Content-Length: 445591 | pFad | https://www.academia.edu/122425035/Pembentukan_Rohani_di_Perguruan_Tinggi_Kristen

(PDF) Pembentukan Rohani di Perguruan Tinggi Kristen
Academia.eduAcademia.edu

Pembentukan Rohani di Perguruan Tinggi Kristen

2024, STT Indonesia Jakarta

Buku ini untuk memahami kompleksitas dari spiritual formation dan kepemimpinan dalam Perguruan Tinggi Kristen dalam upaya melahirkan pemimpin-pemimpin baru bagi gereja dan bangsa ke depan. Bagaimana Perguruan Tinggi Kristen menerapkan spiritual formation yang akan melahirkan pemimpin masa depan. Melihat bagaimana pentingnya spiritual formation di dalam Perguruan Tinggi Kristen yang sangat berpengaruh bagi lulusannya sebagai seorang pemimpin maka apakah ketiadaan spiritual formation di dalam Perguruan Tinggi Kristen adalah ketiadaan proses pembentukan karakter Kristus? Menganalisis peranan spiritual formation di dalam Perguruan Tinggi Kristen, apakah spiritual formation berjalan dalam pembentukan? Bagaimana proses spiritual formation diterjemahkan di dalam kehidupan sehari-hari di ruang kelas, di luar kelas dan saat praktik lapangan?

Kematangan spiritual pemimpin Kristen masa depan merupakan tantangan penting dan perlu ditangani sepanjang pelatihan teologis. Pengaturan yang paling kondusif untuk pendidikan semacam itu dilakukan adalah hal yang disengaja, kolaboratif dan komunitarian. Buku ini telah menunjukkan identifikasi secara akurat dimensi spesifik spiritual formation dan harapan spiritualitas kepemimpinan Kristen dalam membawa wawasan penting untuk mengembangkan lingkungan pendidikan dan pengasuhan yang lebih terintegrasi untuk spiritualitas mahasiswa dalam pendidikan teologis. Seiring pendidikan teologis terus menilai visinya dan tujuannya dalam lanskap perubahan pendidikan tinggi buku ini menunjukkan bukti untuk mendukung asumsi bahwa institusi teologis mempromosikan pendekatan formatif untuk belajar dengan memenuhi tujuan mereka yang dinyatakan dalam hal pembentukan kerohanian kepemimpinan Dr. Robby Robert Repi adalah dosen pengampu di STT Indonesia Jakarta di Program Studi Magister Teologi. Dosen yang aktif di aras nasional ini melayani di salah satu gereja lokal di Jakarta. Bidang studi konsentrasi dalam kepemimpinan Kristen. PENERBIT STT INDONESIA JAKARTA Pendidikan Spiritualitas Kepemimpinan Kristen Dr. Yusak Tanasyah adalah pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Moriah Tangerang di Program Studi Magister Pendidikan Agama Kristen. Selain aktif dalam karya tulis dengan menghasilkan beberapa buku akademik yang dapat di akses di academia.edu. Pendidikan Agama Kristen dan Christian Worldview bidang studi konsentrasi yang menjadi fokus pengajaran dan pelayanannya. Dr. Yusak Tanasyah, Dr. Robby Robert Repi Pembentukan Rohani di Perguruan Tinggi Kristen Dr. Yusak Tanasyah Dr. Robby Robert Repi PEMBENTUKAN ROHANI DI PERGURUAN TINGGI KRISTEN STT INDONESIA JAKARTA PEMBENTUKAN ROHANI DI PERGURUAN TINGGI KRISTEN Dr. Yusak Tanasyah Dr. Robby Robert Repi Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Jakarta 1 – Pembentukan Rohani Penerbitan Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Jakarta memiliki visi memberitakan Kabar Baik lewat penerbitan yang bermutu dan berilmu berdasarkan kebenaran. Dengan membawa misi untuk menerbitkan dan menyebarluaskan pengetahuan takut akan Tuhan kepada semua orang dan Mengembangkan dan mendistribusikan dengan integritas dan keunggulan dari sumber daya yang terpercaya dan berdasarkan Alkitab. Pembentukan Rohani di Perguruan Tinggi Kristen Hak Cipta © Yusak Tanasyah Penulis Yusak Tanasyah, Robby Robert Repi Editor Ruthnawaty Setiawan Margareth L. Risakotta Diterbitkan: Penerbitan STT Indonesia Jakarta Jalan Setiabudi No. 1 Ebenezer Building, Jakarta Selatan Email sttijpress@gmail.com Cetakan Pertama Tahun: 2024 ISBN: 9 786238 928200 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG Dilarang memperbanyak, atau memfotokopi, sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. 2 – Pembentukan Rohani DAFTAR ISI Kata Pengantar Pendahuluan 5 7 I Kepemimpinan di Perguruan Tinggi Kristen 11 A. Spiritualitas dan Efektivitas Kepemimpinan 17 B. Integrasi Nilai-nilai Kristen dalam Kepemimpinan 26 II Pengembagnan Moral di Perguruan Tinggi Kristen A. Tahap Perkembangan Moral J. Fowler B. Tahap Perkembangan Moral L. Kohlberg 41 49 58 III Biblical Spiritual Formation A. Definisi Spiritual Formation B. Leadership Development C. Spiritualitas dan Religi 65 68 84 95 IV Spiritualitas dan Perguruan Tinggi Kristen A. Sejarah Spiritual Formation dalam Pendidikan B. Pedagogi Pendidikan Kristen 111 112 125 V Spiritual Formation Yesus di Injil Markus A. Injil Markus dan Spiritual Formation B. Spiritual Formation Yesus di Injil Markus C. Relevansi Spiritual Formation di Injil Markus di Perguruan Tinggi 149 151 160 3 – Pembentukan Rohani 183 VI Tindakan Spiritual Formation di Perguruan Tinggi Kristen A. Spiritual Formation dalam Bingkai Pedagogikal Pelayanan Yesus B. Spiritual formation disampaikan Lewat Hubungan C. Spiritual Formation difasilitasi lewat Kualitas Hubungan Daftar Pustaka 187 189 195 200 219 4 – Pembentukan Rohani KATA PENGANTAR Buku ini untuk memahami kompleksitas dari spiritual formation dan kepemimpinan dalam Perguruan Tinggi Kristen dalam upaya melahirkan pemimpin-pemimpin baru bagi gereja dan bangsa ke depan. Bagaimana Perguruan Tinggi Kristen menerapkan spiritual formation yang akan melahirkan pemimpin masa depan. Melihat bagaimana pentingnya spiritual formation di dalam Perguruan Tinggi Kristen yang sangat berpengaruh bagi lulusannya sebagai seorang pemimpin maka apakah ketiadaan spiritual formation di dalam Perguruan Tinggi Kristen adalah ketiadaan proses pembentukan karakter Kristus? Menganalisis peranan spiritual formation di dalam Perguruan Tinggi Kristen, apakah spiritual formation berjalan dalam pembentukan? Bagaimana proses spiritual formation diterjemahkan di dalam kehidupan sehari-hari di ruang kelas, di luar kelas dan saat praktik lapangan? Buku ini juga adalah sebagai kode etik bagi dosen dengan mengidentifikasi promosi spiritual formation kepada mahasiswa sebagai ‘Komitmen untuk peserta didik’. Bahkan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak (1989) mengakui 5 – Pembentukan Rohani pentingnya pengembangan spiritual anak-anak dan rohani dan moral kesejahteraan mereka. Dokumen-dokumen ini menegaskan kepada penulis bahwa spiritualitas bisa relevan dengan kepemimpinan pendidikan berbasis sekolah. Melihat fenomena spiritual formation bagi peserta didik di Perguruan Tinggi Kristen sangatlah kompleks. Apa mungkin spiritual formation di dalam sekolah berarti juga bagi peserta didik di Perguruan Tinggi Kristen? Dengan cara apakah pengaruh spiritual formation menjadi berpengaruh bagi peserta didik? Buku ini membahas antara spiritual formation di Perguruan Tinggi Kristen dan pengembangan kepemimpinan. 6 – Pembentukan Rohani PENDAHULUAN Tujuan spiritual formation adalah untuk membantu mahasiswa menjalani spiritual formation mendalam penggunaan hikmat pribadi tentang Tuhan, diri dan dunia di mana pembelajaran bukan hanya masalah pribadi tapi dilakukan demi kehidupan publik, kehidupan gerejani dan kepemimpinan Gereja. Hal ini sejalan dengan apa yang oleh Groome (1980) disebut sebagai praktisi reflektif: “Mereka harus diajak untuk membedakan dan mengungkapkan pemahaman kritis mereka sendiri tentang praksis dan teori dan disponsori melalui penghakiman dan keputusan untuk melihat sendiri dan secara bertanggung jawab memilih apa yang sesuai untuk dijalani. Iman Kristen.” Praktik dan sikap kristiani yang diajarkan di kelas Pendidikan Agama juga harus tercermin dalam cara menjalani hari, cara guru memberikan teladan dalam memperlakukan orang lain, doa yang mengawali hari, persekutuan/ibadah di sekolah, dan lain-lain, akan menandai perbedaan antara lingkungan sekolah Kristen dan lingkungan lainnya. Sistem sekolah di mana Pendidikan Keagamaan diajarkan sebagai 7 – Pembentukan Rohani suatu disiplin akademis dalam konteks yang tidak secara eksplisit bersifat keagamaan. Beberapa konsep dipilih dari literatur yang akan membuat penekanan spiritual formation pada institusi pendidikan. Pertama, ini akan melibatkan intensionalitas terhadap pengembangan spiritual yang dibuktikan dalam kehidupan masyarakat dan dalam kurikulum yang holistik dan integratif. Sebuah institusi yang membuat keputusan perusahaan untuk melakukannya harus menerapkan sumber daya untuk tujuan tersebut. Pengaruh penting dalam spiritual formation adalah keterlibatan staf karena mereka memodelkan integritas kepada mahasiswa. Spiritual formation dalam lingkungan akademis paling efektif saat dipahami dan dilengkapi dalam kelas. Oleh karena itu, baik pembelajaran formal maupun informal spiritualitas tertanam dalam konteks kehidupan bersama. Penelitian juga mendukung nilai hubungan sebagai alat pembelajaran, dan kehidupan masyarakat dapat melipatgandakan kesempatan belajar. Layanan lain seperti konseling, penilaian progresif dan mentor, dan lainnya. Yang secara khusus berfokus pada pengembangan spiritual dapat diberikan kepada mahasiswa. Lembaga-lembaga teologis harus menjadi komunitas penyembah yang dibuktikan oleh berbagai kegiatan ibadah. Konsep-konsep 8 – Pembentukan Rohani ini adalah persyaratan penting yang masuk ke dalam program spiritual formation, walaupun di dalam institusi teologi denominasi mungkin ada perbedaan teologis lainnya, praktik dan ritual yang mempengaruhi spiritual formation. Misalnya tradisi yang berbeda akan mengidentifikasi dengan banyak spiritualitas: spiritualitas spekulatif/, terutama pendekatan "berpikir"; spiritualitas afektif - spiritualitas hati, menggambar secara karismatik, cara yang efektif untuk berhubungan dengan Tuhan; spiritualitas mistik, lebih tertarik untuk berada bersama Tuhan daripada mengekspresikan diri kepada Tuhan, dan spiritualitas kerajaan yang berkomitmen untuk bersaksi kepada Tuhan di dunia. Kematangan spiritual pemimpin Kristen masa depan merupakan tantangan penting dan perlu ditangani sepanjang pelatihan teologis. Pengaturan yang paling kondusif untuk pendidikan semacam itu dilakukan adalah hal yang disengaja, kolaboratif dan komunitarian. Buku ini telah menunjukkan identifikasi secara akurat dimensi spesifik spiritual formation dan harapan spiritualitas kepemimpinan Kristen dalam membawa wawasan lingkungan pendidikan penting dan untuk mengembangkan pengasuhan yang lebih terintegrasi untuk spiritualitas mahasiswa dalam pendidikan teologis. Seiring pendidikan teologis terus menilai visinya dan tujuannya dalam lanskap perubahan pendidikan tinggi buku 9 – Pembentukan Rohani ini menunjukkan bukti untuk mendukung asumsi bahwa institusi teologis mempromosikan pendekatan formatif untuk belajar dengan memenuhi tujuan mereka yang dinyatakan dalam hal pembentukan kerohanian mahasiswa. 10 – Pembentukan Rohani I KEPEMIMPINAN DI PERGURUAN TINGGI KRISTEN Kedewasaan pemimpin Kristen masa depan merupakan tantangan penting dan perlu ditangani selama berada di Perguruan Tinggi Kristen. Mengembangkan generasi pemimpin dengan karakter yang berkualitas dan visi untuk milenium baru tetap menjadi perhatian utama di dalam gereja dan masyarakat. Bilamana hal tersebut adalah sangat penting bagi lulusan Perguruan Tinggi Kristen menjadi seorang yang berkompetensi dan berkarakter, maka spiritual formation harus menjadi bagian dari agenda kompetensi dan tidak dapat dibiarkan begitu saja. Spiritual formation harus dihargai sebagai tanggung jawab yang signifikan dari pekerjaan pendidikan dari Perguruan Tinggi Kristen. Kita dapat memastikan bahwa prioritas dari spiritual formation adalah salah satu unsur sasaran dan tujuan dari pendidikan Kristen. Perguruan Tinggi Kristen harus berkomitmen pada spiritual formation dan pengembangan karakter untuk setiap komunitas akademiknya. Pada akhirnya, 11 – Pembentukan Rohani orang-orang yang efektif akan memenuhi panggilan mereka dengan komitmen yang tinggi kepada Tuhan, disiplin dan kebiasaan gaya hidup yang jelas, dan memiliki panggilan apostolik yang jelas dan melayani umat manusia. Banyak Perguruan Tinggi Kristen yang pasif daripada pro-aktif dalam pengembangan karakter. Administrasi dan dosen sering berasumsi bahwa sekolah hanya berfokus pada agenda akademik; pengembangan karakter akan terbentuk dengan sendirinya. Sayangnya, tidak semua orang yang lulus Perguruan Tinggi Kristen baik dalam kompetensi dan karakter memiliki spiritual formation. Seharusnya spiritual formation menjadi agenda akademik sebagai bagian kompetensi yang terintegrasi. Sudah seharusnya sekolah membuatnya secara terjadwal dan pro-aktif. Oleh sebab itu, spiritual formation di dalam setting akademik adalah paling efektif saat ruang kelas diadakan dan disiapkan, dimana unsur-unsur penting dari kehidupan rohani didewasakan, diajarkan dan dikuatkan dalam setting ruang kelas. Gordon T. Smith (2014) mengatakan bahwa pendidikan teologi salah satu bagian penting dari spiritual formation; spiritual formation adalah bagian penting dari pendidikan teologi. Data yang diungkapkan oleh Kementerian Agama Bimas Kristen bahwa ada kurang lebih 350 Perguruan Tinggi 12 – Pembentukan Rohani Kristen di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut ada sekitar 30 Perguruan Tinggi Kristen yang berdomisili di daerah sekitar Jabotabek. Perguruan Tinggi Kristen yang berjumlah 30 di daerah sekitar Jabotabek ini terdiri dari berbagai aliran gereja serta latar belakang teologi yang berbeda-beda. Ada yang didirikan atas keinginan sinode, yayasan, pribadi hingga perusahaan. Atas latar belakang pendirian Perguruan Tinggi Kristen dapat juga digambarkan bahwa ada banyak kepentingan di dalam yang ingin dicapai. Tidak dapat dipungkiri dengan semakin ketatnya pertumbuhan Perguruan Tinggi Kristen akan berimbas kepada persaingan yang ketat dalam menjalankan sekolah. Perebutan mendapatkan murid dan dosen dengan berbagai cara dipakai untuk dapat mempertahankan Perguruan Tinggi Kristen. Semua dampak ini berimbas kepada spiritual formation yang akan membentuk budaya dari sekolah dan sistem akademik yang dipakai. Spiritual formation sepertinya bukan menjadi bagian terintegrasi tetapi hanya sekedar bahan perkuliahan dengan nama mata kuliah yang berbeda-beda. Bahkan dimungkinkan ada yang sudah menganggap bahwa spiritual formation bukan menjadi hal penting dalam kehidupan Perguruan Tinggi Kristen. Keadaan mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang tingkat keimanan yang berbeda juga sangat 13 – Pembentukan Rohani menentukan pembentukan spiritual formation. Tidak jarang peserta didik yang masuk ke Perguruan Tinggi Kristen belum dibaptis atau tidak mengerti arti lahir baru apalagi panggilan untuk melayani. Terry Hulbert dari Columbia International University mencatat bahwa, “dalam pertemuan dekan dari tiga belas Perguruan Tinggi Kristen Injili di Amerika Serikat, pemikiran terbesar dan terberat tentang diskusi yang ada adalah kualitas dari kehidupan rohani mahasiswa dan cara-cara yang dapat menolong mereka untuk bertumbuh.” Apa yang dapat dilakukan? Mengenali kebutuhan tidaklah sama seperti mencari solusi dari masalah. Kebanyakan literatur tentang subjek spiritual formation lebih banyak membicarakan definisi terminologi dan mendiskusikan mencari jalan keluar dari masalah. George Lindbeck mencatat bahwa mahasiswa Perguruan Tinggi Kristen sekarang tidak memiliki latar belakang spiritualitas pengetahuan Alkitab dan doa seperti tahun-tahun sebelumnya. Douglas John Hall bahkan setuju bahwa ada masalah di sana, tetapi ia meragukan bahwa Perguruan Tinggi Kristen memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya. Ia berargumen bahwa spiritual formation yang sejati telah kehilangan dirinya sendiri. 14 – Pembentukan Rohani Spiritualitas adalah dimensi penting dari eksistensi manusia, yang memungkinkan baik pemimpin dan pengikut untuk menemukan makna yang lebih dalam pekerjaan mereka (Dalia, 2007; Miller, 2006; Thompson, 2000). Namun, dimensi spiritual dalam kepemimpinan pendidikan sering dibungkam dalam sistem sekolah umum. Beberapa studi telah menyarankan gagasan bahwa sudah waktunya untuk melepaskan dimensi spiritual dari eksistensi manusia keluar dari kotak di mana ia sering dipenjarakan (Shields et al., 2004). Edward Farley (1983) menuliskan dalam Theologia: fragmentasi dan kesatuan pendidikan teologi menjabat sebagai katalis untuk mendorong diskusi tentang struktur dasar dari pendidikan teologi. Farley mengembangkan penjelasan historis untuk bagaimana saat 'struktur' dari pendidikan Kristen telah memberikan kontribusi terhadap masalah fragmentasi baik dari segi spesialisasi pengajar dan profesionalitas karier pelayanan. Farley berpendapat bahwa secara historis studi teologi itu, seperti Martin Luther menggambarkannya, “proses spiritual formation.” Masalah fragmentasi ini diidentifikasi lebih dari empat puluh tahun yang lalu dalam studi AATS dan Carnegie, yayasan pendidikan teologi tersebut mengatakan bahwa: 15 – Pembentukan Rohani “Cacatan terbesar dalam pendidikan teologi saat ini adalah bahwa terlalu banyak urusan sedikit demi sedikit hanya mentransmisi pengetahuan dan keterampilan, dan bahwa, akibatnya, ia menawarkan terlalu sedikit tantangan kepada peserta didik untuk mengembangkan sumber dayanya sendiri dan untuk menjadi independen, penanya seumur hidup, tumbuh terus-menerus sementara dia terlibat dalam pekerjaan pelayanan.” Spiritual formation adalah proses seumur hidup menjadi, dari yang dibentuk dan dikembangkan dalam rupa Kristus (Gal. 4:19; Kol. 1:28; Rom. 12:2). Ini adalah formasi pribadi dan relasional yang berusaha untuk mempromosikan pertemuan dan kerja sama dengan Allah dan masyarakat secara keseluruhan. Johnson berkaitan konsep spiritual formation sebagai sarana transformasi “pembentukan karakter Kristen (yang) menyiratkan transformasi karakter.” Formasi dan transformasi, proses dan titik balik, yang dijalin bersama dalam proses pengudusan seumur hidup, menjadi Kristen, dan membentuk karakter Kristen. Orang yang terus-menerus dalam proses pembentukan dalam keluarga, jemaat, tradisi iman mereka dan melalui masyarakat pada umumnya. Pemahaman teologis hanya menjabat sebagai tujuan pemersatu tradisional untuk belajar teologi, yang mengarah kepada kebiasaan berorientasi praktis atau disposisi jiwa 16 – Pembentukan Rohani seseorang. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendidikan ‘model Athena’ yang difokuskan pada pembentukan karakter pendidikan pendeta. Farley menjelaskan bahwa pada abad ke18 di Jerman, spesialisasi meningkatnya disiplin akademis dalam teologi menyebabkan pergeseran dari “studi teologi” ke “ensiklopedia teologis” yang dibagi oleh studi teologi menjadi empat disiplin khusus: Alkitab, sejarah gereja, dogmatika atau teologi sistematis, dan teologi praktis. Dispersi teologi ini ke dalam bermacam ilmu sekarang dikenal sebagai ‘model Berlin’ sehingga menjadi “keberangkatan paling radikal dari tradisi dalam sejarah pendidikan pendeta”, klaim Farley. Banyak lulusan seminari hari ini yang kesulitan mengintegrasikan potongan-potongan pendidikan mereka seperti kritikan Farley: Pendidikan di Perguruan Tinggi Kristen tidak begitu banyak mengenai ‘studi teologi’ sebagai sebuah pluralis dari disiplin ilmu tertentu, masingmasing dengan metode sendiri. Bidang-bidang studi ini (‘sains’, disiplin, program, bidang katalog) yang ditawarkan tanpa melihat alasan yang menjelaskan pentingnya mereka dan menampilkan interkoneksi mereka. A. Spiritualitas dan Efektivitas Kepemimpinan Spiritualitas dalam kepemimpinan secara prinsip bukanlah merupakan salah satu bentuk kepemimpinan tetapi 17 – Pembentukan Rohani mengakui prinsip-prinsip yang mengintegrasikan makna pribadi dari spiritualitas dalam praktik kepemimpinan yang disukai dengan cara yang tepat untuk kesejahteraan sendiri dan kesejahteraan komunitas sekolah mereka. Beberapa pertanyaan yang mungkin berhubungan dengan orang-orang yang terlibat dalam pendidikan teologi: Bagaimana pendidikan teologi membuat upaya nyata untuk membawa anak muda Kristen bersama-sama secara lokal? Bagaimana pendidikan teologi membantu orang muda untuk membuat hubungan antara realitas lokal dengan keprihatinan global? Bagaimana cara membantu orang muda untuk merasa menjadi bagian dari sejarah Kristen yang lebih besar dan keluarga? Bagaimana pendidikan seperti diakses oleh orang-orang muda meskipun ada perbedaan etnis, gender, kemampuan atau kelas? Bagaimana pendidikan teologi berhubungan dengan perempuan muda dan laki-laki muda dan mendorong mereka untuk bekerja sama sebagai mitra setara dengan raising awareness tentang gender dan kekuasaan? Bagaimana pendidikan teologi memperbaharui gereja dan mendorong orang muda untuk menginvestasikan bakat dan waktu mereka? Bagaimana pendidikan teologi membuat ekumenisme diakses untuk eksplorasi praktis dalam gereja dan pertemuan sehari-hari? Banyak ahli berharap strategi, 18 – Pembentukan Rohani intelijen, bahkan kekejaman menjadi tanda dari pemimpin yang sukses, tetapi tinjauan literatur menunjukkan bahwa hal ini bukan pendefinisian elemen. Sebaliknya, nilai-nilai spiritual seperti integritas, kejujuran, dan kerendahan hati telah berulang kali ditemukan sebagai elemen kunci dari keberhasilan kepemimpinan. Integritas pribadi, misalnya, telah terbukti menjadi unsur yang paling penting untuk melahirkan rasa hormat dan kepercayaan dari pengikutnya. Ajaran spiritual juga mendesak praktek memperlakukan orang lain dengan cinta dan kasih sayang: menunjukkan rasa hormat, menunjukkan keadilan, mengungkapkan kepedulian, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan menghargai pemberian dan kontribusi orang lain. Semua ajaran spiritual juga menekankan perlunya bagi individu untuk terlibat dalam praktik reflektif seperti doa, kontemplasi, atau meditasi. Tujuan dari praktik ini bagi seorang individu adalah untuk mengembangkan hubungan yang positif dengan orang lain, dengan diri sendiri, dan dengan Tuhan. Pada gilirannya, praktik reflektif dari seorang pemimpin telah terbukti mempengaruhi motivasi pengikut dan produktivitas kelompok atau kinerja, serta hubungan, dan ketahanan pemimpin itu sendiri. 19 – Pembentukan Rohani motivasi, Fairholm (1997) mengatakan bahwa individu yang memanfaatkan spiritualitas untuk menemukan makna dalam pekerjaan mereka adalah konsekuensi besar bagi para pemimpin dalam lingkungan pendidikan. Pemimpin harus memiliki pemahaman yang kuat tentang tujuan mereka sendiri dan diri mereka yang sebenarnya untuk dapat memberikan arah yang diperlukan untuk bawahan mereka (Conger, 1994; Twigg & Parayitm, 2007). Solomon dan Hunter (2002) berpendapat bahwa spiritualitas memberikan kendaraan yang melaluinya pemimpin pendidikan menunjukkan teladan perilaku yang tepat untuk bawahan mereka. Solomon dan Hunter menjelaskan, Pemimpin yang menganggap dirinya spiritual dapat menjadi contoh bagi sesamanya melalui tindakan sehari-hari mereka. Misalnya, melakukan tugas pekerjaannya dan memperlakukan sesama dengan kerendahan hati dan rasa hormat (nilai-nilai umum untuk berbagai jenis spiritualitas) tidak hanya menyediakan model penting untuk bagaimana orang lain harus melakukan sendiri, tetapi juga menetapkan nada, atau etos, yang dapat diikuti dalam organisasi. (Solomon dan Hunter, 2002). Konsep kepemimpinan hamba Greenleaf (1997) mendukung gagasan bahwa spiritualitas sangat penting untuk meningkatkan persepsi individu diri dan pemanfaatan 20 – Pembentukan Rohani kekuatan batin mereka. Pemimpin pelayan melibatkan bawahan dalam hubungan yang bermakna. Orisinalitas yang terbentuk dalam hubungan ini memungkinkan baik pemimpin dan pengikut untuk membuat koneksi dengan sesuatu yang lebih besar dari diri masing-masing (Bhindi & Duignan, 1997). Greenleaf (1970) berpendapat kepemimpinan muncul dalam kapasitas seorang pemimpin untuk melayani orang lain. Artinya, kepemimpinan otentik dicapai melalui memberikan diri dalam pelayanan terhadap orang lain (Riaz & Normore, 2008; Saunders, 1994). Fry (2003) merangkum kerangka kepemimpinan pelayan menyatakan bahwa hal itu “terdiri dari membantu orang lain menemukan semangat batin mereka, mendapatkan dan menjaga kepercayaan orang lain, melayani kepentingan orang lain, dan mendengarkan secara efektif.” Covey (1989), kepemimpinan yang berpusat pada prinsip, mirip dengan kepemimpinan pelayan Greenleaf (1977), mengusulkan bahwa kepemimpinan yang efektif didasarkan pada pelayanan kepada orang lain. Pemimpin yang mendapatkan pewahyuan memanfaatkan seperangkat prinsipprinsip universal (Solokow, 2002; Tolle, 1999) untuk mendirikan sebuah “pembaharuan kesadaran” (Thompson, 2004) dan untuk menemukan kejelasan dalam kekisruhan (Thompson, 2004). Ini selaras dengan memperbaharui 21 – Pembentukan Rohani spiritualitas seseorang yang menjadi bagian nilai-nilai pribadi yang disesuaikan (Riaz & Normore, 2008). Pendukung utama teori kepemimpinan spiritual adalah bahwa organisasi pembelajaran adalah sumber untuk kelangsungan hidup spiritual yang menginspirasi para pekerjanya dengan segudang faktor motivasi intrinsik yang meliputi visi, harapan/iman, cinta altruistis, keterlibatan tugas, dan identifikasi tujuan (Fry, 2003). Menurut Fry (2003), “. . . kepemimpinan spiritual diperlukan untuk transformasi dan kesuksesan organisasi pembelajaran.” Lebih lanjut ia menjelaskan: “Kepemimpinan spiritual dipandang sebagai kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, untuk organisasi untuk menjadi sukses dalam kecepatan tinggi, lingkungan Internet berbasis sangat tak terduga hari ini. Orang-orang perlu sesuatu untuk percaya pada, seseorang untuk percaya pada, dan seseorang untuk percaya pada mereka. Seorang pemimpin spiritual adalah seseorang yang berjalan di depan salah satu ketika salah satu kebutuhan seseorang untuk mengikuti, di belakang salah satu ketika salah satu kebutuhan encouragement, dan di samping satu ketika salah satu kebutuhan teman.” Meskipun ada banyak konsepsi spiritualitas dalam kepemimpinan, namun terjadi ketidakjelasan definisi konsep (Markow & Klenke, 2005). Sebuah konsep yang diusulkan oleh Fry (2003), menjelaskan spiritualitas kepemimpinan 22 – Pembentukan Rohani dalam model motivasi intrinsik yang menggabungkan visi, kasih altruistis, dan harapan/iman; teori spiritualitas di tempat kerja dan kelangsungan hidup spiritual; dan hasil komitmen dan produktivitas organisasi. Dalam model ini, spiritualitas meliputi nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk memotivasi diri intrinsik dan pengikutnya untuk memiliki rasa hidup rohani melalui panggilan dan keanggotaan. Harvey Conn (1980) menyatakan bahwa pada dasarnya sudah dua model sepanjang sejarah, pendidik dan bentukbentuk alternatif. Model Alkitabiah sebelumnya terbentuk dalam membangun satu dengan yang lainnya (Rom. 15: 2) melalui kasih (1 Kor. 8:1), membuka jalan untuk belajar dan pertahanan intelektual dari Injil. Meskipun selama gerakan monastik dan reformasi cukup memberi nilai tambah, namun nilai-nilai sekuler tetap pengaruh yang kuat, dan “hubungan guru-murid pindah dari yang saudara dengan yang ayah-anak, dari persaudaraan untuk paternalistis. Pengukuran dilakukan dalam hal masukan kognitif bukan sekedar pelayanan karunia-karunia.’ Teori Munculnya Kepemimpinan Clinton memberikan kerangka teoritis untuk penelitian, yang menyampaikan konsep bahwa “semua kehidupan digunakan oleh Allah untuk mengembangkan kapasitas seorang pemimpin untuk mempengaruhi,” termasuk peristiwa-peristiwa kehidupan 23 – Pembentukan Rohani dikategorikan sebagai proses internal, proses eksternal, dan proses ilahi (Clinton, 1989). Pengalaman pendidikan Kristen dipandang sebagai salah satu peristiwa yang bisa digunakan untuk mengembangkan kepemimpinan karena melibatkan (pengembangan karakter) internal, eksternal (orang dan sastra), dan proses Ilahi (dasar kekristenan). Teori munculnya kepemimpinan menunjukkan hubungan antara komponen dan pengalaman pendidikan seseorang. Dari perspektif pengantar, pengembangan kepemimpinan mencakup “semua proses kehidupan, yang luas bukan hanya pelatihan formal. Pemimpin dilatih dengan pelatihan yang disengaja dan oleh pengalaman” (Clinton, 1988) Spiritualitas, prinsip dasar kepemimpinan hamba, menjadi faktor penentu penting dari kepemimpinan transformasional. Namun, penelitian telah gagal untuk memeriksa orientasi spiritual pemimpin dan hubungannya dengan perilaku kepemimpinan transformasional. Ini adalah kekosongan penting sebagai tren saat ini yang menunjukkan kebutuhan yang terus meningkat untuk individu memanfaatkan spiritualitas dalam menemukan makna di pekerjaan mereka (Fairlholm, 1997) dan untuk mengurangi dilema moral (Hillard, 2004). Sering kali, pendidikan saat ini - di semua tingkatan terbatas pada elemen transaksional di mana guru menyajikan 24 – Pembentukan Rohani ide dan siswa menawarkan tanggapan. Pengajaran ini terbatas pada pertukaran informasi yang tetap ada di permukaan dan gagal menembus makna atau hati. Sebaliknya, potensi transformasi terjadi ketika pemimpin dan pengikut (atau guru dan siswa) bekerja sama untuk meningkatkan motivasi dan moralitas. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Yesus Kristus, kepemimpinan Kristen membutuhkan Roh Kudus dalam pekerjaan pelayanan Kristen. Pelayanan publik Kristus di dalam Roh Kudus merupakan contoh pemahaman akan pribadi dan karya pendidikan Kristen serta Roh Kudus dalam kepemimpinan Kristen. Pazmino (2010) menggunakan beberapa contoh tentang Roh Yesus yang hadir dalam pribadiNya di mana kuasa Roh Kudus bergerak dengan cara yang tak terduga dan ilahi untuk mengubah situasi yang menunjukkan bagaimana Roh Kudus bekerja (Pazmino, 2010). Ketika pendidikan Kristen berusaha untuk membentuk perkembangan spiritual anak-anak dan remaja, kehadiran dan kuasa Roh Kudus yang membimbing orang percaya ke dalam seluruh kebenaran, merupakan hal yang sangat penting dan menjadi syarat untuk mempertahankan hubungan dengan Yesus Kristus (Pazmino, 2010). Banyak literatur terkait tentang kepemimpinan sekolah Kristen berfokus pada elemen, kompetensi, dan karakteristik 25 – Pembentukan Rohani kepemimpinan spiritual, tetapi penelitian yang ada masih terbatas pada praktik kepemimpinan sekolah Kristen. Bagian berikut ini membahas mengkomunikasikan apa literatur yang telah terkait untuk diperiksa dalam kaitannya dengan studi penelitian, meningkatkan pemahaman kepemimpinan sekolah Kristen sebagai kepemimpinan spiritual, dan menjelaskan bagaimana penelitian ini mengisi kesenjangan dalam literatur, memenuhi kebutuhan manusia. Contoh-contoh seperti mengubah air menjadi anggur di sebuah pesta pernikahan dan di mana Yesus menghembuskan nafas kepada murid-muridnya dan mereka menerima Roh Kudus dalam Injil pasca kebangkitan. Yesus menunjukkan pentingnya Roh Kudus Pendidikan Kristen dalam adalah kepemimpinan pembentukan rohani. rohani dan pengembangan rohani "proses bertumbuh dalam hubungan kita dengan Allah dan menjadi serupa dengan Kristus melalui kuasa Roh Kudus. B. Integrasi Nilai-nilai Kristen dalam Kepemimpinan Kepemimpinan dan pendidikan dari sudut pandang Kristen mengacu pada prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan perspektif yang berasal dari ajaran Kristen yang memandu dan menginformasikan praktik-praktik kepemimpinan dan pendidikan. Hal ini menyiratkan bahwa para pendidik dan 26 – Pembentukan Rohani pemimpin mengintegrasikan kepercayaan, nilai, dan standar etika Kristen untuk memandu tindakan, pemahaman, dan pengambilan keputusan mereka. Dari sudut pandang kerangka berpikir Kristen, pendidikan mengakui pentingnya manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Oleh karena itu, pendidikan bertujuan untuk meningkatkan perkembangan manusia dan mengasuh mereka secara intelektual, spiritual, moral, emosional, dan dari dimensi sosial lainnya (Greenleaf, 2021). Biasanya, pendidikan Kristen menggunakan kebenaran dan prinsip-prinsip alkitabiah dalam pengajaran dan pembelajaran untuk memastikan perspektif Kristen pada berbagai mata pelajaran dan disiplin ilmu. Di sisi lain, dari sudut pandang Kristen, kepemimpinan dipandang sebagai tanggung jawab yang didasarkan pada pelayanan, kerendahan hati, dan integritas (Campbellsville University, 2018). Pemimpin Kristen seharusnya mengikuti jejak Yesus Kristus sebagai seorang pemimpin. Kepemimpinan Kristen melibatkan kepemimpinan dengan belas kasihan, keadilan, dan akuntabilitas. Oleh karena itu, makalah penelitian ini akan menganalisis teori pendidikan dan kepemimpinan dari pandangan dunia Kristen dan mengembangkan proposal untuk kepemimpinan yang selaras dengan nilai-nilai Kristen. Kerangka berpikir Kristen tentang kepemimpinan dan 27 – Pembentukan Rohani pendidikan membantu mendasarkan tindakan terkait pada kekristenan, menghilangkan bias pribadi. Kerangka berpikir Kristen memiliki implikasi yang beragam dalam pendidikan. Pertama, pandangan dunia Kristen memupuk pertumbuhan rohani dan pengembangan karakter. Kekristenan mengakui bahwa manusia membutuhkan tindakan karena mereka tidak secara inheren bersifat intelektual. Oleh karena itu, pendidikan sangat penting dalam membantu siswa mengakses kesempatan yang mendukung pertumbuhan spiritual untuk memperdalam hubungan mereka dengan Tuhan. Para pendidik memelihara pertumbuhan spiritual siswa dengan memberikan kesempatan untuk berdoa, merenung, dan mengeksplorasi iman melalui pelajaran Alkitab dan melakukan percakapan tentang nilainilai Kristiani (Kilner, 2015). Hasilnya, para siswa tumbuh sesuai dengan nilai-nilai Kristiani, yang secara positif berdampak pada kehidupan pribadi, pendidikan, dan karier mereka. Selain itu, pendidikan yang digerakkan oleh agama Kristen membantu mengembangkan karakter siswa dengan menumbuhkan kebajikan seperti kejujuran, kebaikan, kerendahan hati, dan integritas yang selaras dengan ajaran Alkitab. Para pendidik menggabungkan pengembangan karakter bagi siswa dengan memberikan proyek-proyek yang membutuhkan pendekatan 28 – Pembentukan Rohani etis dan perilaku moral sehingga mereka dapat menerapkan kebajikan yang berbeda. Dampak lain dari Kerangka berpikir Kristen terhadap pendidikan adalah menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Mengacu pada ajaran dan perspektif Alkitab, Yesus menunjukkan kasih, penerimaan, dan kepedulian kepada orang lain, terlepas dari perbedaan atau latar belakang mereka. Oleh karena itu, pandangan dunia Kristen menyiratkan hal yang sama dalam pendidikan dengan menekankan pada penciptaan ruang yang aman dan ramah di mana semua siswa merasa dihargai, dihormati, dan didukung tanpa memandang latar belakang mereka. Cara-cara yang dilakukan oleh para pendidik untuk mempromosikan lingkungan belajar yang inklusif antara lain dengan terlibat dalam dialog terbuka dengan semua siswa, menciptakan kesempatan bagi siswa untuk berbagi pemikiran, mengajukan pertanyaan dari perspektif siswa yang mungkin dipengaruhi oleh latar belakang mereka, dan terlibat dalam diskusi yang saling menghormati tentang iman, nilai-nilai, dan hal-hal lain tanpa mengambil posisi berdasarkan agama mereka (Savarirajan & Fong, 2019). Hasilnya, siswa merasa nyaman belajar di lingkungan yang berempati di mana mereka memiliki akses yang sama terhadap pendidikan dan kesempatan untuk berkembang. 29 – Pembentukan Rohani Khususnya, peran pendidik dalam memasukkan pandangan dunia Kristen mengidentifikasi meluas dan hingga mengatasi secara bias, aktif berusaha prasangka, dan ketidaksetaraan yang mungkin ada dalam lingkungan pendidikan. Implikasi lain dari Kerangka berpikir Kristen dalam pendidikan adalah mengintegrasikan prinsip-prinsip Alkitab ke dalam kurikulum dan pengajaran. Ini adalah cara yang signifikan dalam pendidikan yang berasal dari wawasan dunia Kristen, sehingga memudahkan para pendidik untuk membantu para siswa memahami dunia melalui lensa Kristen. Para pendidik sangat mengandalkan Alkitab sebagai referensi yang membantu mereka menanamkan pemahaman yang lebih dalam tentang ciptaan Tuhan (Hussin, 2021). Beragam cara yang dilakukan oleh para pendidik untuk melakukan hal ini termasuk mengajarkan narasi dan tematema Alkitab tentang penciptaan, kemanusiaan, dan dampaknya terhadap budaya, nilai-nilai, dan pengalaman manusia. Sebagai hasilnya, para siswa mengembangkan rasa yang lebih besar dalam menggunakan prinsip-prinsip alkitabiah dan menerapkan iman dalam semua bidang kehidupan mereka untuk berpikir kritis dan membuat keputusan yang tepat, menjalani kehidupan yang bermoral, 30 – Pembentukan Rohani dan terlibat secara bijaksana dengan orang lain di seluruh dunia. Kerangka berpikir Kristen juga memiliki implikasi yang beragam, termasuk kepemimpinan hamba yang dicontohkan oleh Yesus Kristus. Biasanya, pemimpin yang melayani yang memimpin dari pandangan dunia Kristen mencoba meniru tipe kepemimpinan Yesus Kristus yang digambarkan sebagai pemimpin yang melayani. Sebagai pemimpin yang melayani, para pemimpin Kristen harus mengacu pada Yesus Kristus sebagai teladan sehingga mereka dapat mempraktikkan nilai-nilai dan kebajikan yang diajarkan oleh Yesus. Pemimpin yang melayani juga harus memahami pentingnya sikap tidak mementingkan diri sendiri di antara para pemimpin yang melayani dengan terlebih dahulu mengakui bahwa mereka adalah hamba dan bukan sosok yang otoriter (Robbins, 2020). Dengan cara ini, para pemimpin Kristen menunjukkan empati, secara aktif mendengarkan keprihatinan dan kebutuhan para pengikut mereka, dan membimbing mereka dengan penuh kasih. Sebagai hasilnya, merangkul kepemimpinan yang melayani menciptakan lingkungan yang membina orang lain untuk bertumbuh menjadi pemimpin yang melayani. 31 – Pembentukan Rohani Implikasi lain dari Kerangka berpikir Kristen adalah kepemimpinan yang menumbuhkan budaya kepercayaan, rasa hormat, dan akuntabilitas. Para pemimpin Kristen mengakui aspek-aspek ini sebagai faktor yang mempengaruhi kepemimpinan yang sukses dan menyelaraskannya dengan tindakan dan perilaku mereka untuk memunculkan pemimpinpemimpin yang luar biasa di dalam organisasi mereka. Oleh karena itu, salah satu cara pandangan dunia Kristen merefleksikan implikasi kepemimpinan dari aspek-aspek ini adalah dengan membangun kepercayaan dengan para pengikut mereka. Para pemimpin memastikan bahwa katakata mereka diterjemahkan ke dalam tindakan, menjaga komunikasi yang transparan tentang isu-isu organisasi, dan memperlakukan pengikut mereka dengan integritas yang tinggi (Robbins, 2020). Para pemimpin Kristen melakukan hal ini untuk mempromosikan rasa hormat dengan mengakui nilai dan martabat manusia serta memperlakukan pengikut mereka sebagai cerminan dari gambar Allah. Untuk akuntabilitas, para pemimpin memastikan para pengikut mereka bertanggung jawab penuh atas peran mereka, tetapi juga menyediakan sumber daya yang diperlukan mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan. 32 – Pembentukan Rohani untuk Menekankan nilai kepemimpinan yang berhati hamba adalah implikasi lain dari Kerangka berpikir Kristen dalam kepemimpinan. Para pemimpin Kristen percaya bahwa pendekatan kepemimpinan yang melayani berakar pada ajaran dan teladan Yesus Kristus. Para pemimpin biasanya menghadapi situasi yang tidak menguntungkan dalam tugas mereka, yang mengharuskan mereka untuk berpikir kritis tentang keputusan mereka untuk memastikan bahwa keputusan tersebut berakar secara moral dan selaras dengan etika Kristen (Appleton, 2020). Oleh karena itu, mereka berusaha untuk mempraktikkan kepemimpinan yang melayani dengan memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri. Selain itu, pemimpin yang melayani berusaha kebutuhan anggota mendengarkan untuk tim memahami mereka kekhawatiran dan dengan mereka dan memenuhi secara aktif memberikan dukungan sehingga pengikut mereka mencapai potensi penuh mereka. Kerangka berpikir Kristen dalam kepemimpinan adalah mendorong pengambilan keputusan yang etis berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab (Wilhoit, 1991). Para pemimpin Kristen percaya bahwa prinsip-prinsip alkitabiah mengandung ajaran moral dan nilai-nilai yang membantu menyelaraskan keputusan mereka dengan keputusan yang akan diambil oleh 33 – Pembentukan Rohani Tuhan. Biasanya, para pemimpin yang membuat pilihan etis menerapkan hikmat alkitabiah untuk mengevaluasi dampak dari setiap keputusan terhadap para pengikutnya dan menetapkan keputusan yang paling tidak berbahaya (Wilhoit, 1991). Khususnya, dampak dari keputusan etis didasarkan pada kemampuan pemimpin Kristen untuk mengintegrasikan nilai-nilai moral dalam mengambil keputusan tersebut, menunjukkan komitmen terhadap kebenaran dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan moralitas yang diajarkan oleh Yesus. Selain itu, mereka harus menyeimbangkan pertimbangan etis dengan tujuan organisasi dengan memastikan bahwa keduanya tidak bertentangan. Kerangka berpikir Kristen berakar pada prinsip-prinsip dan ajaran Yesus Kristus, ada berbagai prinsip yang dapat diintegrasikan oleh para pemimpin untuk memimpin dengan keaslian, integritas, dan komitmen yang dalam terhadap nilainilai Kristen (Kok & Van Den Heuvel, 2019). Salah satu aspek dari kerangka kerja yang diusulkan yang dapat digunakan oleh para pemimpin Kristen adalah mengidentifikasi diri mereka dengan kepemimpinan yang melayani. Hal ini melibatkan para pemimpin Kristen untuk memahami karakteristik kepemimpinan yang melayani, seperti mengutamakan orang lain dengan memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan mereka. 34 – Pembentukan Rohani Aspek lainnya adalah memimpin dengan kerendahan hati, yang melibatkan pengakuan akan keterbatasan, mengakui kesalahan, dan menghargai kontribusi orang lain. Menunjukkan empati adalah karakteristik kepemimpinan pelayan lainnya di mana para pemimpin memahami dan berhubungan dengan pengalaman, emosi, dan perjuangan para pengikut mereka. Yang terpenting, memelihara pertumbuhan orang lain dengan berinvestasi dalam pertumbuhan mereka juga menandakan seorang pemimpin yang melayani. Cara lain para pemimpin Kristen mengidentifikasikan diri mereka dengan kepemimpinan yang melayani adalah dengan memandang Yesus Kristus sebagai contoh utama dari seorang pemimpin menunjukkan yang kepemimpinan melayani. yang Yesus Kristus melayani selama pelayanan-Nya melalui kata-kata, tindakan, dan interaksi-Nya dengan orang lain (Stanton, 2019). Oleh karena itu, para pemimpin Kristen, dengan menggunakan Yesus sebagai teladan, mempelajari aspek-aspek berharga yang dapat mereka tiru saat melayani orang lain. Salah satu pelajaran penting yang dapat dipelajari oleh para pemimpin Kristen dengan meneladani Yesus Kristus sebagai pemimpin yang melayani adalah belas kasihan dalam melayani orang lain dan mengangkat mereka melalui tindakan dan perkataan mereka. 35 – Pembentukan Rohani Pemimpin Kristen perlu untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai pemimpin yang melayani adalah dengan memahami betapa pentingnya kerendahan hati, empati, dan sikap tidak mementingkan diri sendiri dalam kepemimpinan. Para pemimpin yang melayani perlu menyadari bahwa kerendahan hati memungkinkan mereka untuk memahami orang lain, mempelajari kekuatan dan kelemahan mereka, dan bagaimana mereka memengaruhi orang lain sehingga mereka dapat menciptakan lingkungan yang akomodatif yang ramah dan menginspirasi bagi semua individu (Galvão-Sobrinho, 2021). Mereka juga perlu mempelajari peran empati dalam membantu mereka menghargai orang lain apa adanya, bahkan ketika mereka memiliki beragam perspektif yang berbeda dari mereka. Aspek terakhir yang perlu dikembangkan oleh para pemimpin pelayan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya adalah sikap tidak mementingkan diri sendiri sebagai suatu kebajikan yang mendukung pertumbuhan orang lain. Pemimpin yang memiliki kepemimpinan belajar tentang pengambilan keputusan yang etis. Hal ini melibatkan pemahaman akan peran prinsip-prinsip Alkitab dalam memandu pengambilan keputusan yang etis. Biasanya, prinsip-prinsip dalam Alkitab mengajarkan apa yang benar dan salah, adil dan tidak adil, serta dapat diterima atau tidak 36 – Pembentukan Rohani dapat diterima secara moral ketika mengambil keputusan (Appleton, 2020). Oleh karena itu, para pemimpin Kristen harus memahami prinsip-prinsip Alkitab yang memandu pengambilan keputusan yang etis untuk menggunakan pengetahuan dan konsep-konsep seperti kejujuran, integritas, keadilan, keadilan, belas kasihan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Cara untuk mempraktikkan pengambilan keputusan yang etis adalah dengan menyeimbangkan tujuan organisasi dengan pertimbangan etis dan konsekuensi jangka panjang. Para pemimpin menghadapi tantangan dalam mengambil keputusan yang harus memperhitungkan dampak etis dan mencapai tujuan organisasi. Sebagian besar pemimpin mengevaluasi hasil jangka pendek dan tergoda untuk memprioritaskan tujuan organisasi dengan mengorbankan pertimbangan etika (Stanton, 2019). Namun, para pemimpin Kristen tetap teguh dalam mengambil keputusan dengan memastikan bahwa mereka tidak mengorbankan nilai-nilai Kristen sebagai seorang pemimpin untuk mencapai profitabilitas, efisiensi, dan kesuksesan jangka pendek yang akan berdampak negatif dalam jangka panjang. Oleh karena itu, para pemimpin Kristen mengandalkan panduan dari prinsip-prinsip Alkitab untuk terlibat dalam pemikiran kritis dan penalaran etis serta membuat keputusan 37 – Pembentukan Rohani yang benar secara moral. Khususnya, para pemimpin Kristen mempertimbangkan bagaimana pilihan mereka mencerminkan kasih Tuhan dan kesejahteraan orang lain untuk menentukan apakah pilihan mereka selaras dengan ajaran Yesus. Kepemimpinan yang visioner dan memiliki tujuan adalah aspek lain dari rencana yang telah disusun untuk menggabungkan kerangka berpikir Kristen dalam kepemimpinan (McGregor, 1960). Dalam aspek ini, para pemimpin Kristen menyelaraskan misi organisasi dengan nilai-nilai Kristen. mengintegrasikan Ini iman berarti para dengan pemimpin tanggung jawab kepemimpinan mereka. Ini berarti misi organisasi juga selaras dengan prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran kekristenan sehingga tindakan yang diambil untuk mencapai misi tersebut menjunjung tinggi nilai-nilai alkitabiah seperti kasih, keadilan, belas kasihan, dan penatalayanan. Selain itu, menyelaraskan kepemimpinan dengan kekristenan berarti kepemimpinan yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual karena para pengikutnya ingin meniru pemimpin yang kepemimpinannya didasarkan pada ajaranajaran Kristen. Aspek lain dari kepemimpinan yang visioner dan memiliki tujuan dalam kerangka kerja yang diusulkan untuk 38 – Pembentukan Rohani para pemimpin Kristen adalah mendorong pertumbuhan pribadi dan profesional melalui bimbingan dan kesempatan pengembangan. Mereka dapat mencapai hal ini dengan mengenali potensi dan talenta yang unik, mendukung individu melalui bimbingan, dan memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan diri. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi terhadap kerangka berpikir Kristen untuk memastikan keselarasan dengan ajaran Alkitab adalah apakah membahas potensi konflik atau tantangan dari perspektif kerangka berpikir Kristen. Biasanya, hal semacam itu dapat menimbulkan perselisihan yang tidak sesuai dengan kerangka berpikir Kristen. Oleh karena itu, proposal tersebut harus membahas potensi konflik atau tantangan dari perspektif kerangka berpikir Kristen dengan memeriksa aspek-aspek yang mungkin bertentangan atau menyimpang dari ajaran Alkitab. Isu-isu potensial yang mungkin menyebabkan konflik termasuk kurangnya kejujuran, keadilan, dan pengambilan keputusan moral (Galvão-Sobrinho, 2021). Setelah mengidentifikasi konflik, peran pemimpin Kristen harus diarahkan untuk menyelesaikan konflik-konflik ini sehingga proposal yang diajukan selaras dengan kerangka berpikir Kristen. Mereka dapat melakukan hal ini dengan memodifikasi praktik-praktik yang ada untuk mendukung 39 – Pembentukan Rohani perspektif Kristen. Para pemimpin juga dapat memilih pendekatan alternatif yang lebih mencerminkan nilai-nilai Alkitab. Aspek terakhir dalam mengevaluasi untuk memastikan keselarasannya dengan ajaran Alkitab adalah memastikan bahwa hal tersebut menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai Kristen. Hal ini akan membantu umat Kristen mengetahui bahwa kepemimpinan mereka berpegang pada standar moral yang berdasarkan iman. Dalam evaluasi ini, para pemimpin Kristen mempertimbangkan apakah hal tersebut mempromosikan keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap martabat manusia, karena manusia diciptakan menurut gambar Allah. Biasanya, proposal yang menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai Kristen mempromosikan inklusivitas, keragaman, dan kesejahteraan semua individu yang terlibat, termasuk siswa, guru, dan staf dari semua latar belakang (Robbins, 2020). Selain itu, hal tersebut harus selaras dengan ajaran Alkitab tentang kasih kepada sesama dan pengejaran keadilan dan kebenaran seperti yang diajarkan dan ditunjukkan oleh Yesus Kristus dalam karya-Nya. 40 – Pembentukan Rohani II PENGEMBAGNAN MORAL DI PERGURUAN TINGGI KRISTEN Pengembangan moral di perguruan tinggi Kristen merupakan aspek kritis dalam pendidikan yang bertujuan mencetak individu yang tidak hanya kompeten secara akademis tetapi juga memiliki landasan moral yang kuat sesuai dengan prinsip-prinsip agama Kristen. Artikel ini akan membahas beberapa aspek yang penting dalam pengembangan moral di perguruan tinggi Kristen. Perguruan tinggi Kristen memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan nilai-nilai Kristen ke dalam kurikulum mereka. Mata kuliah yang mencakup etika Kristen, teologi moral, dan pemahaman Alkitab membentuk dasar bagi mahasiswa untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moral dalam kehidupan sehari-hari dan karier mereka. Pengembangan moral di perguruan tinggi Kristen bukanlah sekadar pemberian aturan atau norma. Sebaliknya, itu adalah pendekatan holistik yang mencakup aspek-aspek 41 – Pembentukan Rohani seperti karakter, sikap, dan perilaku yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa. Perguruan tinggi Kristen menciptakan lingkungan komunitas yang mendukung pengembangan moral. Program disiplin rohani, seperti ibadah bersama, kelas-kelas keagamaan, dan kelompok kecil, memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan moralitas mahasiswa. Pendekatan mentorship atau pembimbingan personal menjadi sarana efektif untuk membantu mahasiswa dalam pengembangan moral. Dengan memiliki mentee-mentor yang dapat memberikan nasihat dan membagikan pengalaman, mahasiswa dapat lebih baik memahami dan mengatasi dilema moral dalam kehidupan mereka. Perguruan tinggi Kristen mendorong partisipasi mahasiswa dalam pelayanan masyarakat dan misi. Melalui pengalaman praktis ini, mahasiswa dapat mengaplikasikan nilai-nilai moral mereka dalam situasi kehidupan nyata, membantu mereka mengembangkan empati dan tanggung jawab sosial. Di antara misi terpenting pendidikan tinggi Kristen adalah memfasilitasi pengembangan moral dan spiritual peserta didik. Sementara prioritas kembar ini semakin banyak dalam agenda di kebanyakan universitas non-religius, menanamkan nilai, mendorong perilaku etis, dan mendukung 42 – Pembentukan Rohani praktik keagamaan selalu menjadi inti misi perguruan tinggi Kristen. Akibatnya, universitas-universitas Kristen harus memiliki kebijakan, praktik, dan program yang lebih koheren yang memfasilitasi pertumbuhan moral dan spiritual, jaringan masyarakat yang berkembang dengan baik untuk memelihara dan mempertahankan vitalitas religius para mahasiswa, dan bertahun-tahun berlatih mengasah bagian misi mereka ini. Tetapi apakah Perguruan Tinggi Kristen benar-benar menghasilkan hasil moral dan spiritual yang lebih baik untuk mahasiswa mereka? Sekolah agama dan sekuler sama-sama peduli dengan perkembangan moral mahasiswa. Sebagai pemangku kepentingan dari berbagai perspektif, mereka memiliki ketertarikan untuk mendorong pemikiran moral dan perilaku prososial. Sejumlah inisiatif dan penilaian, kemudian, telah dikembangkan oleh perguruan tinggi untuk mempromosikan jenis kemajuan yang telah disebut berbagai karakter, nilai, moral dan / atau pengembangan etis. Sebagian besar penilaian dalam hal ini berpusat pada teori pembangunan moral Lawrence Kohlberg. Kohlberg mengajukan teori multi tahap dimana orang berpindah dari pemikiran konvensional berbasis aturan menjadi pemikiran berprinsip, situasional, rasional, dan perhatian terhadap berbagai perspektif. Sejumlah instrumen psikometri telah dikembangkan 43 – Pembentukan Rohani untuk mengukur perkembangan dengan menggunakan teori Kohlberg, namun yang paling sering digunakan adalah Uji DIT atau Mendefinisikan Masalah (Rest 1986). DIT meminta responden untuk menilai seberapa pasti mereka tentang berbagai respons terhadap lima dilema moral (Rest 1986). Mahasiswa-mahasiswa Perguruan Tinggi Kristen, di sisi lain, mendapatkan nilai yang lebih buruk di DIT. Mereka tidak hanya bernilai rendah, tetapi mereka juga gagal bertumbuh selama tahun-tahun mereka di perguruan tinggi. Ini mungkin mengindikasikan iklim yang tidak mendukung untuk pertumbuhan dalam pembangunan moral (setidaknya jenis yang ditangkap oleh DIT). Pola yang ditunjukkan oleh mahasiswa di Perguruan Tinggi Kristen juga penting untuk alasan lain. Kelemahan mereka menunjukkan bahwa pertumbuhan yang dipamerkan oleh mahasiswa lain bukan sekadar artefak transisi penuaan atau transisi hidup, atau menghadiri kuliah. Studi selanjutnya harus menentukan betapa berbedanya pengalaman kuliah teologi dari jenis pengalaman kuliah lainnya. Namun, kita dapat menduga dengan pasti, bahwa ada manfaat positif dari pendidikan seni liberal Kristen yang lebih luas yang tidak diaktualisasikan dalam atmosfer Perguruan Tinggi Kristen. Waktu kapel seharusnya tidak terbatas pada ibadah atau berkhotbah. Hal itu bisa menjadi pertemuan yang sangat 44 – Pembentukan Rohani berguna untuk menjembatani antara dosen dan mahasiswa, atau untuk menghubungkan seminari ke dunia luar dan gereja pada umumnya. Saling berbagi pengalaman, perasaan, sudut pandang dan bidang yang menjadi perhatian selama masa kapel membuktikan berkat yang besar baik untuk dosen dan mahasiswa di sekolah. Pertemuan harian secara rutin, jika serius diatur sebelumnya, dapat menjadi saat menyegarkan dan mendidik. Kegiatan komunal di luar kelas harus menjadi bagian program yang disengaja. Ini termasuk acara, retret, hari doa, minggu spiritual exercises, dan makan bersama. Acara tersebut diperlukan untuk menciptakan solidaritas di kalangan dosen dan mahasiswa. Ketika berbicara kepemimpinan, apakah Perguruan Tinggi Kristen melihat spiritual formation sebagai bagian kunci darinya? Philip Ryken, Presiden dari Wheaton Collage berkata bahwa “bagi saya, paradigma kepemimpinan rohani berbentuk tiga tugas Kristus, dimana memiliki dimensi imam dari doa dan memberi kepada orang-orang yang menjadi beban mereka. Memiliki dimensi nubuatan yang tidak hanya berbicara masa depan (walau itu menjadi bagian), tetapi juga membedakan waktu sekarang dan berbicara kebenaran Tuhan ke dalam waktu. Adalah memiliki dimensi raja karena ada otoritas yang dipraktikkan dengan 45 – Pembentukan Rohani benar. Panggilan kepemimpinan adalah multidimensi. Yang terpola dalam kehidupan Kristus dan kepemimpinannya.” Spiritual formation dilihat sebagai hal penting dalam kepemimpinan. Doa, nubuatan dan pernyataan iman yang adalah ketiga komponen kunci menjadi seperti Kristus yang dibutuhkan untuk dimodelkan oleh pemimpin. Rob Rhea mengatakan bahwa mereka melakukan tugas yang baik dalam memenuhi mandat ini, “kebanyakan walau tidak semua Universitas Kristen mengklaim bahwa mereka memberikan perhatian pada wilayah pertumbuhan rohani. Namun, apakah mereka mengaitkannya bersama-sama dengan leadership formation? Hal ini secara otomatis berimplikasi bahwa hal itu terikat pada spiritual formation mereka. “(There is a) unifying there for spiritual formation being conformity of the Chrisfollower’s life to the life of Christ. Oleh sebab itu, Kristus harus menjadi tema sentral dalam spiritual formation untuk menciptakan pemimpin Kristen. Beberapa sekolah diwawancara jikalau mereka harus memilih antara spiritual formation dan pencapaian akademik. Dalam suatu wawancara dengan dua presiden Perguruan Tinggi Kristen, Timoty C Morgan, dengan pertanyaan yang sama kepada Gordon Collage D. Michael Lindsay menjawab bahwa keduanya dapat diintegrasikan. 46 – Pembentukan Rohani "Saya melihat pembentukan moral mahasiswa saya sebagai hal mendasar dari apa yang saya coba lakukan di kelas akademik. Manfaatnya [di perguruan tinggi Kristen] adalah Anda memiliki dukungan institusional untuk dapat melakukannya. Itu sebabnya mahasiswa di perguruan tinggi dan universitas Kristen lebih setia kepada almamater mereka. Mereka telah dibentuk lebih dalam daripada yang ada di sekolah-sekolah sekuler." Anda tidak harus memilih di antara keduanya. Sebuah perguruan tinggi dapat menyediakan komponen pembentukan spiritual yang konsisten bersama dengan akademisi yang berkualitas. Spiritual formation muncul di luar dari struktur formal pendidikan tinggi. “Kepemimpinan integritas pribadi, komitmen kepada Yesus Kristus - bukan hanya untuk program tentang Yesus Kristus - dan kesetiaan tanpa kompromi kepada Injil adalah satu-satunya dinamika yang akan memberi gereja kekuatan untuk menjadi kekuatan pendorong yang dibutuhkan ketika kita mendekati tantangan yang luar biasa dari milenium baru. Howard Hendricks, Dallas Theological Seminary mengatakan dengan cara ini: “Pendidikan Kristen bukanlah sebuah pilihan, itu adalah sebuah perintah; itu bukan sebuah 47 – Pembentukan Rohani kemewahan, itu adalah sebuah kehidupan. Ini bukan sesuatu yang baik untuk dimiliki, itu adalah sesuatu yang perlu dimiliki. Itu bukan bagian dari pekerjaan gereja, itu adalah pekerjaan gereja. Itu tidak asing, itu penting. Itu bukan kewajiban kami, bukan hanya pilihan." Spiritual formation harus muncul dalam seluruh aspek kehidupan. Beberapa pemimpin Kristen berfokus kepada spiritual formation sebagai kunci di rumah juga. “Meskipun Tuhan adalah penulis dan kekuatan utama dalam pembentukan spiritual seseorang, orang tua harus mengambil peran aktif melalui cara-cara yang disengaja dan sistematis dalam kehidupan anak-anak mereka.” Semua hal ini untuk menambahkan satu hal – spiritual formation berjalan untuk sepanjang waktu. Hal itu yang membentuk karakter, tindakan dan sikap kita. "Ini adalah hasil kerja sama seluruh hidup kita dengan kuasa dan kehadiran Roh Kristus yang hidup dan bekerja di dalam seluruh pribadi – tubuh dan jiwa, pikiran dan perasaan, emosi dan nafsu, harapan dan ketakutan dan impian." Pekerjaan Roh Kudus ini untuk secara harfiah membentuk roh kita dan membentuk kita sebagai orang Kristen jelas 48 – Pembentukan Rohani mempengaruhi siapa kita sebagai pemimpin. Kepemimpinan itu sendiri merupakan proses perkembangan, dan kapasitas pemimpin, tidak peduli apa peran fungsionalnya, tergantung pada tingkat perkembangan spiritual orang tersebut." Formasi spiritual kita menentukan akan menjadi pemimpin seperti apa kita kelak. A. Tahap Perkembangan Moral J. Fowler. Ada tujuh tahap perkembangan iman menurut J. Fowler berdasarkan masing-masing usia. Usia 0-3 tahun ialah tahap kepercayaan elementer awal. Kepercayaan pada tahap ini belum ter diferensiasikan, Karena diposisi preverbal si bayi terhadap lingkungannya belum dirasakan dan disadari sebagai hal yang terpisah dan berbeda. Usia 4-6 tahun disebut kepercayaan intiutif-proyektif. Pada tahap ini daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang, walaupun si anak belum memiliki kemampuan operasi logis yang mantap. Daya imajinasi dan gambarangambaran tersebut dapat dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, upacara, simbol-simbol dan kata-kata. Kemampuan untuk membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain sangat terbatas. Usia 7-12 tahun, pada usia ini disebut kepercayaan mistik harafiah. Imajinasi dan gambaran masih berpengaruh 49 – Pembentukan Rohani kuat, namun mulai muncul tindakan-tindakan logis yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi sebelumnya. Mulai membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain, serta memperluas perspektifnya dengan mengambil alih perspektif orang lain. Usia 13-17 tahun disebut kepercayaan sintesiskonvensional. Pada tahap ini si anak mulai berpikir abstrak. Remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam cara memberi arti. Remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi orang lain menurut pola pengambilan perspektif antar pribadi secara timbal balik. Remaja berjuang menciptakan suatu sintesis dari berbagai keyakinan dan nilai religius yang dapat mendukung proses pembentukan identitas diri. Usia 18-29 tahun, tahap ini disebut tahap refleksi dan individu. Pada tahap ini orang sudah mempunyai sistem dan konsep berpikir yang jelas dan mampu mengontrolnya. Usia 30-45 tahun, disebut kepercayaan konsolidasi dan paradoks. Pada tahap ini semua yang diupayakan di bawah kuasa kesadaran dan pengontrolan rasio pada tahap sebelumnya ditinjau kembali, hal ini terjadi karena munculnya kesadaran akan batas akal. Melihat hal-hal yang paradoks dan muncul macam-macam pandangan dalam hidupnya. 50 – Pembentukan Rohani Usia 45 tahun ke atas, kepercayaan eksistensial yang mengacu pada universalitas. Pada tahap ini orang hidup berdasarkan prinsip cinta dan kasih. Inti teori J. Fowler lengkap dalam tabel di bawah ini. No Usia Tahap Perilaku/Uraian 1 2 0-3 tahun 4-6 tahun Belum dapat membedakan Proyeksi dan intuitif - Gabungan imajinasi pengalaman dan keyakinan - Cerita-cerita dari orang tua, membentuk gambaran tentang Tuhan (irasional) 3 7-12 tahun 4 13-17 tahun Mistik harafiah - Cerita-cerita ajaib digunakan untuk menyampaikan makna spiritual (mulai rasional) - Kisah-kisah agama ditafsirkan secara harafiah - Simbol-simbol mempunyai arti yang khusus Tiruan dan konvensional(sudah mulai berpikir abstrak) - Imannya menyesuaikan diri dengan iman orang lain - Penyesuaian diri tersebut membentuk perilaku 51 – Pembentukan Rohani 5 18-29 tahun 6 30-45 tahun 7 + 45 tahun - Fokus masa ini adalah hubungan dengan orang lain Refleksi dan individu - Kesadaran diri sudah cukup tinggi - Memiliki sistem dan konsep berpikir yang jelas - Memeriksa kembali imannya secara kritis - Iman ditata ulang lagi, sehingga hasilnya menjadi iman yang individu Konsolidasi dan paradoks - Sadar akan batas akal - Ia melihat bahwa di dunia ini ada hal yang paradoks - Muncul macam-macam pandangan, sehingga ia berpikir “benar itu apa?” Benar adalah dapat didapatkan dimana-mana. Orang yang benar/iman yang benar adalah iman yang memiliki toleransi atau muncul pemahaman/membentuk pemahaman keyakinannya yang baru Universal Hidup berdasarkan prinsip kasih dan keadilan 52 – Pembentukan Rohani Teori J. Fowler sangat penting dikuasai dan dimengerti oleh seorang pemimpin Kristen dalam pelayanannya. Seorang pemimpin Kristen adalah guru dan pembimbing rohani bagi orang yang dilayani. Dengan mengetahui dan menguasai teori Fowler, seorang pemimpin Kristen dapat dengan mudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan bagi pertumbuhan iman. Pemimpin Kristen juga kemudian mendorongnya dapat mengetahui tingkat iman, agar iman tersebut dapat berkembang dengan baik. Usia 0-3 tahun, si anak diperkenalkan pada suasana kasih, dibawa dalam ibadah atau persekutuan-persekutuan, dinina-bobokan dengan lagu-lagu rohani. Hal ini dimaksudkan agar si anak terbiasa berada dalam lingkungan gereja dan dalam suasana rohani sejak dini. Usia 4-6 tahun, pada usia ini si anak diberikan ceritacerita teladan dalam Alkitab, cerita-cerita yang menggugah hati dan merangsang pertumbuhan iman. Namun harus diingat bahwa pada tahap ini si anak belum bisa membedakan perspektif dirinya sendiri dan perspektif orang lain, jadi, cerita-cerita yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan si anak. Imajinasi si anak benar-benar mengarah pada kebenaran tentang Tuhan. 53 – Pembentukan Rohani Usia 7-12 tahun, cerita-cerita Alkitab yang ajaib dapat mendorong perkembangan iman si anak, dengan cerita-cerita tersebut si anak percaya adanya kuasa Tuhan. Walaupun cerita-cerita tersebut masih ditafsirkan secara harafiah, namun metode cerita ini sangat membantu si anak untuk mengenal kuasa Tuhan. Memperkenalkan simbol-simbol dalam kekristenan, dan memberitahu arti yang sesungguhnya, agar si anak tidak salah mengerti tentang simbol-simbol tersebut. Usia 13-17 tahun, si anak mulai membandingbandingkan imannya dengan iman orang lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan iman orang lain. Penyesuaian tersebut membentuk perilaku si anak. Dalam hal ini, seorang pendeta benar-benar harus membimbing si anak, agar penyesuaian imannya tidak keliru. Orang lain yang menjadi objek perbandingan tersebut janganlah orang yang imannya tidak taat, agar perilaku yang terbentuk pada si anak adalah perilaku yang baik, yang sesuai dengan firman Tuhan. Perlu juga diperhatikan hubungan si anak dengan orang lain, agar hubungan tersebut tidak membawa dampak negatif bagi perkembangan iman si anak. Usia 18-29, pada masa ini disebut masa remaja atau masa muda awal. Remaja sudah mempunyai kesadaran yang tinggi dan memiliki konsep berpikir yang jelas. Remaja berusaha mengoreksi imannya dan menata ulang kembali. 54 – Pembentukan Rohani Tugas seorang pendeta pada masa ini ialah mengawasi proses ini, memberi pengarahan, membantu mengontrol imannya, sehingga si anak muda menjadi individu yang beriman teguh. Usia 30-45 tahun, masa ini ialah masa dewasa. Pada tahap ini orang menyadari akan batas akal. Muncul bermacam pandangan-pandangan terhadap iman. Pemimpin Kristen bertugas meluruskan pandangan-pandangan tersebut, agar pandangan tersebut tidak menyimpang dari Alkitab. Inti iman orang Kristen ditekankan dalam hidup orang tersebut, agar pandangan-pandangan baru tidak menggoyahkan iman orang tersebut. Usia di atas 45 tahun, orang hidup berdasarkan prinsip kasih dan keadilan. Ini merupakan buah iman orang yang bersangkutan. Pola hidup ini perlu ditekankan dan dipertahankan dalam prinsip hidup. Pemimpin Kristen bertugas menuntun orang tersebut agar mau membagi imannya kepada orang lain, dengan mengajar dan membimbing orang lain pula, sehingga buah iman orang tersebut benar-benar nampak dalam hidupnya. Semua hal yang diuraikan diatas dapat terlaksana dengan baik, jika seorang Pemimpin Kristen mengetahui dan menguasai teori J. Fowler, serta menerapkannya terlebih dahulu dalam kehidupannya, kemudian menerapkannya dalam pelayanannya. 55 – Pembentukan Rohani James Fowler, seorang teolog dan psikolog, mengembangkan teori perkembangan keimanan yang dikenal sebagai "Stages of Faith" atau Tahapan Keimanan. Fowler mengidentifikasi enam tahapan perkembangan keimanan yang mencerminkan perjalanan individu dari keyakinan awal hingga kedewasaan spiritual. Perguruan tinggi Kristen dapat memanfaatkan teori ini sebagai panduan untuk mendukung perkembangan moral dan keimanan mahasiswa. Perguruan tinggi Kristen dapat mengintegrasikan konsep-konsep dari teori Fowler ke dalam kurikulum teologi mereka. Mata kuliah tentang perkembangan keimanan dapat membantu mahasiswa memahami dan menghargai tahapantahapan tersebut dalam konteks keyakinan Kristen. Diskusi kelompok atau diskusi kelas dapat menjadi platform untuk merangsang refleksi tentang keimanan dan moralitas. Mahasiswa dapat mempertimbangkan berbagi bagaimana pengalaman keyakinan dan mereka berkembang seiring waktu, sambil merujuk pada tahapan perkembangan Fowler. Program pelayanan dan misi dapat dirancang untuk memfasilitasi pertumbuhan moral dan keimanan. Mahasiswa dapat terlibat dalam proyek-proyek yang mendukung pelayanan sosial dan refleksi keagamaan, membantu mereka menginternalisasi nilai-nilai Kristen dalam tindakan mereka. 56 – Pembentukan Rohani Perguruan tinggi Kristen dapat menyelenggarakan kegiatan rohani dan ibadah yang sesuai dengan tahapan perkembangan keimanan. Ini menciptakan pengalaman beribadah yang mendalam dan relevan dengan tahap keimanan masingmasing mahasiswa. Program mentoring dan pembimbingan rohani dapat memberikan dukungan yang diperlukan bagi mahasiswa untuk merenungkan dan menjelajahi perjalanan keimanan mereka. Melalui hubungan ini, mahasiswa dapat mendapatkan pandangan dan arahan yang dapat membantu mereka melewati tahapan perkembangan. Pendidikan karakter dan etika Kristen dapat diperkuat dengan mempertimbangkan tahapan perkembangan keimanan Fowler. Ini membantu membangun pemahaman tentang bagaimana nilai-nilai moral dan etika Kristen dipahami dan diinternalisasi oleh mahasiswa di berbagai tahap perkembangan. Perguruan tinggi Kristen dapat merancang program kepemimpinan yang menggabungkan konsep-konsep perkembangan keimanan. Pemimpin di perguruan tinggi dapat diberdayakan untuk memahami dan merespons perbedaan dalam tahapan keimanan mahasiswa. Mahasiswa dapat diberikan peluang untuk menjalankan proyek penelitian atau pemahaman diri yang terkait dengan perkembangan keimanan 57 – Pembentukan Rohani mereka. Ini dapat membantu mereka menjelajahi pertanyaanpertanyaan keagamaan dan moral yang relevan dengan tahapan perkembangan mereka. Melalui penerapan konsep-konsep perkembangan moral James Fowler di perguruan tinggi Kristen, lembaga tersebut dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan keimanan dan moralitas mahasiswa sesuai dengan landasan nilai-nilai Kristen. Pendekatan holistik ini membantu membentuk lulusan yang tidak hanya memiliki pengetahuan akademis tetapi juga memiliki dasar moral yang kuat dan berkembang dalam iman mereka. B. Tahap Perkembangan Moral L. Kohlberg Teori L. Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan kemampuan seseorang untuk memakai cara tertentu yang dapat menerangkan pilihannya, mengapa melakukan sesuatu atau tidak melakukan suatu, tingkah laku jenis penalaran yang dipakai seorang anak menunjukkan tingkat perkembangan moralnya. Alasan-alasannya menggambarkan meningkatnya derajat motif yang tidak ditujukan kepada dirinya sendiri. Tahap pra konvensional. Usia 0-9 tahun, pada tingkat ini suatu tindakan dilihat sebagai baik atau buruk tergantung pada akibat fisik dari tindakan tersebut. Tingkah laku yang 58 – Pembentukan Rohani baik ialah tingkah laku yang menyenangkan orang lain. Tindakan baik dan buruk sangat relatif, ditentukan oleh kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Tahap konvensional. Usia 9-15 tahun, di sini tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan orang lain, membantu orang lain atau apa yang mereka sepakati bersama, serta yang sesuai dengan tugas dan kewajiban seseorang yang menaruh hormat pada otoritas dan kewajiban sosial demi otoritas dan ketertiban itu sendiri. Tahap post konvensional. Usia 16 tahun ke atas. Di sini sudut pandang hukum amat ditekankan, tetapi disertai kemungkinan perubahan hukum atas dasar pertimbangan rasional tentang kegunaan bagi masyarakat. Serta yang benar dan yang baik ditentukan oleh keputusan suara hati sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang dipilih secara pribadi sesuai dengan pemahaman logis, universal dan konsisten. Inti teori perkembangan moral L. Kohlberg sebagai berikut. No 1 Usia 0-9 tahun Tingkat Perilaku Pra-konvensional a. Ketaatan dan hukuman b. Relatif dan hedonis - Kalau perilaku salah, maka akan 59 – Pembentukan Rohani dihukum - Kalau baik/benar, maka tidak akan dihukum - Menyenangkan orang lain - Memenuhi kebutuhan orang lain Konvensional c. Harmoni dan interpersonal d. Norma dan aturan masyarakat - Dapat penghargaan dan diterima oleh orang lain - Patuh dan taat terhadap aturan dan norma-norma masyarakat 2 9-15 tahun 3 16 tahun ke Post konvensional atas e. Kontrak sosial dan legalistik - Mengikuti aturan-aturan yang ada dengan tujuan menjaga hak orang lain dan kesejahteraan orang lain f. Etis universal - Moral universal terwujud dalam tingkah laku - Menghargai orang lain - Relasi saling percaya Teori L. Kohlberg sangat bermanfaat bagi pelayanan seorang pemimpin. Dengan memahami dan menguasai teori ini, seorang pemimpin mempunyai pedoman dalam mendidik 60 – Pembentukan Rohani jemaat agar bermoral baik. Bimbingan dan didikan berbedabeda sesuai dengan tingkat usia masing-masing. Tahap pra konvensional, usia 0-9 tahun. Si anak hanya mengetahui hal yang baik dan yang buruk melalui hasil dari tindakan tersebut, jika perbuatan baik, maka akan menuai pujian dan jika perbuatan buruk, maka akan menuai hukuman. Oleh sebab itu si anak akan selalu berusaha menyenangkan orang lain. Dalam hal ini, dukungan pendeta kepada si anak sangat penting dalam masa ini, agar si anak selalu berbuat baik. Memujinya jika ia berbuat baik, dan menasihatinya, jika ia berbuat buruk. Nasehat yang dimaksud ialah nasehat yang membangun ke arah perkembangan moral yang baik, tanpa harus menghukumnya secara fisik. Contoh yang baik perlu diperagakan seorang pemimpin Kristen, agar pola hidup bermoral baik dapat dengan mudah diserap oleh si anak. Tahap konvensional, usia 9-15 tahun. Pada tahap ini si anak mendapat penghargaan dan diterima oleh orang lain, patuh dan taat aturan dan norma-norma dalam masyarakat. Pendeta hendaknya membimbing dan menasihati si anak agar tidak terlena terhadap penghargaan dan penerimaan orang lain. Dan agar tetap taat dan patuh terhadap peraturan yang ada dalam masyarakat, sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat. 61 – Pembentukan Rohani Tahap post konvensional, usia 16 tahun ke atas. Perkembangan moral pada tahap ini sangat bagus, dimana yang bersangkutan mengikuti peraturan yang ada demi menjaga hak dan kesejahteraan orang lain. Moral yang universal terwujud dalam tingkah laku, menghargai orang lain dan relasi saling percaya dengan orang lain. Pembinaan dari seorang pendeta akan menguatkan moral yang sudah terbentuk ini, Oleh sebab itu pemimpin Kristen harus tetap memantau dan mengoreksi moral orang pada tahap ini. Agar moral tersebut mengakar dalam pola hidup orang yang bersangkutan. Perkembangan moral, seperti yang dijelaskan oleh Lawrence Kohlberg, adalah suatu proses yang berlangsung sepanjang kehidupan individu. Di perguruan tinggi Kristen, fokus pada perkembangan moral menjadi penting karena menyangkut pengintegrasian nilai-nilai iman ke dalam kehidupan sehari-hari dan pengambilan keputusan mahasiswa. Artikel ini akan membahas perkembangan moral menurut teori Kohlberg dan bagaimana pendekatan ini dapat diterapkan di perguruan tinggi Kristen. Kohlberg mengemukakan enam tingkatan perkembangan moral yang dibagi menjadi tiga tingkatan utama: prekonvensional, konvensional, dan postkonvensional. Setiap tingkatan mencerminkan tahapan dalam pemahaman 62 – Pembentukan Rohani etika dan moralitas. Perguruan tinggi Kristen dapat menggunakan kerangka Kohlberg sebagai dasar untuk memahami dan mendorong perkembangan moral mahasiswa. Dalam konteks Kristen, fokus dapat diberikan pada pengembangan nilai-nilai Alkitab dan etika Kristen yang sesuai dengan setiap tahapan perkembangan moral. Perguruan tinggi Kristen dapat mengintegrasikan kurikulum berbasis etika Kristen yang mendalam. Ini mencakup pemahaman dan aplikasi nilai-nilai Kristen dalam kehidupan sehari-hari, dilema etika, dan tanggung jawab sosial. Membawa diskusi etis ke dalam kelas dapat membantu mahasiswa mempertimbangkan perspektif moral yang berbeda. Diskusi seperti ini dapat mencakup topik-topik yang relevan dengan kehidupan mahasiswa sehari-hari, memberikan kesempatan untuk refleksi dan pertumbuhan moral. Perguruan tinggi Kristen dapat mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam pelayanan masyarakat yang berbasis keimanan. Ini tidak hanya memberikan pengalaman praktis, tetapi juga mengembangkan empati, tanggung jawab sosial, dan penerapan nilai-nilai moral dalam tindakan nyata. Perguruan tinggi Kristen dapat menyediakan program mentoring dan pembimbingan rohani yang mendukung perkembangan moral mahasiswa. Melalui hubungan ini, 63 – Pembentukan Rohani mahasiswa dapat mendapatkan pandangan, nasehat, dan bimbingan dalam konteks nilai-nilai Kristen. Komunitas rohani di perguruan tinggi Kristen, termasuk kegiatan keagamaan dan ibadah bersama, dapat menjadi lingkungan yang mendukung perkembangan moral. Partisipasi dalam kegiatan ini memperkuat pengalaman keagamaan dan memberikan landasan moral yang kokoh. Program kepemimpinan di perguruan tinggi Kristen dapat ditekankan pada pengembangan kepemimpinan moral. Mahasiswa dapat dilibatkan dalam proyek-proyek yang menekankan nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab sosial. Perkembangan moral menurut teori Kohlberg dapat diintegrasikan secara efektif di perguruan tinggi Kristen. Dengan memahami tahapan perkembangan moral, perguruan tinggi dapat merancang program-program yang mendukung pertumbuhan moral mahasiswa sesuai dengan nilai-nilai Kristen. Melalui pendekatan holistik ini, perguruan tinggi Kristen dapat membantu mahasiswa menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki dasar moral yang kuat sesuai dengan ajaran agama Kristen. 64 – Pembentukan Rohani III BIBLICAL SPIRITUAL FORMATION Pembentukan rohani yang alkitabiah berdiri sebagai proses transformatif yang berakar kuat dalam ajaran Alkitab. Ini melampaui perolehan pengetahuan, menekankan pengembangan holistik karakter, nilai, dan keterampilan kepemimpinan individu. Dalam konteks kepemimpinan, formasi rohani alkitabiah memainkan peran penting dalam membentuk pemimpin yang tidak hanya kompeten tetapi juga didasarkan pada pandangan dunia berbasis iman. Inti dari pembentukan rohani alkitabiah adalah keterlibatan yang mendalam dengan Alkitab. Para pemimpin yang menjalani proses ini membenamkan diri dalam ajaran Alkitab, mengambil hikmat dan bimbingan untuk pengambilan keputusan yang etis dan kepemimpinan yang berprinsip. Formasi rohani alkitabiah menempatkan penekanan yang signifikan pada pengembangan karakter, selaras erat dengan ajaran Yesus Kristus. Para pemimpin didorong untuk menumbuhkan kebajikan seperti kasih, 65 – Pembentukan Rohani kerendahan hati, integritas, dan hati hamba, yang mencerminkan kekuatan transformatif dari prinsip-prinsip alkitabiah tentang karakter kepemimpinan. Doa berfungsi sebagai landasan dalam pembentukan rohani alkitabiah, membina hubungan yang mendalam dengan yang ilahi. Para pemimpin diajarkan pentingnya mencari bimbingan melalui doa, mempromosikan rasa ketergantungan pada Tuhan dan mengakui pentingnya persekutuan spiritual dalam pengembangan kepemimpinan. Alkitab menyediakan sumber yang kaya akan prinsipprinsip etika yang menjadi dasar bagi perilaku kepemimpinan. Para pemimpin yang tenggelam dalam formasi rohani alkitabiah dilengkapi dengan kerangka etika yang kuat, membimbing mereka untuk membuat keputusan yang selaras dengan nilai-nilai moral dan ajaran alkitabiah. Konsep kepemimpinan hamba, yang dicontohkan oleh Yesus, adalah tema sentral dalam formasi spiritual alkitabiah. Para pemimpin dipanggil untuk meniru model kepemimpinan Yesus yang ditandai dengan kerendahan hati, tidak mementingkan diri sendiri, dan komitmen untuk melayani orang lain, menumbuhkan budaya kerja tim dan kolaborasi. Hikmat alkitabiah, seperti yang ditemukan dalam Kitab 66 – Pembentukan Rohani Amsal dan perumpamaan Yesus, berfungsi sebagai panduan praktis bagi para pemimpin. Para pemimpin yang terlibat dalam pembentukan rohani alkitabiah mendapatkan wawasan tentang pengambilan keputusan yang efektif, resolusi konflik, dan penanaman hikmat dalam peran kepemimpinan. Nasihat rasul Paulus untuk diubahkan oleh pembaharuan pikiran (Roma 12:2) bergema kuat dalam formasi rohani yang alkitabiah. Para pemimpin didorong untuk mengembangkan pola pikir yang selaras dengan prinsip-prinsip alkitabiah, mendorong kepemimpinan transformasional yang berdampak positif baik bagi individu maupun organisasi. Spiritual formation yang alkitabiah menekankan pentingnya komunitas dan persekutuan. Para pemimpin didorong untuk terlibat dalam hubungan yang mendukung dan bertanggung jawab dalam komunitas iman, menyediakan konteks untuk saling mendorong, tumbuh, dan nilai-nilai bersama. Spiritual formation alkitabiah menawarkan pendekatan yang mendalam dan holistik untuk pengembangan kepemimpinan. Dengan membumikan para pemimpin dalam hikmat Alkitab yang abadi, proses ini membentuk individu-individu yang memimpin tidak hanya dengan kompetensi tetapi juga dengan tujuan yang mendalam, integritas etis, dan 67 – Pembentukan Rohani komitmen untuk melayani orang lain. Di dunia di mana kepemimpinan sering diuji, formasi rohani alkitabiah berdiri sebagai panduan abadi bagi para pemimpin yang berusaha membuat dampak yang langgeng dan positif pada lingkup pengaruh mereka. A. Definisi Spiritual formation Kata “spirituality” datang dari akar kata bahasa Latin spiritus, yang berarti “napas” atau “kehidupan” Makna ini dinyatakan dalam banyak perjumpaan sejarah antara spirituality dan meditative breathing. Seperti dengan religi, spirituality melibatkan banyak dimensi termasuk sosial, kultural, kognitif, afektif, behavior, neurobio-logika, dan existensial. Banyak orang yang menjelaskan pengalaman spiritual lewat kaca mata worldview yang diinformasikan oleh tradisi dan komunitas keagamaan mereka. Masing-masing orang menemukan jalannya berhubungan dengan hubungan dialektika antara secred dan profane. Spiritual transformation melibatkan perubahan yang mendalam dalam bagaimana seseorang berhubungan kepada secred dan profane. Apa artinya spiritual formation? Dewan Gereja Sedunia menerbitkan definisi formasi spiritual sebagai "proses yang disengaja yang dengannya tanda-tanda spiritualitas 68 – Pembentukan Rohani Kristen yang otentik dibentuk dan diintegrasikan." Spiritualitas demikian selalu mencakup Tuhan sebagai pusat dan mendarat di bumi. Melihat definisi di atas maka ada dua alasan. Pertama, bahwa spiritualitas kekristenan melibatkan suatu proses; dalam hal ini spiritual formation dari mahasiswa Perguruan Tinggi Kristen adalah tanggung jawab pengajaran dosen secara keseluruhan. Kedua, mengindikasikan bahwa spiritualitas kekristenan yang sejati harus terintegrasi dalam kehidupan mahasiswa dan dosen dan dapat diobservasi, baik di ruang kelas, asrama atau gereja. Istilah “formasi” memiliki berbagai makna dalam konteks yang berbeda. Tradisi Katolik Roma memiliki konsepsi pelayanan sakramental sebagai imam. Pembentukan terjadi melalui penyediaan program dan sumber daya yang diselenggarakan di sekitar tujuan institusional yang jelas. Dokumen terbaru adalah seruan apostolik 1992 (PDV) yang menyoroti hubungan mendasar keimaman kepada Yesus Kristus dan Gereja. Dokumen tersebut menegaskan bahwa misi seminari mencakup empat dimensi utama pembentukan: manusia, intelektual, spiritual dan pastoral. Edisi keempat dari program pembinaan imam (1993) menyoroti kebutuhan untuk penekanan baru pada identitas imam dengan desakan bahwa imam adalah unik dalam Gereja dan karena itu harus memiliki 69 – Pembentukan Rohani program khusus belajar dan pembentukan sendiri. (Schuth 1999). National Conference of Catholic Bishops menjelaskan bahwa spiritual formation adalah life-long task yang mana para imam membagi dengan pengikut Yesus Kristus yang lain. Adalah tujuan dari para imam untuk menjadi murid Yesus Kristus yang lebih baik dan khususnya menjadi tanda sakramen yang lebih transparan akan Dia sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan Formasi spiritual para imam yang sedang berlangsung perlu bergerak dalam lima dimensi: formasi dalam pemuridan, formasi dalam amal pastoral, formasi dalam selibat, formasi dalam ketaatan dan formasi dalam kesederhanaan lifesyle. Dalam lembaga teologi Protestan pembentukan lebih mungkin diupayakan melalui kontribusi individu dosen dan kegiatan ekstra kurikuler (Liefeld & Cannell 1992: 244; Reisz 2003: 29-40). Bahasa pembentukan digunakan dalam konteks ini berarti spiritual formation dan manusia, meskipun Protestan jarang berbicara secara eksplisit pembentukan manusia. Mereka biasanya berbicara tentang pembentukan sebagai pusat dalam spiritualitas, tetapi dipahami ekspansif daripada sempit. Jadi seminari Protestan dapat menggunakan bahasa (spiritual) formation untuk menyertakan secara luas apa yang Perguruan Tinggi Katolik sebut secara terpisah 70 – Pembentukan Rohani sebagai pembentukan manusia. Di rata-rata lembaga teologi Protestan, spiritual formation sekarang menjadi area penting dari mandat. Howard mendefinisikan spiritual formation Kristen sebagai “proses yang disengaja dan semi-disengaja oleh orang beriman (individu dan masyarakat) menjadi lebih sepenuhnya sesuai dan bersatu dengan Kristus, khususnya yang berkaitan dengan kematangan hidup dan panggilan” (Howard 2008, 268). Sementara transformasi Kristen menggambarkan seluruh pekerjaan manusia ilahi membawa manusia semakin dekat dengan kehidupan dan kehendak ilahi, kita menggunakan istilah “pembentukan” untuk berbicara tentang langkah-langkah yang diambil untuk memfasilitasi atau menanggapi transformasi yang dimulai secara ilahi (Howard 2008). Langkah-langkah ini diambil, baik “proses” yang disengaja dan semi-disengaja. Howard melanjutkan bahwa mereka memutuskan untuk membuat praktik menarik diri sekali dalam sebulan untuk setengah hari dalam kesendirian. Hal ini disengaja. Tapi formasi ini tidak hanya “diajarkan” tetapi juga “tertangkap.” Kami datang ke gereja dan belajar sesuatu dari Injil hanya dengan cara gerakan tubuh berhubungan dengan beberapa elemen dari pelayanan (berlutut, mengangkat tangan, membuat tanda lintas, menari, dan sebagainya). Ini adalah 71 – Pembentukan Rohani semi intensional. Spiritual formation Kristen bertujuan sengaja dan semi-sengaja bagi individu dan masyarakat untuk menolong mengambil langkah-langkah menuju “kesesuaian dan kesatuan dengan Kristus.” Ini bukan hanya tentang keterlibatan dalam program, hal ini terutama tentang “kedewasaan dan panggilan kehidupan.” Pembinaan rohani Kristen tentang membantu masyarakat dan individu untuk berpikir sama seperti Yesus, merasa sama seperti Yesus, untuk bertindak sama seperti Yesus. Transformasi spiritual formation adalah proses dimana Kristus menjadi di dalam diri kita. Ini adalah proses organik yang jauh melampaui perilaku semata, kepada perubahan mendasar pada inti keberadaan kita. Dalam proses transformasi spiritual formation, Roh Allah menggerakkan kita dari perilaku dimotivasi oleh rasa takut dan melindungi diri sendiri untuk percaya dan berserah kepada Allah, dari keegoisan dan penyerapan diri sendiri untuk bebas menawarkan karunia dari diri sendiri yang otentik, dari upaya putus asa ego untuk mengontrol hasil dari kehidupan kita menjadi kemampuan untuk melakukan kehendak Allah bahkan ketika itu adalah kebodohan bagi dunia di sekitar kita. Spiritual formation melibatkan pengalaman belajar transformatif. Ketika pemahaman intelektual Allah dan kerajaan-Nya ditransfer dari kepala ke hati, perubahan terjadi 72 – Pembentukan Rohani dalam hubungan seseorang dengan Allah dan dengan orang lain. Glen Scorgie di A Little Guide to Christian Spirituality menggambarkannya sebagai “sebuah perjalanan batin. . . dari pengetahuan untuk pengalaman; dari kesadaran hanya kebenaran kognitif kepada aktualisasi mendalam dalam hubungan, jiwa, dan cara kita berinvestasi hidup” (Scorgie 2007). Meskipun sejumlah bantuan disiplin yang disengaja dalam membangun spiritualitas pada dasar yang kuat, perubahan tersebut didefinisikan oleh Dallas Willard menyebutnya “proses dituntun Roh Kudus membentuk dunia batin diri manusia menjadi sedemikian rupa sehingga memiliki batin seperti Kristus sendiri” (Willard, 2002). Roh membimbing dan memberdayakan kita untuk mencari Tuhan, untuk menyambut Tuhan ke dalam hati kita, dan untuk menemukan Tuhan dalam diri orang lain. Dengan mendengarkan suara Roh Kudus dan menjadi terbuka untuk kuasa transformasi Roh, kita secara permanen diubah oleh kehadiran berdiam ini. Tidak ada rumus universal untuk mendorong perkembangan spiritual dalam peserta didik di Perguruan Tinggi Kristen. Masing-masing kita di berbagai titik dalam perjalanan iman kita, dan kita datang untuk mengenal dan mengasihi Allah melalui berbagai tempat baik intelektual dan praktis. 73 – Pembentukan Rohani Begitu banyak definisi dari spiritual formation. Salah satu yang membantu untuk memahami ini ditemukan dalam Dewan Gereja Dunia publikasi yang mendefinisikan spiritual formation sebagai “proses yang disengaja sebagai tanda dari sebuah spiritualitas Kristen otentik yang terbentuk dan terintegrasi” (Amirtham & Pryor 1989). Dalam definisi ini proses tertentu dibahas. Mereka menyinggung proses pembangunan spiritual yang dibutuhkan untuk spiritualitas Kristen untuk menjadi otentik. Dengan demikian spiritualitas Kristen harus diintegrasikan ke dalam kehidupan para peserta didik dan jadi diamati, apakah itu di kelas, gereja atau masyarakat. Dalam pendidikan teologi, spiritual formation dipahami sebagai pemberian apa yang dibutuhkan untuk membentuk mahasiswa teologi menjadi orang-orang yang memiliki perpaduan yang tepat dari kualitas yang akan memungkinkan mereka untuk bekerja secara efektif dalam komunitas mereka. Ini mencakup berbagai kompetensi dan sifat-sifat. Ini mencakup “konversi pikiran dan hati, mendorong berpikir integratif, pembentukan karakter, mempromosikan pemuridan otentik, perampasan pribadi iman dan pengetahuan, dan menumbuhkan spiritualitas kehidupan (Lamoureux 1999). 74 – Pembentukan Rohani intelektual” Ruang lingkup sering diringkas dalam formula “bertindak-menjadi-tahu”. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan dimensi bervariasi. Mereka termasuk, misalnya, “menjadi seperti Kristus, untuk mengetahui Firman Tuhan, dan untuk melakukan pekerjaan pelayanan” (Chow 1981); “Masukan kognitif, keterampilan psikomotor, dan tujuan afektif” (Griffiths 1990); “Akademik, teknis, dan pembentukan karakter dan spiritualitas” (Hwa Yung 1995: 4); “Memperoleh kognitif ketaatan spiritual-moral dan praktis,” (Bank 1999); dan “beasiswa, pelatihan dan iman” (Smith 1999). Ekspresi dari tiga dimensi utama tersebut dapat diringkas sebagai akuisisi kognitif pengetahuan yang tepat, kompetensi dalam diperlukan keterampilan pelayanan dan pengembangan karakter pribadi, yang secara luas membuat spiritual formation di lembaga teologi Protestan. Pertimbangan utama dalam menentukan tujuan dan isi dari pembentukan adalah untuk menghormati harapan bahwa gereja memiliki pembentukan, pemimpinnya. pendidik harus Pada yakin akhir periode bahwa mereka merekomendasikan calon yang layak untuk ditahbiskan atau pelayanan gereja lainnya. Menurut Fry (2003), spiritualitas mencakup dua elemen penting dalam kehidupan seseorang: (a) transendensi diri, 75 – Pembentukan Rohani diwujudkan dalam rasa panggilan atau desteni, dan (b) keyakinan bahwa kegiatan seseorang memiliki makna dan nilai di luar manfaat ekonomi atau kepuasan diri. Keyakinan panggilan dan makna yang lebih tinggi mendorong pengembangan nilai-nilai tertentu, termasuk visi (yaitu, mendefinisikan tujuan, yang mencerminkan cita-cita yang tinggi, dan mendorong harapan/iman), kasih altruistis (yaitu, pengampunan, kebaikan, integritas, empati, kejujuran, kesabaran, keberanian, kepercayaan, dan kerendahan hati), dan harapan/iman (yaitu, daya tahan, ketekunan, dan mengharapkan imbalan/ kemenangan). Reave (2005) melakukan kajian mendalam lewat literatur dan mencatat bahwa spiritualitas mengekspresikan dirinya dalam perwujudan nilai-nilai spiritual (yaitu, integritas, kepercayaan, pengaruh etika, komunikasi yang jujur, dan kerendahan hati) dan perilaku spiritual (yaitu, menunjukkan rasa hormat, memperlakukan orang lain dengan cukup, mengungkapkan perhatian dan kepedulian, mendengarkan secara responsif, menghargai kontribusi orang lain, dan terlibat dalam latihan spiritual). Reave mencatat bahwa tidak ada penulis melakukan kajian dalam tinjauan literatur yang diusulkan akan potensi sumber spiritualitas, selain berkomentar bahwa iman spiritual tidak diperlukan untuk berlatih spiritualitas. 76 – Pembentukan Rohani Pembentukan rohani cenderung merujuk pada sisi manusia dari persamaan, cara-cara yang dengannya kita berusaha untuk mengerjakan transformasi di tempat Roh Kudus bekerja. bukanlah Peterson, menjelaskan bahwa spiritualitas rahasia pengetahuan, spiritualitas tidak ada hubungannya dengan bakat atau temperamen, spiritualitas bukan terutama tentang Anda atau saya; ini bukan tentang kekuatan atau pengayaan pribadi. Ini tentang Tuhan. Averback menjelaskan bahwa spiritual formation dibuat oleh Roh Kudus yang mana lewat pelayanannya kita mencari stimulasi dan dukungan atas spiritualitas berkelanjutan dengan mentransformasi pekerjaan Roh Kudus di dalam dan lewat kehidupan, hubungan, pelayanan pribadi orang-orang percaya sehingga diubah menjadi serupa dengan Kristus menurut kehendak Bapa. Namun, dari sudut pandang Alkitab, spiritual formation memusatkan perhatian kita pada dinamika bagaimana Roh Kudus bekerja di dalam kita, di antara kita, dan melalui kita. Dipahami dengan cara ini, pembentukan rohani pertama-tama di atas segalanya dan di seluruh pekerjaan pembentukan Roh Kudus ilahi, yang dilakukan sesuai dengan kehendak Allah Bapa, untuk tujuan menyesuaikan kita dengan gambar Kristus. 77 – Pembentukan Rohani Willard mengatakan "kita harus memiliki kesiapan tanpa syarat untuk berubah agar menjadi diubahkan di dalam Kristus: tidaklah cukup bagi kita untuk percaya; kita harus tahu bagaimana menjalankan keyakinan kita." Willard melanjutkan bahwa "bagian dari kita yang mendorong dan mengatur hidup kita bukanlah fisik. Ini tetap benar bahkan jika kita menyangkalnya. Anda memiliki roh di dalam diri Anda dan itu telah terbentuk." Willard mencatat bahwa spiritual formation Kristen difokuskan sepenuhnya pada Yesus. Tujuannya adalah ketaatan atau kesesuaian dengan Kristus yang muncul dari transformasi batin yang dicapai melalui interaksi dengan kasih karunia Allah di dalam Kristus. Spiritualitas digambarkan sebagai hubungan kita dengan apa pun yang paling penting dalam hidup kita. Atau mungkin sebagai proses menjadi orang yang positif dan kreatif. Spiritual formation bagi orang Kristen pada dasarnya mengacu pada proses pembentukan dunia batin diri manusia sedemikian rupa sehingga menjadi seperti makhluk batin Kristus sendiri. Oleh karenanya, sarana spiritual formation Kristen lebih banyak melibatkan usaha dan tindakan manusia yang berada di bawah kendali kita. Upaya manusia yang terinformasi dengan baik sangat diperlukan, karena formasi spiritual bukanlah proses pasif. Tapi keserupaan dengan 78 – Pembentukan Rohani Kristus bukanlah keberadaan manusia. Ini adalah hadiah anugerah abadi. Oleh sebab itu Willard mengatakan bahwa: spiritual formation bukan hanya pembentukan roh atau makhluk batin individu, meskipun itu adalah proses dan hasilnya. Itu juga dibentuk oleh Roh Tuhan dan oleh kekayaan spiritual dari inkarnasi Kristus yang berkelanjutan dalam bangsanya – termasuk yang paling menonjol adalah harta dari kata-katanya yang tertulis dan diucapkan dan kepribadian luar biasa dari mereka yang paling dia tinggali sepenuhnya. Willard lebih lanjut mengatakan bahwa spiritual formation di dalam Kristus bukanlah proses yang misterius, irasional–mungkin histeris; sesuatu yang menyerang seperti keringanan, kapan pun dan di mana pun itu akan terjadi, jika sama sekali. Spiritual formation adalah sesuatu yang dapat dan harus dilakukan oleh manusia–sebagai makhluk individu dan dalam persekutuan dengan murid Yesus lainnya. Meskipun secara bersamaan, tindakan mulia Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara mendalam melalui Firman dan Roh-Nya, ini juga merupakan tanggung jawab kita di hadapan Allah dan dapat menentukan pencapaian dengan cara yang masuk akal dan sistematis. Spiritual formation di dalam Kristus adalah proses menuju akhir yang ideal itu dan hasilnya adalah kasih kepada 79 – Pembentukan Rohani Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan serta sesama sebagai diri sendiri. Diri manusia kemudian sepenuhnya terintegrasi di bawah Tuhan, demikian penjelasan Willard. Roh pertama-tama harus hidup kembali kepada dan melalui Tuhan, tentu saja. Sebaliknya, kita tetap mati bagiNya dalam pelanggaran dan dosa (Efesus 2:1). Tetapi begitu roh menjadi hidup di dalam Tuhan, proses panjang untuk menundukkan semua aspek diri di bawah Tuhan dapat dimulai. Ini adalah proses pembentukan spiritual yang dilihat secara keseluruhan Pekerjaan spiritual formation dalam keserupaan dengan Kristus adalah pekerjaan mengklaim tanah susu dan madu di mana kita berada, secara individu dan kolektif untuk tinggal bersama Tuhan. Salah satu hambatan terbesar untuk spiritual formation yang efektif di dalam Kristus saat ini adalah kegagalan sederhana untuk memahami dan mengakui realitas situasi manusia karena hal itu mempengaruhi orang Kristen dan non Kristen. Kita harus mulai dari tempat kita sebenarnya berada. Lawrance menjelaskan tentang fondasi-fondasi dari kehidupan rohani di dalam Dia, "telah menjadi gagasan dan penghargaan yang tinggi tentang Allah dalam iman; yang ketika dia pernah mengandung dengan baik, dia tidak memiliki perhatian lain pada awalnya, tetapi dengan setia 80 – Pembentukan Rohani menolak setiap pemikiran lain, agar dia dapat melakukan semua tindakannya demi kasih Allah." Dalam permulaan kehidupan rohani, kita harus setia dalam menjalankan tugas dan menyangkal diri kita; namun setelahnya; kesukaan yang tak terkatakan akan mengikuti; bahwa dalam segala kesulitan kita perlu bersumber kepada Yesus Kristus, dan meminta kasih karunia-Nya supaya semuanya menjadi mudah. Pelayanan utama disiplin spiritual – seperti kesendirian (sendirian dengan Tuhan untuk jangka waktu yang lama), puasa (belajar kebebasan dari makanan dan bagaimana Tuhan secara langsung memelihara kita), penyembahan (pemujaan terhadap Tuhan) dan pelayanan (berbuat baik membuat orang lain tidak memikirkan diri kita sendiri) – adalah menyebabkan duplikasi dan kedengkian yang terkubur dalam kehendak dan karakter kita muncul ke permukaan dan ditangani (Willard, 1988). Willard menjelaskan bahwa hasil akhir pembentukan spiritual adalah transformasi realitas batin diri sedemikian rupa sehingga perbuatan dan perkataan Yesus menjadi ekspresi alami dari siapa kita (Willard. 1988). Willard juga menjelaskan bahaya terbesar dari prospek-prospek spiritual formation adalah apa yang akan gagal kita ambil semua pembicaraan ini tentang bagian tubuh kita setiap secara 81 – Pembentukan Rohani harfiah itu dapat membantu kita untuk mempertimbangkan situasi godaan biasa. Spiritual formation baik atau buruk selalu sangat sosial. Anda tidak dapat menyimpannya untuk diri sendiri. Siapa pun yang menganggapnya sebagai masalah pribadi belaka telah salah paham (Willard. 1988). Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan saya dengan orang lain juga memodifikasi saya dan sangat memengaruhi hubungan saya dengan Tuhan. Oleh karena itu hubungan itu harus diubah jika ingin diubah. Meskipun spiritualitas dapat menjadi sumber transformasi yang kuat, kita semua mungkin mengenal orang-orang yang telah berpesta dalam komunitas spiritual atau agama selama beberapa dekade tanpa perubahan sama sekali. Proses transformasi rohani dapat menyakitkan namun tanpa mereka kehidupan dapat direduksi menjadi sedikit lebih dari 'waktu untuk dilahirkan dan waktu untuk mati.' Konsep spiritualitas itu sendiri bersifat ambigu dan multivalen, yang secara parsial menjelaskan mengapa lebih dari seratus definisi istilah telah dilanggar dalam literatur ilmiah. Masing-masing definisi ini dibentuk oleh konteks, tradisi, dan perhatian orang-orang yang melakukan pendefinisian. James Loder juga menyediakan model untuk bagaimana berhubungan dengan mengajar, belajar, dan 82 – Pembentukan Rohani pertumbuhan rohani. Dia mengusulkan “logika transformasi” ditafsirkan sebagai lima bagian proses berpola, bahwa ia berpendapat memiliki kekuatan penjelas tidak hanya cara kita mengetahui, tetapi juga untuk proses dasar pertumbuhan dan perkembangan manusia. Loder menjelaskan proses ini dinamis sebagai: (1) konflik - dalam konteks, (2) selingan untuk pemindaian (sadar dan tidak sadar) yang mengarah ke, (3) tindakan konstruktif imajinasi sering merasa dengan kekuatan intuitif. Pemahaman ini menghasilkan (4) pelepasan energi dan menempatkan diri lebih dalam kembali ke dunia. Akhirnya, pada langkah (5) interpretasi dibuat dan tindakan yang diambil. Dia berpendapat, inilah pola lima bagian dari logika transformasionalis, membimbing pada berfungsi sebagai manusia pola yang mengetahui dan bertransformasi. Dalam bukunya, Invitation to a Journey, Robert Mulholland mencatat bahwa "Pembentukan rohani adalah proses dibentuk menurut gambar Kristus demi orang lain." Dia mencatat bahwa pembentukan rohani kita memerlukan peziarahan yang memperdalam tanggapan terhadap kendali Allah atas kehidupan dan keberadaan kita. 83 – Pembentukan Rohani B. Leadership Development Rosner (2001) setuju dengan pernyataan ini, bahwa tujuan spiritualitas tidak untuk melayani pekerjaan. Sebaliknya, pekerjaan adalah untuk melayani spiritualitas. Sebagai individu terus mencari makna di tempat kerja dan berusaha untuk menyelaraskan nilai-nilai pribadi dan organisasi mereka, jelas bahwa perlu untuk mengeksplorasi hubungan antara orientasi spiritual dari para pemimpin dan perilaku mereka. Meskipun literatur menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan dimensi yang signifikan di tempat kerja (Mitroff & Denton, 1999; Riaz & Normore, 2008), secara tradisional telah dibungkam dalam sistem sekolah umum (Shields et al, 2004). Skeptisisme sering dinyatakan tentang legitimasi spiritualitas di tempat kerja (Fairholm, 1997; Thompson, 2004). Permusuhan ini mungkin disebabkan tidak adanya definisi yang jelas tentang “spiritualitas” (Giacalone & Jurkiewicz, 2003; Klenke, 2006). King dan Nicol (1999) menyarankan bahwa masalah dengan menanamkan spiritualitas ke dalam suatu organisasi adalah keliru sebagaimana seperti agama. Stephan Gerhard Huber “Professional school leadership” yang pasti dan bertujuan, mengatakan tentang mengambarkan sebagai berbagi 84 – Pembentukan Rohani tanggung jawab kepemimpinan, terlibat di dalamnya dan pengetahuan tentang apa yang terjadi di dalam kelas. Itu berarti bahwa penting untuk memiliki partisipasi yang menentukan dan berorientasi pada tujuan orang lain dalam tugas-tugas kepemimpinan, bahwa ada pemberdayaan nyata dalam hal mendelegasikan kekuasaan kepemimpinan dengan benar (distribusi kepemimpinan), dan bahwa ada minat khusus untuk dan pengetahuan tentang apa yang terjadi selama pelajaran (tindakan kepemimpinan sekolah yang efektif dan profesional berfokus pada pengajaran dan pembelajaran dan menggunakan tujuan sekolah sebagai patokan). Lebih lanjut Huber mengatakan dalam pengembangan kepemimpinan di sekolah “Untuk semua tahapan proses pengembangan sekolah, kepemimpinan sekolah dianggap penting dan bertanggung jawab untuk menjaga sekolah secara keseluruhan dalam pikiran, dan mengkoordinasikan kegiatan individu selama proses perbaikan dengan memadai.” Teori Munculnya Kepemimpinan Clinton (1988) menyediakan kerangka kerja teoritis untuk studi, yang menyampaikan konsep bahwa “semua kehidupan dipakai Tuhan untuk mengembangkan kapasitas seorang pemimpin untuk mempengaruhi,” termasuk peristiwa dikategorikan sebagai proses internal, proses eksternal, dan proses ilahi (Clinton, 1988). 