3 Ladaidrus

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 14

APLIKASI IRADIASI GAMMA UNTUK MENUNJANG PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI LADA

Idrus Kadir dan Rahayuningsih Chosdu Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR)-BATAN ABSTRAK
Lada (Piper nigrum) merupakan salah satu komoditas hasil pertanian penting Indonesia, karena lada tidak saja sebagai komoditas ekspor penghasil devisa, melainkan juga sebagai bahan baku industri pangan maupun obatobatan. Namun demikian, dari segi kualitas, lada masih harus ditingkatkan agar dapat memenuhi standar permintaan konsumen baik dalam maupun luar negeri. Salah satu upaya meningkatkan kualitas higienis lada adalah dengan mengkaji aplikasi teknik nuklir, dimana iradiasi gamma bahan pangan termasuk lada dimungkinkan baik dari segi teknologi maupun aspek ekonomi. Iradiasi gamma lada pada dosis 5 kGy memungkinkan dekontaminasi cemaran mikroba Enterobacteriaceae dan radisidasi (radicidation) Salmonella. Biaya iradiasi masih kompetitif yaitu dibawah Rp. 700,- per kg lada.
Kata kunci : Iradiasi, agroindustri, lada, kualitas

PENDAHULUAN Indonesia sejak dulu terkenal sebagai negeri utama penghasil rempahrempah (Chanisah, 1996; Kemala, 1996). Salah satu komoditas rempahrempah penting adalah lada, yang sudah lama dikenal dan digunakan dalam masakan tradisional Indonesia. Tanaman lada (Piper nigrum Linn) berasal dari pantai Barat Ghats, Malabar India. Dari daerah asalnya di pantai Barat India tersebut, lada dibawa oleh para pendatang Hindu ke Jawa sekitar tahun 100 SM dan tahun 600. Lada merupakan salah satu komoditas ekspor tradisional andalan Indonesia yang diperoleh dari buah lada black pepper dan tercatat sebagai produk pertama Indonesia yang diperdagangkan ke Eropa melalui Arabia dan Persia. Hingga kini Indonesia masih tercatat sebagai salah satu negara pengekpor lada terbesar dunia. Persisnya komposisi negara penghasil lada terbesar dunia adalah sebagai yang terbesar yaitu India (31,1%), disusul Indonesia (27%), Brazil (15,5%) dan Malaysia (14,3%). Keempat negara tersebut memasok 86-90 % lada dunia. Sisanya diproduksi oleh Thailand, Sri Lanka dan Madagaskar (Kemala, 1996). Peran utama lada terhadap perekonomian nasional menyangkut aspek-aspek sumber penghasil devisa,

ABSTRACT The Application of Gamma Iradiation to Support Agroindustry of Black Pepper


Black pepper is one of important agricultural product in Indonesia. It is known as an export commodity and row material for food and medicinal industry. However, its quality need some improvement in order to meet internal and foriegn consumer standard. Gamma iradiation can be used to improve hygienic quality in terms of technological as well as economical aspects. The use of 5 kGy gamma iradiation can cause decontamination Enterobacteriaceae and radicidation Salmonella. The cost for radiation is still competitive, i.e. less than Rp 700,- per kg.
Keywords : Black pepper, gamma iradiation, quality

25

penyedia lapangan kerja, dan bahan baku industri dalam negeri (Chanisah, 1996; Karmawati et al., 1996; Kemala, 1996). Dari segi aspek produksi hampir semua penanaman lada diusahakan dalam bentuk usaha tani kecil (small holders) dan tersebar pada beberapa propinsi daerah sentra produksi utama lada seperti Bangka Belitung dan Lampung (Rosman et al., 1996). Sebagai bahan baku industri dalam negeri, lada berguna untuk bahan baku industri makanan (agroindustri pangan), obat-obatan dan kosmetika. Kajian mengenai aplikasi iradiasi gamma dalam menunjang pengembangan agroindustri lada nasional dilakukan dengan studi pustaka berdasarkan hasil-hasil penelitian iradiasi lada dan perkembangan agroindustri lada nasional bertujuan untuk memberikan gambaran tentang prospek teknologi iradiasi sebagai teknologi alternatif dalam menunjang agroindustri nasional khususnya agroindustri lada. PROSPEK AGROINDUSTRI LADA Meskipun Indonesia tergolong sebagai salah satu penghasil lada terbesar di dunia, tetapi dari segi konsumsi dalam negeri masih relatif kecil. Lemahnya konsumsi dalam negeri kemungkinan berkaitan dengan masih kurangnya diversifikasi produk yang telah dilakukan dalam memanfaatkan lada sebagai komoditas agroindustri. Padahal komoditas ini dapat dikembangkan dalam bentuk agroindustri pangan maupun agroindustri yang berkaitan dengan bahan obat-obatan. Se-

lain itu masih relatif kurangnya penelitian-penelitian aplikatif yang berkaitan dengan penganekaragaman produk dari lada maupun pengembangan pemanfaatan lainnya. Perkembangan produksi lada Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketersediaan bahan baku lada cukup tinggi yang diproduksi dari lahan perkebunan rakyat. Hal ini memungkinkan pengembangan diversifikasi produk lada dalam negeri untuk mengembangkan agroindustri lokal maupun meningkatkan kualitas lada ekspor (Chanisah, 1996). Tabel 1. Perkembangan luas lahan dan produksi lada perkebunan rakyat 2000-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Luas lahan (ribuan hektar) 150,2 185,7 203,8 203,8 204,8 Produksi (ribuan ton) 69,0 82,0 90,1 90,3 94,8

