Makalah PKP - Kelompok 5
Makalah PKP - Kelompok 5
Makalah PKP - Kelompok 5
Disusun Oleh :
1. Aufa Sehryl Aulia (20/462529/PN/16959)
2. Dhaffa Agung Thirafi (20/462345/PN/16775)
3. Elvi Yuningsih (20/462437/PN/16067)
4. Febriana Salvy Kusumawati (20/462351/PN/16781)
5. Puji Astuti (20/462364/PN/16794)
Gol./Kel. : A5.2/5
Asisten : Fajar Maya
Faktor produksi utama dalam pertanian adalah lahan. Kemampuan lahan yang
dikelola akan dapat memberikan hasil produksi yang berbeda tingkat produktivitasnya.
Tanaman pangan akan tumbuh optimal pada lahan subur yang dikenal sebagai lahan
sawah atau lahan basah. Sudah selayaknya jika selama ini pengembangan pertanian
bertumpu pada lahan ini, terutama padi yang masih menjadi pangan utama di Indonesia.
Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu kabupaten di DIY dengan lahan
pertanian yang didominasi oleh lahan kering. Sebagian berupa lahan kering tadah hujan
dan sebagian lagi berupa lahan kering tegalan. Lahan kering tadah hujan ditanami padi
saat musim penghujan dan palawija saat musim kemarau. Pola tanam dilakukan
bergiliran di antara padi dan kedelai, dan tumpangsari dilakukan bersama-sama antara
padi, jagung, ubikayu, dan kacang tanah. Dengan demikian, manajemen pengaturan
waktu tanam dan pemberian input produksinya juga berbeda (Dyah, 2017).
Pertanian adalah salah satu pekerjaan dominan penduduk pedesaan dan air tanah
adalah satu-satunya sumber irigasi (Raskar et al., 2019). Namun, tidak semua daerah
memiliki sumber air tanah yang melimpah. Salah satu cara untuk melakukan pertanian
pada daerah yang kering adalah dengan lahan tadah hujan. Lahan tadah hujan berpotensi
sebagai areal peningkatan produksi padi. Sesuai Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009
mengenai perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, yang menyatakan bahwa
lahan tidak beririgasi (lahan tadah hujan) termasuk dalam lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Luas lahan tadah hujan di Indonesia sangat luas yang tersebar di berbagai
provinsi, termasuk di Provinsi DIY, khususnya Kabupaten Gunungkidul yaitu dengan
luas 7858 ha pada tahun 2020 (Badan Pusat Statistika Kabupaten, 2021). Lahan padi
sawah di Kabupaten Gunungkidul didominasi dengan lahan sawah tadah hujan, dengan
luas 5669 ha, lebih luas dari lahan irigasi hanya 2189 pada tahun 2020 (Badan Pusat
Statistika Kabupaten, 2021). Luas lahan tersebut cukup potensial untuk meningkatkan
produksi padi dalam mendukung ketahanan pangan indonesia, khususnya di Kabupaten
Gunungkidul. Sebagian wilayah yang tergolong dalam lahan sawah tadah hujan di
Kabupaten Gunungkidul adalah Kecamatan Patuk dengan luas sawah tadah hujan 827
ha pada tahun 2020 (Badan Pusat Statistika Kabupaten, 2021).
Desa Ngoro-Oro menjadi salah satu wilayah yang mempunyai lahan sawah
tadah hujan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Kendala utama pada
lahan sawah tadah hujan adalah produktivitas padi jauh rendah dibandingkan dengan
lahan irigasi. Curah hujan menjadi faktor pembatas yang menentukan keberhasilan padi
sawah tadah hujan. Faktor eksternal dari sektor pertanian sangat berpengaruh terhadap
masalah produktivitas padi yaitu masih menerapkan teknologi tradisional yang
menyebabkan tidak optimumnya usahatani (Penyuluh Pertanian Benjeng, 2016).
B. Tujuan
B. Permasalahan
A. Inovasi (Solusi)
Faktor keterbatasan sumber air menyebabkan usahatani tidak optimal. Perlu
perhatian khusus untuk mengelola lahan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan
meningkatkan pendapatan petani lahan kering. Untuk dapat meningkatkan pendapatan
petani lahan kering tersebut, perlu dibuat sebuah strategi pola-pola usahatani lahan
kering khususnya tentang padi dan palawija. Ada beberapa pola tanam pengusahaan
padi dan palawija yang dilakukan dalam satu tahun. Setiap pola tanam membutuhkan
input yang berbeda dan juga hasil yang berbeda. Manajemen di sektor hulu terkait
dengan bagaimana menyediakan faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk proses
produksi mulai dari penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, kebutuhan tenaga
kerja dan sebagainya.
Kendala utama pada lahan kering beriklim kering adalah ketersediaan air yang
terbatas, sehingga perlu adanya optimalisasi penggunaan air dari sumber air yang
tersedia, baik air permukaan yaitu air sungai atau danau maupun air tanah dalam, yaitu
melalui irigasi hemat air. Irigasi hemat air dapat meningkatkan indeks pertanaman atau
meningkatkan luas tanam sehingga produksi pertanian meningkat. Demikian juga
dalam pemeliharaan bangunan infrastruktur air dan sumber air memerlukan perhatian
bersama. Agar kebutuhan air dapat terpenuhi secara merata, dapat digunakan pompa air
untuk mengairi sawah. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan atau membentuk
kelembagaan petani baru yang mengurus pengelolaan air irigasi untuk mengatur
penggunaan air irigasi, memelihara infrastruktur air dan memelihara sumber air serta
mengurangi bahkan menghindari konflik perebutan penggunaan air pada saat air untuk
tanaman diperlukan dan jumlah air terbatas. Selain itu dengan pengendalian
penggunaan air oleh kolam air dengan mengembalikan air ke saluran irigasi.
Dengan penggunaan bibit muda tanaman dapat cepat beradaptasi, tanaman
dapat di panen dengan cepat dan sehat, dan dapat memperdalam perakaran (Supriadi et
al, 2015). Penggunaan bibit muda tergantung pada kesempatan dan ketersediaan tenaga
kerja petani. Banyak petani yang menerapkan tanam benih langsung dengan membuat
lubang maupun ditabur di lahan pasang surut tadah hujan drainase baik dan lahan kering
(Supriadi et al, 2015). Hasil penelitian oleh Puslitbangtan tahun 1993-1995 pada
Supriadi el al (2015) menunjukkan bahwa sistem tanam padi sebar langsung ternyata
bisa menghemat tenaga kerja hingga 40%, mempercepat waktu panen hingga 2 minggu
dan bisa meningkatkan hasil sampai 25% dibandingkan sistem tanam pindah.
Penggunaan bibit muda dan sistem tanam tebar langsung ini untuk mengantisipasi
terjadinya kekeringan atau tidak ada lagi hujan di akhir masa tanam.
Selain itu, untuk mengatasi masalah pengairan yang terjadi di sawah tadah hujan
yang kemungkinan akan mengalami kekeringan bisa menggunakan padi gogo yang
mempunyai banyak varietas unggul. Pada umumnya varietas padi gogo berumur genjah
105-125 hari, tinggi 100-135 cm, toleran terhadap keracunan alumunium, toleran
kekeringan, tahan terhadap beberapa ras penyakit blas dan cocok dibudidayakan di
lahan kering (Alavan et al, 2015). Meningkatnya kelangkaan air dan pesatnya
perkembangan sosio-ekonomi mendorong para petani di Asia untuk mengubah sistem
pertanaman padi tradisional yang tergenang air menjadi produksi tanaman yang tidak
kebanjiran (John et al, 2020). Hal ini padi gogo dapat menjadi solusi ketika sawah tadah
hujan seperti di Desa Ngoro-Oro mengalami permasalah di dalam pengairan bahkan
mengalami kekeringan. Pada tahun 1999-2002 Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian telah melepas 7 varietas unggul padi gogo lahan kering antara lain Towuti,
Limboto, Danau Gaung, Batutegi, Situ Patenggang dan Situ Bagendit.
B. Sasaran Penyuluhan
Petani di Desa Ngoro-Oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, DIY
menjadi sasaran penyuluhan berdasarkan pertimbangan memiliki permasalahan
pengairan karena sawah tadah hujan di kecamatan tersebut.
D. Metode Penyuluhan
Metode penyuluhan yang dilakukan kelompok kami yaitu dengan penyuluhan
secara langsung kepada petani di Desa Ngoro-Oro, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunung Kidul, DIY dengan menggunakan media peraga yaitu folder berisi informasi
pertanian mengenai solusi pengairan pada sawah tadah hujan.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Lahan pertanian yang terdapat di Ngoro-Oro adalah sawah tadah hujan yang
sistem pengairannya tergantung pada air hujan. Padi merupakan tanaman yang
membutuhkan cukup banyak air sehingga pada musim kemarau para petani menanam
palawija. Para petani memiliki sumur untuk mengairi sawah. Namun, belum dapat
terdistribusi secara merata. Oleh karena itu diperlukan solusi untuk mengatasi
permasalahan ini. Diantaranya adalah optimalisasi penggunaan air dari sumber air yang
tersedia, menggunakan pompa air, dengan menggunakan bibit muda, dan menggunakan
padi gogo.
B. Saran
Saran kami terhadap permasalahan air pada sawah tadah hujan di Desa Ngoro-
Oro yaitu agar dibentuk lembaga yang mengurusi irigasi air agar kebutuhan tanaman
dapat terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Agussabti. 2020. Penyuluhan Pertanian Berbasis Syariah. Syiah Kuala University Press. Aceh
Alavan, A., Hayati, R., dan Hayati., E. 2015. Pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan
beberapa varietas padi gogo (Oryza sativa L.). Jurnal Floratek. 10(1):61-68.
Dyah,. Sulistyaning, P. 2017. Manajemen Usaha Tani Pada Lahan Kering Di Kabupaten
Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. 1:274-278.
John, K., Janz, B., Kiese, R., Wassmann, R., Zaitsev, A, S., and Wolters, V. 2020. Earthworms
offset straw-induced increase of greenhouse gas emission in upland rice production.
Journal Pre-proof. 710:1-55.
Rahmawati., Baruwadi, M., Bahua, M, I. 2019. Peran Kinerja Penyuluh Dan Efektivitas
Pelaksanaan Penyuluhan Pada Program Intensifikasi Jagung. 15(1): 2598-5922.
Raskar, T., Gaikwad, H., Kadekar, O., and Umrikar, B. N. 2019. Impact Assessment of Water
Harvesting Structures in Micro-Watersheds of Nira River Basin, Maharashtra, India.
Hydrospatial Analysis 3(2):72-89.
Supriadi, H., Rusastra, I, W., dan Ashari, F, N. 2015. Strategi pengembangan program SL-PTT
padi: kasus di lima agroekosistem. Analisis Kebijakan Pertanian. 13(1):1-17.
http://www.ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/akp/article/view/4219/3559.
Diakses tanggal 17 Maret 2021.
Sutrisno., Nono., Heryani, N. 2019. Pengembangan Irigasi Hemat Air untuk Meningkatkan
Produksi Pertanian Lahan Kering Beriklim Kering. 13(1):17-26