85 – Pembentukan Rohani Pengalaman pendidikan Kristen dipandang sebagai salah satu peristiwa yang bisa digunakan untuk mengembangkan kepemimpinan karena melibatkan internal (pengembangan karakter), eksternal (orang dan literatur), dan proses ilahi (dasar Kristen). Teori Clinton (1988) menggunakan pendekatan sejarah kehidupan, dalam hal ini “jejak ekspansi kapasitas kepemimpinan dalam seorang pemimpin Kristen ialah selama seumur hidup. Ini mengasumsikan bahwa sepanjang hidup seorang pemimpin terus belajar tentang kepemimpinan.” Teori ini menjelaskan melalui penggunaan tiga variabel: waktu, proses, dan respons. Proses variabel adalah “variabel teori inti dimana semua diintegrasikan”, dan didefinisikan sebagai “insiden spiritual penting dalam kehidupan para pemimpin, kisah kehidupan sepanjang hidup mereka. Yang sering menjadi titik balik dalam hal wawasan kepemimpinan.” Baik kepemimpinan dan spiritualitas pelayan, secara terpisah, dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan dan menginspirasi kinerja individu dan organisasi yang lebih tinggi karena meningkatkan mereka akan saling menghargai, kasih sayang, dan kepercayaan antar anggota organisasi (Yukl, 2010). Menurut Fry (2003), spiritualitas dapat menciptakan visi dan nilai kongruen, 86 – Pembentukan Rohani mendorong tingkat yang lebih tinggi dari komitmen dan kinerja individu. Dalam sebuah pemeriksaan literatur ilmiah, tahun 2005 mencatat meningkatnya spiritualitas dan menyimpulkan efektivitas bahwa menghipotesiskan minat korelasi untuk kepemimpinan, sebagian antara menghubungkan dan besar peneliti keduanya efektivitas spiritualitas dan kepemimpinan, diukur melalui produktivitas organisasi. Tinjauan menyeluruh Reave (2005) menunjukkan konsistensi yang jelas antara konstruksi spiritualitas dan kepemimpinan yang efektif. Ulasannya juga termasuk studi empiris yang menunjukkan hubungan positif antara kepercayaan spiritual (Misalnya, melihat pekerjaan sebagai panggilan yang lebih tinggi dari Tuhan) dan praktik spiritual (mis., merenungkan firman, membaca kitab suci, dan penjurnalan) untuk efektivitas pemimpin individu. Spiritual formation sangat diperlukan bagi pemimpin Kristen terlebih dahulu karena menghasilkan visi realitas yang lebih luas dan keterlibatan yang semakin dalam dengan masyarakat. Spiritual formation ini memungkinkan para pemimpin untuk menjalani visi spiritual dan moral Injil Kristen. Kretzschmar menjelaskan pentingnya spiritual formation bagi para pemimpin Kristen. Spiritual formation ini membantu mereka menghindari jebakan moral dan 87 – Pembentukan Rohani lainnya. Spiritual formation ini membantu para pemimpin untuk membuka pintu gerbang menuju kebenaran, misalnya, dalam kajian kepemimpinan manajemen psikologis dan bisnis. Spiritual formation memungkinkan para pemimpin semakin memahami kebaikan dan kejahatan di dunia dan untuk merefleksikan pelayanan mereka sendiri dengan kejujuran dan ketajaman yang lebih besar. Pengembangan kepemimpinan dan spiritual formation mengusulkan agar integrasi nilai inti dan kepercayaan pemimpin menjadi identitas diri merupakan inti pengembangan karakter. Kekuatan karakter pendukung, kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, dan kesadaran sosial dan hubungan dengan orang lain membantu internalisasi dan integrasi nilai inti, kepercayaan, dan standar moral menjadi identitas pemimpin dan juga memastikan moral yang konsisten. Nilai yang telah lama dianggap sebagai cita-cita spiritual, seperti integritas, kejujuran, dan kerendahan hati, telah terbukti berpengaruh pada kesuksesan kepemimpinan. Demikian pula, praktik yang secara tradisional dikaitkan dengan spiritualitas seperti yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari juga terbukti terkait dengan efektivitas kepemimpinan. Semua praktik berikut telah ditekankan dalam banyak ajaran spiritual, dan juga telah ditemukan sebagai 88 – Pembentukan Rohani keterampilan kepemimpinan yang penting: menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, menunjukkan perlakuan yang adil, mengungkapkan perhatian dan kepedulian, mendengarkan secara responsif, mengenali kontribusi orang lain, dan keterlibatan. Salah spiritualitas satu dalam alasan untuk melihat kepemimpinan adalah secara bahwa dekat para pemimpin dalam organisasi spiritual telah terbukti lebih tinggi dalam mengukur efektivitas kepemimpinan daripada pemimpin di lingkungan lain (Druskat, 1994). Meskipun ada masalah dengan definisi teoritis karisma, tidak ada keraguan tentang efektivitas kepemimpinan transformasionalis, yang telah ditunjukkan dalam ratusan penelitian (Den Hartog et al., 1999; Fiol et al., 1999). Dalam mengelola Kuesioner Kepemimpinan Multifaktor (MLQ) kepada 3352 saudara perempuan, 1541 saudara laki-laki, dan 1466 imam di Gereja Katolik Roma di AS, Druskat (1994) menemukan bahwa para pemimpin spiritual ini dinilai secara signifikan lebih tinggi dalam kepemimpinan transformasionalis daripada pemimpin di masyarakat umum. Sebagian besar individu mencoba mengikuti model kesuksesan spiritual, bukan konstruksi dari penelitian kepemimpinan. Mengapa, kemudian, apakah mereka mencetak secara signifikan lebih tinggi pada ukuran efektivitas kepemimpinan? 89 – Pembentukan Rohani Pertanyaan ini membahas kebutuhan penting lain dalam pengembangan teori: kebutuhan untuk jawaban atas pertanyaan tentang pola empiris yang diamati. Motivasi dan kepercayaan spiritual dapat dilihat sebagai variabel pembeda, penyebab banyak kepemimpinan transformasionalis. Sebagai faktor penyebab, sering digambarkan dalam literatur sebagai asal mula motivasi pemimpin transformasionalis. Misalnya, Bass (1998) menyatakan bahwa komitmen pemimpin transformasionalis berasal dari hati nurani pemimpin dan nilai internalisasi. Suara hati nurani dan nilai-nilai sering berasal dari ajaran agama atau perasaan spiritual berhubungan dengan Kekuatan Maha Tinggi atau Tuhan. Memang benar bahwa nilai etika dapat diundangkan tanpa iman atau niat spiritual. Namun, spiritualitas sejati tidak bisa ditunjukkan tanpa nilai etika. Kuhnert & Lewis (1987) berpendapat bahwa kepemimpinan pengembangan transformasionalis moral yang matang. membutuhkan Filsafat dapat memberikan sumber bimbingan bagi beberapa individu, namun kebanyakan orang melihat ke spiritualitas atau keyakinan mereka untuk mengembangkan jenis pertumbuhan pribadi ini. Ada kebutuhan dalam teori kepemimpinan untuk meneliti sumber komitmen pemimpin. Teori transformasi menggambarkan proses bagaimana pemimpin mempengaruhi 90 – Pembentukan Rohani motivasi pengikut, namun sejauh ini mereka tidak membahas sumber motivasi pemimpinnya sendiri. Spiritualitas juga merupakan sumber motivasi yang kuat bagi pengikut. Pemimpin yang menekankan nilai spiritual sering kali dapat membangkitkan motivasi laten pada orang lain yang telah ditemukan untuk meningkatkan kepuasan dan produktivitas mereka di tempat kerja. Ketika membahas nilai dan tujuan pengikut independen yang lebih tinggi, para pemimpin mentransformasikan ini individu tidak sebagai begitu banyak membangkitkan motivasi yang ada. Popularitas buku saat ini yang membahas topik spiritualitas di tempat kerja menunjukkan bahwa banyak individu berusaha untuk mengekspresikan spiritualitas mereka melalui pekerjaan mereka. Sebaliknya, statistik menunjukkan bahwa keanggotaan dan kehadiran gereja telah menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Misalnya, gereja Episkopal dan Metodis telah kehilangan setidaknya sepertiga dari keanggotaan mereka dalam 30 tahun terakhir (Shorto, 1997). Namun, pada saat yang sama, survei menunjukkan bahwa sebagian besar orang Amerika (lebih dari 90%) menggambarkan spiritualitas pribadi dan pribadi yang memasukkan kepercayaan pada 91 – Pembentukan Rohani Tuhan dan mempraktikkan kehidupan doa (Shorto, 1997; Zinnbauer et al., 1999). Mengakui tujuan spiritual individu dan memasukkan nilai spiritual di tempat kerja dapat menjadi tujuan penting bagi para pemimpin karena kepuasan pekerja telah terbukti tidak hanya mempengaruhi semangat kerja tetapi keuntungan, dalam beberapa cara. Emmons (1999) mengutip tujuh penelitian yang telah dilakukan sejak 1995 yang telah menemukan korelasi yang signifikan antara spiritualitas dan indeks kesehatan mental tentang kepuasan hidup, kebahagiaan, harga diri, harapan dan optimisme, dan makna dalam kehidupan. Dampak spiritual formation pada pengembangan kepemimpinan adalah kompleks dan beragam, sering dibahas dalam konteks kepemimpinan organisasi dan pribadi. Pembentukan spiritual mengacu pada proses pengembangan dan pendalaman spiritualitas seseorang, sering berakar pada keyakinan agama atau filosofis. Berikut adalah beberapa cara di mana pembentukan spiritual dapat mempengaruhi dan berkontribusi pada pengembangan kepemimpinan: Nilai dan Etika. Pembentukan spiritual sering menekankan pengembangan nilai-nilai dan prinsip-prinsip etika. Pemimpin yang menjalani formasi spiritual dapat dibimbing oleh kompas moral yang kuat, membuat keputusan 92 – Pembentukan Rohani yang selaras dengan keyakinan mereka yang dipegang teguh. Ini dapat berkontribusi pada pengembangan kepemimpinan etis. Pengembangan Karakter. Pembentukan spiritual berfokus pada pengembangan karakter, menekankan kualitas seperti integritas, kerendahan hati, kasih sayang, dan kesabaran. Pemimpin yang memprioritaskan pembentukan spiritual cenderung menunjukkan kualitas-kualitas ini dalam gaya kepemimpinan mereka, menumbuhkan kepercayaan dan rasa hormat di antara pengikut mereka. Emotional Intelligence. Pembentukan spiritual sering melibatkan kesadaran diri dan introspeksi. Pemimpin yang terlibat dalam praktik spiritual dapat mengembangkan tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi, memungkinkan mereka untuk lebih memahami dan mengelola emosi mereka serta berempati dengan orang lain. Mekanisme Ketahanan dan Koping. Pembentukan spiritual sering memberikan individu dengan rasa tujuan dan ketahanan dalam menghadapi tantangan. Pemimpin yang memiliki fondasi spiritual yang kuat mungkin lebih siap untuk menangani stres, kemunduran, dan ketidakpastian, berkontribusi pada efektivitas kepemimpinan mereka secara keseluruhan. 93 – Pembentukan Rohani Kepemimpinan yang Melayani. Banyak tradisi spiritual menekankan konsep kepemimpinan yang melayani, di mana para pemimpin memprioritaskan melayani orang lain dan kebaikan yang lebih besar. Pendekatan ini dapat mengarah pada gaya kepemimpinan yang lebih kolaboratif dan inklusif yang berfokus pada kesejahteraan tim atau organisasi. Visi dan Tujuan. Pembentukan spiritual sering melibatkan pencarian makna dan tujuan dalam hidup. Pemimpin yang memiliki pengertian yang jelas tentang tujuan mereka sendiri mungkin lebih siap untuk mengartikulasikan dan menginspirasi visi yang menarik untuk organisasi mereka, mengumpulkan orang lain di sekitar rasa misi bersama. Hubungan Interpersonal. Pembentukan spiritual dapat menumbuhkan rasa keterkaitan dan kepedulian terhadap orang lain. Pemimpin yang menghargai perkembangan spiritual dapat memprioritaskan hubungan interpersonal yang positif, menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan harmonis. Pengambilan keputusan. Pembentukan spiritual dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan, mendorong para pemimpin untuk mempertimbangkan tidak hanya aspek praktis tetapi juga dimensi etika dan moral dari pilihan mereka. 94 – Pembentukan Rohani Kemampuan Beradaptasi dan Belajar. Sifat reflektif dari praktik spiritual dapat berkontribusi pada keterbukaan seorang pemimpin terhadap pembelajaran dan kemampuan beradaptasi. Kemampuan untuk terus belajar dan tumbuh ini sangat penting dalam menavigasi kompleksitas kepemimpinan. Penting untuk dicatat bahwa dampak pembentukan spiritual pada pengembangan kepemimpinan dapat bervariasi berdasarkan keyakinan individu, budaya organisasi, dan konteks spesifik di mana kepemimpinan dilakukan. Selain itu, para pemimpin dapat mengambil dari berbagai sumber, termasuk tradisi keagamaan, filsafat, atau spiritualitas pribadi, untuk menginformasikan pembentukan rohani mereka. C. Spiritualitas dan Religi Pertama, apakah itu spiritualitas, dan bagaimana ia berbeda dari agama? Beberapa peneliti (Scott, 1997; Zinnbauer, 1997) telah menemukan keragaman definisi yang luar biasa antara ratusan peserta penelitian, tetapi kesimpulan utama sebuah meta-analisis baru-baru ini ialah bahwa religi itu didominasi dengan mengaitkan dengan agama resmi/ organisasi, sedangkan spiritualitas adalah lebih sering dikaitkan dengan kedekatan dengan Tuhan dan perasaan keterkaitan dengan dunia dan hidup (Zinnbauer, Pargament, & 95 – Pembentukan Rohani Scott, 1999). Analisis kata kunci lain dari penggunaan dua istilah dalam 30 tahun terakhir literatur keperawatan menemukan bahwa religiositas didefinisikan sebagai sistem keyakinan terorganisir dan ibadah yang dipraktikkan orang, dan spiritualitas didefinisikan sebagai bagian prinsip kehidupan pribadi yang menjiwai transenden kualitas hubungan dengan Tuhan (Enblem, 1992). Agama lebih berfokus pada kelompok tertentu dan organisasi, sementara spiritualitas yang lebih generik, dan bahkan dapat mencakup lebih dari satu pendekatan agama. Willard mengatakan bahwa spiritualitas dalam diri manusia bukanlah mode eksistensi ekstra atau "superior". Ini bukan aliran tersembunyi dari realitas yang terpisah, kehidupan terpisah yang berjalan sejajar dengan keberadaan tubuh kita. Itu tidak terdiri dari tindakan "ke dalam" khusus meskipun memiliki aspek batin. Sebaliknya, ini adalah hubungan atau diri kita yang diwujudkan kepada Tuhan yang memiliki efek alami dan tak tertahankan untuk membuat kita hidup bagi Kerajaan Allah – di sini dan sekarang di dunia material. Bagian dari upaya untuk mengetahui perbedaan antara kepemimpinan spiritual dan religius adalah dengan mengklarifikasi istilah "spiritual" dan "religius". Pielstick (2005) melihat "spiritual" sebagai sebuah kekuatan, "sinkronisitas" dan "energi dan pengaruh yang diperoleh dari 96 – Pembentukan Rohani hidup selaras dengan tujuan yang lebih tinggi, yang sering kali didasarkan pada pandangan dunia tentang realitas transenden (nonmaterial) yang hakiki". Hal ini dapat berupa jalan batin yang memberikan arahan kepada diri, "rasa makna dan keutuhan... keterkaitan, transendensi diri, dan/atau pandangan dunia yang transenden". Dengan menggunakan kategorisasi perkembangan spiritual dari Wilber (1984), Pielstick (2005) menunjukkan bahwa individu dan kelompok dapat memiliki pengalaman progresif ketika mereka bergerak ke pengalaman spiritual yang lebih kompleks. Urutan tersebut dipandang sebagai Magis (melihat fenomena spiritual sebagai hasil dari kekuatan magis atau makhluk gaib) dan Mitos (penjelasan supernatural yang dipegang dalam kisah-kisah dewa atau dewi yang bertindak atas pengalaman manusia dan memberikan berkah atau kutukan dan ajaran) di ujung yang lebih primitif, dan logis (ide dan pengalaman spiritual yang dijelaskan dengan alasan dan logika) dan ssistemis (di mana spiritualitas mengacu pada jaringan hubungan dan membayangkan keterkaitan dan keutuhan sebagai manifestasinya) di tingkat keterlibatan spiritual yang lebih pragmatis. Mereka tampaknya lebih menyukai Transpersonal (di mana spiritualitas dibangun melalui komunikasi transenden 97 – Pembentukan Rohani dan kosmik) atau Mistik (sebuah pandangan tentang pengalaman kesatuan dari semua hal). Agama tampaknya lebih terkait dengan kepercayaan pada keilahian dan sumber daya, tradisi, adat istiadat, dan praktik-praktik yang muncul sebagai hasil dari kepercayaan tersebut. Agama adalah "kepercayaan dan penghormatan terhadap kekuatan supernatural... terutama ketika diorganisir ke dalam sistem doktrin dan praktik" ("Religion," 2011). Agama biasanya merupakan pengalaman yang dibagikan secara sosial di mana anggota suatu kelompok berafiliasi dengan pengalaman spiritual dan kepercayaan yang sama. Mereka juga mempraktikkan kontrol sosial satu sama lain, menantang dan mendorong satu sama lain dalam kegiatan spiritual bersama. Di sini, keyakinan kelompok menjadi penting dan ditegaskan kembali, dan pemeriksaan terhadap kesetiaan kelompok terhadap keyakinan tersebut merupakan bagian dari pengalaman religius. Dengan definisi dan pemahaman ini, "spiritual" dipandang lebih bersifat pribadi dan individual serta merupakan hak pribadi dari pemikiran dan tindakan seseorang terhadap pandangan dunia pribadi. Pandangan ini mungkin memiliki tuhan atau tidak, dan mungkin juga tidak menumbuhkan keinginan untuk mengubah orang lain ke pandangan spiritual tersebut. Namun, "agama" dan "religius" 98 – Pembentukan Rohani memiliki manifestasi sosial yang lebih kuat dari pemikiran spiritual bersama. Agama memberikan lebih banyak kontrol sosial, mensosialisasikan anggota baru ke dalam ortodoksientah dalam keyakinan atau dalam praktik Wright menuliskan dalam bukunya Simply Christian, "mengikuti Yesus bukan hanya agar kita dapat yakin untuk pergi ke tempat yang lebih baik dari ini setelah kita mati." Lebih lanjut Wright menjelaskan bahwa sifat pengharapan Kristen sedemikian rupa sehingga bermain kembali ke kehidupan sekarang. Wright menjelaskan bahwa spiritualitas adalah fitur kedua dari kehidupan manusia. (Wright: 2021). Willard memberikan pemahaman bahwa spiritualitas hanyalah kualitas holistik kehidupan manusia sebagaimana mestinya, yang intinya adalah hubungan kita dengan Tuhan. Dalam buku The Spirit the Discipleship, mengutip dari Lewis Sperry Chafer menjelaskan bahwa spiritualitas bukanlah pose saleh. Itu bukanlah suatu keniscayaanmu; itu adalah engkau yang tertinggal. Kita tidak bisa menjadi normal secara fisik, mental atau spiritual jika kita menghilangkan faktor vital ini dalam kehidupan manusia. Allah telah menyediakan bahwa sukacita kita akan penuh. Kerohanian adalah yang paling penting dari istilah kita, merujuk pada hubungan dengan Allah melalui Roh Kudus dan pada reses terdalam dari pengalaman manusia. Studi dalam beberapa dekade terakhir telah melacak 99 – Pembentukan Rohani sejarah kata spiritualitas melalui spiritualitas Latin, yang pada gilirannya menerjemahkan pneumatiko dari Bahasa Yunani. Prinsip yang dikutip dalam journal of spiritual formation mengatakan bahwa ada tiga level yang terpisah dalam menjelaskan spirituality). kerohanian Kristen (Christian Dalam level praktis, kerohanian Kristen menunjuk kepada hubungan aktual dan kehidupan kita bersama Tuhan lewat Kristus. Dalam level dinamis, kerohanian Kristen menunjuk kepada formula pengajaran tentang atau bagaimana memahami hubungan yang hidup bersama Allah lewat Kristus. Dan level ketiga, level studi, kerohanian Kristen adalah disiplin akademik yang menyistematikkan penyelidikan baik pengalaman hidup atau formula-formula tentang dinamisnya hubungan dengan Tuhan. Spiritualitas hanyalah kualitas holistik kehidupan manusia sebagaimana mestinya, yang merupakan hubungan kita dengan Tuhan. Mengenai “spiritualitas sejati” Francis Schaeffer secara tepat mengamati: Menyapu keluar dari realitas positif batin, harus ada manifestasi positif secara eksternal. Bukan hanya bahwa kita mati untuk hal-hal tertentu, tetapi kita harus mengasihi Tuhan, kita harus hidup bagi-Nya, kita berada dalam persekutuan dengan-Nya, di saat sejarah sekarang ini. Dan untuk mengasihi sesama, untuk hidup bagi sesama 100 – Pembentukan Rohani sebagai manusia dan untuk berkomunikasi pada tingkat pribadi yang benar dengan sesama, di saat sejarah saat ini. Spiritualitas didefinisikan sebagai kesadaran yang tinggi dari diri sendiri dan keinginan untuk terhubung dengan sumber makna transenden (Riaz & Normore, 2008). Dalam pemeriksaan spiritualitas mereka di tempat kerja, Giacalone dan Jurkiewicz (2003) mendefinisikan spiritualitas kerja sebagai, “Sebuah kerangka nilai-nilai organisasi dibuktikan dalam budaya yang mempromosikan pengalaman karyawan transenden melalui proses kerja, memfasilitasi rasa yang terhubung dengan cara yang memberikan perasaan belas kasih dan sukacita.” Para peneliti berhati-hati untuk membedakan antara dua istilah, tapi banyak orang merasa bahwa konsep tersebut tumpang tindih. Satu studi dari 305 orang dari berbagai latar belakang profesi dan agama menemukan bahwa 74% mengidentifikasi diri mereka sebagai baik dalam spiritual dan religius (Zinnbauer et al., 1997). Perbedaan ini penting untuk studi spiritualitas di tempat kerja dan dalam kepemimpinan, namun, karena bahaya dari pemurtadan dan invasi privasi. Beberapa penulis telah membuat perbedaan antara spiritualitas dan agama (Bhindi & Duignan, 1997; King & Nicol, 1999; Riaz & Normore, 2008). Namun, perbedaan 101 – Pembentukan Rohani antara dua konsep harus dimulai dengan definisi yang jelas tentang spiritualitas. Klenke (2006) menjelaskan: Spiritualitas sering didefinisikan oleh apa yang bukan. Spiritualitas. . . bukan agama. agama yang terorganisasi tampak luar; tergantung pada ritual dan kitab suci; dan cenderung dogmatis, eksklusif, dan sempit didasarkan pada seperangkat diformalkan dari keyakinan dan praktik. Spiritualitas, di sisi lain, melihat ke dalam, cenderung inklusif dan berlaku lebih universal, dan mencakup ekspresi beragam keterkaitan. Spiritualitas dikonseptualisasikan dengan dua dimensiketerhubungan dan transenden. Artinya, hal ini ditandai dengan kebutuhan untuk koneksi sosial dan keinginan untuk terhubung dengan sumber makna transenden (Elkins, Hedstrom, Hugh, Leaf & Saunders, 1988; Fleischman, 1994; Maddock & Fulton, 1998; Riaz & Normore, 2008). Dalam analisis mereka spiritualitas di tempat kerja, Giacalone dan Jurkiewicz (2003) mendefinisikan spiritualitas sebagai, “kerangka nilai-nilai organisasi dibuktikan dalam budaya yang mempromosikan pengalaman karyawan transenden melalui proses kerja, memfasilitasi rasa yang terhubung dengan cara yang memberikan perasaan belas kasih dan sukacita.” Semangatnya adalah apa yang membuat kita menjadi manusia dan individu. Hal ini menentukan siapa kita di 102 – Pembentukan Rohani tempat kerja. Ini tidak terlepas dari diri pribadi. Kita menarik pada nilai-nilai sentral dalam bagaimana berurusan dengan orang-orang setiap hari. Nilai-nilai kita menentukan apakah kita memberi contoh yang baik, mengurus orang, atau melakukan Amanat Agung. Spiritualitas kita membantu berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai kita. Agama ditandai dengan doktrin-doktrin dan keistimewaan tertentu sedangkan spiritualitas adalah generik dan memberikan pemimpin kualitas yang dinamis yang mampu memanfaatkan sistem kepercayaan yang beragam (Riaz & Normore, 2008; Twill & Parayitm, 2007). Fairholm (1997) menegaskan, “Spiritualitas tidak berlaku untuk agama tertentu, meskipun nilai dari beberapa agama dapat menjadi bagian dari fokus spiritual seseorang. Kata lain, spiritualitas adalah lagu yang kita semua nyanyikan. Setiap agama memiliki penyanyi sendiri.” Dengan demikian, spiritualitas diperlukan untuk agama, tetapi agama tidak diperlukan untuk spiritualitas (Fry, 2003). Hal ini juga penting untuk dicatat bahwa agama dan mengembangkan hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi tidak saling eksklusif (Covey, 2004). Bahkan, satusatunya kesamaan mencolok antara spiritualitas dan agama adalah altruistis cinta-tanpa pamrih, pengabdian untuk kepentingan orang lain (Fry, 2003). Semua agama besar di 103 – Pembentukan Rohani dunia sama ketika bertolak dari prinsip yang mendasari ini (Bolman & Deal, 1995; Covey, 2004; Fry, 2003). Dalam agama, prinsip kasih altruistis diwujudkan melalui Perintah Agung; “Memperlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan” (Beckner, 2004; Fry, 2003). Pengalaman Kristen adalah pengalaman menerapkan Alkitab, pengalaman mengizinkan Alkitab membentuk imajinasi dan perasaan dan persepsi dan interpretasi dan tindakan seseorang. Spiritualitas ditandai sebagai keinginan untuk berhubungan dengan sumber makna transenden. Meskipun konsep “transenden” diremehkan dalam literatur (Riaz & Normore, 2008) namun itu merupakan aspek integral dari definisi kepemimpinan spiritual. Kemampuan untuk membangun koneksi dengan sesuatu di luar pengalaman fisik semata memberikan pemimpin kekuatan batin untuk menghadapi situasi sulit. Ini juga mendekati pendekatan universal. Banyak jalan spiritual memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi mengenai nilai-nilai spiritual. Menurut Smith (1992), semua agama memiliki nilai kerendahan hati, amal, kejujuran, dan penglihatan yang sama. Juga, dalam beberapa penelitian terbaru mengenai sifat dan perilaku kepemimpinan lintas budaya yang efektif (Den Hartog et al., 1999), atribut dan 104 – Pembentukan Rohani praktik yang secara luas dikaitkan dengan spiritualitas telah ditemukan memiliki daya tarik global. Lebih dari separuh atribut pemimpin yang disahkan secara universal dapat dianggap terkait dengan spiritualitas, nilai, dan etika: menguntungkan, pemecah dapat menguntungkan, masalah dipercaya, mendorong motivasi, yang adil, saling saling komunikatif, berorientasi pada keunggulan, membangun kepercayaan, jujur, dinamis, pembangun tim, motivasi, dan handal. Kumpulan atribut ini menunjukkan bahwa pengikut secara universal mencari pemimpin dengan integritas yang memedulikan hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, kualitas yang memiliki variasi respons yang luas berlaku terutama untuk perilaku sosial atau budaya daripada perilaku spiritual. Para peneliti menemukan variasi yang luas pada sensitivitas, ambisi, independen, pengambilan risiko, otonomi, penghindaran konflik, keteledoran, ketepatan, elitismu, individualisme, dan formalitas, serta kualitas lainnya (Den Hartog et al., 1999). Namun, ada kesepakatan luas mengenai kualitas spiritual pemimpin yang tidak efektif dan efektif. Hampir semua kualitas negatif universal memiliki dimensi spiritual: kejam, asosial, mudah tersinggung, penyendiri, egosentris, tidak kooperatif, diktatorial (Den Hartog et al., 1999). 105 – Pembentukan Rohani Kualitas ini berlawanan dengan nilai spiritual integritas dan kerendahan hati, dan hal itu tidak sesuai dengan praktik spiritual untuk memperlakukan orang lain dengan rasa hormat, belas kasih, dan penghargaan. Penelitian antar budaya ini menunjukkan bahwa teori kepemimpinan spiritual dapat melampaui batasan situasi atau budaya tertentu. Sebaliknya, teori kontingensi memberikan panduan hanya untuk skenario tertentu. Dalam memeriksa nilai dan praktik spiritual, ada potensi teori kepemimpinan efektif yang benar-benar dapat melayani dunia yang bergerak menuju globalisasi, sebuah teori yang berlaku lintas budaya. Dengan demikian, adalah penting memahami perbedaan antara religi dan spirituality dalam literatur socialscientific dan psychotherapy. Psychologis, Peter Hill dan rekan-rekan-rekannya memberikan review yang luar biasa tentang perbedaan ini. Kata “religion” datang dari akar kata bahasa Latin religio yang berkonotasi “a bond between humanity and some greater-than-human power.” Pakar psychology religion David Wulff telah melacak sejarah dari arti “religion” dan berargumentasi bahwa secara historis berimplikasi baik pribadi, dinamika kualitas pengalaman keagamaan dan dimensi-dimensi institusional keagamaan atau sosial. Lebih lanjut dikatakan Agama paling baik dipahami sebagai konstruksi multidimensi yang dapat mencakup 106 – Pembentukan Rohani perhatian utama, identitas sosial, dan komunal, ritual, dan mediator simbolis ruang dan pengalaman suci, bentuk teks dan media suci serta praktik moral dan spiritual. Dengan pemahaman "spiritual" dan "religius" ini, kita sekarang dapat melihat perbedaan yang dibawa kedua bidang ini ke kepemimpinan. Marinho (2013) telah mengatur perbedaan dengan baik, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Menggunakan ide-ide dari bukunya (Marinho & Oliveira, 2005), kontras Marinho (2013) sebagian besar berfokus pada perbedaan struktural dan otoritatif antara kedua jenis kepemimpinan. Dia membahas kekuatan Paus Katolik Roma di dunia modern sebagai menunjukkan kepemimpinan agama. Dia mencatat bahwa kepemimpinan agama itu penting tetapi berbeda dari kepemimpinan spiritual karena yang terakhir lebih menyebar dan kurang terikat pada kapasitas resmi. Sementara seorang pemimpin agama dapat memanifestasikan kepemimpinan spiritual, seorang pemimpin spiritual mungkin tidak harus memiliki kepemimpinan agama dalam kapasitas resmi apa pun. Pandangan ini sangat membantu. Sementara Marinho (2013) tidak menyajikan pandangan negatif tentang kepemimpinan agama, ia mengakui hal-hal berikut: Mungkin ada beberapa tumpang tindih antara dua perspektif yang berbeda, tetapi sifat dari kedua pendekatan kepemimpinan jelas berbeda satu sama lain, dan konsep ini 107 – Pembentukan Rohani dapat diterapkan pada setiap pemimpin lembaga keagamaan mana pun. Refleksi ini dapat mengambil banyak arah yang berbeda, tetapi saya harap ini dapat membawa beberapa ide yang menggugah pikiran. (Marinho, 2013) Tabel 1. Kontras Marinho (2013) Antara Kepemimpinan Religius dan Spiritual Kepemimpinan Agama Tergantung posisinya Dipaksakan oleh hukum dan peraturan Dikendalikan oleh institusi Diberikan oleh masyarakat Fokus pada tugas Prioritas pada otoritas Ditopang oleh hierarki Kepemimpinan Spiritual Terlepas dari posisi apa pun Diterima dengan pilihan bebas Dikendalikan oleh prinsip Diberikan dengan contoh Fokus pada hubungan Prioritas untuk layanan Ditopang oleh inspirasi Apa yang mungkin tidak ditekankan dengan jelas dalam model ini adalah peran otoritas ilahi dan otoritas tulisan suci atau beberapa proses komunitas dalam mengotentikasi para pemimpin. Kepemimpinan, menurut definisi, adalah peran pengaruh. Namun, kepemimpinan agama dapat memanifestasikan keaslian itu dalam kepemimpinan melalui kesetiaan pada 108 – Pembentukan Rohani proses yang lebih resmi atau diterima secara organisasi. Kepemimpinan spiritual, di sisi lain, dapat menerima otentikasi melalui bentuk-bentuk kepemimpinan dan pengikut yang lebih karismatik dan visioner. Kepemimpinan spiritual lebih banyak disahkan dari pengikut. Menariknya, keduanya dapat diuji dengan cara otentikasi ketiga: keselarasannya dengan prinsip-prinsip tulisan suci. "Saudara-saudaraku yang terkasih, janganlah percaya kepada setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu untuk melihat apakah mereka berasal dari Allah, karena banyak nabi palsu telah pergi ke dunia" (1 Yohanes 4: 1, NIV). Kebutuhan untuk "menguji para pemimpin" ditekankan dalam bagian ini. Ini adalah panggilan untuk melihat apakah mereka sesuai dengan karakter dan tujuan Allah. Apakah mereka dipilih oleh tradisi atau proses organisasi, atau dipilih sendiri, atau dipromosikan oleh orang lain, tindakan dan keyakinan mereka harus diuji oleh referensi otoritatif. Bagi orang Kristen, titik referensi itu adalah Alkitab. Dalam mengontraskan, hal dan ini kita telah mengeksplorasi mendefinisikan, hubungan antara kepemimpinan spiritual dan agama. Kami merangkul fokus baru ini pada kerohanian dalam kepemimpinan ketika itu didasarkan pada asas-asas kitab suci. Kami menyuarakan keprihatinan tentang praktik beberapa 109 – Pembentukan Rohani orang yang menyarankan penolakan besar-besaran terhadap kepemimpinan agama. Kami percaya beberapa karakteristik dalam kepemimpinan agama, ketika selaras dengan Alkitab, memberikan kepercayaan, praktik, dan tradisi yang bermanfaat yang mendukung dan memelihara kesejahteraan individu dan kelompok. Spiritualitas dalam kepemimpinan adalah fokus penting bagi para sarjana dan praktisi kepemimpinan. 110 – Pembentukan Rohani IV SPIRITUALITAS DAN PERGURUAN TINGGI KRISTEN Perguruan tinggi Kristen memainkan peran yang sangat penting dalam mempromosikan dan membentuk spiritualitas. Kombinasi antara pendidikan tinggi dan spiritualitas Kristen menciptakan lingkungan di mana mahasiswa dapat tumbuh secara holistik, mencapai keberhasilan akademis, dan mengembangkan iman mereka. Perguruan tinggi Kristen berakar pada nilai-nilai spiritualitas yang berasal dari ajaran Alkitab dan tradisi Kristen. Landasan spiritualitas ini membentuk fondasi bagi seluruh kegiatan dan pendekatan pendidikan di institusi tersebut. Spiritualitas di perguruan tinggi Kristen memiliki fokus pada pengembangan karakter dan moral. Mahasiswa diajak untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip moral Kristen dalam kehidupan sehari-hari dan pengambilan keputusan. Institusi-institusi ini memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mendalami dan menghayati nilai-nilai 111 – Pembentukan Rohani Kristen, termasuk kasih, kerendahan hati, pelayanan kepada sesama, dan keadilan sosial. A. Sejarah Spiritual Formation dalam Pendidikan Sekolah Alexandria, lembaga pendidikan tinggi Kristen pertama, didirikan pada pertengahan abad ke-2 Masehi di Alexandria, Mesir. Di bawah para pemimpinnya yang paling awal dikenal (Pantaenus, Clement, dan Origenes), itu menjadi pusat terkemuka metode alegoris interpretasi aletik, mendukung pemulihan hubungan antara budaya Yunani dan iman Kristen, dan berusaha untuk menegaskan ajaran Kristen ortodoks terhadap pandangan heterodoks di era fluks doktrinal (Britannica, 2023). Sekolah Alexandria meninggalkan warisan abadi, menandai dimulainya pendidikan teologi formal yang terus membentuk keilmuan dan kepemimpinan Kristen di berbagai denominasi di seluruh dunia. Kelahiran lembaga pendidikan tinggi teologi pertama menandai tonggak penting dalam perkembangan intelektual dan spiritual agama Kristen. Sekolah Alexandria membuka jalan bagi pertumbuhan pendidikan teologi, berkontribusi pada kekayaan pemikiran dan keilmuan Kristen sepanjang sejarah. 112 – Pembentukan Rohani Sementara Sekolah Antiokhia, lembaga teologi Kristen di Suriah, secara tradisional didirikan sekitar tahun 200 M, yang menekankan interpretasi literal Alkitab dan kelengkapan kemanusiaan Kristus, bertentangan dengan Sekolah Alexandria, yang menekankan interpretasi alegoris Alkitab dan menekankan keilahian Kristus. Berkembang pada abad ke-4 hingga ke-6, Sekolah Antiokhia menghasilkan beberapa teolog penting, termasuk Diodoros dari Tarsus, Theodore dari Mopsuestia, St. Yohanes Krisostomus, dan Theodoret dari Cyrrhus (Britannica, 2023). Tempat penting untuk memulai diskusi tentang pembentukan spiritual di perguruan tinggi adalah dengan awal dari perguruan tinggi itu sendiri. Ada banyak hal dalam sejarah skolastik Kristen yang dapat membantu menerangi visi, semangat, dan tujuan pendidikan tinggi berbasis agama saat ini. Konsep perguruan tinggi modern dimulai di gereja di Paris pada abad kesebelas dengan pertumbuhan pesat universitas yang terjadi di seluruh Eropa pada abad kedua belas; Namun, tidak sampai abad ketiga belas bahwa universitas menjadi pusat studi utama (Gonzalez, 1984). Skolastik Kristen, bagaimanapun, tidak dimulai dengan dimulainya universitas modern pada abad kesebelas. Sebaliknya itu dimulai di gereja pada awal abad kedua dan 113 – Pembentukan Rohani ketiga dengan munculnya sekolah-sekolah kateketik (Gonzalez, 1984). Pendidikan telah menjadi bagian penting dari kehidupan Kristen dan salah satu yang telah diperjuangkan oleh para pemimpin agama, dimulai dengan para bapa gereja mula-mula dan berlanjut hingga hari ini (Holmes, 2001). Sekolah kateketik yang paling terkenal di gereja mulamula berada di Kartago, di bawah Tertulianus, dan di Aleksandria, di bawah Origenes. Tujuan dari sekolah-sekolah ini adalah untuk mengambil orang-orang Kristen muda dari daerah tersebut dan melatih mereka dalam teologi dengan belajar satu-satu dengan teolog utama sekolah. Para siswa akan belajar teologi, sastra, dan filsafat, tetapi semuanya dipelajari untuk satu tujuan yang sama — peningkatan jiwa (Holmes, 2001). Fungsi utama pendidikan ini berlanjut ke skolastisisme abad pertengahan dan awal universitas modern, di mana subjek kebenaran menjadi diperdebatkan secara serius (Holmes, 2001). Fungsi pendidikan dalam sistem ini membantu diberikan siswa Tuhan mengembangkan untuk kemampuan yang kebenaran, yang mengetahui merupakan titik paling terhormat dari spiritual formation (Holmes, 2001). 114 – Pembentukan Rohani Humanis Kristen John Milton, menulis pada abad ketujuh belas, membuat perbedaan penting dalam tujuan pendidikan ini. Milton berpendapat bahwa pembelajaran dan pembentukan spiritual harus mengarah tidak hanya pada kehidupan kontemplasi, tetapi juga harus mengarah pada kehidupan tindakan sosial. Tujuan belajar, bagi Milton, adalah kebebasan untuk mempelajari semua orang tentang Tuhan, manusia, dan dunia untuk menjadi hamba Tuhan dan kebenaran (Holmes, 2001). Ketiga periode dalam sejarah pendidikan Kristen ini (yaitu, sekolah katekese, skolastik abad pertengahan, dan universitas modern) terbukti menjadi periode formatif yang mempengaruhi lebih dari sekadar orang-orang pada zaman mereka, tetapi juga kehidupan orang Kristen selama berabadabad. Benang merah menghubungkan persepsi dari ketiga era pendidikan ini, yaitu bahwa lembaga pendidikan menginvestasikan semua yang mereka bisa untuk membantu siswa menjadi berkembang dengan baik dalam iman mereka (Holmes, 2001). Spiritual formation adalah elemen penentu pendidikan tinggi Kristen. Formasi spiritual adalah "respons berkelanjutan kita terhadap realitas kasih karunia Allah yang membentuk kita menjadi serupa dengan Yesus Kristus, melalui karya Roh Kudus, dalam komunitas iman, demi 115 – Pembentukan Rohani dunia" (Greenman, 2015). Perguruan Tinggi Kristen tidak hanya tertarik untuk mempromosikan pengembangan akademik siswa, tetapi juga pengembangan rohani siswa. Tujuan ganda ini dijelaskan oleh Dockery (2008) menggunakan frasa Latin "religio et eruditio", yang menegaskan "cinta kepada Tuhan dan cinta untuk belajar, pentingnya pengabdian dan pentingnya pengajaran." Moto ini sama-sama mewakili institusi pendidikan tinggi Kristen modern dalam menjalin dua tujuan iman dan pembelajaran, dengan penekanan khusus pada bagaimana iman adalah dasar untuk belajar. Secara historis, pembentukan spiritual telah menjadi hasil yang diinginkan untuk institusi pendidikan tinggi dan tradisi komitmen iman ini dilanjutkan dalam pendidikan tinggi Kristen. Pendidikan Tinggi Kristen mengandung banyak prasuposisi teologis yang telah diwariskan sepanjang sejarah gereja. Agustinus adalah tokoh berpengaruh dalam sejarah gereja, menyumbangkan epistemologi iluminasi ilahi. Agustinus menggambarkan pendekatan ini sebagai "iman yang mencari pemahaman" yang mewakili bagaimana iman dipandang sebagai prasyarat untuk pengejaran akademis (Holmes, 2001). Epistemologi mengakui peran Tuhan dalam pembelajaran ini tetap menjadi bagian integral dari pendidikan tinggi Kristen, karena "itu berarti bahwa 116 – Pembentukan Rohani kebenaran pada akhirnya berasal dari Tuhan, tidak peduli apa artinya kebenaran itu ditemukan" (Holmes, 2001). Pendidikan Tinggi Kristen mengandaikan elemen inti teologi sebagai dasar untuk pendidikan tinggi. Ini mencontohkan keterkaitan teologi dan pembelajaran, bagaimana pandangan teologis Kristen tentang Tuhan memengaruhi pendekatan mereka terhadap pembelajaran dalam pendidikan tinggi Kristen. Misi dan nilai-nilai Perguruan Tinggi Kristen secara historis tercermin dalam aspek praktis pendidikan mahasiswa seperti struktur dan harapan. Perguruan Tinggi Kristen telah mendorong mahasiswa untuk mengambil mata kuliah teologi dan berpartisipasi dalam program spiritual formation dalam pemenuhan aspek iman dari misi sekolah. Ini umum bahkan di antara lembaga-lembaga publik, mirip dengan mata kuliah pendidikan umum yang diperlukan di universitas negeri modern. Pendidikan teologi memiliki sejarah yang kaya yang dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno. Perkembangan pendidikan teologi terkait erat dengan pertumbuhan dan perluasan tradisi agama, khususnya dalam agama Kristen. Pada abad-abad awal era Kristen, pendidikan teologi sering bersifat informal dan dilakukan dalam konteks komunitas Kristen. Para pemimpin dan guru menyediakan petunjuk dalam tulisan suci, ajaran, dan kehidupan Kristen. 117 – Pembentukan Rohani Ketika agama Kristen menjadi terkenal, struktur pendidikan formal muncul. Sekolah-sekolah kateketik didirikan untuk mengajar orang-orang yang baru bertobat dalam dasar-dasar iman Kristen. Sekolah-sekolah ini memainkan peran penting dalam pembentukan teologis orangorang percaya. Dengan berdirinya sekolah-sekolah katedral di Eropa abad pertengahan, pendidikan teologi menjadi lebih terorganisir. Sekolah-sekolah ini, yang terkait dengan katedral dan biara, bertujuan untuk mendidik pendeta dan merupakan pusat kehidupan intelektual saat itu. Pendirian universitas pada abad ke-12, seperti Universitas Bologna dan Universitas Paris, menandai perkembangan yang signifikan dalam pendidikan teologi. Teologi menjadi salah satu disiplin dasar, dan fakultas teologi didirikan di dalam universitas-universitas ini. Reformasi Protestan pada abad ke-16 membawa perubahan dalam pendidikan teologi. Para reformis seperti Martin Luther dan John Calvin menekankan perlunya pendeta untuk dididik dalam teologi, yang mengarah pada pendirian seminari Protestan. Menanggapi Reformasi, Gereja Katolik memulai reformasi melalui Konsili Trente. Periode ini menyaksikan penguatan pendidikan seminari bagi klerus Katolik. Perguruan tinggi adalah salah satu pusat pendidikan teologis. Diasumsikan bahwa pemahaman alkitabiah dan 118 – Pembentukan Rohani kontekstual tentang sifat dan pelayanan gereja mendukung tujuan semua pendidikan teologis. Namun, kita mungkin harus mengakui bahwa pemahaman yang kabur tentang pelayanan, perkembangan dalam pendidikan teologi yang lebih tinggi, profesionalisme dalam pelatihan, afiliasi dengan universitas, dan perubahan dalam kehidupan kongregasi dan paroki telah mengurangi hubungan tradisional antara gereja/lembaga misi dan perguruan tinggi. Para pemimpin gereja dalam keprihatinan mereka yang semakin meningkat tentang praktik pendidikan teologis saat ini meratapi bahwa kualitas pelatihan telah menurun karena institusi teologis menjadi berorientasi pada akademis murni. Banyak lulusan merasa tidak siap menghadapi tantangan di bidang ketenagakerjaan, karena isi dan metode pelatihan mengabaikan dimensi praktis pendidikan teologis. Kritikus membebankan seminari dengan perhatian yang berlebihan terhadap teori selama latihan, sementara para pemimpin seminari terus menegaskan bahwa mereka memberikan pelatihan berkualitas kepada mahasiswa dengan landasan biblika/teologis yang solid untuk pelayanan. Secara historis, pendidikan teologis telah identik dengan pelatihan pendeta, dipandang sebagai kader yang terpisah secara khusus di gereja. Namun, hal ini telah menjadi tugas yang lebih kompleks, beragam dan sering bermasalah 119 – Pembentukan Rohani baik bagi gereja maupun seminari untuk mendefinisikan 'pendidikan teologis' di abad kedua puluh satu. Pertanyaan yang sering diajukan adalah: Apa itu pendidikan teologis? Apa tujuan pendidikan teologis? Apakah pelatihan teologis saat ini memberi perhatian yang memadai terhadap pembentukan gereja? Apakah kurikulum sekarang dan metode pelatihan untuk berbagai program pelatihan teologis memerlukan revisi dalam hal pembentukan pelayanan? Tidak diragukan lagi, perdebatan intensif diadakan mengenai tujuan dan tujuan pendidikan teologis di seluruh dunia. Timbul minat serius dari para pemimpin gereja dan pendidik teologis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sejak tahun 1980-an. Mengacu pada konteks Amerika Utara, Carroll menyatakan, “seminari teologi terlibat dalam persiapan laki-laki dan perempuan untuk kepemimpinan religius, yang biasanya sebagai imam, pendeta atau rabi.” Saat membahas sifat umum Kolese Alkitab di Inggris, Tidball mengatakan, “Perguruan Tinggi Kristen telah sangat memperhatikan pelatihan para pemimpin, atau mereka yang dipanggil untuk bekerja dalam kapasitas penuh-waktu, bukan kepada pribadi setiap orang.” Penelitian ekstensif Bernhard Ott mendukung hal ini, dengan mengatakan, “Perguruan Tinggi Kristen gerakan evangelis di benua Eropa didirikan dengan tujuan melatih anak-anak muda, orang-orang yang 120 – Pembentukan Rohani berkomitmen untuk pekerjaan misi di luar negeri atau pelayanan gereja penuh waktu.” Semua aspek pendidikan Perguruan Tinggi Kristen awal diarahkan pada dimensi misi dan karya pastoral penuh waktu dari pelayanan gereja. Seiring tuntutan profesional untuk pendeta berpendidikan meningkat, pendidikan teologis bergeser dari gereja-gereja yang dikuasai gereja ke universitas berafiliasi independen, antar denominasi dan non-denominasi. Institusi yang dimulai oleh gereja dan uskup menawarkan ‘model pengakuan’ untuk pendidikan teologis dan mulai mencari validasi publik untuk lulusan mereka dalam perjalanan waktu. Pergeseran seperti itu, meskipun pada tingkat yang berbeda-beda, terbukti dalam pendidikan teologis di seluruh dunia. Sebagai hasil dari perubahan tujuan pendirian dan tujuan pendidikan teologis, ketegangan juga muncul. Hal ini penting untuk dicatat bagi pembentukan identitas pelayanan dalam konseptualisasi spiritual formation. Westerhoff (1982) menyatakan bahwa kelemahan utama dari pendidikan teologi adalah penekanan pada pengetahuan dan keterampilan bukan pada pengembangan spiritual dari keimaman dan pembentukan karakter keimaman. Dia berpendapat demikian dalam status sebagai pendeta. Dalam mempertimbangkan tantangan untuk 121 – Pembentukan Rohani mengembangkan pandangan spiritual peserta didik Perguruan Tinggi Kristen (meski dibentuk atau tidak, peserta didik demikian mungkin tampak dalam struktur denominasi mereka), harus diakui bahwa siswa secara bersamaan telah dibentuk oleh pribadi, budaya dan spiritual lainnya. Mahasiswa yang masuk lembaga teologi berakar dalam tradisi keluarga dan lokal, subkultur regional. Mereka telah dipengaruhi oleh nilai-nilai dari iklan dan budaya populer dan telah diinternalisasi pandangan tentang ras, jenis kelamin, kelas sosial dan ekonomi dan keragaman agama. Para pendidik teologi telah mencatat bahwa mahasiswa dapat menolak atau mengurungkan niat mereka kepada dosen karena spiritual formation dan profesional mereka yang bertentangan dengan keyakinan dan tradisi mereka. (Foster et. Al. 2006). Kemungkinan hal ini menyinggung pelatihan dan kompetensi dari orang-orang yang bertanggung jawab untuk “membentuk”, dan menimbulkan masalah hubungan hierarki dan penyalahgunaan potensi kekuasaan. Sejumlah penelitian mencoba menganalisis ranah pembelajaran dan salah satu yang paling banyak dikenal dan digunakan adalah taksonomi yang dikembangkan oleh Bloom, Krathwohl dan Masia. Ketiga taksonomi tujuan pendidikan ini - yang sering disebut Taksonomi Bloom - adalah klasifikasi dari berbagai tujuan dan keterampilan yang ditetapkan oleh 122 – Pembentukan Rohani pendidik bagi peserta didik. Tujuan pendidikan teologi, seperti halnya pendidikan profesional, mencakup aspek nonkognitif tertentu dalam pembelajaran, yang dikategorikan sebagai ‘ranah afektif dan psiko-motor’ dalam penelitian pendidikan. Menurut Ferris, sejumlah besar seminari dan agen akreditasi belum benar-benar memahami perubahan radikal yang dibutuhkan untuk pembentukan yang efektif. Banyak dari yang dianggap ‘formasi’ dalam pendidikan teologi berkaitan dengan fitur pembelajaran ini, yang biasanya sulit untuk dijelaskan. Secara umum, pendidik teologis dan lembaga akreditasi telah mengikuti taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin Bloom. Mereka bersifat kognitif - cakrawala dan pengetahuan - sebagai-proses, sikap afektif, perasaan, emosi dan keterampilan psikomotor/domain perilaku yang saling terkait. Sebagai hasil dari Konsili Vatikan II dan perkembangan selanjutnya dalam pendidikan teologi, di dalam bagian Spiritual Development, minat khusus telah terbukti dalam “mengembangkan peserta didik ke dalam tingkat kematangan manusia yang tepat.” Ini akan menunjukkan dirinya dalam stabilitas karakter. Kemampuan untuk mengambil keputusan, penilaian yang baik atas orang dan kejadian, pengendalian diri, kekuatan karakter, ketulusan, cinta, keadilan, kesetiaan, sopan santun, kerendahan hati, 123 – Pembentukan Rohani kasih dan amal. Untuk itu, disiplin kehidupan seminari menjadi bagian persiapan dan pelatihan manusia untuk masa depan seiring dengan disiplinnya, siswa secara bertahap mendapatkan penguasaan diri dan belajar berhubungan dengan orang lain. Hal ini mengakibatkan beberapa kasus dalam formasi model empat kali lipat yang membagi domain afektif menjadi dua dengan membedakan antara formasi pribadi dan spiritual. Susan Graham mengamati bahwa “keseluruhan tujuan pendidikan teologis dapat dilihat sebagai gabungan empat tujuan; Pembelajaran teologis, persiapan praktis untuk pelayanan, pembentukan spiritual dan pelayanan dan pertumbuhan dalam kedewasaan pribadi.” Namun, lembaga pendidikan teologi non-Katolik dan lembaga akreditasi, umumnya mengikuti model tiga kali lipat dari yang tradisional. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, Perguruan Tinggi Kristen perlu menelusuri fondasi sejarah mereka dengan kebutuhan gereja-gereja bagi para pemimpin yang terpelajar. Model awal pendidikan teologis lebih praktis daripada intelektual dan lebih dipengaruhi oleh pietisme daripada metode keilmuan ilmiah dengan perhatian untuk mempersiapkan orang-orang untuk pelayanan revivalis. Seiring bertambahnya jumlah gereja dengan tantangan baru di 124 – Pembentukan Rohani paruh kedua abad ke-20, gagasan tentang kepemimpinan profesional dipeluk oleh gereja-gereja dan mereka semakin menekankan pada pelatihan profesional. Salah satu kritik serius terhadap pendidikan teologi kontemporer yang menyebabkan kemunculan kesenjangan dalam kaitannya dengan pelayanan adalah pada fungsionalisme pendidikan atau paradigma pendeta. B. Pedagogi Pendidikan Kristen Tantangan pedagogis lain adalah tugas membantu banyak mahasiswa untuk mengatasi kenaifan, praktis, sentimental atau fundamentalis kesalehan mereka pada saat mereka masuk Perguruan Tinggi Kristen menjadi apa yang disebut oleh filsuf agama Paul Ricoeur (1980) “kenaifan kedua”. Diharapkan mahasiswa “bergerak dari seorang yang naif, tidak perlu lagi meragukan keyakinan iman yang kritis.” Seharusnya memiliki pemahaman eksistensialis mereka dari tradisi yang diperluas dan diperdalam. Mahasiswa teologi sering menganggap bahwa dosen mereka menjauhkan mereka dari kesalehan mereka. Mereka merespons baik dengan membiarkan hal ini terjadi, dan hanyut ke semacam sinisme, atau dengan membangun cangkang pelindung di sekitar iman mereka sehingga mencegah pendidikan teologi dari penetrasi keyakinan dan praktik mereka sendiri. 125 – Pembentukan Rohani Selanjutnya pendidik teologis merasa sulit untuk membawa mahasiswa membumi dalam tradisi agama untuk benar-benar “formatif” dalam menghadapi nilai-nilai budaya dan sosial yang saling bertentangan, dan, pada saat yang sama, melibatkan mereka untuk merefleksikan kebenaran di tradisi agama lain (Foster et. al. 2006). Farley mengkritik paradigma profesional atau pendeta dalam pendidikan teologi pertama di buku ‘Theologia’, adalah seperti di bawah ini • Pembentukan pribadi biasanya hilang-menjadi cokurikuler. • Pendidikan gerejani tidak dilakukan-pendidikan teologis menjadi individualistis dan afiliasi gereja dan hubungan telah diremehkan. • Sosio-politik turun-aktivitas budaya tidak memiliki dasar untuk berdiri. (Tanpa komitmen gerejani yang umum, keterlibatan etis tetap tidak berakar.). • Teori dan praktik tetap terbagi, seminari cenderung menekankan satu hal yang merugikan orang lain. Niebuhr, Williams dan Gustafson memperhatikan peningkatan ketelitian dalam standar pendidikan teologi dalam kualifikasi saringan masuk, kebutuhan dosen, perpustakaan dan sumber belajar; Namun, mereka khawatir bahwa pengajaran teologi yang efektif sedang dirusak oleh meningkatnya beban mahasiswa dan tugas administratif; 126 – Pembentukan Rohani ketegangan kurikuler; tuntutan denominasi; gereja dan lembaga lainnya; dan kesulitan keuangan yang sering menyebabkan sekolah untuk “menambah penghasilan dengan kegiatan di luar sekolah.” Visi pendidikan teologis profesional menciptakan beberapa area ketegangan bagi institusi pendidikan teologis karena mereka merasa sulit untuk mempertahankan hubungan efektif antara keilmuan dan kesalehan. Spesialisasi akademis dan kebutuhan pelayanan multifaset dari gereja, pembelajaran teologis dan keragaman universitas. Hal ini membuat para pemimpin seminari menyadari bahwa mereka “harus berurusan dengan sebuah jurang yang memisahkan dua komunitas tanggung jawab, universitas dan gereja, sama seperti mereka harus menghadapi pembagian yang memisahkan teori dan praktik.” Mengesampingkan tujuan bersama yang luas ini, tingkat keterbukaan dilihat sebagai pendekatan keyakinan yang diinginkan dan praktik bervariasi “orang lain” dari denominasi ke denominasi dan lembaga-lembaga teologis yang berbeda. Model pendidikan yang dilembagakan sering kali lebih memperhatikan teori pengetahuan dan oleh karena itu dianggap lebih unggul sedangkan model non-formal ditangani dengan pelatihan dan teknik dan oleh karena itu dianggap inferior. 127 – Pembentukan Rohani Dengan kata lain, kelembagaan, pendidikan akademis teologi bisa menjadi tidak efisien dalam melayani kebutuhankebutuhan pelayanan gereja multi-segi. Sebagai hasil institusionalisme, Perguruan Tinggi Teologi yang didirikan dengan tujuan tunggal menyimpang dari visi dan pemimpin tersebut mulai bekerja untuk gerakan tersebut dengan alasan selain hanya memenuhi tujuan utamanya. Juga perasaan ‘kelas elite’ menjadi lebih jelas seperti yang oleh Heywood disebut “sikap superioritas.” Struktur, peran, dan formalitas kantor muncul untuk memberi pinjaman pada stabilitas institusi. Ini membuka pintu bagi birokrasi, dengan perhatian lebih untuk pemeliharaan dan perlindungan kepentingan pribadi daripada mencapai tujuan pendirian dan visi institusi. Kepemimpinan menjadi pemalu dan lesu daripada vital dan progresif. Pada saat itu, alternatif lembaga pendidikan penyuluhan untuk pelatihan teologis disarankan sebagai pilihan yang tepat oleh banyak orang. Banyak institusi teologi saat ini tampil sebagai institusi yang hanya peduli terhadap keunggulan akademis. Dalam proses akreditasi, universitas kadang-kadang dilibatkan tidak hanya di dalam penerimaan, ujian, dan pengangkatan fakultas tetapi juga dalam isi setiap program. Cheesman merangkum argumen melawan akreditasi universitas / nasional pendidikan teologi evangelis, 128 – Pembentukan Rohani 1. Ini memperkuat elitis di gereja 2. Ada tuduhan kompromi karena kebutuhan untuk menyeimbangkan kepentingan dua jenis pendidikan yang berbeda. 3. Mereka yang berada di luar gereja seharusnya tidak membuat penilaian mengenai bagaimana orang-orang dilatih untuk pelayanan Kristen. 4. Dalam situasi validasi, atau hubungan perguruan tinggi / universitas lainnya, pasti ada sedikit perubahan sikap universitas yang bertentangan dengan pekerjaan pelatihan pelayanan Kristen. 5. Sebuah produk dari paradigma akademis universitas adalah bahwa isi dan metode pendidikan didefinisikan oleh struktur internal disiplin karena telah berkembang sepanjang sejarah. Cheesman juga telah mengidentifikasi keuntungan potensial dari Perguruan Tinggi Teologi dalam mengadopsi hubungan kerja dengan universitas seperti di bawah ini 1. Hal ini membantu untuk menghindari obskurantisme. 2. Keterlibatan di akademi memiliki efek terbuka terhadap sesama orang Kristen. 3. Hubungan dengan akademi sangat sesuai dengan pandangan teologi yang terbuka, yang mendekati tugas 129 – Pembentukan Rohani misi daripada pengerasan yang terkait dengan definisi iman 4. Gereja-gereja dan perguruan tinggi mereka memiliki hak tertentu untuk dilayani oleh masyarakat, di mana hal itu mungkin dan bermanfaat. 5. Akreditasi universitas dapat dianggap sebagai bentuk kontekstualisasi. 6. Universitas terkait Perguruan Tinggi Kristen memiliki kesempatan unik untuk menumbuhkan ekumenisme. Para rasul hanya memiliki firman Allah, Roh Kudus dan doa sebagai sumber daya untuk pendidikan Kristen. Mereka terlibat dalam mengajar dan dalam doa bukan hanya metode mempertimbangkan keselamatan dari Tuhan. Teologi Alkitab adalah landasan pendidikan Kristen. Alkitab adalah standar untuk pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan dan isi pendidikan Kristen. Pendidikan teologi tidak sempit hanya pada firman Tuhan tetapi juga menempatkan bidang ilmu lain yang menjadi pertimbangan sebagaimana terungkap dari Kitab Suci. Dengan kata lain, dalam hal apa pun, orang akan belajar tentang Tuhan mengenai apa yang Dia ungkapkan tentang diri-Nya dalam Kitab Suci. (Ulangan 28:28). Pendidikan teologi tidak menetapkan untuk mencari Tuhan dari luar, tetapi bertolak untuk mencari apa yang Allah 130 – Pembentukan Rohani telah nyatakan dalam firman-Nya. Pendidikan teologi demikian dapat dipahami sebagai sebuah program yang dirancang untuk mengubah dan melatih mereka yang dipanggil oleh Allah untuk pelayanan. Pendidikan teologi tidak dirancang untuk melepaskan diri teolog dari masyarakat tetapi untuk memberikan kontribusi secara rohani kepada masyarakat. Tujuan dari pendidikan teologi adalah memimpin orang kepada konsep Allah dalam Alkitab sebagai Pencipta, Tuhan, dan Penebus. Tujuan pendidikan teologi adalah untuk mengungkapkan konsep Alkitabiah mengenai manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi jatuh ke dalam dosa dan membutuhkan keselamatan. Pendidikan teologi harus mengarahkan manusia pada konsep Alkitabiah tentang keselamatan yang hanya dapat diperoleh dengan kasih karunia. Pendidikan Kristen berpusat pada Kristus atau pendidikan dilakukan berpusat pada Tuhan di rumah-rumah, gereja, atau sekolah. Pendidikan Kristen, seperti Sara Little tegaskan, “adalah hamba dan bukan tuan dari wahyu.” Wahyu Alkitab menentukan tugas pendidikan dan memandu proses pendidikan karena fungsi Alkitab ialah sebagai sumber utama dan kriteria satu-satunya tanpa salah mengenai kebenaran, semua fakta, anggapan dan opini harus diuji oleh 131 – Pembentukan Rohani Firman Allah. Pemahaman tentang sifat wahyu Alkitab memiliki implikasi yang sangat besar bagi Pendidikan Kristen. Menurut John Wade, dalam bukunya “Pengantar Pendidikan Kristen”, Wahyu Alkitab menetapkan standar dan memberikan dasar untuk semua pendidikan Kristen, termasuk baik isi yang diajarkan dan metode yang diajarkan. Semua faktor pendidikan harus sesuai dengan realitas Alkitab. Karena pendidikan Kristen harus sesuai dengan apa yang kita ajarkan dan bagaimana kita mengajarkannya. Esai ini akan seperti mengutip pentingnya Alkitab untuk pembelajaran dari Buku Kent Hodge: Pemahaman Eksegesis kitab suci, paparan ajaran pelayanan, studi pribadi, aplikasi untuk kehidupan sehari-hari, mentoring dan Roh Kudus. Hulbart menguraikan lima perbedaan kontras pendidikan Kristen dengan pendidikan sekuler : 1. Tanggung Jawab kepada Allah. Kita harus menanggapi perintah Allah sebagai yang terutama, bukan kepada pasar ide atau sistem nilai masyarakat. 2. Signifikansi Abadi. “Hasil mengajar kita, apakah baik atau biasa-biasa saja, adalah permanen.” 3. Kebenaran mutlak. (tidak ditentukan, tetapi ditemukan). Kita harus menjadi “penjaga terhadap Farisi modern 132 – Pembentukan Rohani yang akan menekankan penambahan-penambahan teologis lebih dari Firman Tuhan itu sendiri.” 4. Spiritual Dinamis. Hal ini “bukan pengganti untuk ketekunan tetapi faktor tambahan yang mempengaruhi alasan dan hasil pembelajaran. ... Tanpa spiritual formation siswa, pendidikan teologi berbeda dari pendidikan sekuler terutama dalam materi pelajaran.” 5. Sentralisasi gereja. Lembaga teologis yang ada untuk melayani gereja-gereja dan karena itu harus mempertanggungjawabkan kepada mereka. Spiritual formation tidak akan menjadi agenda eksplisit banyak program karena lebih mudah didekati secara tidak langsung daripada langsung. Tapi dengan cara tertentu bahkan mood dominan, iklim belajar dan hubungan antara pengajar dan peserta didik dalam Perguruan berkontribusi pada proses spiritual Tinggi Kristen formation secara keseluruhan. Oleh karena itu perhatian harus diberikan juga untuk faktor bawah sadar yang mempengaruhi kepercayaan dan ketidakpercayaan, keterbukaan atau ketertutupan. Gross menguraikan visi pendidikan Kristen sebagai keyakinan dasar di bawah ini, yang mirip dengan Hulbert. Kemudian ia melanjutkan: “Kami mungkin meluluskan peserta didik yang memiliki intelektual elite, sangat termotivasi secara akademis, 133 – Pembentukan Rohani dipersiapkan untuk lulusan sekolah terbaik dan kesuksesan. Tetapi jika hati mereka tidak condong kepada Allah, kami telah gagal untuk mewujudkan visi kami.” Standar akreditasi dari ATS memiliki harapan yang jelas untuk anggota pengajar di bidang spiritual formation, dan beberapa catatan dari antaranya yang cukup menolong adalah (Meye,1988) “moral, agama dan kedalaman intelektual, keunggulan dalam pengajaran dan kepedulian untuk pelayanan harus mencirikan anggota pengajar teologi.” “Beban kerja dari anggota pengajar akan mengizinkan perhatian kepada siswa.” “Program-program [harus] meliputi konseling yang memadai, pribadi dan spiritual, serta akademik. ”Anggota pengajar harus siap untuk melayani para siswa dalam pengembangan pribadi / spiritual mereka.” Menurut Joseph Hough dan John Cobb dalam tulisannya tahun 1985, gereja selama beberapa abad telah menentukan membuat lembaga yang diberikan tanggung jawab guna menyiapkan pemimpin-pemimpin gereja sebagai “teolog-teolog praktika.” Orang-orang ini terlibat dalam “refleksi kritis akan praktek gereja”. Jika tidak ada kepemimpinan reflektif yang demikian, maka gereja akan kehilangan identitas Kristennya. Oleh sebab itu, kurikulum Perguruan Tinggi Kristen harus membawa pada pertumbuhan 134 – Pembentukan Rohani antara gereja dengan seminari dalam upaya mendidik caloncalon rohaniwan. Diusulkan calon rohaniwan melakukan praktik selama satu tahun di bawah supervisi pendeta pengajar. Oleh Kelsey, dalam tulisannya tahun 1993, pandangan Hough dan Cobb ini, dan juga pandangan Niebuhr mengenai pendidikan teologi, dimasukkan ke dalam kelompok yang disebut tipe “Berlin,” yaitu kelompok yang sangat mementingkan penelitian teologi. Dalam tulisannya tahun 1985, 1993, 1994, Charles Wood, menyatakan bahwa tujuan pendidikan teologi jangan hanya dibatasi pada pengertian pendidikan profesional untuk pendeta-pendeta, tetapi juga untuk penelitian teologi sebagai instrumen kesaksian gereja. Ia menghindari konsep antara teori dengan praktik. Dalam pelaksanaan pendidikan, ia sejalan dengan Hough dan Cobb dalam kerja sama Perguruan Tinggi Kristen dengan gereja. David menyatakan Kelsey bahwa dalam tujuan tulisannya pendidikan tahun teologi 1992 adalah pencapaian pengenalan akan Allah lebih benar. Tujuan itulah yang mempengaruhi semua kehidupan dari suatu lembaga khusus seperti Perguruan Tinggi Kristen maupun gereja sebagai komunitas. Hal-hal yang membawa kita lebih mengenal Allah, disebut Kelsey sebagai “barang-barang Kristen” yang harus menjadi fokus dari sekolah teologi, bukan 135 – Pembentukan Rohani penyiapan kepemimpinan gereja , sehingga hubungan Perguruan Tinggi Kristen dengan gereja menjadi hubungan “untuk,” yaitu menggembalakan, dan hubungan “menentang,” yaitu mengoreksi secara teologis. Hendricks mengatakan bahwa Christian Education today is entirely too passive. and thats incongruous, because Christianity is the most revolutionary force on the planet. It change people. Tinjauan historis dari misionaris terhadap pendidikan teologi di Edinburgh 1910 dan selanjutnya mencatat, “Pendidikan teologi adalah persemaian untuk pembaharuan gereja, pelayanan mereka dan misi serta komitmen mereka untuk kesatuan gereja di dunia sekarang ini” Kristen sebagai agama berkomitmen untuk pendidikan. Kekristenan adalah tentang mengingat dengan rasa syukur dan merayakan dalam komunitas Allah melalui Yesus Kristus dalam penebusan dan pembaharuan seluruh ciptaan. Dari awal, pendidikan Kristen telah memainkan peran utama dalam memungkinkan tradisi iman Kristen untuk diingat dan dirayakan. Kekristenan awal, yang berakar dalam tradisi Judeo, memiliki komitmen intrinsik pendidikan dari sejak mulanya. Pada awal Injil Lukas itu menunjukkan bahwa orang Kristen memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melanjutkan “tradisi para Rasul” ke generasi berikutnya. Demikian juga dalam Kisah Para Rasul. (Kisah 1,1-2 dan 136 – Pembentukan Rohani Kisah Para Rasul 2,42). Dari awal, kekristenan adalah agama yang belajar dan mengajar, sebagaimana sumber dari iman Kristen bukan berasal dari perasaan emosional individu tetapi dari tradisi kompleks yang ditransmisikan dalam narasi, lagulagu, liturgi dan kemudian di akidah umum untuk mayoritas Kristen di tempat yang berbeda yang dapat dihafal dan harus kembali disesuaikan lagi di setiap generasi. Hal ini sangat penting dalam tradisi Alkitab seperti misalnya desakan terhadap Timotius “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Tim. 3:1415). Karena itu dilihat dari perspektif sejarah, komitmen untuk pendidikan bukanlah hak prerogatif Kristen Barat atau penemuan akhir dalam gerakan misionaris abad ke-19, meskipun gerakan misionaris sangat berkontribusi terhadap penyebaran pendidikan teologi. Perhatian untuk pendidikan Kristen dan lebih khusus untuk pendidikan teologi adalah fitur penting dan panggilan batin iman Kristen dari permulaan. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa konferensi misi dunia di Edinburgh 137 – Pembentukan Rohani tahun 1910, yang dapat dilihat sebagai puncak dari semangat misionaris Kristen Barat di abad ke-19, ditandai dengan komitmen yang kuat untuk pendidikan Kristen. Hal ini dapat dilihat: a) dalam kepentingan kebijakan yang tepat untuk pendidikan umum bagi orang-orang (pada waktu itu sering disebut “pendidikan moral”), b) dalam perhatian utama bagi pendekatan umum dalam pendidikan teologi yang lebih tinggi dari para misionaris khususnya dan c) perhatian khusus untuk pelatihan teologis pemimpin gereja pribumi dalam bahasa sehari-hari. Pendidikan teologi dapat berfungsi sebagai jembatan dalam dua cara. Pertama, untuk membantu mentransfer pengetahuan dari generasi ke generasi. Baik tentang prestasi, kegagalan dan tantangan yang sedang berlangsung dari gerakan gereja. Hal ini akan membantu orang muda untuk memiliki rasa kepemilikan warisan ekumenis dan memahami sejarah bahwa mereka mewarisi dan akhirnya akan membentuk mereka. Kedua untuk memfasilitasi perjanjian gereja atau proses tindak lanjut menjadi kenyataan lokal dan praktis. 138 – Pembentukan Rohani Banyak pekerjaan masih diperlukan di bagian ini sehingga bentuk utama dan prestasi dari gerakan gereja memiliki resonansi dan relevansi dalam konteks gereja lokal. Ada kesenjangan antara keputusan bersama pengakuan para pemimpin gereja dan proses penyampaian kepada jemaat lokal. Pendidikan teologi bisa membantu gerakan gereja bekerja bukan dengan pendekatan dari atas ke bawah melainkan menemukan kebutuhan dari gereja-gereja lokal pertama dan memastikan proses menginformasikan dari gereja yang lebih besar melalui metode partisipasi. Pendidikan teologi juga dapat memediasi komunikasi antara pelaku gereja yang berbeda dan menjadi ajang pengujian untuk pemikiran inovatif dan pendekatan baru untuk pekerjaan ini. Maria Harris mengidentifikasi beberapa cara bahwa teologi memberikan informasi mengenai pemahaman kita tentang pengajaran dan pembelajaran. Ia melihat pengajaran diri sebagai latihan spiritual “dalam menanggapi dan bekerja sama dengan Pencipta yang mana Allah bertindak.” Perguruan Tinggi Kristen berkomitmen untuk dua dimensi pembelajaran, intelijen /akademik, dan formasi. Keduanya penting, dan jika kita melakukan satu tanpa yang lainnya kita akan gagal untuk menghasilkan hamba yang efektif bagi Kristus. 139 – Pembentukan Rohani Peserta didik membutuhkan kedua dimensi, dan mereka juga membutuhkan integrasi dari kedua dimensi dalam kehidupan dan pelayanan mereka. Intelijen/akademik mencakup informasi, keterampilan, kemampuan berpikir, pola pembelajaran, dan lainnya. Formasi termasuk personal, sosial, spiritual, komunal dan pembentukan profesional dan pelatihan. Charles Foster telah melakukan penelitian yang luas di Amerika pada pelatihan untuk pelayanan profesional dan pendeta. Dia menggambarkan kebutuhan untuk tiga jenis magang. Gagasan magang ini relasional, ia menyebut sebagai investasi yang harus dilakukan dosen untuk mahasiswa, dan juga menyampaikan fakta bahwa mahasiswa harus siap untuk menjadi pribadi yang diubah dan diperlengkapi untuk kehidupan masa depan dan pelayanan mereka. Magang bukan hanya tentang keterampilan belajar, namun juga mengenai pembelajaran nilai-nilai dan standar kerajinan. Hal ini juga merupakan magang komunal, di mana siswa belajar bersamasama dari banyak orang yang memiliki karunia pengajaran, pelatihan, dan pendampingan. Foster menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi Kristen harus menyediakan: 1. Sebuah magang menuntut landasan Alkitab dan pemikiran Kristen, serta keterampilan 140 – Pembentukan Rohani berpikir, membaca, memahami dan mengevaluasi. Hal ini memberikan dua tantangan yang signifikan: mahasiswa perlu banyak mempelajari informasi untuk memiliki bahan untuk bekerja, dan mereka perlu belajar untuk berpikir secara mendalam, kreatif, kritis, dan membedakan. 2. Sebuah magang menuntut pembentukan pribadi, spiritual, sosial dan komunal. Hal ini terjadi dalam model yang disediakan untuk mahasiswa oleh dosen, dengan kualitas dan budaya kehidupan masyarakat perguruan tinggi, dan oleh interaksi personal dalam perguruan tinggi, termasuk antara dosen dan menuntut keterampilan yang kemampuan untuk mahasiswa. 3. Sebuah magang dibutuhkan untuk pelayanan, merefleksikan teologi pelayanan, dan mengembangkan pola-pola baru pelayanan. Hal ini terjadi pada kecerdasan / pengajaran akademis dan pelatihan pelayanan praktis, dalam kehidupan masyarakat dan interaksi, di kapel, dalam penempatan dan pembelajaran yang berasal dari refleksi pelayanan. Foster juga menunjuk perlunya integrasi lanjutan dari ketiga magang tersebut, sehingga tidak muncul isolasi dari 141 – Pembentukan Rohani yang lain, dan masing-masing membentuk orang lain. Ketiga jenis magang membutuhkan dosen yang berfokus pada pembentukan siswa dan berinvestasi di dalamnya. Hal ini membutuhkan bakat, pelatihan, waktu, tenaga, dan karena itu sumber daya. Setiap magang membutuhkan berbagai jenis pedagogi, karunia khusus untuk pelayanan, dan kesabaran untuk berinvestasi dalam hasil jangka panjang di pelayanan masa depan mahasiswa. Spiritual formation di Perguruan Tinggi Kristen juga mencakup apa yang dikatakan oleh Socrates akan pentingnya unsur pendidikan yang disebut ethos, panthos, dan logos. Ethos menjelaskan tentang karakter, panthos menjelaskan tentang belas kasih dan logos menjelaskan tentang isi. Service-Learning Berbasis Pendidikan Tinggi Service-Learning telah muncul sebagai sarana yang efektif untuk menghubungkan materi mata kuliah dengan pengalaman dunia nyata dalam pendidikan tinggi. Tidak seperti sukarelawan layanan masyarakat pada umumnya, proyek Service-Learning adalah bagian dari kurikulum dan tujuan pembelajaran kursus perguruan tinggi (Zlotkowski, 1998). Service-learning memberikan manfaat timbal balik baik bagi institusi akademik maupun bagi masyarakat yang dilayani (Bringle & Hatcher, 1996). Lembaga akademik 142 – Pembentukan Rohani mendapat manfaat dengan peningkatan citra di masyarakat (Eyler, Giles, Stenson, & Gray, 2001) dan peningkatan hasil belajar mahasiswa di beberapa domain (Conway etal., 2009). Berkenaan dengan hasil akademik dari pembelajaran layanan, tiga meta-analisis telah menemukan dampak positif pada hasil akademik, termasuk IPK, motivasi akademik, dan perkembangan kognitif, terlepas dari apakah meta-analisis hanya mencakup studi hasil terkontrol (Celio et al., 2011) atau termasuk studi yang kurang ketat secara metodologis (Conway et al., 2009; Yorio &; Ye, 2012). Contoh ilustratif adalah studi longitudinal oleh Astin, Vogelgesang, Ikeda, dan Yee (2000), yang menemukan bahwa mahasiswa yang berpartisipasi dalam proyek ServiceLearning memiliki IPK, keterampilan menulis, keterampilan berpikir kritis, dan keterampilan kepemimpinan yang lebih baik daripada mahasiswa yang tidak berpartisipasi dalam mata kuliah Service-Learning. Keuntungan akademik bukan satu-satunya manfaat dari Service-Learning. Service-learning juga telah ditunjukkan, dalam meta-analisis, untuk memperdalam pemahaman tentang isu-isu sosial dan meningkatkan wawasan pribadi (Conway et al., 2009; Yorio &; Ye, 2012). Partisipasi dalam ServiceLearning dapat menumbuhkan identitas prososial yang kuat pada mahasiswa. Selain itu, partisipasi dapat meningkatkan 143 – Pembentukan Rohani sikap terhadap diri sendiri, termasuk harga diri yang positif, evaluasi kemampuan sendiri, rasa kontrol, dan self-efficacy (Celio et al., 2011). Mahasiswa yang terlibat dalam Service-Learning biasanya terlibat dengan individu dari latar belakang ekonomi dan etnis selain mereka sendiri, memungkinkan paparan yang lebih besar terhadap keragaman dan membangun kesadaran akan hak istimewa seseorang (Jones &; Abes, 2004). Hubungan yang terbentuk antara mahasiswa dan anggota masyarakat yang mereka layani memberi mahasiswa rasa tanggung jawab pribadi untuk berusaha membuat kondisi lebih adil bagi orang-orang itu dan orang lain seperti mereka (Mitchell, 2015). Di antara alumni yang diwawancarai tentang partisipasi mereka dalam mata kuliah Service-Learning, beberapa melaporkan bahwa pengalaman itu menanamkan kewajiban moral untuk melayani yang tetap ada bahkan bertahun-tahun kemudian (Jones & Abes, 2004). Spiritualitas dan Service-Learning Hasil tambahan dari pembelajaran pelayanan yang perlu dipertimbangkan adalah pendalaman spiritualitas. Di sini kita menganggap spiritualitas secara luas mencakup keyakinan dan praktik agama, integritas etis, rasa tujuan, mistisisme, dan transendensi (Welch & Koth, 2013). Bukti 144 – Pembentukan Rohani tentang hasil spiritual dari Service-Learning terutama teoritis, tetapi satu studi kuantitatif mahasiswa sarjana yang menggunakan pemodelan persamaan struktural menemukan bahwa kegiatan pelayanan adalah prediksi "panggilan kejuruan," yang dioperasionalkan sebagai rasa keterlibatan yang bertujuan dan bermakna (Phillips, 2011). Temuan ini menunjukkan bahwa pelayanan dapat menghasilkan efek pada persepsi mahasiswa tentang karier dan pekerjaan, termasuk melihat pekerjaan melalui lensa spiritual. Analisis lain dari Service-Learning telah membahas berbagai manfaat lain yang mungkin yang dapat dimasukkan sebagai hasil spiritual. Service-learning telah dilihat sebagai kesempatan untuk pertumbuhan moral dan untuk menghargai hubungan antara keterlibatan sipil dan spiritualitas (Dalton, 2006). Louie-Badua dan Wolf (2008) menekankan bahwa Service-Learning memberikan kesempatan untuk mengalami keterhubungan, kesempatan untuk "membuka hati Anda," dan perluasan penyelidikan diri dan pengetahuan diri. Proyek pembelajaran pelayanan telah dianggap sebagai kesempatan yang baik bagi mahasiswa Kristen untuk berlatih memerankan keyakinan mereka di perguruan tinggi mereka, daripada hanya merenungkan atau merenungkannya (Schaffer, 2004). 145 – Pembentukan Rohani Welch dan Koth (2013) berpendapat untuk metateori spiritual formation melalui pelayanan, menunjukkan bahwa transformasi dan transenden dapat terjadi melalui pertemuan dengan orang lain yang tidak diketahui. Koth (2003) berpendapat bahwa kegagalan untuk memasukkan spiritualitas dalam Service-Learning adalah kesempatan yang terlewatkan untuk memperdalam praktik kontemplatif di kalangan mahasiswa dan memperkuat komitmen jangka panjang untuk melayani. Tentu saja, pertimbangan penting lainnya mengenai Service-Learning adalah bagaimana spiritualitas dapat memengaruhi keterlibatan awal dalam pelayanan. Praetorius dan Machtmes (2005) menemukan dalam sebuah studi kualitatif bahwa spiritualitas adalah motivator penting bagi relawan di hotline krisis 24 jam. Relawan dalam penelitian itu mencatat keinginan mereka untuk "memberi kembali," untuk mencapai perspektif baru tentang tantangan dan kesulitan yang dirasakan dalam kehidupan seseorang, dan untuk mengenali keterkaitan di antara kita semua sebagai bagian dari tatanan sosial. Hunsberger dan Platonow (1986) juga menemukan bahwa relawan lebih mungkin di antara mereka yang memiliki motivasi religius intrinsik daripada mereka yang memiliki motivasi ekstrinsik. 146 – Pembentukan Rohani Spiritualitas juga relevan untuk kesempatan untuk terlibat dalam Service-Learning, karena keyakinan iman telah terbukti terkait dengan keputusan untuk memulai komponen Service-Learning untuk mata kuliah (Helm-Stevens et al., 2015). Selain itu, karakteristik yang berbeda dari spiritualitas peserta pada gilirannya dapat berdampak pada efektivitas Service-Learning (Park, Helm, Kipley, & Hancock, 2009). Pelayanan dan Perguruan Tinggi Berbasis Iman. Mempertimbangkan kemungkinan efek motivasi spiritualitas pada pelayanan, serta hasil akademik, institusional, altruistis, dan spiritual dari pembelajaran pelayanan, tidak mengherankan bahwa program pembelajaran layanan akan dilembagakan di universitas berbasis agama. Literatur penelitian mencakup sejumlah argumen teoritis tentang relevansi pembelajaran layanan untuk institusi berbasis agama (Hesser, 2003; Radecke, 2007; Schaffer, 2004). Namun, penting untuk dicatat bahwa spiritualitas mahasiswa dapat sangat bervariasi, bahkan di perguruan tinggi berbasis agama, dengan cara yang dapat mempengaruhi persepsi mahasiswa tentang proyek pelayanan. Alih-alih berfokus pada efek dari terlibat dalam pelayanan pada spiritualitas, studi ini melihat secara khusus pada spiritualitas sebagai pengaruh pada niat untuk terlibat dalam proyek147 – Pembentukan Rohani proyek pelayanan tertentu di perguruan tinggi Kristen. Meskipun layanan di lembaga ini merupakan persyaratan untuk kelulusan, mahasiswa masih memiliki pilihan dalam proyek yang mereka ikuti. Oleh karena itu, memahami faktorfaktor yang membentuk proyek mana yang dikejar mungkin penting dalam menetapkan hasil iman yang tepat. Studi saat ini mengeksplorasi hubungan antara spiritualitas individu dan niat mereka untuk terlibat dalam proyek layanan di lingkungan perguruan tinggi. 148 – Pembentukan Rohani V SPIRITUAL FORMATION YESUS DI INJIL MARKUS Injil Markus adalah kitab kedua dalam Perjanjian Baru Kristen dan merupakan satu dari empat Injil. Penulis tradisionalnya adalah seorang pria bernama Yohanes Markus, teman Simon Petrus, yang menulis Injil dengan menggunakan catatan salah satu saksi mata kehidupan Yesus secara langsung, yakni Petrus. Injil Markus memiliki 16 pasal, lebih pendek dari tiga Injil lainnya. Kitab ini oleh sebagian besar ilmuwan dianggap sebagai yang pertama dari keempat Injil yang ditulis dengan penanggalan antara 50 dan 70 M. Markus kemungkinan menulis dari Roma kepada Roma, lebih luas lagi, orang bukan Yahudi. Tujuan Injil adalah untuk menyajikan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Yahudi dan untuk mendorong orang percaya untuk bertahan dan bertekun dalam menghadapi penganiayaan dan kemungkinan kematian sebagai martir. Penekanan Markus tidak hanya berkisar pada peristiwa penting dalam kehidupan Kristus, 149 – Pembentukan Rohani seperti penyaliban dan penderitaan-Nya saja, melainkan juga pada cara Yesus bertindak dan beristirahat. Sebenarnya, penulisnya itu anonim, karena tidak ada klaim siapa pengarang yang dibuat secara inheren dalam surat itu sendiri. Namun, ada bukti baik di dalam Alkitab maupun dalam sejarah untuk mendukung Yohanes Markus, sepupu Barnabas (Kolose 4:10), teman seperjalanan Paulus yang mula-mula (Kis 12:25), dan putra rohani Petrus (I Petrus 5:13) Sebagai penulis Injil. Gaya penulisan non-sastra dan fitur sintaktis mungkin menunjukkan bahwa bahasa pertama penulis bukanlah bahasa Yunani, melainkan bahasa Semit seperti bahasa Aram. Penulis juga mencakup rincian yang jelas yang tidak perlu untuk aliran naratif, sebuah indikasi bahwa penulis menulis dari laporan saksi mata. Faktor-faktor ini dapat diartikan konsisten dengan pandangan tradisional bahwa Markus, seorang Yahudi Palestina, menulis Injil dengan menggunakan Petrus sebagai sumbernya. Bukti internal dikuatkan dengan pengesahan awal, termasuk teks kuno (“menurut Markus”), dan kesaksian oleh Papias, Justin Martyr, Irenaeus, Tertullian, Clement dari Alexandria, dan Origen. Penerimaan Markus yang hampir universal sebagai pengarang Injil mengingat fakta bahwa dia bukanlah seorang rasul atau pahlawan di gereja abad pertama 150 – Pembentukan Rohani memberikan kepercayaan pada validitas klaim tradisional bahwa Yohanes Markus menulis Injil yang menyandang namanya. A. Injil Markus dan Spiritual Formation Penjelasan tentang kebiasaan orang Yahudi (mis. 7:3; 14:12; 15:42) dan terjemahan ungkapan bahasa Aram ke dalam bahasa Yunani (mis. 3:17; 5:41; 7:11, 34; 9:43; 10 : 46; 14:36; 15:22, 34) menunjukkan bahwa mereka mungkin bukan orang-orang Yahudi berbahasa Aram (Wallace, 1998). Mengacu pada empat jam malam (6:48; 13:35), Markus juga menggunakan sistem waktu Romawi dan bukan tiga Yahudi tradisional. Dimasukkannya istilah Latin transliterasi yang mengacu pada militer (misalnya legion di 5:9; praetorium (gedung pengadilan) di 15:16; perwira di 15:39), pengadilan (misalnya spekulan (penggal) 6:27; flagellare (sesah) di 15:15), dan perdagangan (misalnya dinar di 12:15; quadrans (peser) di 12:42) menyiratkan tujuan Romawi, karena penutur bahasa Latin pasti ditemukan paling mudah di sana. Selain itu, kemungkinan bahwa identifikasi Alexander dan Rufus sebagai anak-anak Simon si Kirene (15:21) adalah karena orang-orang ini diketahui oleh penerima yang ditunjuk oleh Markus - orang Kristen Roma (Roma 16:13). 151 – Pembentukan Rohani Ada juga bukti eksternal dan bukti kuat yang menunjukkan bahwa pembaca yang dimaksud adalah orang Kristen Roma. Petrus dan Markus diyakini berkumpul di Roma (2 Timotius 4:11, 1 Petrus 5:13) di mana Clement dari Alexandria dan Irenaeus menemukan tulisan Injil ini. Eusebius juga menyatakan bahwa Papias menulis mengenai Markus menyusun Injilnya untuk pendengar Petrus di Roma. Meskipun tidak mungkin untuk memastikan tanggal komposisi, bukti-bukti yang ada menunjukkan sekitar tahuntahun terakhir dari dekade ketujuh, setelah kemartiran Petrus di tahun 64 M, dan kemungkinan sebelum penghancuran Yerusalem pada tahun 70 M. Jika dia menulis di Roma, entahkah saat berada di sana bersama Petrus, atau mungkin sesaat setelah kematian Petrus, maka Markus kemungkinan sedang menulis untuk orang-orang Kristen Roma, dengan tujuan untuk mengatasi krisis di gereja seputar penganiayaan yang terus berlanjut yang mulai diarahkan pada mereka selama ini. Adalah penting bahwa meskipun Injil Markus selalu dikaitkan dengan Rasul Petrus, tampaknya tidak ada kecenderungan untuk menyebut karya itu “Injil Menurut Petrus.” (Hal yang sama berlaku untuk hubungan Lukas dengan Rasul Paulus). Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa Markus sebenarnya adalah penulisnya, karena “tidak 152 – Pembentukan Rohani mungkin gereja mula-mula akan memberikan nama Injil kepada seorang tokoh kecil seperti Yohanes Markus kecuali jika dia berada di posisi pengarang yang sebenarnya, karena kitab-kitab Perjanjian Baru biasanya mewajibkan kepengarangan oleh seorang rasul untuk memenuhi syarat untuk diterima di dalam kanon.” Secara umum disepakati bahwa Markus ini adalah orang yang sama dengan Yohanes Markus yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul (lihat 12:12, 12:25, 13: 5, 13:13, 15:36). Secara tradisional, Injil Markus didasarkan pada khotbah Petrus, yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan berbagai komunitas Kristen dan karena itu tidak dalam bentuk naratif. Mungkin inilah sebabnya Papias mencatat bahwa Markus tidak menuliskan kejadian kehidupan Yesus “secara tepat.” Markus mungkin juga menggunakan koleksi cerita mukjizat dan ucapan Yesus yang masih ada untuk menyusun Injilnya. Injil Aksi Menurut rasul Paulus, setiap kata dalam Alkitab diilhami dan “bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16). Oleh karena itu, Tuhan akan membuat Markus menulis sebuah narasi bukan 153 – Pembentukan Rohani hanya untuk mencatat serangkaian peristiwa, melainkan untuk membangun argumen teologis yang memungkinkan abdi Allah “kompeten, diperlengkapi untuk setiap pekerjaan baik” (2 Timotius 3:17). Dua penulis Injil lainnya menjelaskan alasan mereka secara eksplisit di dalam teks mereka - Lukas menyatakan maksudnya “menulis sebuah catatan yang teratur” bahwa Anda mungkin memiliki kepastian mengenai hal-hal yang telah diajarkan “(Lukas 1: 3-4), dan Yohanes menjelaskan bahwa “ini ditulis supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yohanes 20:31). Sementara Markus, hanya menyisakan petunjuk tersirat mengenai tujuan utamanya menulis. Injil Markus dicirikan oleh tindakan (action), dengan jelas menggambarkan karya Yesus yang tidak henti-hentinya, sering menggunakan kata kunci Yunani yang berarti segera atau langsung dan konjungsi tersebut diterjemahkan sebagai dan, juga, atau bahkan untuk mengikat kejadian bersama, dan memberi keajaiban tempat yang menonjol dalam catatan. Penggunaan berlimpah dari sesegera, yang dibumbui dengan banyak sentuhan pribadi, meninggalkan kesan bahwa ceritanya terbentang di depan mata pembaca. Markus berhatihati tidak hanya untuk mencatat emosi kemanusiaan Yesus – belas kasihan (1:41, 6:34, 8:2), menghela napas (7:34; 8:12), 154 – Pembentukan Rohani kemarahan (3:5; 10:14), dan penderitaan (14: 33-34) - tetapi untuk memperhatikan reaksi orang-orang di sekeliling-Nya kekaguman (1:27), kritik (2:7), ketakutan (4:41), tercengang (7:37), dan kebencian (14:1). Dia juga mendokumentasikan lebih dari seratus pertanyaan yang berbeda, banyak dari mereka bertanya kepada Yesus dan bahkan lebih banyak ditanyakan oleh-Nya. Setelah bertanya tentang pendapat orang lain, Dia bertanya, “Tapi siapa yang Anda katakan itu saya?” (8:27). Bisa dikatakan bahwa Markus menulis Injilnya untuk meminta tanggapan dari pembacanya mengenai pertanyaan yang paling penting ini. Markus menyodorkan premis teologisnya sebelum para pembaca di dalam ayat pertama, yang menyatakannya sebagai permulaan, asal mula, atau dasar Injil, bahwa Yesus bukan hanya Mesias Yahudi yang telah lama ditunggu-tunggu, tapi juga Anak Allah. Dia kemudian menggambarkan Yesus sebagai orang yang simpatik, mengidentifikasikan diri dengan laki-laki, menunjukkan belas kasihan kepada mereka, dan berbagi penderitaan mereka. Penulis mencurahkan sebagian besar teksnya ke pelayanan dan penderitaan yang saling mendukung. Dua ayat penting berfungsi sebagai akhir kitab ke bagian tengah kitab di mana Yesus pertama-tama menuliskan standar pemuridan yang menuntut: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, 155 – Pembentukan Rohani memikul salibnya dan mengikut Aku.” (8:34). Dia membungkus serangkaian tiga prediksi gairah dengan menegaskan kembali standar itu dengan diri-Nya sebagai modelnya: “Sebab Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (10:45). Injil Istirahat “Musuh nomor satu spiritual formation Kristen hari ini adalah kelelahan,” tulis Jim Smith dalam buku penting The Good and Beautiful God. Ini adalah proklamasi yang berani, tapi saya yakin itu benar. Tentunya kebutuhan untuk beristirahat bukan merupakan perkembangan baru, juga bukan instruksi dari Tuhan untuk menghentikan sebuah instruksi baru. Tuhan memerintahkan umat-Nya: “Ingatlah hari Sabat dan jagalah tetap kudus! Enam hari Anda harus bekerja dan melakukan semua pekerjaan Anda. Tetapi hari ketujuh adalah sabat bagi TUHAN, Allahmu; Anda tidak boleh melakukan pekerjaan apapun” (Keluaran 20:9-10). Kebutuhan untuk beristirahat dengan serius, untuk melakukannya sebagai disiplin spiritual, lebih banyak dibutuhkan saat ini daripada sebelumnya. Sepanjang sebagian besar sejarah manusia, lakilaki dan perempuan telah dibantu untuk beristirahat karena kenyataan bahwa ada sedikit cahaya yang bisa digunakan 156 – Pembentukan Rohani hanya untuk sebagian setiap hari. Seiring perkembangan peradaban, manusia menemukan cara menghasilkan cahaya untuk melihat di kegelapan, namun sumber cahaya itu biasanya mahal dan seringkali langka. Dihadapkan dengan kenyataan tidak ada cahaya untuk bekerja, manusia tidur selama dalam kegelapan. Skenario itu telah berubah. Manusia telah mengembangkan cara yang lebih dapat diandalkan untuk menghasilkan cahaya, mereka telah secara bersamaan menghindari kegelapan untuk waktu yang lebih lama dan lebih lama. Apa yang dulunya merupakan sumber irama yang andal untuk siklus kerja dan istirahat sekarang hilang. Kita sekarang bisa memiliki cahaya yang tersedia 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Kegelapan sekarang sulit didapat di beberapa belahan dunia. Namun cara fungsi tubuh manusia tidak banyak berubah selama bertahun-tahun sejak Tuhan memerintahkan umat-Nya untuk menikmati hari istirahat. Jumlah waktu yang umumnya disisihkan untuk tidur telah menyusut, tapi kebutuhan untuk itu tidak. Pada hari-hari ini dipenuhi dengan cahaya buatan dan kesempatan larut malam untuk bekerja dan bermain, kita sekarang harus sangat terarah dalam mengejar istirahat fisik. Penulis pikir mempertimbangkan kita bahwa sering kita harus gagal untuk memilih untuk beristirahat atau jika tidak, kita cenderung memiliki sisa yang 157 – Pembentukan Rohani dipaksakan pada kita saat kita kelelahan sampai pada titik tekanan fisik, mental, atau emosional. Pernahkah Anda menemukan diri Anda dipaksa tidur setelah memaksa diri bekerja terlalu keras? Perlu diingat adalah bahwa orang lain mungkin mempertanyakan motif kita saat kita berhenti untuk beristirahat. Markus 4 mencatat kisah tentang suatu malam ketika Yesus dan pengikut-pengikut terdekat-Nya menyeberangi Laut Galilea dengan perahu. Karena begitu lelah dari pelayanan-Nya, Yesus tertidur di kapal. Ketika badai dahsyat muncul, murid-murid-Nya dipenuhi dengan rasa takut, dan dalam keadaan ketakutan mereka, mereka mempertanyakan motif Yesus. “Tidakkah kamu peduli jika kita tenggelam?” Mereka menuntut (Markus 4:38, NIV) yang tidak mereka sadari adalah bahwa tidur Yesus adalah tanda kepercayaan dan kepercayaan-Nya terhadap Bapa-Nya. Yesus mengerti bahwa Tuhan memiliki kuasa atas segalanya, termasuk alam itu sendiri. Perkataan Yesus kepada angin dan ombak adalah katakatanya kepada pengikut-Nya saat itu dan sekarang ini, “Damai sejahtera! Tetaplah tenang!”. Memahami bahwa Tuhan memiliki kekuatan untuk menyelamatkan kita dapat menggantikan rasa takut kita dengan kepercayaan dan kepercayaan diri, membiarkan kita beristirahat dengan tenang. Akan selalu ada lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, 158 – Pembentukan Rohani seperti akan selalu ada badai. Saat kita mempraktekkan disiplin beristirahat, orang lain mungkin bertanya kepada kita, dan kita mungkin meragukan diri kita sendiri. Tetapi di dalam hatinya, mempraktikkan disiplin istirahat adalah tindakan kepercayaan: pernyataan kepercayaan kepada Tuhan dan pemberian-Nya untuk kita, untuk orang yang kita cintai, dan untuk pekerjaan yang Tuhan telah berikan untuk kita lakukan. Akankah pekerjaan itu menumpuk saat kita beristirahat? Mungkin. Tapi kemampuan kita untuk melakukan pekerjaan kita juga bisa terakumulasi, dan tentunya kemampuan kita untuk membedakan apa yang paling dibutuhkan akan meningkat. Beristirahat tidaklah sia-sia. Spiritual formation ditunjukkan oleh Yesus sendiri kepada murid-muridnya. Setelah Yesus menghabiskan waktunya mengajar para muridNya, Dia mengutus mereka untuk pergi melayani orang lain (yang juga dicatat dalam Lukas 9-10). Sepanjang tiga tahun pelayanan-Nya, ini adalah pola yang Ia tetapkan. Ia akan menghabiskan waktu-Nya untuk mengajar dan menyatakan perilaku-Nya dan kemudian Dia mengutus mereka keluar untuk melakukan hal yang sama. Kita dapat menemukan momen terbesar itu saat di Pengangkatan Yesus di bukit, ketika murid-murid terakhir kalinya diutus dan diberi perintah untuk “menjadikan semua bangsa murid-Ku, membaptis mereka, mengajar mereka 159 – Pembentukan Rohani melakukan segala perintah-Ku” (Matius 28). Aprila Welch mengatakan bahwa Dalam kehidupan seseorang, terus-menerus memelihara formasi rohani Anda akan menolong Anda tumbuh menjadi lebih seperti Kristus. Melalui penelaahan Kitab Suci, peran serta aktif dalam komunitas iman, dan kepatuhan terhadap perintah-perintah untuk menjangkau orang lain, Anda akan tumbuh dan meregangkan diri Anda lebih ke dalam keserupaan dengan Juruselamat Anda. Pada akhirnya, itulah tujuannya sebagai "Kristus-Kristus kecil." B. Spiritual Formation Yesus di Injil Markus Injil Markus ditulis untuk menetapkan identitas Yesus dan untuk menginstruksikan pembaca dalam meresponi dengan tepat saat membacanya. Donald English, dalam bukunya The Message of Mark: The Mistery of Faith, melihat motivasi ganda ini terjalin di seluruh Injil sebagai tanggapan terhadap dua kemungkinan pertanyaan yang diajukan oleh pembaca. Pertanyaan pertama – “siapakah Yesus?” - adalah pertanyaan identitas; pertanyaan kedua – “bagaimana seharusnya kita merespons?” - adalah pertanyaan tanggapan, atau kepercayaan? Kedua tema tersebut menyajikan Yesus sebagai fokus Injil, dan keduanya tampak jelas dari permulaan Injil. Misalnya, “permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah” (Markus 1:1) bergerak cepat ke “Engkaulah Anak-Ku” 160 – Pembentukan Rohani (Markus 1:11) sebagai jawaban dari pertanyaan identitas. Kemudian, saat Markus mencatat jawaban pertanyaan mengenai tanggapan, Yesus mengumumkan: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”(Markus 1:15). Contoh lain adalah jawaban Petrus “Engkau adalah Mesias” (Markus 8:29) pengakuannya di Kaisarea Filipi. Pengakuannya dengan cepat dikonfirmasi melalui suara Transfigurasi “Inilah Anak-Ku, yang Kukasihi” (Markus 9:7) diikuti oleh respons yang diinginkan dari “Dengarkan Dia!” (Markus 9: 7). Mengikuti Guru: langkah-langkah wawasan tentang pemuridan tema Yesus menawarkan “identitas-respons” Injil mengungkapkan konflik yang muncul di antara kedua sudut pandang yang berlawanan dalam Injil Markus: “memikirkan hal-hal tentang Allah” dan “memikirkan hal-hal dari manusia” (Markus 8:33). Konflik fokus ini paling jelas dalam diri Petrus, yang mendapatkan teguran Yesus setelah “tanggapannya” yang kebingungan dalam pemahamannya yang terus berkembang tentang “Identitas” Yesus. “Misteri Yesus dan Salib” sulit bagi semua orang yang mau mengikuti Yesus dengan syarat pribadi mereka sendiri. “Hal-hal umat manusia” meliputi harapan dan stereotipe para murid terhadap Yesus, yang pada dasarnya menghancurkan identitas Mesias yang menderita. 161 – Pembentukan Rohani Di sisi lain, Michael Wilkins berpendapat, “Memikirkan halhal dari Tuhan” memungkinkan identifikasi Yesus Mesias menderita yang tepat - dan respons kepadanya - hidup dalam pelayanan di antara umat Allah. Berpikir dari sudut pandang Tuhan tentang bagaimana memahami esensi pelayanan Yesus sebagai hamba sejak Yesus mengungkapkan bahwa tujuan-Nya datang ke bumi adalah naik ke kayu salib (Markus 8:31). Pada akhirnya, ajaran spiritual formation Injil Markus mengungkapkan Yesus mengarahkan pengikutnya untuk “memikirkan jalan Tuhan, jalan penderitaan dan salib lewat melayani”. Melayani “Memikirkan hal-hal dari Tuhan.” Menurut Injil Markus, apakah “masa depan yang disukai” dari mereka yang mencari tanggapan yang tepat sebagai murid Yesus? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada yang sebenarnya kesimpulan dari Injil yang diterima oleh pembaca. Jika Injil menyimpulkan, “Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut.” (Markus 16:8), maka tidak ada amanat yang spesifik di akhir Injil untuk masa depan muridmurid setelah kenaikan Yesus. Jika berakhir seperti ini, maka kemungkinan akhir yang tersedia bagi pembaca ialah dipaksa untuk mencari beberapa perintah yang mengarahkan murid-murid ke arah “masa depan yang lebih disukai” dalam Injil. Jika Injil diakhiri pada saat 162 – Pembentukan Rohani itu, maka Suara yang mengkonfirmasikan identitas Yesus menjadi semakin penting bagi spiritual formation pembaca. Suara itu memerintah, “Dengarkan Dia!” (Markus 9:7). Sesuai konteksnya, para murid harus mendengarkan hanya kepada Yesus saat Dia berbicara kepada mereka tentang Keinginan Hamba yang Menderita, yang secara efektif diumumkan bahwa kelanjutan “kuasa” ialah melalui “pelayanan”. Bahkan Petrus mengusulkan agar Elia dan Musa disamakan dengan Yesus, dan dia gagal memahami bahwa Yesus lebih tinggi di atas Elia dan Musa. Dalam Injil Markus, “masa depan yang lebih disukai” bagi komunitas murid adalah perintah Bapa untuk “mendengarkan” Anak baik sekarang maupun di masa depan. “Mendengarkan” diterjemahkan dari bahasa Yunani yaitu akouete, yang berarti “mendengar apa yang sedang diungkapkan,” dan mengambilnya pada signifikansi sebagai “penerimaan anugerah dan seruan untuk bertobat dalam menanggapi keselamatan dan tuntutan etisnya.” Yohanes Paulus Heil menulis bahwa perintah mendesak Allah untuk melakukan “dengarkan dia!” memperkuat permintaan Yesus sendiri untuk benar-benar “mendengar” dan memahami pengajarannya (Markus 4:3, 9, 23; 7:14), dengan tegas menarik perhatian khusus pada pengajaran-Nya. Bahwa Dia harus menderita, mati dan bangkit (Markus 8:31). Ini juga 163 – Pembentukan Rohani mengingatkan pembaca untuk memperhatikannya apa yang Yesus ajarkan. Dengan demikian, pembaca diperintahkan untuk “mendengarkan Yesus” sedemikian rupa sehingga iman (identitas) dan ketaatan (respons) menjadi tanda pendengaran nyata. Setelah eksplorasi Injil Markus “mendengarkan Yesus,” berdasarkan perintah saat Transfigurasi, maka kita harus mengembangkan respons yang tepat dari “pemikiran Jalan Tuhan” dalam kehidupan sehari-hari. Injil Markus menyajikan Yesus sebagai orang yang aktif sepanjang kehidupan publik dan pelayanan-Nya. Melalui salah satu kata favoritnya – “sesegera” Paul Ellingworth menyatakan semakin kata itu dipakai, semakin berkurang tekanannya untuk pembaca. Untuk alasan gaya sendiri, oleh sebab itu tidak baik bagi penerjemah untuk menulis “sesegera” setiap kali dia menemukan kata euthus dalam teks, khususnya jika dalam bahasa Inggris kata tersebut diterjemahkan dalam lima silabus bukannya dua. Tetapi masalahnya bukan di masalah gaya; adalah masalah arti. Euthus dalam Kitab Markus sering kali tidak berarti “sesegera.” Malahan, hal itu tidak memberikan ekspresi yang demikian. Mungkin, dalam sumber Aram yang mana Kitab Markus paling banyak didasarkan, kata yang sama yang di dalam kitab Injil diterjemahakan “behold” atau “look.” Adalah tidak kebetulan bahwa Markus hampir selalu 164 – Pembentukan Rohani menggunakan euthus dalam naratif dan “behold” dalam katakata yang dikatakan oleh orang yang sama di dalam kisah Injil. Sebuah istilah karakteristik yang terjadi dengan frekuensi yang besar dalam Injil Markus adalah kata Yunani Eutheos, yang banyak diterjemahkan “langsung, segera” dll. Perhatikan beberapa kejadian dari kata ini dalam pasal pertama saja: “Pada saat Ia keluar dari air, Ia melihat langit terkoyak, dan Roh seperti burung merpati turun ke atas-Nya” (ayat 10). “segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun” (ayat 12). “dan setelah Yesus meneruskan perjalananNya, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes, saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus segera memanggil mereka” (ayat 19,20). “Mereka tiba di Kapernaum. Setelah hari Sabat mulai, Yesus segera masuk ke dalam rumah ibadat dan mengajar” (ayat 21). “Sekeluarnya dari rumah ibadat itu Yesus dengan Yakobus dan Yohanes pergi ke rumah Simon dan Andreas” (ayat 29). “Ia pergi ke tempat perempuan itu, dan sambil memegang tangannya Ia membangunkan dia, lalu lenyaplah demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka.” (ayat 31). “Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras” (ayat. 43). Dalam keseluruhannya, kata ini ditemukan tidak kurang dari empat puluh kali dalam Injil Markus. Ini adalah istilah 165 – Pembentukan Rohani yang paling sugestif dan ekspresif, membawa keluar kesempurnaan dari Hamba Allah dengan menunjukkan kepada kita bagaimana Ia melakukannya. Tidak ada keterlambatan tentang pelayanan Kristus, tetapi “langsung” Dia harus mengurus bisnis Bapa-Nya. “Tidak ada penundaan, tapi “segera” Dia melakukan pekerjaan yang diberikan-Nya untuk dilakukan. Kata ini menceritakan tentang ketangkasan pelayanan-Nya dan urgensi misi-Nya. Tidak ada mengunggununggu, tidak ada keengganan, tidak ada kelambanan, tapi diberkati “langsung” semua pekerjaan-Nya. Kita semua harus belajar dari contoh sempurna ini yang Dia telah wariskan pada kita. Markus menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang yang beraktivitas, sibuk, aktif dan terlibat dalam spiritual formation orang-orang yang mengelilingi Dia. Dua kata kerja mengungkapkan Yesus sebagai “pusat penaklukan yang sangat kuat dari energi ilahi.” Kumpulan kata kerja pertama mengungkapkan aktivitas Yesus sebagai tokoh masyarakat yang terlibat dalam pelayanan publik “berkhotbah ... mengajar ... penyembuhan.” Kata kerja kedua mengungkapkan aktivitasnya sebagai pribadi yang menjalani hidupnya sesuai dengan pola kehidupan tertentu. Kedua “rangkaian kegiatan” ini mengekspos pembaca untuk “memikirkan jalan Tuhan,” dan ditujukan untuk spiritual formation pembaca. Injil 166 – Pembentukan Rohani Markus membagikan undangan, dan komitmen Yesus kepada empat orang: "Mari, Ikuti aku, dan aku akan menjadikanmu penjala manusia" (Markus 1:17). Secara harfiah, Yesus mengundang Petrus dan Andreas, Yakobus dan Yohanes untuk “datang setelah / di belakangku.” Ungkapan kunci dari undangan ini adalah hopiso mou, atau “ikuti saya,” yang berarti, “Mengikuti seseorang, ikuti seseorang,” dan mengambil arti figuratif untuk “menjadi penganut” keberadaan seseorang diikuti. Komitmen Yesus“Aku akan menjadikan engkau penjala manusia” – segera terlibat dalam sebuah pola pelayanan “kotbah ... pengajaran ... penyembuhan”. Misalnya, awal dalam pelayanannya, Yesus “berkhotbah di rumah-rumah ibadat mereka di seluruh Galilea, dan mengusir setan” (Markus 1:39) Beberapa saat kemudian, menghadapi orang banyak, Yesus “berkhotbah kepada mereka” (Markus 2:2). Kemudian pada hari yang sama, dengan orang banyak berkumpul di sekelilingnya, Yesus “mengajar mereka” (Markus 2:13). Selanjutnya, dihadapkan dengan “Orang banyak yang hancur,” Yesus “menyembuhkan banyak orang” (Markus 3:10). “Dan lagi dia mulai mengajar Laut” (Markus 4: 1) Kemudian, Yesus “mulai mengajar di rumah ibadat mereka” (Markus 6:2). Kemudian, mengikuti strategi yang telah ditentukan sebelumnya, Yesus “pergi berkeliling desa-desa 167 – Pembentukan Rohani untuk mengajar” (Markus 6:6). Segera setelah itu, Yesus merasa belas kasih kasihan kepada orang banyak yang mengikuti dia kemudian “mengajari mereka banyak hal” (Markus 6:34). Markus juga mencatat bahwa murid-murid didorong ke dalam pelayanan sama yang dimiliki Yesus seperti mereka melakukan “Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka.” (Markus 6:12-13). Mereka terlibat dalam aspek kunci dari pola “pelayanan kuasa”. Jelas, melalui pengajaran dan teladan-Nya, Yesus telah secara efektif melakukan spiritual formation bagi para murid “berkhotbah ... mengajar ... penyembuhan” pola pelayanan yang telah dipekerjakan-Nya. Tercatat dengan jelas bahwa pengikut Yesus belajar dari-Nya bagaimana menggunakan pola pelayanan yang sama, bahkan dalam hal melakukan apa yang telah dilakukan-Nya. Sehubungan dengan pola “pelayanan kuasa” yang diajarkan oleh Yesus, Markus juga mengungkapkan pola hidup yang sebenarnya Yesus jalani. Pasal pertama Markus menulis pengajaran, berkhotbah dan penyembuhan di samping berbagai kegiatan spiritual formation yang dipraktikkan Yesus - sinagoge, belajar, mengajar, berdiam, menyendiri, 168 – Pembentukan Rohani dan berdoa - yang membuat pengikut-Nya belajar. Misalnya, Yesus pergi ke tempat yang sepi untuk berdoa pada dini hari (Markus 1:35), Dia mempraktikkan Sabat sesuai dengan kebiasaan budayanya (Markus 2:22-28), Dia menghadiri sinagoge lokal (Markus 3:1), Dia mengajar, berdasarkan studi pemahaman-Nya, topik utama adalah Firman (Markus 4: 334), Dia menasihati para pengikut-Nya untuk mengembangkan keterampilan mendengar (Markus 4:24), Dia menganjurkan istirahat dan kesendirian (Markus 6:31) digabungkan dengan doa (Markus 6:36). Mengumumkan pentingnya disiplin latihan spiritual, puasa khususnya, Yesus mengajar: “Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya. Demikian juga tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua , karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula” Markus 2:21-22. Cara hidup yang baru adalah fajar pada orang-orang yang mengikuti Yesus – “cara lama” tidak cocok untuk “kehidupan baru” ini. Yesus juga mengakui pentingnya 169 – Pembentukan Rohani “melakukan Kehendak Tuhan” sebagai bukti spiritual formation (Markus 3:35). Sesaat sebelum Transfigurasi, Yesus menjelaskan masalah identitas. Sebuah pertanyaan menyelidik “Kata orang, siapakah Aku ini?” Ditindaklanjuti dengan pertanyaan lebih tegas “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Markus 8:27,29)? Sebagai jawaban atas pertanyaan Yesus, Petrus menanggapi, “Engkau adalah Mesias” (Markus 8:29). Kemudian, dalam pergeseran penekanan yang tak terduga dari “kuasa” untuk “melayani,” Yesus “mulai mengajar mereka bahwa Anak Manusia harus menderita banyak hal dan ditolak oleh para tua-tua, imam-imam dan guru-guru, dan dia harus dibunuh dan setelah hari ketiga bangkit kembali” (Markus 8:31). Menjadi “Kristus,” yang didasari oleh “pelayanan kuasa,” sekarang termasuk “penderitaan, penolakan, kematian dan kebangkitan.” Sayangnya, identifikasi Petrus yang luar biasa tentang Yesus sebagai “Kristus” runtuh dengan kebingungan tentang arti sebenarnya dari “Kristus.” Petrus menegur Yesus karena memberi saran bahwa menjadi Kristus mencakup jalan penderitaan, kematian dan kebangkitan. Yesus mengidentifikasi sumber kebingungannya dengan tanggapan, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” 170 – Pembentukan Rohani (Markus 8:33), untuk kedua kalinya, Yesus memberi perintah “hopiso mou” – “di belakang saya.” Williamson menunjukkan bahwa “di belakangku” (Markus 8:33) dan “sesudah Aku” (Markus 8:34) adalah sama dalam bahasa Yunani. Murid tidak membimbing, melindungi, atau memiliki Yesus; Mereka harus mengikutinya. Spiritual fomation, Yesus mengajar, memusatkan pola pikir muridmurid atas “hal-hal dari Tuhan,” bukan pada setan menjadi pola pikir. Yesus memberi indikasi yang jelas tentang karakter pelayanan yang sejati - melayani - dan dapat kontur untuk respons yang tepat di dalam kehidupan para murid: Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-muridNya dan berkata kepada mereka: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? Sebab barang siapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena 171 – Pembentukan Rohani orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa- Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus. Markus 8: 34-38 Alkitab secara keseluruhan dinyatakan kepada kita dari bentuk naratif, dan dalam hal naratif inilah Markus menulis injilnya. “We live mainly forms dan patterns,” kata Wallace Stegner seorang ahli storyteller kontempoter. Lebih lanjt dia mengatakan bahwa “if the forms are bad, we live badly.” Injil adalah bentuk kebenaran dan kebaikan, dimana kita hidup baik dalamnya. Baik Peterson dan Stegner, keduanya memberikan pendapat bahwa lewat bentuk dan pola maka kita bisa mendapatkan hidup yang baik. Jika bentuk dan polanya buruk maka kita hidup dengan buruk juga. Spiritual formation yang dicatat dalam kitab Markus memberikan gambaran lewat pribadi Yesus bagaimana pola ini harus dibentuk. Pola yang diberikan Yesus adalah action and rest. Sekalipun Injil ini begitu banyak menjelaskan kata sesegera namun dalam setiap pelayanan kita juga membaca bahwa Yesus menyingkirkan dirinya, ia pergi menyendiri, ia naik ke atas gunung bahkan ia naik ke perahu. Keseimbangan di dalam action and rest merupakan pola yang diterapkan oleh Yesus yang diharapkan membawa pengembangan kepemimpinan bagi murid-murid-Nya. Pelatihan dalam sikap dan penerapan pelayanan dimulai segera setelah Transfigurasi. Pertama, dalam menanggapi 172 – Pembentukan Rohani pertanyaan tentang Elia, Yesus menggunakan nabi Israel yang terkenal sebagai contoh perlakuan yang diharapkan oleh otoritas yang berkuasa: "mereka telah melakukan kepadanya segala sesuatu yang mereka inginkan, seperti yang tertulis tentang dia" (Markus 9: 13). Segera setelah contoh ini, Yesus menggunakan seorang anak kecil sebagai ungkapan sikap yang tepat mengenai kehidupan seorang hamba: "Barang siapa ingin menjadi yang pertama, ia harus menjadi yang terakhir dan hamba bagi semua orang" (Markus 9:35-36). Yesus melanjutkan untuk mengajarkan pelayanan melalui perawatan dan berkat-Nya bagi anak-anak yang dibawa kepada-Nya (Markus 10: 13-16). Pada akhirnya, Yesus menggunakan diri-Nya sebagai ekspresi utama dari gaya hidup hamba, berkomentar bahwa tujuan utama hidupnya adalah pelayanan: Anda tahu bahwa mereka yang dianggap sebagai penguasa bangsa-bangsa lain berkuasa atas mereka, dan pejabat tinggi mereka menjalankan otoritas atas mereka. Tidak demikian halnya dengan Anda. Sebaliknya, siapa pun yang ingin menjadi besar di antara kamu harus menjadi pelayanmu, dan siapa pun yang ingin menjadi yang pertama harus menjadi budak dari semua. Karena bahkan Anak Manusia tidak datang untuk dilayani, tetapi untuk melayani, dan untuk memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (Markus 10: 42-45). 173 – Pembentukan Rohani Bahkan ketika masuk ke dalam kota Yerusalem dengan kemenangan, Ia mengendarai keledai, sifat-hamba Yesus dinyatakan (Markus 11:1). Di luar Transfigurasi, pelayanan Yesus ditandai dengan ketaatan, penderitaan, dan kehambaan agar kehendak Allah terpenuhi. Dan, seperti sebelumnya, Yesus menekankan disiplin ilmu yang menopang “kehidupan pelayanan.” Dia mengajarkan bukti kehidupan dengan berbagai disiplin spiritual formation. Misalnya, dia berkomentar mengenai kedewasaan seorang murid dan kehidupan secara keseluruhan (Markus 9:50) ditambah dengan sikap dan praktik “perdamaian.” Dia menganjurkan menjalani kehidupan di sepanjang waktu dengan “iman” dan “doa” (Markus 11:20) Yesus menggarisbawahi kebutuhan untuk memahami Kitab Suci dan kekuasaan Allah. Ia mendorong kemampuan untuk mendengar Roh bahkan di tengah-tengah penganiayaan dari ketaatan kepada kehendak Allah (Markus 13:11). Penting untuk praktik berkelanjutan dari kehidupan spiritual adalah instruksi Yesus untuk menjadi siap, waspada, sadar dan siap untuk pindah ke hidup sepanjang garis yang ditetapkan oleh Allah terlepas dari keadaan (Markus 13:5, 9, 33-37). Dengan demikian, persiapan spiritual penting untuk “pelayanan rohani” yang matang melalui sikap dan praktik kehambaan. 174 – Pembentukan Rohani Pada titik ini, satu pertanyaan penting lainnya harus diperhatikan: bagaimana jika Injil Markus tidak berakhir dengan “karena mereka takut” (Markus 16:8), tetapi benarbenar berakhir “maka pergilah dan berkhotbah di mana-mana, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya”(Markus 16:20)? Ketika berakhir lagi untuk Injil Markus diterima, “masa depan disukai” pengikut Yesus menjadi: Pergilah ke seluruh dunia dan memberitakan kabar baik untuk semua ciptaan Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan; .. mereka akan berbicara dalam bahasa baru, mereka akan memegang ular dengan tangan mereka, dan ketika mereka minum racun mematikan, itu tidak akan menyakiti mereka sama sekali, mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan mereka akan sembuh (Markus 16:15 -18). Jika ini adalah “masa depan pilihan” yang dimaksudkan oleh Injil Markus, maka hidup “pelayanan hamba” oleh Yesus disisihkan untuk mendukung “pelayanan kuasa” yang dipraktikkan oleh Yesus. Bahkan, di tengah-tengah bahasa yang jelas mencerminkan “pelayanan kuasa” porsi pemberitaan Injil, tanda-tanda, mengusir, berbicara, sembuh – Yesus memerintahkan untuk spiritual formation bagi para 175 – Pembentukan Rohani pengikutnya lewat "preach the good news." Perintah "to preach" diulang dari salah satu unsur yang diajarkan Yesus "preaching, teaching, and healing." Memenuhi perintah ini memang meniru Yesus yang datang untuk tujuan pemberitaan (Markus 1:38) Dan, sebagaimana Injil Markus mencatat bahwa para murid sudah berpartisipasi dalam apa yang diperintahkan Yesus di sini:. Mereka “pergi keluar dan memberitakan di mana-mana” (Mark 1 0:27). Selain itu, akhir dari Injil Markus mencatat bahwa “Tuhan turut bekerja” (Markus 16:20) sebagaimana perintah tersebut terpenuhi. Kunci dari konsep ini adalah present tense dari kata kerja sunerguntos, yang berarti, “untuk bekerja sama dengan yang lain.” Pada kenyataannya, meskipun ia tidak lagi hadir langsung bersama-sama dengan mereka secara jasmaniah, Injil Markus mengajarkan kemitraan Tuhan dimiliki oleh mereka yang telah mengalami spiritual formation di bawah bimbingan-Nya. Tampaknya masuk akal untuk mengakui bahwa Yesus bekerja sama dengan para murid, baik “kuasa” dan “pelayanan” akan tetap bersama-sama serta "pelayanan kuasa" mungkin menjadi fokus alternatif terakhir untuk Injil Markus, tetapi Tuhan jelas hadir untuk memastikan bukti utama otentik spiritual formation: kehambaan. 176 – Pembentukan Rohani Apapun yang berakhir untuk Injil Markus diterima, Yesus jelas berfokus dari teks spiritual formation ini. Pemeriksaan yang disajikan di atas mencatat Yesus membimbing mereka yang akan 'mengikuti' dia untuk tujuan menjadi 'penjala manusia.' Pembaca mulai memahami bahwa untuk "mengikuti" Yesus adalah untuk mengambil pola pemikirannya, bukan pola pemikiran duniawi yang salah memahami dan menyangkal tempat sah dalam hidup. Dan, bimbingan ini adalah untuk tujuan mengenali Guru dan menyadari respons yang tepat untuk Dia, bahkan jika murid mengikuti Yesus sebagai seorang hamba berakhir dengan kematian. Injil Markus juga menyatukan pelayanan "kuasa" dengan pelayanan "hamba" dan keduanya diekspresikan penuh di dalam Yesus. Tanggapan yang tepat bagi komunitas murid-murid untuk "mengikuti" Yesus baik di pola pelayanan dan kehidupan. Pada akhirnya, untuk spiritual formation dari komunitas murid-murid, pembaca diperintahkan untuk "mendengarkan dia" oleh Suara yang berusaha untuk pengembangan mereka lebih lanjut terlepas dari bagian pelayanan kuasa/hamba. Dan, komunitas mengakui kemitraan Tuhan karena mereka "mendengarkan dia" dan memenuhi perintah-Nya di masa depan. Proses seperti apakah yang 177 – Pembentukan Rohani Yesus gunakan untuk mengaktifkan mereka untuk "mengikuti" Dia? Yang penting dalam perintah "mendengarkan dia" adalah observasi dan imitasi dari kehidupan bahwa Yesus benar-benar hidup. Penyelidikan di atas telah menunjukkan bahwa baik pelayanan "kuasa" dan "hamba" didasarkan dari cara motif hidup yang unik. Yesus mempraktikkan apa yang umumnya dikenal sebagai "disiplin untuk kehidupan spiritual" yang memberikan pelayanannya. dukungan "mengikuti" hidup Yesus juga untuk berarti seluruh untuk mengikutinya ke dalam pola kehidupan yang sebenarnya bahwa ia hidup. Salah satu proses kunci pembentukan spiritual seperti diungkapkan melalui Injil Markus adalah belajar dari Yesus untuk menjalani hidup sehari-hari seperti Yesus. Spiritual formation di masa depan akan berlangsung terus menerus, berorientasi disengaja terhadap Yesus. Sweet mengembangkan dua "navigasi" gambar yang mendukung orientasi disengaja untuk spiritual formation orang Kristen. Pertama, Yesus adalah "titik referensi tetap" titik iman dan kehidupan Kristen : "Yesus dari Nazaret adalah kami Bintang Utara." Setiap Kristen, dan atau masyarakat imannya, mulai "perjalanan iman dengan Kristus sebagai titik acuan tetap," dan berkembang dalam pengetahuan bahwa semua kehidupan 178 – Pembentukan Rohani "dimulai dan diakhiri dengan Yesus." Kekristenan adalah "agama hubungan" dengan inti hubungan yang terhubung dengan Kristus. Gambar kedua untuk perjalanan spiritual formation ialah menerima Yesus sebagai "target bergerak." Pada laju kehidupan di dunia sekarang ini, pertama-tama Sweet memperingatkan, untuk 'bertujuan hari ini' adalah untuk 'ditangkap dalam keseharian dan merindukan misi,' dan kemudian mendorong, "bertujuan ke depan, dan Anda akan mencapai tanda panggilan Allah yang tinggi." Tujuan “panggilan Allah yang tinggi” untuk "gambar dan rupa Kristus." Dengan demikian, spiritual formation dalam komunitas Kristen setempat perlu bertujuan pada Kristus, tidak begitu banyak seperti pemanah membidik target tetap, tetapi penembak bertujuan membidik target bergerak. Tidak hanya belajar tentang hubungan pembelajaran masa depan bersifat interaktif, dinamis, dan kolaboratif, hubungan pembelajaran juga akan dibangun di sekitar "gambar, logo, metafora, upacara-upacara dan cerita." Carpe Manana mengaku" Yesus tahu bahwa gambar melebihi dari kata-kata terbaik yang bisa menekuk dunia untuk makhluk Allah, sehingga ia mengkomunikasikan sebagian besar kebenaran melalui gambar visual dibungkus suara." 179 – Pembentukan Rohani Sweet mencerminkan pentingnya kebenaran ini untuk masa depan, “jika gereja adalah untuk menyajikan figur Kristus yang lokal, ia harus belajar untuk berkomunikasi seperti Yesus dan pengikut pertamanya lakukan-melalui metafora, gambar, perumpamaan, dan ikon.” Spiritual formation di masa depan akan melibatkan pembelajaran yang lebih merupakan konsekuensi dari berpikir. Tidak hanya mengajar karena “metafora, gambar, perumpamaan dan ikon” melibatkan pembelajar berpikir tentang apa yang sedang dikomunikasikan. “Metafora adalah hal-hal tempat dimana pikiran difungsikan," jelas Sweet, “mengubah metafora, dan arsitektur jiwa Anda diubah.” Proses implantasi spiritual formation adalah “mematung sebuah metafora yang baru ‘untuk membentuk’ arsitektur jiwa.” Jadi, cerita sangat penting untuk transformasi dalam membentuk jiwa:" Ketika kisah-kisah Alkitab menjadi cerita kita, ketika gambar alkitabiah dan metafora menjadi gambar dan metafora kita, ketika struktur kehidupan kita di sekitar landasan kisah Yesus, arsitektur baru bagi jiwa kita dibangun." Sweet melanjutkan yang pada akhirnya Being with Jesus, learning from Jesus, listening to Jesus and being implanted with his Story shapes the soul. Franscis J. Moloney dalam buku komentari Injil Markus menjelaskan fokus dari komentarnya dari Injil 180 – Pembentukan Rohani Markus hanya pada dua karakter yaitu Yesus dan muridmurid-Nya. Moloney mengidentifikasi bahwa hubungan Yesus dan murid-murid sebagai salah satu faktor kunci yang menyetir cerita dan membawa kisah tersebut kepada klimaks diatas kayu salib. Hubungan Yesus dengan murid-murid menjadi penekanan yang khusus jika di lihat dalam spiritual formation. Bagaimana Yesus memperlakukan murid-murid dalam hubungan spiritual formation sangat jelas di catat oleh Injil Markus sebagai berikut: 1. Yesus memanggil murid-murid (1:16-20; 2:13-14; 3:13-14). Bahwa tidak ada istilah murid sukarelawan dalam Injil Markus. Orang-orang menjadi murid pada inisiatif Yesus, sebagai hasil dari panggilannya. 2. Yesus mengumpulkan murid-murid ke dalam suatu “keluarga” (3:34-35). Yesus menjelaskan kepada para murid (dan semua yang melakukan kehendak bapa-Nya) sebagai “saudara laki-laki dan saudara perempuan.” Identitas dari murid-murid sebagai suatu kelompok dan hubungan mereka satu sama lain didasarkan pada hubungan mereka kepada Yesus. 3. Yesus mengajar murid-murid, mencerahkan mereka dengan pengetahuan yang berharga (4:33-34). Yesus mengajar mereka tentang misteri kerajaan Allah (4:11) dan kadang kala memberikan penjelasan yang pribadi atas apa 181 – Pembentukan Rohani yang diucapkan (4:10-20; 7:17-23). Signifikan, Dia merespons akan kesalahpahaman mereka tentang arti murid yang sejati (8:34-38; 9:35-37; 10:42-45). 4. Yesus memperlengkapi murid-murid untuk Misi (3:14-15; 6:7-13). Yesus memberikan kepada murid-murid otoritas yang mereka perlukan untuk berkhotbah, menyembuhkan, dan mengusir setan. 5. Yesus tetap menjaga murid-murid walaupun mereka tidak setia (14:26-27; 16:7). Yesus mengatakan kepada muridmurid bahwa sekalipun mereka akan meninggalkan dia, Dia menginginkan mereka untuk kembali bergabung dengannya setelah kebangkitan. C. Relevansi Spiritual Formation di Injil Markus di Perguruan Tinggi Injil Markus dalam Perjanjian Baru memberikan wawasan tentang Spiritual Formation Yesus selama pelayanannya di bumi. Sementara Injil, termasuk Markus, terutama berfokus pada pelayanan publik Yesus, ada unsurunsur dalam narasi Markus yang menawarkan sekilas ke dalam perjalanan spiritual Yesus. Memahami aspek-aspek ini dapat relevan bagi universitas-universitas Kristen dalam membentuk filosofi dan tujuan pendidikan mereka. Berikut adalah poin-poin penting tentang pembentukan rohani Yesus 182 – Pembentukan Rohani dalam Injil Markus dan relevansinya bagi perguruan tinggi Kristen: 1. Baptisan dan Penegasan Ilahi (Markus 1:9-11): Menekankan pentingnya mengenali dan menegaskan identitas ilahi dan tujuan individu. Perguruan tinggi Kristen dapat menumbuhkan lingkungan di mana mahasiswa memahami identitas mereka di dalam Kristus, mendorong eksplorasi dan penegasan rohani. 2. Doa dan Kesendirian (Markus 1:35): Menyoroti pentingnya doa dan kesendirian dalam pembentukan rohani Yesus. Perguruan tinggi Kristen dapat mempromosikan disiplin spiritual, termasuk doa dan refleksi, sebagai komponen integral dari pengembangan pribadi dan akademik mahasiswa. 3. Pemuridan yang disengaja (Markus 3:13-19): Menunjukkan seleksi yang disengaja dan pemuridan individu. Perguruan tinggi Kristen dapat memprioritaskan program bimbingan dan pemuridan untuk membimbing mahasiswa dalam perjalanan spiritual dan akademis mereka. 4. Perumpamaan dan Pengajaran Kerajaan (Markus 4:1-34): Menunjukkan penggunaan perumpamaan Yesus untuk menyampaikan kebenaran rohani. Perguruan tinggi dapat menekankan integrasi iman dan pembelajaran, mendorong 183 – Pembentukan Rohani fakultas untuk mengajar melalui pandangan dunia Kristen dan menggunakan perumpamaan atau aplikasi dunia nyata dalam pengajaran mereka. 5. Belas kasihan dan penyembuhan (Markus 5:24-34): Menyoroti tanggapan belas kasih Yesus terhadap penderitaan manusia. Perguruan tinggi dapat menanamkan komitmen untuk kasih sayang dan pelayanan, menginspirasi mahasiswa untuk terlibat dalam keadilan sosial dan penjangkauan masyarakat. 6. Perubahan batiniah (Markus 9:2-8): Mengilustrasikan perjumpaan mendalam dengan yang ilahi. Perguruan tinggi Kristen dapat mendorong mahasiswa untuk mencari pengalaman transformatif dan perjumpaan dengan Tuhan, mendorong pertumbuhan rohani di luar pengetahuan intelektual. 7. Getsemani dan Ketundukan pada Kehendak Allah (Markus 14:32-42): Menggambarkan ketundukan Yesus pada kehendak Allah, bahkan dalam menghadapi penderitaan. Perguruan tinggi Kristen dapat mengajarkan siswa pentingnya menyerah pada rencana Allah, memelihara ketahanan dan kepercayaan dalam keadaan yang menantang. 8. Amanat Agung (Markus 16:15): 184 – Pembentukan Rohani Diakhiri dengan panggilan untuk membagikan Injil. Perguruan tinggi Kristen dapat membekali mahasiswa dengan semangat misi, mempersiapkan mereka untuk mempengaruhi dunia dengan iman dan pendidikan mereka. Spiritual Formation Yesus dalam Injil Markus memberikan model bagi perguruan tinggi Kristen untuk membentuk filosofi pendidikan mereka. Dengan menekankan identitas dalam Kristus, disiplin spiritual, pemuridan yang disengaja, belas kasih, pengalaman transformatif, tunduk pada kehendak Allah, dan semangat misi, perguruan tinggi Kristen dapat berkontribusi pada pengembangan holistik mahasiswa ketika mereka berusaha untuk mengintegrasikan iman dan pembelajaran. 185 – Pembentukan Rohani 186 – Pembentukan Rohani VI TINDAKAN SPIRITUAL FORMATION DI PERGURUAN TINGGI KRISTEN Perguruan tinggi Kristen sering kali menjadi tempat yang unik untuk pengembangan kepemimpinan, di mana spiritual formation, atau pembentukan spiritual, menjadi unsur integral dalam proses tersebut. Dalam konteks ini, spiritual formation bukan hanya terbatas pada aspek agama, tetapi mencakup pengembangan spiritualitas sebagai landasan bagi pemimpin Kristen. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana spiritual formation di perguruan tinggi Kristen dapat berperan dalam pengembangan kepemimpinan. Perguruan tinggi Kristen memainkan peran penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai Kristen ke dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari. Melalui kelas-kelas, kegiatan rohani, dan keterlibatan dalam komunitas, mahasiswa mengalami spiritual formation yang membentuk dasar nilai-nilai Kristen dalam kepemimpinan. Pembentukan karakter menjadi fokus utama dalam spiritual formation di perguruan tinggi Kristen. Mahasiswa 187 – Pembentukan Rohani diajak untuk mengembangkan karakter yang sesuai dengan ajaran agama, seperti integritas, kerendahan hati, dan pelayanan kepada sesama. Kepemimpinan yang dibangun di atas dasar karakter Kristen memiliki dampak positif dalam lingkungan organisasi. Pendidikan di perguruan tinggi Kristen mencakup pemahaman Alkitab dan teologi kepemimpinan. Mahasiswa tidak hanya belajar konsep-konsep kepemimpinan praktis tetapi juga merenungkan prinsip-prinsip moral dan etika yang diakui dalam ajaran Kristen. Ini membentuk dasar spiritual yang mendalam bagi pemimpin Kristen. Salah satu aspek penting dari spiritual formation adalah pengembangan sikap pelayanan. Mahasiswa diajak untuk mengamalkan kepemimpinan yang berpusat pada pelayanan, mencerminkan konsep Yesus Kristus sebagai teladan utama dalam pelayanan kepada orang lain. Spiritual formation di perguruan tinggi Kristen mendukung pengembangan pemimpin melayani, yaitu pemimpin yang tidak hanya fokus pada kepentingan diri sendiri tetapi juga melayani kebutuhan orang lain. Konsep kesatuan spiritual menjadi landasan bagi pemimpin Kristen untuk memimpin dengan kasih dan perhatian. Spiritual formation mendorong terbentuknya komunitas yang mendukung dan akuntabilitas di antara sesama 188 – Pembentukan Rohani mahasiswa. Ini menciptakan lingkungan di mana pertumbuhan spiritual dan kepemimpinan saling mendukung, dan dimana pemimpin dapat tumbuh bersama dalam iman mereka. Spiritual formation mendorong refleksi diri yang mendalam dan pertumbuhan pribadi. Pemimpin Kristen dilatih untuk terus-menerus mengevaluasi diri, mengidentifikasi area pengembangan, dan menumbuhkan hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan. Spiritual formation di perguruan tinggi Kristen memiliki dampak signifikan dalam pengembangan kepemimpinan. Proses ini bukan hanya tentang pemberian pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter, nilai-nilai, dan spiritualitas yang mendasari kepemimpinan. Perguruan tinggi Kristen, dengan pendekatan holistiknya, menciptakan pemimpin yang tidak hanya kompeten secara profesional tetapi juga tercermin nilai-nilai dan etika Kristen dalam setiap aspek kehidupan dan kepemimpinan mereka. A. Spiritual Formation dalam Bingkai Pedagogikal Pelayanan Yesus Bingkai pedagogis berasal dari kata Yunani paideia (anak) dan agogos (pemimpin) dan dipandang sebagai praktek kuno yang bergantung pada teks-teks untuk pembentukan seseorang menurut Small (2009). “Ini adalah bentuk 189 – Pembentukan Rohani pendidikan yang berpusat di kebajikan dan keterlibatan budaya melalui praktek pembelajaran terus-menerus (mathesis), mengajar (didaskalia), dan praktek (askesis) – “ini” dengan tujuan menciptakan habitus, atau sifat kedua. “Sifat kedua” ini mengacu pada penebus atau identitas pembaptisan, tidak berhubungan dengan warisan atau keturunan. Kelsey (1992) membahas cara di mana pendidikan Kristen paideia disesuaikan untuk mencapai transformasi Kristen tentang pribadi sebagai bagian dari proses pendidikan yang berlangsung, dengan tujuan menemukan tujuan dari paideia Kristen yang Ilahi dan baik adalah pembentukan, termasuk kebajikan, pengetahuan tentang ilahi, kebijaksanaan dan konversi" (Small 2009). Untuk pengembangan kerangka pedagogis penulis menggunakan studi komprehensif Foster (2006), yang berjudul: Mendidik Hamba Tuhan: Mengajar praktek dan imajinasi pastoral. Dalam buku tersebut membahas empat strategi pedagogis yang berbeda dari yang penulis akan gunakan tiga dalam upaya untuk menerangi operasi strategi program pedagogis. 1. Pedagogi Konstekstual Pedagogi kontekstualisasi mengacu pada pedagogi bahwa semua, dalam beberapa cara, menekankan situasi sosial dan praktik pengetahuan (Foster et al 2006). Tujuannya 190 – Pembentukan Rohani adalah untuk membantu mereka untuk mencerminkan kontekstual tentang tugas kepemimpinan misioner. Kita tidak bisa berlatih teologi misi tanpa perhatian serius terhadap perubahan sosial. Sebuah pedagogi kedua berfokus pada pengembangan kemampuan konstruktif mahasiswa dalam untuk pertemuan berpartisipasi tersebut antara secara konteks ekumenis campuran yang berbeda dari siswa yang mengikuti sekolah berasal dari latar belakang denominasi yang berbeda, lokasi sosial yang berbeda dan ukuran yang berbeda. Inilah kemampuan kontribusi mereka untuk menafsirkan berbagai konteks. Sebuah pedagogi untuk mahasiswa menyadari proses transformasi sosial dan sistemis dari konteks. Proses seperti modernisasi, globalisasi dan sekularisasi terus mengubah adegan sosial. Mahasiswa menyadari prasangka budaya mereka sendiri dan orang lain dan pentingnya mendekati analisis sosial dari perspektif yang berbeda. Dari pedagogi ini jelas bahwa situasi sosial mahasiswa memiliki pengaruh besar pada latihan keterampilan kepemimpinan misioner. 2. Pedagogi Interpretatif Ada konsensus dalam teori penafsiran bahwa empat realitas yang berbeda dapat dilihat dalam proses interpretasi ini meliputi: (a) fenomena yang harus ditafsirkan, (b) penafsir, 191 – Pembentukan Rohani (c) interaksi penafsir dengan itu yang harus ditafsirkan, dan (d) kepentingan komunitas interpretasi. Semua praktik penafsiran ini memiliki satu tujuan komunal yaitu untuk membantu mahasiswa berpikir kritis (Foster et al 2006). Dalam hal ini, pedagogi yang berbeda interpretasi dapat dibedakan sebagai berikut: interpretasi sebagai dialog terus menerus di mana berbagai tingkat dialog dapat dilihat mengenai aspek program pengajaran. Ini berarti mahasiswa didorong untuk berpartisipasi dalam berbagai dialog baik dengan Alkitab dan tradisi. Ini termasuk dialog di dalam kelas dengan bantuan metode Sokrates (pertanyaan dan jawaban), percakapan dengan sesama mahasiswa dalam latihan yang berbeda dari mendengarkan (“tinggal di dalam Firman”) serta diskusi kelompok di kelas pada topik yang terkait dengan Missio Dei dan teologi misional. Interpretasi sebagai aplikasi dari tradisi. Mahasiswa berasal dari tradisi keagamaan yang berbeda. Setiap tradisi bertindak sebagai lensa, mewarnai proses interpretasi. Apresiasi tradisi ini membantu mahasiswa untuk memahami bagaimana interpretasi yang berbeda dari kegiatan kepemimpinan yang sama dapat menyebabkan aplikasi yang berbeda dari tradisi. Interpretasi melalui pilihan dari “metode yang tepat” sangat penting untuk dicatat bahwa hasil dari modul 192 – Pembentukan Rohani menentukan metode. Jika ada konsensus bahwa hasilnya harus menjadi pengembangan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, maka penting bahwa metodologi yang harus melayani hasil. Jika tujuan dari berpikir kritis adalah "understanding", metode harus membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan untuk memahami teks, situasi atau konteks, dan acara. Mereka harus mampu menganalisis teks, situasi dan hubungan, dan untuk mengintegrasikan mereka ke dalam kerangka pemahaman. Mahasiswa harus dipandu untuk memahami bahwa mereka adalah bagian dari dialog yang berlangsung dengan dokumen sumber, tradisi dan praktik kontemporer komunitas iman. 3. Pedagogi Formatif Karakteristik yang membedakan dari pedagogi formatif adalah bahwa mereka berusaha untuk berkontribusi pada pembentukan pengetahuan, sikap, keterampilan dan kebiasaan yang terkait dengan pengembangan identitas profesional dan yang menyertainya praktik, komitmen dan integritas. Tujuan pedagogi formatif berusaha untuk dalam kasus kepemimpinan misioner, adalah keterlibatan dalam misteri keberadaan manusia (Foster 2006). yang ditafsirkan sebagai missio Dei dan ecclesiones missio dalam konteks pendekatan untuk pedagogi formasi dapat dibedakan: praktik kehadiran Allah. 193 – Pembentukan Rohani Pedagogi ini adalah tentang membuat mahasiswa sadar - melalui teks dan realitas itu sendiri - bahwa yang suci dan misterius, melampaui kesadaran manusia, berhubungan dengan transformasi kesadaran yang memiliki kemampuan untuk memahami hal-hal dari perspektif “sangat berbeda, yang merupakan simbol dari Tuhan, yang kudus dan misterius” (Foster 2006) Penyucian sebagai praktik pedagogi ini sependapat dengan yang sebelumnya, tetapi juga lebih jauh “untuk menghidupi setiap kata dan isyarat, rasa, sentuhan, bau ,suara, dan mata merupakan liturgi mereka untuk dirasakan dengan orang-orang” (Foster 2006) Melalui kebiasaan dan sikap yang berkaitan dengan yang terakhir, mahasiswa belajar tentang cara menjadi. (“menjadi fungsi”), yang unik untuk setiap satu tradisi individu. Tujuan pedagogis adalah perwujudan dari tradisi keagamaan tertentu dengan cara di mana mereka berpikir, berbicara, bertindak dan mengembangkan hubungan. Praktek agama (missional) kepemimpinan. Pedagogi ini berkaitan erat dengan sikap dan kebiasaan pedagogi sebelumnya, tapi di sini secara khusus berlaku untuk praktek peran dan tanggung jawab dari panggilan religius. Mahasiswa dibimbing untuk menguasai keterampilan tertentu yang mengarah pada pembentukan pola kepemimpinan. Dalam setiap pedagogi ini, jelas bahwa integrasi tangan, kepala dan 194 – Pembentukan Rohani hati - apa yang mahasiswa lakukan (pathos), apa yang mereka ketahui (logo) dan siapa mereka (etos) adalah penting karena itu, pedagogi ini saling bergantung satu sama lain untuk membantu dan melatih kemampuan kognitif, perkembangan emosi, keterampilan praktis dan pembentukan identitas siswa, memberikan kontribusi untuk spiritualitas yang terintegrasi. B. Spiritual formation disampaikan Lewat Hubungan Pengembangan iman dan komitmen Kristen disebut oleh sebagian ahli sebagai spiritual formation. Spiritual formation bukanlah istilah baru (Bramer, 2010), dan ada ratusan buku yang ditulis secara khusus pada spiritualitas manusia (Ratcliff, 2010). Spiritual formation Kristen melibatkan pengajaran pengetahuan formal dan instruksi formational dalam cara untuk menerapkan pengetahuan tersebut untuk hidup. Pengetahuan dan tindakan adalah dua tahap spiritual formation dalam pendidikan Kristen (Wilhoit, 2008). Pazmino (2010) menegaskan bahwa peserta didik harus diberi informasi yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan tentang apa yang diperlukan dalam komitmen iman Kristen. Setelah pengetahuan diperoleh, siswa akan baik percaya atau tidak percaya tentang ajaran agama imannya. Kepercayaan adalah tahap spiritual 195 – Pembentukan Rohani formation antara pengetahuan dan tindakan. Namun, spiritual formation tidak berfokus hanya pada upaya orang, melainkan sering “mengacu pada pekerjaan Roh Kudus sebagai pribadi mengajar dan belajar” (Pazmino 2010). Ini adalah sesuatu yang tidak bisa diajarkan di kelas. Keyakinan yang benar, atau iman yang total, dalam pesan Kristen ditemukan dalam Alkitab hanya dapat dihasilkan oleh Roh Kudus. Oknum ketiga ini dari Trinitas adalah penyebab iman dalam Kristus dan Kristen (Pazmino, 2010). Iman awal seseorang adalah karunia dari Allah dan tidak dapat diterima dengan mempelajari atau cara lain (Efesus 1:8). Pengembangan pengetahuan dan keyakinan menyebabkan tindakan baru dalam seseorang mengembangkan komitmen untuk iman Kristen. Tindakan ini berfokus pada komunitas daripada diri (Peck, 1998) dan Alkitab mengacu pada orang tersebut sebagai yang diubah oleh iman yang baru ditemukan (2 Korintus 5:17). Di antara volume penelitian di bidang spiritual formation, teori perkembangan iman Fowler (1981) masih salah satu karya paling berpengaruh yang tersedia (Coyle, 2011). Fowler mengusulkan enam model tahap untuk memahami perkembangan, atau pembentukan, iman dalam diri seseorang. 196 – Pembentukan Rohani Pertama, tahap Intuitif-proyektif mengacu anak-anak sangat muda dan tayangan Allah dikembangkan dari orang tua dan masyarakat pada usia dini ini. Kedua, tahap Mythic-Literal melibatkan belajar cerita dari komunitas iman dan percaya mereka semua untuk menjadi literal. Beberapa individu menetap pada tahap ini. Ketiga, kebanyakan orang pindah ke tahap SyntheticConvensional saat remaja. Tahap ini melibatkan pengembangan sebuah sistem kepercayaan yang dapat mencakup semua masyarakat dan lingkungan sosial di mana seseorang terlibat. Kepercayaan rakyat dan diikuti individu dan kelompok berbagi pandangan dunia mereka dan pembentukan spiritual dari kebanyakan orang berhenti pada tahap ini. Keempat, tahap Individuate-Reflektif melibatkan penemuan dan eksplorasi pandangan dunia lainnya. Mempertanyakan iman dan keyakinan dalam tahap ini adalah hasil dari pengembangan iman dan tidak kehilangan iman sebagai individu dalam tahap ketiga mungkin menduga ketika menonton orang yang beroperasi di keempat dari enam tahapan Fowler. Kelima, tahap konjungsi Iman sering hanya terjadi di individu yang berpengalaman dalam hidup dan telah mencapai usia pertengahan. Orang-orang di tahap ini 197 – Pembentukan Rohani menyadari batas-batas dan batas-batas pengetahuan manusia dan logika dan meninjau kembali cerita dan ajaran-ajaran dari tahap Mythic-Literal. Sekarang, bagaimanapun, individu dalam tahap ini menghargai ajaran-ajaran ini dengan pemahaman yang lebih luas dan tidak mental terikat oleh suatu teologi yang sempit. Tahap akhir diberi label Universalisasi Iman dan jarang dicapai dalam hidup. Orang-orang yang mengalami tingkat akhir pengalaman spiritual formation ini sedikit atau tidak ada kekhawatiran dan keraguan sementara hidup melayani orang lain (Fowler, 1981). Spiritual formation lengkap membutuhkan perubahan besar-besaran dalam kehidupan makhluk individu (Learned, 1999). Perubahan ini difokuskan pada pengembangan pemahaman, keyakinan, dan komitmen untuk tindakan yang dihasilkan dari pengetahuan dan keyakinan agama atau ide spiritual. Alkitab membahas pentingnya orang-orang yang diubah oleh pembaharuan pikiran (Roma 12:2). Peck (1998) membahas pentingnya pengetahuan, keyakinan, dan tindakan dengan menawarkan versi sederhana dari enam tahap pembentukan iman Fowler. Sementara tahapan paling umum ditawarkan oleh Fowler, Peck menyajikan tahapan Chaotic-antisosial, Formal-Institusi, Skeptic-individu, dan Mistis-Komunal sebagai model empat 198 – Pembentukan Rohani tahap yang menjelaskan pembentukan spiritual. Tahap satu berisi individu berfokus pada diri daripada orang lain. Hal ini dapat menggambarkan anak-anak yang belum menyadari pentingnya komunitas yang lebih besar di mana mereka bertumbuh. Jika orang terjebak pada tahap ini, biasanya membutuhkan waktu yang luar biasa untuk memindahkan mereka ke tahap dua. Tahap dua, termasuk yang terkait dengan sistem dan organisasi iman formal seperti gereja. Individu dalam tahap ini menjadi sangat defensif ketika orang lain tidak setuju dengan sistem agama atau pandangan dunia yang mereka telah bersekutu. Tahap berikutnya melibatkan menentukan mempertanyakan kebenaran dan pengajaran formal untuk keabsahan ajaran agama organisasi formal. Individu yang tidak maju dari tahap ini sering muncul non-agama atau apatis tentang agama diformalkan. Tahap keempat dan terakhir melibatkan menyeimbangkan sifat paradoks tahap dua dan tiga dengan keyakinan yang mendalam dalam ajaran agama dan penerimaan struktur organisasi. Dalam tahap ini seseorang apakah difokuskan untuk membantu masyarakat dan menjadi kurang terfokus pada keprihatinan pribadi (Peck, 1998). Yakobus 1:27 membahas tahap perkembangan iman ketika ia menulis "Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, 199 – Pembentukan Rohani ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia." Yakobus menunjuk merawat anak yatim dan janda sebagai bentuk tertinggi ibadah. Ayat ini cocok dengan tahap tertinggi spiritual formation Peck. C. Spiritual Formation difasilitasi lewat Kualitas Hubungan “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9). Karena Kejatuhan manusia ke dalam dosa, hati para mahasiswa kita tidak secara inheren cenderung kepada Tuhan. Sifat berdosa keluar dari hati (Markus 7:21-23). Hati itu membutuhkan transformasi. Pendidik Perguruan Tinggi Kristen pasti akan sering bertanya, “Bagaimana transformasi kerja hati?” Dan “Bagaimana transformasi itu bisa terjadi di sekolah kita?” Penelitian ini menyoroti sebuah model relasional spiritualitas dengan dasar pemikiran bahwa semua transformasi spiritual terjadi dalam hubungan. Jadi, transformasi spiritual hati terjadi dalam hubungan, termasuk hubungan yang kita dapat di sekolah kita. Kita harus menjadi komunitas yang sangat relasional. Pikiran mahasiswa kita tidak secara alami memikirkan pikiran Tuhan. Sebenarnya, kita diberitahu untuk 200 – Pembentukan Rohani “berubah oleh pembaharuan pikiran [kita]” (Roma 12:2). Harry Blamires (2005). menulis bukunya The Christian Mind dengan mengatakan, “Tidak ada lagi pikiran orang Kristen” Dia berpendapat bahwa kebanyakan orang Kristen yang mengaku tidak lagi berpikir secara Kristen. Perguruan Tinggi Kristen memiliki kesempatan yang luar biasa untuk mengajar mahasiswa selama bertahun-tahun. Kita harus berkomitmen untuk tidak mengajar mahasiswa apa yang harus dipikirkan dan dipusatkan pada bagaimana berpikir dan bagaimana melakukannya secara alkitabiah. Paulus menginstruksikan orang-orang Korintus untuk menerima "menawan setiap pikiran untuk ketaatan Kristus" (2 Korintus 10: 5). Transformasi pikiran adalah pembaharuan dengan mengganti pemikiran manusia dengan pikiran Tuhan. Yesaya memberi pemahaman akan pikiran manusia yang sangat jauh dari pikiran Tuhan: Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu. Yesaya 55: 8-9. Melihat analisis spiritual formation dalam pembentukan di Perguruan Tinggi Kristen maka dapat 201 – Pembentukan Rohani dijelaskan berdasarkan kitab Markus beberapa faktor yang diperlukan untuk dilihat yaitu 1. Hubungan dengan Tuhan, semua aspek pengukuran rasa kedekatan mahasiswa dengan Tuhan. Dalam hal adalah pengukuran seberapa jauh mahasiswa memiliki waktu doa atau memberi waktu pribadi dengan Tuhan selama dia mengikuti pendidikan teologi. 2. Kitab Suci - mengukur perasaan pentingnya Kitab Suci bagi siswa sebagai sumber makanan rohani. Bagaimana peranan penggunaan Alkitab dalam kehidupan Orang Lain, mengukur mahasiswa sehari-hari? 3. Hubungan dengan pertanggungjawaban dan dukungan siswa dari orang lain, apakah gereja mereka pada umumnya, kelompok kecil, atau individu. Bagaimana hubungan sosial peserta didik dengan orang lain, seperti dosen, teman sesama mahasiswa, di gereja atau kelompok kecil dimana peserta didik berada. 4. Mitra Doa, mengukur kehidupan doa siswa dalam hal komitmen mereka kepada mitra doa atau rekan kerja. Bagaimana mahasiswa membangun kehidupan doa dengan mitra atau rekan sesama mahasiswa atau gereja atau keluarga. 202 – Pembentukan Rohani 5. Panggilan, berusaha untuk mengukur perasaan siswa tentang Tuhan yang diberikan kepada pelayanan Kristen. Seberapa besar panggilan Tuhan dalam kehidupan mahasiswa berpengaruh dalam kehidupan pribadinya? 6. Teman Spiritual, berusaha untuk mendapatkan keterbukaan siswa terhadap orang lain di bidang pencarian dan penerimaan nasihat spiritual. Seberapa besar peserta didik memiliki teman-teman di sekelilingnya yang dapat menolongnya dalam menshare kehidupan dan memberi masukan. 7. Tubuh Kristus, semua merefleksikan hubungan siswa dengan, dan pentingnya hubungan dengan, gereja lokal mereka. Apakah mahasiswa beribadah di gereja lokal dan berkomitmen untuk pelayanan Tubuh Kristus. Hubungan pribadi mahasiswa dengan Tuhan tidak sepenting studi akademis mereka di sekolah teologi. Kurikulum terpadu yang menyediakan dan mengharapkan mahasiswa untuk terlibat dalam refleksi spiritual dan intelektual tampaknya akan mencapai tujuannya. Dengan menggunakan kata-kata F. Freeman, mahasiswa Perguruan Tinggi Kristen memberikan indikasi bahwa "bertemu dengan Tuhan berulang kali secara langsung dan sebagian dapat digambarkan" Dengan demikian, lulusan Perguruan Tinggi 203 – Pembentukan Rohani Kristen tampaknya dipersiapkan dengan baik secara pribadi dan akademis untuk berbagi kasih Tuhan yang mengubah, mempertahankan, dan memberdayakan cinta dengan orangorang yang membutuhkan di jemaat lokal mereka. Literatur mendukung gagasan bahwa spiritualitas adalah "sistem makna" (Solomon & Hunter, 2002) yang memiliki makna luas tentang bagaimana para pemimpin berpikir dan bertindak dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Ini adalah perasaan koneksi internal yang mendalam terhadap hal-hal di luar dan / atau di dalam diri seseorang. Bila para pemimpin sekolah telah membuat hubungan ini kemungkinan besar mereka bisa memotivasi orang lain. Salomon dan Hunter selanjutnya mengklaim bahwa, "mendekati tugas kerja dan rekan kerja dengan kerendahan hati dan rasa hormat tidak hanya menyediakan model penting untuk bagaimana orang lain harus melakukan diri mereka sendiri tetapi juga menetapkan nada, atau etos", yang cenderung pada tuntutan moral dari Sekolah. Peneliti lain (Houston, 2002; Sergiovanni, 2006) berpendapat bahwa otoritas kepemimpinan sekolah tidak berasal dari posisi tetapi dari otoritas moral bahwa pemimpin dipercayakan untuk membawa saat mereka membangun masa depan melalui anakanak. Houston (2002) mengemukakan ada hubungan yang kuat antara spiritualitas dan kepemimpinan. Pemimpin 204 – Pembentukan Rohani mendapatkan pekerjaan mereka, bukan melalui mandat dan niat, tapi dengan mengumpulkan orang dan membujuk mereka untuk melakukan yang benar. Pemimpin pendidikan yang berorientasi spiritual membangun hubungan asli dengan mereka yang bekerja dengan mereka termasuk sesama pemimpin sekolah, administrator, dosen, orang tua, siswa, dan masyarakat luas. Hubungan ini selanjutnya membantu menciptakan lingkungan yang aman dan percaya dimana pertimbangan risiko pribadi dihargai dan di mana pemimpin menemukan diri mereka dikelilingi oleh orang-orang yang diberi hak dalam apa yang mereka lakukan. Kepemimpinan spiritual dapat memberi kesempatan bagi dosen dan administrator sekolah untuk merenungkan kehidupan, kepercayaan, tradisi mereka yang membentuk "sistem makna" mereka dan tujuan transendennya. Pendidikan spiritual formation menekankan tidak hanya pembelajaran pengetahuan yang obyektif tetapi juga hubungan pribadi dan relevansi pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan seorang mahasiswa. 1. Hubungan Mahasiswa dengan Tuhan Mahasiswa yang memasuki spiritual formation pada suatu titik dalam kehidupan mereka di mana mereka telah membuktikan sejumlah besar pemeriksaan spiritual dan 205 – Pembentukan Rohani pribadi dan perubahan. Mahasiswa pada tahun-tahun sebelum pendaftaran sekolah teologi, hubungan mahasiswa dengan Tuhan adalah wilayah yang kurang mengalami pertumbuhan dan perubahan paling besar. Setelah mengikuti Perguruan Tinggi Kristen mahasiswa belajar tentang Tuhan, cinta Tuhan, percaya kepada Tuhan, kepercayaan diri mereka terhadap tindakan Tuhan, dan mereka mencari pemahaman Allah atas kejadian kehidupan secara konsisten mencatat nilai spiritual formation. Setelah terlibat langsung dalam proses di Perguruan Tinggi Kristen selama empat tahun, penulis tidak terkejut dengan nilai tinggi pada profil mahasiswa yang masuk sehubungan dengan Tuhan. Perasaan penulis sendiri dalam berurusan dengan orang-orang yang bertanya tentang dan mendaftar ke Perguruan Tinggi Kristian adalah periode pertumbuhan dengan Tuhan adalah katalisator yang membawa mereka sampai pada pokok mempertimbangkan kebutuhan untuk mempersiapkan diri secara pribadi dan profesional untuk menanggapi Tuhan dan panggilannya. Peringkat mahasiswa tentang hubungan mereka dengan Tuhan, kepercayaan kepada Tuhan, rasa kehadiran aktif Tuhan, dan cinta Tuhan menduduki peringkat tertinggi. Bukti lebih lanjut tentang hubungan dialogis yang dinamis dengan Tuhan saat mahasiswa mencari jawaban spiritual untuk 206 – Pembentukan Rohani peristiwa kehidupan tertentu. Pandangan mahasiswa Perguruan Tinggi Kristen tentang Tuhan bersamaan dengan kesadaran akan kegiatan Tuhan dalam situasi kehidupan sehari-hari, memiliki hubungan dengan Tuhan, tumbuh, praktis (berdampak pada kehidupan dan keputusan mereka), dan pribadi. 2. Pertumbuhan Hubungan dengan Tuhan Dalam jawabannya, mahasiswa menggambarkan pertumbuhannya dengan Tuhan dalam hal kemampuan baru ditemukan hadir bersama Tuhan dimanapun dia berada, terlepas dari perasaannya. Yang cukup menarik, menyadari kehadiran Tuhan mungkin kadang-kadang merupakan salah satu hal tersulit bagi mahasiswa - sesuatu yang mahasiswa cari dan merasakan semacam kekosongan, kekurangan kadang-kadang. Mahasiswa mulai mengerti bahwa Tuhan tidak hadir baginya, tapi mereka berlatih untuk hadir pada Tuhan. Jadi selama beberapa tahun terakhir ini, mereka telah menemukan cara lain untuk mendekati hubungan mereka dengan Tuhan, cara lain untuk melatih disiplin spiritual, mereka mengenalnya dengan cara yang berbeda, dan mereka mengetahui hubungan mereka. dengan dia dengan cara yang berbeda. Mereka pikir itu telah membantu mahasiswa sampai pada gagasan bahwa Tuhan hadir bersama mereka di manamana, walaupun kadang-kadang mereka 207 – Pembentukan Rohani tidak dapat merasakannya, dan untuk benar-benar memahami spiritualitas yang berada di luar perasaan sangat besar dalam membantu mahasiswa untuk memahami Tuhan dengan cara baru. Terlepas dari apa yang mahasiswa rasakan, Tuhan masih ada di sini. Pargament and Emmons telah mendokumentasikan studi yang menghubungkan kekuatan kehidupan spiritual seseorang dengan kemampuan untuk mengatasi stres dan dengan kepuasan hidup dan kesejahteraan keseluruhan. Bahkan seseorang A. Headley dengan juga Tuhan menghubungkan untuk memenuhi keintiman kepuasan seseorang dalam pelayanan. Pengamatan Smith bahwa komitmen yang mendalam kepada Tuhan merupakan faktor kunci dalam memenuhi panggilan seseorang secara efektif didukung oleh temuan ini. Hubungan para lulusan yang semakin meningkat dengan Tuhan tampaknya membawa masuk ke dalam pelayanan mereka ketika, setidaknya dua tahun kemudian, tidak ada tanda-tanda khas kelelahan dan tidak mengurangi antusiasme untuk pelayanan terbukti. Perguruan Tinggi Kristen harus berusaha untuk menganggap serius keadaan kehidupan spiritual mahasiswa dengan menyatukan kembali formasi spiritual dengan semua program akademik. Perguruan Tinggi Kristen dapat memiliki dampak positif pada pembentukan pribadi dan spiritual 208 – Pembentukan Rohani formation mahasiswanya. Bahkan pertumbuhan ini dapat terus berlanjut di kalangan alumni selama dua tahun pertama setelah lulus. Program dan kurikulum spiritual formation memiliki dampak yang diharapkan terhadap pertumbuhan spiritual dan pribadi mahasiswa selama di Perguruan Tinggi Kristen dan setelah lulus. Kurikulum Kurikulum menanggapi spiritual seruan untuk formation berusaha mendapatkan untuk pengalaman Perguruan Tinggi Kristen yang tidak hanya menyediakan persiapan akademis yang ketat untuk mahasiswa, tetapi juga yang memupuk jalan hidup mahasiswa dengan Tuhan. Pendekatan klasik Perguruan Tinggi Kristen terhadap pendidikan teologis dalam hal pendekatan terpadu terhadap desain kurikulum inti membuat langkah besar untuk menghilangkan de-fragmen pendidikan teologis. Penekanan besar untuk menciptakan masyarakat, melalui penggunaan model kohort, retret, dan kelompok berbagi iman, telah berusaha untuk membuat model pendekatan trinitarian terhadap pelayanan mutualitas dan kerjasama daripada pendekatan hierarkis dan kompetitif. Sepanjang desain kurikulum, namun terutama di inti, penekanannya adalah pada pengembangan keseluruhan orang untuk pelayanan sambil 209 – Pembentukan Rohani mengenalkan mahasiswa pada model spiritualitas yang ditemukan di seputar kekristenan klasik. Model Faith-Sharing Group telah mendorong peserta untuk mendengarkan dan bekerja sama dengan apa yang sedang dilakukan Tuhan terhadap kehidupan satu sama lain. Sebagai mahasiswa dan fasilitator memasuki keramahan mendengarkan ini, mereka diperbolehkan untuk masuk lebih intim ke dalam hubungan satu sama lain. Spiritual formation di Kelas Untuk spiritual formation menjadi lebih dari komponen tambahan dari perguruan tinggi Kristen, diturunkan ke kehidupan kampus di luar kelas, integrasi formasi spiritual harus terjadi di kelas (Litfin, 2004). Institusi pendidikan tinggi Kristen memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan perguruan tinggi sekuler dalam kemampuan mereka untuk membantu pembentukan rohani melalui pengembangan kurikulum. Sebagian besar perguruan tinggi Kristen menawarkan pendidikan seni liberal, yang merupakan pendidikan yang lebih fokus pada mendidik seluruh orang daripada mempersiapkan siswa untuk panggilan tertentu (Davis, 2012). Pendidikan seni liberal adalah kombinasi dari berbagai disiplin ilmu seperti sains, humaniora, teologi, psikologi, 210 – Pembentukan Rohani sastra, sejarah, dan filsafat, tetapi dengan satu tujuan berbeda yang berusaha untuk melanjutkan kesatuan kebenaran di berbagai disiplin ilmu. Lalu, bagaimana seharusnya pendidikan seni liberal Kristen berbeda dari institusi seni liberal lainnya? Litfin (2004) berpendapat bahwa pendidikan seni liberal Kristen harus sepenuhnya Kristosentris. Kristologi yang berkembang sepenuhnya untuk memahami Yesus sebagai pencipta dan tujuan penciptaan (diciptakan oleh-Nya dan untuk Dia), pemelihara kehidupan, penebus, dan hakim, sangat penting untuk menawarkan pendidikan Kristen yang sejati (Litfin, 2004). Menurut Davis (2012), ketegangan antara Athena (pengetahuan sekuler) dan Yerusalem (kebenaran alkitabiah) yang membuat seni liberal efektif dalam pengembangan iman mahasiswa. Mahasiswa harus terus mendapatkan dan belajar pengetahuan di berbagai bidang, tetapi kemudian harus memeriksa pengetahuan itu melalui kerangka alkitabiah dan pemahaman tentang peran Kristus (Davis, 2012). Oleh karena itu, pendidikan seni liberal Kristen adalah pendidikan yang terintegrasi dengan iman yang tumbuh dalam pengetahuan akademis, dengan fokus pada peran sentral Kristus dalam semua pengajaran. Pendidikan seni liberal berusaha mendefinisikan seseorang dalam tiga cara dan kemudian membahas bidang211 – Pembentukan Rohani bidang tersebut untuk membantu seseorang menjadi manusia yang lebih utuh: (a) seseorang adalah makhluk reflektif atau berpikir; (b) seseorang adalah makhluk yang menghargai; dan (c) seseorang adalah agen yang bertanggung jawab (Holmes, 2001). Untuk pendidikan untuk menggambarkan seseorang sebagai makhluk reflektif atau berpikir tidak mengherankan karena berusaha untuk melibatkan kecerdasan mahasiswa. Bagaimanapun, pendidikan seni liberal, mengharuskan mahasiswa untuk menggunakan kekuatan reflektif dan berpikir ini dengan cara-cara baru karena menantang mereka untuk berpikir kreatif, mengajukan pertanyaan yang baik, dan mencoba menyatukan berbagai hal dalam jenis kerangka berpikir intelektual. Di sinilah pendidikan seni liberal mulai membantu mahasiswa dalam spiritual formation, karena melalui pembelajaran kritis mahasiswa mengembangkan lebih penuh kecerdasan yang diberikan Tuhan (Davis, 2012). Murphy (2005) menghubungkan perdebatan modern tentang apakah seni liberal sudah ketinggalan zaman untuk masyarakat postmodern dan teknosentris kita dengan argumen Aquinas bahwa apa yang dicintai, dikejar. Untuk memiliki kurikulum berdasarkan integrasi iman dan pembelajaran adalah mengejar Tuhan, dan Kristus, melalui pengetahuan (Murphy, 2005). 212 – Pembentukan Rohani Dalam mendefinisikan seorang intelektual Kristen, Sire (2000) memperjuangkan pendidikan liberal dengan menyatakan: Seorang intelektual Kristen adalah orang yang mencintai cita-cita, berdedikasi untuk mengembangkannya, menjelaskannya ... Melihat implikasinya ... menilai mereka ... mengubah mereka, membawa mereka ke dalam kontak dengan rekan-rekan mereka dalam sistem pemikiran lain ... dan melakukan semua ini untuk kemuliaan Allah. (hlm. 27– 28) Ini adalah deskripsi yang baik untuk mahasiswa yang dididik dalam tradisi Kristen. Definisi Sire menyentuh masing-masing dari tiga karakteristik seseorang dan menunjukkan bagaimana karakteristik ini bekerja sama dan, pada akhirnya, untuk tujuan apa mereka bekerja—kemuliaan Tuhan. Seorang intelektual Kristen, kemudian, adalah seorang sarjana Athena dengan pemahaman yang berkembang tentang peran sentral Yerusalem. Seni liberal Kristen membantu menumbuhkan intelektual Kristen dengan mempersiapkan mereka untuk menjadi pemikir kritis dan untuk melihat dan memahami ide dan kata-kata baik dalam konteks yang dimaksudkan maupun implikasi spiritual mereka (Mead, 2012) 213 – Pembentukan Rohani Spiritual formation Kristen dalam Komunitas Tujuan pendidikan tidak hanya untuk mengajarkan fakta, tetapi juga untuk mengajarkan nilai-nilai. Setiap sistem pendidikan di dunia mengajarkan nilai-nilai dari beberapa jenis, dan jenis nilai-nilai kampus mendukung sangat mempengaruhi nilai-nilai setiap mahasiswa, baik positif atau negatif-sering mengarah ke semacam tindakan sosial (Astin et al., 2011). Pematangan seni liberal membantu mahasiswa untuk memahami hubungan dan mengejar pengetahuan dengan iman, yang akan membantu mahasiswa pada akhirnya untuk menjadi aktor yang bertanggung jawab dalam masyarakat (Murphy, 2005). Tujuan dari pendidikan ini adalah untuk membantu dalam pengembangan mahasiswa untuk menjadi anggota umat manusia yang bertanggung jawab; prihatin tentang ketidakadilan dan berusaha untuk membawa perubahan positif. Proyek tindakan, ketika dimasukkan ke dalam pendidikan di kelas, membantu menghubungkan kepala dan hati melalui fokus pada akademisi yang berdampak pada masyarakat (Setran, Wilhoit, Ratcliff, Haase, & Rozema, 2010). Dengan menghubungkan ruang kelas ke masyarakat (yaitu, kampus, lokal, gereja, dan budaya), misi perguruan tinggi Kristen dapat menambahkan spiritualitas Kristen 214 – Pembentukan Rohani tradisional sebagai komponen kunci untuk integrasi iman dan pembelajaran, yang memiliki potensi untuk menumbuhkan keranka berpikir Kristen dan kehidupan Kristen (Setran et al., 2010). Kampus perguruan tinggi Kristen menawarkan mahasiswa kesempatan untuk mengerjakan tujuan iman dalam komunitas. Wuthnow (1998) percaya bahwa kampus perguruan tinggi mempertahankan keunggulan yang berbeda atas semua institusi lain dalam membantu membentuk spiritualitas orang dewasa muda melalui eksplorasi hubungan antara yang sakral dan sekuler. Menurut Wuthnow, keuntungan ini berkaitan dengan kemampuan dan kapasitas perguruan tinggi Kristen untuk melibatkan mahasiswa secara rasional dan emosional dalam diskusi iman. Diskusi tentang pengembangan komunitas holistik di dalam perguruan tinggi Kristen dibantu melalui tahapan pengembangan masyarakat yang ditawarkan oleh Westerhoff (2012). Westerhoff (2012), dalam karyanya yang penting tentang pengembangan iman-komunitas holistik, membahas tiga fase pengembangan masyarakat: (a) cara afiliatifekspresi, (b) cara iluminasif reflektif, dan (c) cara unitifintegratif. Cara mengekspresikan afiliatif memperkenalkan pengembangan masyarakat melalui proses yang disengaja 215 – Pembentukan Rohani untuk menciptakan pengalaman ekspresif seperti simbol, ritual, dan bercerita. Cara iluminasi-reflektif membahas bagaimana individu dalam komunitas didorong untuk merefleksikan tradisi bersama ini, mempertimbangkan apa artinya bagi individu, tetapi tetap mengekspresikannya di dalam komunitas. Cara unitif-integratif mendorong individu untuk berinteraksi dengan kedua dari dua fase pertama, dan melalui karya Kristus sebuah komunitas iman dikembangkan. Dengan melibatkan mahasiswa melalui pemahaman yang diperkaya tentang tradisi Kristen dan perannya di akademi dan melalui keterlibatan siswa dalam proses refleksi tentang bagaimana hal ini membentuk individu, lembaga Kristen kemudian dapat dengan sengaja menciptakan komunitas Kristen yang mendalam. Proses ini didekati dari semua aspek pelayanan lembaga Kristen. Kampus ini menyediakan siswa dengan berbagai interaksi masyarakat yang mendorong siswa untuk belajar bagaimana hidup dalam lingkungan masyarakat. Tempat ini adalah tempat mahasiswa akan mulai memahami pentingnya karakter karena karakter itu dibentuk dan dibentuk bersama orang lain. Komunitas adalah tempat di mana spiritual formation terbentuk, karena memaksa siswa untuk mulai memahami hubungan antara keyakinan dan perilaku ketika kehidupan sehari-hari di kampus mulai membantu memahami semua 216 – Pembentukan Rohani yang terjadi (Garber, 1996). Alasan penting bagi perguruan tinggi untuk memamerkan dan menawarkan shalom adalah karena kampus ini penuh dengan orang-orang yang berjuang untuk memahami dunia; dengan menawarkan tempat yang menunjukkan dan menawarkan kedamaian, masyarakat dibantu untuk bergulat dengan isu-isu dalam lingkungan yang aman (Wolterstorff, 2003). Perguruan tinggi dan universitas Kristen memiliki keunggulan yang berbeda dibandingkan lembaga-lembaga lain dalam spiritual formation yang menghadiri lembagalembaga ini. Untuk disengaja tentang proses spiritual formation ini, perguruan tinggi Kristen harus berusaha untuk menciptakan, melalui responsif terhadap Tuhan, lingkungan yang ditujukan untuk pengembangan pendidikan terpadu yang berpusat pada Kristus dan komunitas yang penuh kasih yang memungkinkan mahasiswa untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan penting tentang iman. Spiritual formation tidak dipandang sebagai satusatunya tujuan penting dari perguruan tinggi, sehingga mengorbankan pengembangan intelektual atau relasional. Sebaliknya, spiritual formation harus dilihat sebagai produk dari semua yang dilakukan perguruan tinggi Kristen. Ini bukan fenomena, tetapi komitmen terkoordinasi yang harus dilibatkan secara holistik. Untuk itu, pendidikan tinggi Kristen 217 – Pembentukan Rohani memiliki beberapa keuntungan berbeda dalam sejarah pembentukan spiritualnya, kurikulum yang didasarkan pada seni liberal Kristen, dan manfaat hidup dan belajar di masyarakat. Ada juga tantangan yang harus dihadapi dari postmodernisme, keragaman, dan penilaian. Jauh di luar tanggung jawab mengapa perguruan tinggi harus berkonsentrasi pada bidang-bidang ini untuk membawa spiritual formation yang disengaja, tetapi harus dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan lingkungan yang ditandai dengan shalom. Sangat penting untuk memiliki lingkungan pendidikan yang mendukung spiritual formation, karena kita memahami perguruan tinggi adalah saat ketika mahasiswa mencoba untuk memahami dan menanggapi panggilan Tuhan dalam kehidupan mereka. 218 – Pembentukan Rohani DAFTAR PUSTAKA Astin, A., Astin, H. S., & Lindholm, J. A. (2011). Cultivating the spirit: How college can enhance students’ inner lives. San Francisco, CA: Jossey-Bass. Benne, R. (2001). Quality with soul. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing. Council for Christian Colleges & Universities (CCCU), Task Force on Spiritual Formation in Christian Higher Education. (2011). CCCU report of the task force on spiritual formation in Christian higher education. Retrieved from http://www.cccu.org/professional_development/resourc e_library/2011/ cccu_report_on_spiritual_formation Bringle, R. G., & Hatcher, J. A. (1996). Implementing service learning in higher education. The Journal of Higher Education, 67(2), 221–239. Clinton Robert (1988) The Making of a Leader: Recognizing the Lessons and Stages of Leadership Development. NavPress. Davis, J. C. (2012). The countercultural quest of Christian liberal arts. In J. C. Davis & P. G. Ryken (eds.), Liberal arts for the Christian Life (pp. 113–123). Wheaton, IL: Crossway. Fennema, J. (2010). Constructivism: A critique from a biblical worldview. In H. Lee (Ed.), Faith based education that constructs (pp. 23–36). Eugene, OR: Wipf & Stock. 219 – Pembentukan Rohani Fowler, J. W. (1981). Stages of faith: The psychology of human development and the quest for meaning. San Francisco, CA: Harper & Row. Garber, S. (1996). The fabric of faithfulness. Downers Grove, IL: InterVarsity Press. Gonzalez, J. (1984). The story of Christianity: Vol. I. San Francisco, CA: Harper Books. Groome, Thomas H. (1980) Christian Religious Education: Sharing Our Story and Vision. San Francisco: JosseyBass Publishers, Groome, Thomas H. and Horrell, Harold Daly, eds. (2003) Horizons and Hopes: The Future of Religious Education. Mahwah, NJ: Paulist Press, Holmes, A. (1975). The idea of a Christian college. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing. Holmes, A. (2001). Building the Christian academy. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans Publishing. Jacobsen, D., & Jacobsen, R. (2012). No longer invisible: Religion in university education. Oxford, England: Oxford University Press. Joeckel, S., & Chesnes, T. (2010). A slippery slope to secularization? An empirical analysis of the Council for Christian Colleges & Universities. Christian Scholar’s Review, 39, 177–196. Joeckel, S., & Chesnes, T. (2012). The Christian college phenomenon: Inside America’s fastest growing 220 – Pembentukan Rohani institutions of higher learning. Abilene, TX: Abilene Christian University Press. King, S. (2015). A study of the prevalence, primary responsibilities, and perceived effectiveness of multicultural offices on Christian campuses using select member institutions from the Council for Christian Colleges & Universities (Unpublished EdD dissertation). Oral Roberts University, Tulsa, Oklahoma. Lehmann Curtis (2019) Understanding the Intersection of Spirituality and Service Engagement Among Undergraduates from a Reasoned Action Approach, Journal of Higher Education Outreach and Engagement, Volume 23, Number 2, p. 20. Litfin, D. (2004). Conceiving the Christian college. Grand Rapids, MI: Eerdmans. Ma, S. Y. (2003). The Christian college experience and the development of spirituality among students. Christian Higher Education, 2(4), 321-339. Mead, M. L. (2012). The lost tools of learning and the habits of a scholarly mind. In J. C. Davis & P. G. Ryken (Eds.), Liberal arts for the Christian Life (pp. 113–123). Wheaton, IL: Crossway. Meehan, C. (2002). Resolving the confusion in the spiritual development debate. International Journal of Children’s Spirituality, 7(3), 291–308. doi: 10.1080/1364436022000023202 Moore, S. G. W. (1998a). The university as a place of spiritual formation. In S. Moore (Ed.), The university through 221 – Pembentukan Rohani the eyes of faith (pp. 155–166). Indianapolis, IN: Light and Life Communications. Moore, S. G. W. (1998b). Christian higher education: The church at the frontlines of the culture. In S. Moore (Ed.), The university through the eyes of faith (pp. 155– 166). Indianapolis, IN: Light and Life Communications. Murphy, C. (2005). The academy, spirituality, and the search for truth. New Directions for Teaching & Learning, 2005(104), 23–29. Otto Patrick & Harrington Michael (2016) Spiritual Formation Within Christian Higher Education, Christian Higher Education, 15:5, 252-262, DOI: 10.1080/15363759.2016.1208594 Paredes-Collins, K. (2014). Campus climate for diversity as a predictor of spiritual development at Christian colleges. Religion & Education, 41(2), 171–193. doi:10.1080/15507394.2013.864206 Parks, S. D. (2000). Big questions, worthy dreams: Mentoring young adults in their search for meaning, purpose, and faith. San Francisco, CA: Jossey-Bass. Pascarella, E. T., & Terenzini, P. T. (1991). How college affects students: Findings and insights from 20 years of research. San Francisco, CA: Jossey-Bass. Pazmiño W. Robert (2008) Foundational Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical Perspective. Grand Rapid: Baker Academic. 222 – Pembentukan Rohani Rhea, R. (2011). Exploring spiritual formation in the Christian academy: The dialects of church, culture, and the larger integrative task. Journal of Psychology and Theology, 39(1), 3–15. Saraglou, V. (2013). Religion, spirituality, and altruism. APA Handbook of Psychology, Religion and Spirituality, 1, 439–457. Schaffer, R. H. (2004). Service-learning in Christian higher education: Bringing our mission to life. Christian Higher Education, 3(2), 127–145. doi:10.1080/15363750490429417 Setran, D. P., Wilhoit, J. C., Ratcliff, D., Haase, D. T., & Rozema, L. (2010). Spiritual formation goes to college: Class-related “soul projects” in Christian higher education. Christian Education Journal, 7 (2), 401–422. Sire, J. W. (2000). Habits of the mind. Downers Grove, IL: InterVarsity Press. Christian higher education, 261 Smith, C. (2009). Souls in transition: The religious and spiritual lives of emerging adults. New York, NY: Oxford University Press. Gordon T. Smith (2014) Spiritual Direction: A Guide to Giving and Receiving Direction. IVP Steibel, S. R. G. (2010). Christian education and spiritual formation: One and the same? Christian Education Journal, 7(2), 340–355. 223 – Pembentukan Rohani Veith, G. E. (1994). Postmodern times: A Christian guide to contemporary thought and culture. Wheaton, IL: Crossway Books. Waaijman, K (2002). Spirituality. Forms, Foundations, Methods. Leuven: Peeters. _____, (2006). What is Spirituality? in De Villiers, P G R, Kourie, C & Lombaard, C (eds), The Spirit that Moves. Orientation and Issues in Spirituality. Acta Theologica Supplementum 8, 1-18. _____, (2007). Spirituality: A Multifaceted Phenomenon – Interdisciplinary Explorations. Studies in Spirituality 17, 1-113. Welch, M., & Koth, K. (2013). A metatheory of spiritual formation through service learning in higher education. Journal of College Student Development, 54(6), 612– 627. doi:10.1353/csd.2013.0089 Welch, A. A. (2015). Leadership Development Through Theological Education in the Theological Education Initiative of Central Missouri [Doctoral thesis, Bethel University]. Spark Repository. https://spark.bethel.edu/etd/653 Westerhoff, J. H. (2012). Will our children have faith? New York, NY: Church Publishing. Willard, D. (1998). Spiritual disciplines, spiritual formation, and the restoration of the soul. Journal of Psychology and Theology, 26(1), 101-109. 224 – Pembentukan Rohani Willard, D. (2000). Spiritual formation in Christ: A perspective on what it is and how it might be done. Journal of Psychology and Theology, 28(4), 254-258. Willard, D. (2002). Renovation of the Heart. NavPress. Willett, D. (2010). A biblical model of stages of spiritual development: The journey according to John. Journal of Spiritual Formation and Soul Care, 3(1), 88-102. Williamson, I. T., & Sandage, S. J. (2009). Longitudinal analyses of religious and spiritual development among seminary students. Mental Health, Religion & Culture, 12(8), 787- 801. Wolterstorff, N. P. (2003). Educating for life (G. G. Stronks & C. W. Jaldersma, Eds.). Grand Rapids, MI: Baker Books. Wuthnow, R. (1998). Struggling to manifest the sacred. In S. Moore (Ed.), The university through the eyes of faith (pp. 137–154). Indianapolis, IN: Light and Life Communications Yorio, P. L., & Ye, F. (2012). A meta-analysis on the effects of service-learning on the social, personal, and cognitive outcomes of learning. Academy of Management Learning and Education, 11(1), 9–27. doi:10.5465/amle.2010.0072 Zlotkowski, E. (1998). Successful service-learning programs: New models of excellence in higher education. Bolton, MA: Anker 225 – Pembentukan Rohani 226 – Pembentukan Rohani








ApplySandwichStrip

pFad - (p)hone/(F)rame/(a)nonymizer/(d)eclutterfier!      Saves Data!


--- a PPN by Garber Painting Akron. With Image Size Reduction included!

Fetched URL: https://www.academia.edu/122425035/Pembentukan_Rohani_di_Perguruan_Tinggi_Kristen

Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy