy dreams: Mentoring
young adults in their search for meaning, purpose, and
faith. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Pascarella, E. T., & Terenzini, P. T. (1991). How college
affects students: Findings and insights from 20 years of
research. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Pazmiño W. Robert (2008) Foundational Issues in Christian
Education: An Introduction in Evangelical Perspective.
Grand Rapid: Baker Academic.
222 – Pembentukan Rohani
Rhea, R. (2011). Exploring spiritual formation in the Christian
academy: The dialects of church, culture, and the larger
integrative task. Journal of Psychology and Theology,
39(1), 3–15.
Saraglou, V. (2013). Religion, spirituality, and altruism. APA
Handbook of Psychology, Religion and Spirituality, 1,
439–457.
Schaffer, R. H. (2004). Service-learning in Christian higher
education: Bringing our mission to life. Christian
Higher Education, 3(2), 127–145.
doi:10.1080/15363750490429417
Setran, D. P., Wilhoit, J. C., Ratcliff, D., Haase, D. T., &
Rozema, L. (2010). Spiritual formation goes to college:
Class-related “soul projects” in Christian higher
education. Christian Education Journal, 7 (2), 401–422.
Sire, J. W. (2000). Habits of the mind. Downers Grove, IL:
InterVarsity Press. Christian higher education, 261
Smith, C. (2009). Souls in transition: The religious and
spiritual lives of emerging adults. New York, NY:
Oxford University Press.
Gordon T. Smith (2014) Spiritual Direction: A Guide to
Giving and Receiving Direction. IVP
Steibel, S. R. G. (2010). Christian education and spiritual
formation: One and the same? Christian Education
Journal, 7(2), 340–355.
223 – Pembentukan Rohani
Veith, G. E. (1994). Postmodern times: A Christian guide to
contemporary thought and culture. Wheaton, IL:
Crossway Books.
Waaijman, K (2002). Spirituality. Forms, Foundations,
Methods. Leuven: Peeters.
_____, (2006). What is Spirituality? in De Villiers, P G R,
Kourie, C & Lombaard, C (eds), The Spirit that Moves.
Orientation and Issues in Spirituality. Acta Theologica
Supplementum 8, 1-18.
_____, (2007). Spirituality: A Multifaceted Phenomenon –
Interdisciplinary Explorations. Studies in Spirituality
17, 1-113.
Welch, M., & Koth, K. (2013). A metatheory of spiritual
formation through service learning in higher education.
Journal of College Student Development, 54(6), 612–
627. doi:10.1353/csd.2013.0089
Welch, A. A. (2015). Leadership Development Through
Theological Education in the Theological Education
Initiative of Central Missouri [Doctoral thesis, Bethel
University]. Spark Repository.
https://spark.bethel.edu/etd/653
Westerhoff, J. H. (2012). Will our children have faith? New
York, NY: Church Publishing.
Willard, D. (1998). Spiritual disciplines, spiritual formation,
and the restoration of the soul. Journal of Psychology
and Theology, 26(1), 101-109.
224 – Pembentukan Rohani
Willard, D. (2000). Spiritual formation in Christ: A
perspective on what it is and how it might be done.
Journal of Psychology and Theology, 28(4), 254-258.
Willard, D. (2002). Renovation of the Heart. NavPress.
Willett, D. (2010). A biblical model of stages of spiritual
development: The journey according to John. Journal of
Spiritual Formation and Soul Care, 3(1), 88-102.
Williamson, I. T., & Sandage, S. J. (2009). Longitudinal
analyses of religious and spiritual development among
seminary students. Mental Health, Religion & Culture,
12(8), 787- 801.
Wolterstorff, N. P. (2003). Educating for life (G. G. Stronks
& C. W. Jaldersma, Eds.). Grand Rapids, MI: Baker
Books.
Wuthnow, R. (1998). Struggling to manifest the sacred. In S.
Moore (Ed.), The university through the eyes of faith
(pp. 137–154). Indianapolis, IN: Light and Life
Communications
Yorio, P. L., & Ye, F. (2012). A meta-analysis on the effects
of service-learning on the social, personal, and
cognitive outcomes of learning. Academy of
Management Learning and Education, 11(1), 9–27.
doi:10.5465/amle.2010.0072
Zlotkowski, E. (1998). Successful service-learning programs:
New models of excellence in higher education. Bolton,
MA: Anker
225 – Pembentukan Rohani
226 – Pembentukan Rohani