Sumber : BPS (2005)

Perkembangan ekspor lada Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa total ekspor lada Indonesia pada tahun 2004 mencapai lebih dari 29.000 ton yang merupakan sepertiga dari produksi lada pada perkebunan rakyat pada tahun yang sama. Hal ini menunjukkan makin meningkatnya produksi lada olahan (agroindustri lada) dalam negeri yang juga mengindikasikan makin meningkatnya upaya diversifikasi aktivitas

26

agribisnis pascapanen lada Indonesia, harapkan dapat meningkatkan daya terutama agroindustri olahan lada dasaing industri (industrial competitilam negeri sehingga nilai tambah yang veness), sedangkan di daerah (indusdiperoleh diharapkan makin meningtri lokal) mendukung upaya memperkat. Hal ini juga makin menunjukkan kokoh keunggulan komparatif wilabahwa agroindustri di Indonesia pada yah. Upaya-upaya penggalian dan dasarnya cukup prospektif dikembangpenelitian mengenai kandungan dan kan karena keunggulan agroindustri khasiat serta pengembangan aneka dibandingkan sektor riil lainnya adalah produk dari lada sangat penting dimenggunakan bahan baku yang berlakukan. sumber dari sumberdaya alam dalam Hal itu tidak saja menjadi sumnegeri (resources based industries). ber informasi ilmiah, melainkan juga Selain itu kontribusi agroindustri termendorong peningkatan penggunaanhadap Product Domestic Bruto (PDB) nya (consumption) yang pada giliranmencapai 49% dari total sumbangan nya mendorong konsumsi lada tidak sektor industri terhadap PDB Indonesia hanya di dalam negeri tetapi juga di (Gumbira-Said, 2002). luar negeri. Peningkatan konsumsi lada Komoditas lada mempunyai kandunia tentunya akan semakin mengundungan dan khasiat yang memungtungkan Indonesia sebagai salah satu kinkan dikembangkan sebagai bahan produsen lada terbesar di dunia dalam obat maupun menjadi aneka produk upaya menyerap produksinya. Karena pangan yang berkhasiat ganda (Risdewasa ini dengan berlakunya perdafaheri, 1995; Risfaheri, 1996). Dengan gangan bebas (WTO, AFTA, APEC begitu besarnya potensi pengembangan dan lain-lain), maka konsumsi lada produk dari lada berarti memungkinkan dunia semakin ditentukan mekanisme dikembangkan berbagai produk dari pasar yang berdasarkan kekuatan penalada atau pun produk campuran dari lawaran dan permintaan (Chanisah, da sebagai dasar pengembangan agro1996; Eriyatno, 2001; ICGFI, 1997; industri berbasis lada, baik di tingkat Gumbira-Said, 2002). nasional maupun lokal. Perkembangan agroindustri di tingkat nasional diTabel 2. Perkembangan ekspor lada Indonesia 2000-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Kuantitas (ton) Lada putih Lada hitam 34.256,2 29.682,4 29.636,7 23.653,6 41.343,3 21.018,8 24.606,8 26.511,9 13.760,3 16.062,5 Nilai (ribuan dollar AS) Lada putih Lada hitam 117.528,9 100.602,8 60.077,6 39.922,3 58.968,5 29.167,2 54.710,8 38.048,9 29.650,7 21.271,4

Sumber : BPS (2005)

27

MANFAAT DAN KANDUNGAN KIMIA LADA Pada dasarnya banyak sekali manfaat dan khasiat lada. Pemanfaatan lada umumnya sebagai rempah-rempah atau bumbu masak (Risfaheri, 1995; Risfaheri, 1996; Nurdjannah, 1996). Lada dikenal dalam dua bentuk utama produk rempah yang diperjualbelikan, yaitu lada hitam dan lada putih; keduanya dapat berbentuk utuh maupun bubuk. Lada putih harganya lebih tinggi dari lada hitam. Lada hitam biasanya digunakan untuk makanan yang berwarna lembut seperti mayonnaise. Lada digunakan selain untuk konsumsi rumah tangga juga untuk industri makanan (food industry). Selain itu konsumsi lada dalam bentuk oleoresin merupakan hasil ekstrak dari lada hitam. Lada putih yang dihasilkan melalui cold process mempunyai banyak manfaat dalam mengatasi beberapa penyakit mata, gigitan ular, anti virus dan juga dipakai sebagai tonic. Lada juga digunakan sebagai pengawet yang penting untuk daging dan beberapa makanan yang mudah rusak, dan telah digunakan sejak dulu. Oleh karena itu lada banyak digunakan dalam pengalengan, confectionary dan minuman. Selain berfungsi sebagai pengawet juga berperan dalam memberi citarasa.

Buah lada mengandung minyak atsiri, fixed (fatty) oil, alkaloid, resin, asam piperat, selulosa, pentosan, pati, mineral dan lain-lain. Lada putih mengandung 1-2,5% minyak atsiri, sedangkan lada hitam mencapai 2,53,5%. Kadar pungent alkaloid (dinyatakan sebagai piperin) pada lada hitam dan lada putih relatif sama berkisar 4-10% tergantung varietasnya. Aroma dan flavour lada sangat tergantung ditentukan oleh komposisi minyak atsirinya. Komposisi minyak terdiri atas 70-80% monoterpen hydrocarbon (felandren, pinen, myrecene, dan limonen) dan 20-30% sesquiterpene hydrocarbon (kariofilen) dan 4% oxygenated compound (Risfaheri, 1995; Risfaheri, 1996). ASPEK PENGOLAHAN Produk lada yang diperjualbelikan sudah terdapat dalam berbagai bentuk hasil olahan, baik olahan primer maupun olahan sekunder. Aspek pengolahan disini hanya mengutarakan produk lada olahan primer, yaitu lada hitam, lada putih dan bubuk lada. Selain itu dijelaskan juga cara penyimpanannya. Lada hitam Lada hitam dihasilkan dari buah lada yang dipetik 6-7 bulan setelah berbunga. Kondisi ini dicirikan dengan warna buah sudah hijau tua atau kalau dalam satu tandan sudah ada buah yang berwarna kuning kemerahan. Proses pengolahan lada hitam dari buah lada segar cukup sederhana yaitu dengan

28

cara pengeringan. Sebelum dikeringkan dilakukan pencelupan/blancing. Selain cara blancing, penanganan buah lada sebelum dikeringkan dapat juga dilakukan dengan cara penyimpanan dalam karung selama sehari atau ditumpuk di tempat teduh selama dua hari. Proses pengolahan selanjutnya adalah melepaskan buah lada dari tangkainya. Setelah lada dipisahkan dari tangkainya kemudian dikeringkan dengan cara dijemur atau dengan alat pengering. Sesudah lada dikeringkan dilakukan sortasi untuk memisahkan bahan asing/kotoran dari lada hitam seperti abu, tangkai lada, lada menir dan sebagainya. Umumnya cara sortasi yang dilakukan petani hanya dengan cara menampi dan lada hitam yang dihasilkan dinamakan lada asalan. Untuk diperdagangkan, selanjutnya lada hitam disortasi dan dikemas biasanya dilakukan oleh para pedagang/eksportir (Mauludi dan Yuhono, 1996). Lada putih Bahan olah untuk memproduksi lada putih digunakan buah lada yang dipetik 8-9 bulan setelah bunga muncul. Ada kalanya lada putih juga dibuat dari lada hitam dengan cara mengupas kulit luarnya secara mekanis. Hanya saja aromanya lebih mirip lada hitam dan agak berbeda dengan lada putih biasa. Beberapa tahapan proses yang harus dilalui untuk memproduksi lada putih antara lain : perendaman, pencucian dan pengeringan serta sortasi dan pengemasan.

Buah lada putih yang sudah dikeringkan, disortasi oleh petani. Sortasi oleh petani umumnya hanya dengan menampi, sedangkan sortasi oleh eksportir menggunakan mesin atau dengan tangan (hand picked). Sortasi secara mekanis prinsipnya adalah sistim pengayakan dan pengembusan dimana nantinya akan terpisah lada aval, kulit dan gagang lada. Selesai disortasi, lada putih dikemas dalam karung dan untuk ekspor sebaiknya digunakan dua lapis. Lada bubuk Lada bubuk dapat dibuat dari lada putih dan lada hitam. Lada bubuk dari lada hitam umumnya untuk digunakan lebih lanjut dalam pembuatan oleoresin, sedangkan lada putih bubuk digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor antara lain ke Amerika Serikat dan Eropa. Pembuatan lada bubuk dari lada putih dilakukan dengan menggiling/ menghaluskannya dengan menggunakan mesin penggiling khusus dan cukup dilakukan satu kali karena lada termasuk bahan yang mudah digiling. Masalah utama dalam penggilingan lada adalah timbulnya panas selama penggilingan, yang akan mempengaruhi aroma dan kadar minyak bubuk lada. Oleh karena itu mesin pengiling sebaiknya dilengkapi dengan alat pendingin contohnya alat penggiling tipe cryogenic. Cara yang lebih mudah dan ekonomis adalah dengan mendinginkan lada dalam alat pendingin sebelum digiling untuk mencegah meningkatnya suhu selama penggilingan.

29

PENYIMPANAN Cara penyimpanan mempengaruhi mutu lada. Selain penyimpanan mutu lada juga ditentukan oleh kadar air, kelembaban nisbi dan juga pegemasannya. Lada hitam akan terserang jamur pada kadar air 17,74%-23,34% dengan kelembaban nisbi 73%, sedangkan lada putih dengan kadar air 14,47% -17,10% dan kelembaban nisbi 81%. Kondisi ini menjadi masalah bagi Indonesia karena kelembaban nisbinya tinggi. Untuk mengatasi hal ini disarankan lada harus dikeringkan sampai kadar air lebih kecil dari 11%. Jamur dan serangga harus dihilangkan dari lada dengan cara membersihkan, mencuci, mengeringkan dan dibalikbalik selama penyimpanan; juga kadar air harus ditentukan secara teliti (cara destilasi toluen) dan kemasan/karung sebaiknya dua lapis dan dilapisi plastik di dalamnya. Mikroba yang biasa mencemari lada adalah Acetobacter dalam bentuk koli dan ada kalanya Salmonella. Beberapa serangga dan anthropods juga diketahui dapat mencemari lada hitam. Pada lada hitam serangan jamur hanya terjadi pada permukaan saja sedangkan pada lada putih sampai ke dalamnya. Kalau serangan jamur hanya pada permukaan saja dapat dihilangkan dengan cara dicuci, sedangkan jika serangannya berat biasanya dilakukan dengan fumigasi dengan cara mencampur metilen bromida dan etilena bromida, tetapi cara fumigasi ini pun tidak dianjurkan lagi.

STANDAR MUTU Standar mutu lada (lada putih dan lada hitam) di Indonesia antara lain dapat dilihat pada SNI 01-0004-1987 dan SNI 01-0005-1987. Beberapa karakteristik yang diperhatikan dalam penetapan standar mutu yaitu kebersihan, warna, kadar benda asing, kadar lada lutung, kadar kontaminasi jamur, kadar lada berwarna kehitam-hitaman (bagi lada putih), kadar air, kadar piperin dan kadar minyak atsiri. Sebagai contoh, kadar air lada putih dan lada hitam mutu I masing-masing syaratnya maksimum 13% dan 12%. Syarat mutu lada putih dan lada hitam terbagi dua yaitu mutu I dan II. Syarat mutu lada yang berlaku secara internasional dikeluarkan oleh International Standard Organization (ISO). Syarat mutu yang dikeluarkan oleh ISO terdiri dari standar mutu lada hitam dan standar mutu lada putih. Karakteristik standar mutu yang diperhatikan menyangkut aspek fisik dan kimia dan mikrobiologi (Soedarman et al., 1984; Saputra et al., 1985). Dari segi fisik menyangkut bahan asing, lada entung, lada menir atau pecah dan bulk density; sedangkan secara kimia menyangkut kadar air, kadar abu, ekstrak eter yang tidak menguap, minyak atsiri, kadar piperin, abu tidak larut dalam asam dan serat kasar. APLIKASI IRADIASI GAMMA Lada putih Indonesia pernah diklaim oleh FDA pada periode 19821987, karena alasan mikroorganisme. Selain itu kadar minyak atsiri sering mengalami penurunan dari 3% menjadi

30

1%. Untuk memperbaiki mutu lada hitam, dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan perendaman dalam air panas 80oC selama 30 menit sebelum dikeringkan. Hal ini dapat memperbaiki warna, bau serta mempercepat proses pengeringan. Kontaminasi jamur dapat dicegah dengan melakukan pengeringan sampai kadar air 13% kemudian disimpan di tempat kering (Hilmy, 1984; Murni et al., 1995). Dengan berbagai cemaran yang mengkontaminasi lada tersebut, sebenarnya teknologi iradiasi gamma memungkinkan lada bebas dari cemaran mikroba (Goto et al., 1971; Chosdu et al., 1983; Hilmy, 1984; Soedarman et al., 1984; Saputra et al., 1984). Jumlah cemaran bakteri pada lada putih, pala dan jahe berkisar antara 105 sampai 107 per gram sampel, sedangkan jumlah cemaran kapang berkisar antara antara 104 sampai 106 per gram sampel. Namun dengan penyinaran iradiasi gamma pada dosis 15 kGy semua cemaran mikroba tersebut dapat hilang, dan pada dosis iradiasi 5 kGy dapat menurunkan cemaran bakteri lada hitam dan lada putih 2-4 log cycles terutama Enterobacteriaceae dan radisidasi Salmonella (Soedarman et al., 1984; Saputra et al., 1984; Anonim, 1993). Saat ini aplikasi iradiasi gamma bagi rempah-rempah termasuk lada di Indonesia, mengacu kepada Clearence (izin) dari Menteri Kesehatan RI berupa PERMENKES No. 826/MENKES/ PER/XII/1987 jo SK. MENKES No. 152/MENKES/SK/11/1995 yang telah memberi izin iradiasi terhadap komo-

ditas bahan pangan. Bagi rempahrempah, daun-daunan dan bumbu kering termasuk lada dosis iradisi yang diijinkan sampai dengan 10 kGy. Aplikasi iradiasi rempah-rempah secara komersial pada iradiator swasta terus meningkat setiap tahun (Taharuddin, 2004), namun demikian sosialisasi aspek komersial penggunaan teknik iradiasi pada lada sebagai komoditas agroindustri sekaligus komoditas ekspor perlu terus ditingkatkan agar terjadi percepatan peningkatan penggunaan teknik iradiasi ke masyarakat industri (Machi, 1996; ICGFI, 1997; Bruhn, 1998; Furuta et al., 1998; IAEA, 2002). Hal ini juga menyangkut daya saing agroindustri di pasar global sangat ditentukan variabel teknologi dan investasi yang ada pada unit usaha industri tersebut (Gumbira-Said, 2002). Dengan adanya Clearence dari pemerintah (Engle et al., 1990; Depkes, 1995; Wood dan Pikaev, 1994; IAEA, 2002) untuk meradiasi rempah-rempah termasuk lada, maka pemanfaatan teknologi iradiasi sebagai aplikasi teknik nuklir akan memberikan kontribusi bagi peningkatan perkembangan pasar industri yang memanfaatkan teknologi iradiasi. Meskipun terjadi peningkatan pemanfaatan teknologi iradiasi bahan pangan termasuk rempah-rempah, tetapi percepatan peningkatannya masih perlu terus dilakukan dengan cara meningkatkan sosialisasi teknologi iradiasi agar komersialisasi teknologi iradiasi memberikan peningkatan manfaat yang makin kompetitif bagi dunia agroindustri (Ridwan, 1984; Loaharanu, 1990; Machi, 1996). Keunggulan

31

teknologi iradiasi, selain dapat menyelamatkan produk rempah-rempah seperti lada dan sebagainya yang tetap higienis dan berkualitas memenuhi standar, juga merupakan teknologi ramah lingkungan karena tidak menimbulkan residu pada bahan yang diiradiasi (Djaloeis, 1996) dan kualitas bahan yang diiradiasi relatif tidak mengalami perubahan sama sekali (Saputra et al., 1983; Rochestry, 1985). Hal ini sesuai dengan perkembangan era pasar bebas, dimana produk-produk hasil pertanian harus mampu bersaing dengan meningkatkan daya saingnya antara lain adanya jaminan kualitas dan standar produk (Winarno, 1993; Winarno, 1994; Djaloeis, 1996; Gumbira-Said, 2002). ASPEK EKONOMI Pengembangan agroindustri lada nasional merupakan bagian dari aktivitas agribisnis nasional. Sebagai bagian dari aktivitas agribisnis yang dihadapkan dengan kompetisi global dengan ciri liberalisasi perdagangan dunia, maka faktor efisiensi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengembangan agroindustri lada. Oleh karena itu pemanfaatan teknologi iradiasi gamma merupakan alternatif penting sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan kualitas lada yang higienis dan memenuhi standar perdagangan serta menghasilkan produk-produk berbasis lada. Iradiasi lada sebagai rempah-rempah dengan tujuan dekontaminasi mikroba dapat dilakukan dengan dosis 5 kGy. Studi ekonomi penggunaan iradiasi gamma dalam

menangani produk pangan menunjukkan kelayakan ekonomi, ditinjau dari biaya iradiasi per kilogram bahan pangan yang diradiasi (Zagorski, 1990; Singson, 1990; Sofian et al., 1994). Analisis perhitungan biaya tetap, biaya operasi tahunan dan biaya iradiasi per kilogram bahan pangan dengan menggunakan Co-60 sebagai sumber iradiasi gamma, mengacu pada metode Cleland dan Pageau (1985) yang dikembangkan Sofian et al. (1994) dan disesuaikan dengan keadaan di lapangan, adalah sebagai berikut : Asumsi perhitungan Asumsi perhitungan terdiri dari (Sofian et al., 1994) : - Aktivitas sumber : 1 MCi, orde energi identik dengan akselerator dengan energi 5 MeV. - Laju dosis = 5 kGy/jam Kerapatan = 0,8 g/cm3 - Dosis iradiasi = 5 kGy - Power = 14,6 kW - Efisiensi = 25% - Waktu Operasi: 8000 jam/tahun - Biaya Perawatan/tahun = 3,5% x Investasi total - Pajak dan Asuransi/tahun = 2% x Investasi total. - Mortalitas (alat dan gedung) = 20 tahun. - Biaya investasi sepenuhnya dibiayai oleh investor tanpa pinjaman bank. - Keuntungan/tahun = 20% dari biaya operasional/tahun.

32

Biaya tetap terdiri dari :


Bangunan, 1350 m2 = 1350 x Rp 400.000,Perisai radiasi = harga bangunan Peralatan radiasi (US $ 1.200.000) Ventilasi dan AC = 1/6 harga bangunan Jasa teknik = harga peralatan radiasi Sumber radiasi: 1.000.000 Ci x US $ 1.2 (1 US $ = Rp. 10.000) Subtotal Tanah + perijinan = 3000 m2 x rp. 250.000 Investasi total = = = = = = Rp Rp 540.000.000,540.000.000,-

Rp 12.000.000.000,Rp 90.000.000,-

Rp 3.000.000.000,Rp 12.000.000.000,-

3600 x P (kW) x n x T (T (jam) M (kg) = --------------------------------------(1) D (kGy) Atau 3600 x P (kW) x n Q (kg/jam) = ------------------------(2) D (kGy) M = massa bahan yang diiradiasi (kg) P = power berkas iradiasi (kW) n = Efisiensi iradiasi T = waktu iradiasi (jam) Q = throughoutput per satuan waktu (kg/jam)

= = =

Rp 28.170.000.000,Rp 750.000.000,Rp 28.920.000.000,-

Biaya operasi tahunan terdiri dari :


Perawatan: 3,5% x Investasi total Pajak dan asuransi: 2% x Investasi total Gaji : 4 pekerja (Manajer, keselamatan, radiasi, dosimetri & Q.A) Rp 48.000.000,-/orang/ tahun Honor operator: 6 orang operator Rp 12.000.000,/orang/ tahun Suku cadang: 25% x investasi total Perawatan sumber: 12,3% x harga sumber + $ US 25.000 (untuk loading dan pengangkutan Depresiasi = Subtotal: 20 (Mortalitas 20 tahun) Total Keuntungan/Tahun = 20% x Rp 11.999.850,= = = Rp 1.012.200.000,Rp 578.400.000,Rp 192.000.000,-

Rp

72.000.000,-

= =

Rp 7.230.000.000,Rp 1.506.750.000,-

Dengan menggunakan rumus (1) kapasitas lada yang dapat diiradiasi diperoleh dengan menggunakan sumber Co-60 sebagai berikut : 3600 x 14,6 (kW) x 0,25 Q = ------------------------------5 (kGy) Q = 2.628 kg/jam Dengan waktu operasi irradiator Co-60 per tahun selama 8000 jam, maka kapasitas lada yang dapat diiradiasi sebagai berikut : Q = 2.628 kg/jam x 8.000 jam/tahun = 21.024 ton/tahun. Dengan demikian biaya iradiasi per kg lada sebagai berikut:
Biaya operasi tahunan + keuntungan yang diinginkan Biaya iradiasi = --------------------------------------Kapasitas tahunan Rp 11.999.850.000,- + Rp 2.399.970.000,= ----------------------------------------------------21.024.000 = Rp 685,-/kg.

= = =

Rp. 1.408.500.000,Rp 11.999.850.000,Rp 2.399.970.000,-

Selanjutnya, biaya iradiasi per kilogram lada dapat dihitung dengan mengetahui kapasitas lada yang diiradiasi dengan rumus berikut :

Dengan melihat biaya iradiasi lada per kilogram diatas tampak bahwa iradiasi lada masih kompetitif dalam rangka menghasilkan lada yang higienis dan memenuhi kebutuhan konsumen dunia dalam era perdagangan bebas. Selain itu aplikasi iradiasi bahan

33

Lada merupakan salah satu komoditas penting hasil pertanian Indonesia, baik sebagai komoditas ekspor sumber penghasil devisa maupun sebagai bahan baku industri. Sebagai komoditas ekspor lada dapat dikembangkan dengan meningkatkan daya saing di pasar internasional, sedangkan lada sebagai bahan baku industri peningkatan kualitas lada bertujuan untuk meningkatkan kualitas bahan baku yang sekaligus meningkatkan nilai tambah (added value). Sebagai bahan baku industri, lada dapat digunakan untuk mendiversifikasi industri olahan berbasis lada. Dengan demikian, peningkatan kualitas lada sebagai bahan baku industri dapat mendorong peningkatan perkembangan agroindustri berbasis lada. Tabel 3. Jumlah irradiator (Berkas Elektron dan Sinar Gamma) Kisaran Energi Jumlah Fasilitas (MeV) Berkas Elektron : 250 0,1-0,3 Berkas Elektron: 600 0,3-5 Berkas Elektron: 30 5-15 Berkas Sinar Gamma: 180 1,25
Keterangan: aSampai dengan 300 kW b Sampai dengan 150 kW per instalasi c Ekuivalen dengan 1 Mci. Sumber : IAEA (2002)

pangan juga dapat dilihat dari terus meningkatnya jumlah irradiator dunia (IAEA, 2002). Hal ini menunjukkan peningkatan permintaan iradiasi bahanbahan industri, termasuk industri bahan pangan sekaligus mengindikasikan bahwa iradiasi bahan pangan memberikan kontribusi secara ekonomi. Peningkatan jumlah irradiator dunia yang juga meradiasi bahan-bahan pangan menjadi indikasi bahwa teknik nuklir semakin diperlukan sebagai teknologi alternatif bagi peningkatan kualitas higienis bahan pangan dalam memenuhi standar perdagangan di era liberalisasi perdagangan dunia yang semakin kompetitif (Machi, 1996; IAEA, 2002). Perkembangan jumlah iradiator dunia sebagaimana dilaporkan IAEA (2002) dapat dilihat pada Tabel 3.

KESIMPULAN

Power rata-rata (kW) 100a 25b 10b 15c

Total power 25 15 0,3 2,7

34

Sebagai komoditas ekspor, lada masih sering menghadapi kendala mutu antara lain terdapat kandungan mikroba yang tidak dikehendaki sehingga menyebabkan hambatan bukan tariff (nontariff barrier) dalam menghadapi persaingan ekspor. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas lada adalah penggunaan iradiasi gamma sebagai aplikasi teknik nuklir. Iradiasi dengan dosis tertentu pada bahan pangan termasuk lada, dapat menurunkan bahkan menghilangkan sama sekali kandungan mikroba yang tidak dikehendaki sehingga kualitas higienik bahan pangan dapat ditingkatkan untuk memenuhi standar kualitas yang dikehendaki. Iradiasi lada pada dosis 5 kGy dapat digunakan untuk dekontaminasi cemaran mikroba Enterobacteriaceae dan radisidasi Salmonella. Tinjauan aspek tekno-ekonomi penggunaan iradiasi gamma 5 kGy dalam penanganan pascapanen lada untuk dekontaminasi cemaran mikroba menunjukkan kelayakan tekno-ekonomi dengan biaya iradiasi per kilogram lada yang kompetitif. SARAN Secara tekno-ekonomi aplikasi teknik iradiasi gamma cukup prospektif dalam menunjang pengembangan agroindustri lada, oleh karena itu perlu sosialisasi yang lebih intensif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang teknologi iradiasi sebagai teknologi alternatif yang dapat digunakan dalam penanganan bahan pangan termasuk lada.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1993. Pedoman Cara Iradiasi yang Baik untuk Pengontrolan Patogen dan Mikroflora Lain dalam rempah-rempah dan Bumbu-bumbu Kering, Ditjen. POM-Depkes, Jakarta. hal 1-12. Bruhn, C.M., 1998. Consumer Acceptance of Irradiated Food: Theory and Reality, Radiat. Phys. Chem., Vol. 52. No. 1-6. hal. 129-133. BPS., 2005. Statistik Indonesia: 2004, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Chosdu, R., N. Hilmy, Bagiawati, dan S. Sudiro, 1983. Pengaruh Sinar Gamma pada Simplisia Tanaman Obat dan Rempah-rempah (II): Piper cubeba, Piper nigrum, Piper retrofractum, Amomum cardamomum, dan Myristica fragrans (Maces), Majalah BATAN Vol. XVI No. 4. hal. 15. Chanisah, S., 1996. Status, perkembangan dan kendala pemasaran hasil tanaman obat Indonesia, Balitro, Bogor. 56. Depkes., 1995. Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor: 152/Menkes/ SK/II/1995 Tentang Perubahan atas Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 826/Menker/PER/ XII/1987 mengenai Makanan Iradiasi. Engel, R.E., Derr, D.D., Englejohn, D.E. and Keppler, H.M., 1990. Regulation View of The Radiation Processing of Food, Radiat. Phys. Chem. Vol. 35, No. 1-3. hal. 232.

35

Eriyatno, 2001. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah, Risalah Pertemuan Ilmiah Apisora, P3TIR-Batan, Jakarta. Furuta, M., T. Hayashi, Y. Hosokawa, T. Kakefu, H. Nishihara, 1998. Consumer Attitudes to Radiation and Irradiation Potatoes at Radiation Fair in Osaka Japan, Radiat. Phys. Chem., Vol. 52, No. 1-6. hal. 67-71. Goto, A., K. Yamazaki and M. Oka, 1971. Bacteriology of Radiation Sterilization of Spices, Food Irradiation No. 6. hal. 35. Gumbira-Said, 2002. Prospek Agroindustri Indonesia di Era Perdagangan Bebas, MMA-IPB, Bogor. hal. 1-8. Hilmy, N., 1984. Iradasi Rempah dan Jamu: Suatu Tinjauan Pustaka, Ris. Sem. Nas. Pengawetan Makanan dengan Iradiasi, Batan, Jakarta. hal. 43. ICGFI, 1997. Status Report on Food Irradiation by Member Countries of The International Consultative Group on Food Irradiation (ICGFI), ICGFI, Vienna. IAEA, 2002. Dosimetry for Food Irradiation, Technical Report Series No. 409, IAEA, Vienna.

Djaloeis, A., 1996. Peranan Sains dan Teknologi Nuklir dalam Menunjang Pertumbuhan Industri dan Pengelolaan Lingkungan, Risalah Seminar Apisora, Pair-Batan, Jakarta. hal. 1. Karmawati, E., D.S. Effendi dan P. Wahid, 1996. Potensi, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat, Pros. Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat, Bogor, 2829 Nopember 1995, Balitro, Bogor. Kemala, S., 1996. Prospek dan Pengusahaan Lada, Monograf Tanaman Lada, Balittro, Bogor. 12-17. Loaharanu, P., 1990. Prospects of International Trade in Irradiated Foods, Radiat. Phys. Chem. Vol. 35, No. 1-3. hal 223-231. Murni, M.A., A.B. Firdausil, A. Nazar dan Hayani, 1995. Perakitan Teknologi Budidaya Lada Terpadu di Lampung, Laporan Teknis Penelitian Penguasaan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Cimanggu Tahun 1994/1995, Balitro, Bogor. hal. 30. Mauludi, L., dan J.T. Yuhono, 1996. Tata Niaga Lada di Indonesia, Monograf Tanaman Lada, Balitro, Bogor. hal. 18. Nurdjannah, N., 1996. Diversifikasi Hasil Lada, Monograf Tanaman Lada, Balitro, Bogor. hal. 222.

36

Ridwan, M., 1984. Pemanfaatan Teknologi Iradiasi untuk Pengawetan Makanan, Pengawetan Makanan dengan Iradiasi (Risalah Seminar Nasional, Jakarta 1983), Batan, Jakarta. hal. 59. Rosman, R., P. Wahid dan R. Zaubin, 1996. Pewilayahan pengembangan tanaman lada di Indonesia, Monograf tanaman lada, Balitro, Bogor. hal. 67. Risfaheri, 1995. Khasiat dan Berbagai Produk Pangan dari Lada, Pros. Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional, KMNUP, Jakarta. hal. 483. Risfaheri, 1996. Masalah dan Standar Mutu Lada, Monograf Tanaman Lada, Balitro, Bogor. hal. 210. Rochestry, S., 1985. Suatu Tinjauan Tentang Efek kimia Iradiasi pada Komponen Utama Bahan Makanan, Majalah BATAN Vol. XVIII No. 3. hal. 82-96. Saputra, T.S., M. Maha and Z.I. Purwanto, 1983. Quality Changes of Irradiated Spices Stored in Various Packaging Materials, Majalah BATAN Vol. XVI No. 4. hal. 58. Soedarman, H., H. Stegeman, J. Farkas and D.A. Mossel, 1984. Decontamination of Black Pepper by Gamma Irradiation, Majalah BATAN Vol. XVII No. 2. hal. 77.

Saputra, T.S., J. Farkas, M. Maha dan Z.I. Purwanto, 1984. Trial Intercountry Shipment of Irradiated Spices, Majalah BATAN Vol. XVII No. 3. hal. 8. Saputra, T.S., M. Maha dan Z.I. Purwanto, 1985. Pengaruh Bahan Pengemas pada Kualitas Rempah Bubuk Iradiasi, Majalah BATAN Vol. XVIII No. 4. hal. 59. Singson, C.C., 1990. Economic Feasibility of Using Gamma Radiation for The Preservation of Some Agricultural Commodities in The Philippines, ASIAN Reg. Coop. Project on Food Irradition; Research & Development (IAEA-TECDOC545), IAEA, Vienna : 165-181. Sofian, R., D.L.T. Retno, H. Siswono dan H. Halid, 1994. Perbandingan Antara akselerator Elektron dengan Iradiator Cobalt-60 untuk Disinfestasi Beras Ditinjau dari Aspek Ekonomi, Majalah BATAN Vol. XXVII No. 1 dan 2. hal. 1-16. Sueo, M., 1996. New Trends of Radiation Processing Applications, Radiat. Phys. Chem. Vol. 47 No. 3. pp 333-336. Taharuddin, M., 2004. Peningkatan dan Pengembangan Aplikasi Iradiasi Bahan Pangan di Indogamma 1992-2002, Risalah Seminar Litbang Apisora 2003, P3TIRBATAN, Jakarta. hal. 23.

37

Winarno, F.G., 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hal. 143-154. Winarno, F.G., 1994. Mikrobiologi dan Keamanan Pangan, Pros. Pertemuan Ilmiah Tahunan, IPB Bogor, 10 Desember 1994, Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia Cab Bogor, Bogor. hal. 1-9.

Wood, R.J. and A.K. Pikaev, 1994. Radiation Treatment of Food, Applied Radiation Chemistry: Radiation Processing, John Wiley & Sons, Inc., New York. hal. 419454. Zagorski, Z. P., 1990. Possible Implication of Large Scale Radiation Processing of Food, Radiat. Phys. Chem. Vol. 35, No. 1-3. hal. 273276.

38

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy