Laporan Praktikum Kultur Jaringan Bawang Putih: Oleh: Indah Kharisma 12080227550
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Bawang Putih: Oleh: Indah Kharisma 12080227550
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Bawang Putih: Oleh: Indah Kharisma 12080227550
Oleh:
INDAH KHARISMA
12080227550
Puji dan syukur ke Hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Kultur Jaringan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Asistent dosen sebagai pembimbing
praktikum matakuliah Kultur Jaringan yang telah banyak memberikan ilmu. Kepada
seluruh rekan-rekan seperjuangan yang telah banyak membantu penulis di dalam
penyusunan laporan praktikum ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
penulis ucapkan terima kasih dan semoga mendapatkan balasan dari Allah
Subhanahu Wa Ta’ala untuk menghadapi kemajuan kita semua dalam menghadapi
masa depan nanti.
Penulis berharap memperoleh manfaat secara pribadi. Semoga laporan praktikum
ini bermanfaat bagi kita semua baik masa kini maupun untuk masa yang akan datang.
In Syaa’ Allah.
Penulis
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Klas : Monocotyledoneae
Ordo : Liliflorae
Famili : Liliales atau Liliaceae
Genus : Allium
Spesie : Allium sativum L.
1.1.2. Morfologi Bawang Putih
Morfologi bawang putih terdiri atas akar, batang, daun, bunga dan umbi.
1. Akar
Tanaman bawang putih memiliki sistem perakaran dangkal yang
berkembang dan menyebar disekitar permukaan tanah sampai pada
kedalaman 10 cm. Bawang putih memiliki akar serabut dan terbentuk di
pangkal bawah batang sebenarnya (discus). Akar tersebut tertanam dalam
tanah sebagai alat untuk menyerap air dan unsur hara dari tanah. Sistem
perakaran bawang putih menyebar ke segala arah, namun tidak terlalu
dalam sehingga tidak tahan pada kondisi tanah yang kering (Samadi,
2000).
2. Batang
Batang bawang putih merupakan batang semu dan berbentuk cakram.
Batang tersebut terletak pada bagian dasar atau pangkal umbi yang
terbentuk dari pusat tajuk yang dibungkus daun-daun. Ketinggian batang
semu bawang putih dapat mencapai 30 cm (Samadi, 2000).
3. Daun
tanaman bawang putih memiliki ciri morfologis yaitu berbentuk pita,
pipih, lebar dan berukuran kecil serta melipat ke arah dalam sehingga
membentuk sudut pada pangkalnya. Satu tanaman bawang putih biasanya
memiliki 8-11 helai daun. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau
muda dengan kelopak daun yang tipis, kuat, dan membungkus kelopak
daun yang yang lebih muda (Samadi, 2000).
4. Bunga
Tanaman bawang putih dapat berbunga namun hanya pada varietas
tertentu saja. Bunga bawang putih berupa bunga majemuk yang
berbentuk bulat seperti bola, berwarna merah jambu, berukuran kecil,
tangkainya pendek, dan bentuknya menyerupai umbi bawang. Bunga
yang tumbuh dapat menghasilkan biji. Umumnya pada sebagian besar
varietas, tangkai bunga tidak tumbuh keluar melainkan hanya sebagian
bunga saja yang tampak keluar bahkan tidak sedikitpun bagian bunga
yang keluar karena sudah gagal sewaktu masih berupa tunas (Wibowo,
2007). Pembungaan pada bawang putih dapat mengganggu
perkembangan umbi dan tidak memiliki nilai ekonomi sehingga biasanya
para petani akan membuangnya. Pada bagian tangkai bunga terbentuk
umbi kecil yang menyebabkan pembengkakan sehingga umbi terlihat
seperti bunting. Umbi-umbi kecil tersebut dapat digunakan sebagai bahan
perbanyakan secara vegetative dengan cara ditanam berulang-ulang
selama + 2 tahun (Rukmana, 1995).
5. Umbi
Umbi bawang putih tersusun dari beberapa siung yang masing-masing
terbungkus oleh selaput tipis yang sebenarnya merupakan pelepah daun
sehingga tampak seperti umbi yang berukuran besar (Rukmana, 1995).
Ukuran dan jumlah siung bawang putih bergantung pada varietasnya.
Umbi bawang putih berbentuk bulat dan agak lonjong. Siung bawang
putih tumbuh dari ketiak daun, kecuali ketiak daun paling luar. Jumlah
siung untuk setiap umbi berbeda tergantung pada varietasnya. Bawang
putih varietas lokal biasanya pada setiap umbinya tersusun 15-20 siung
(Samadi, 2000).
II.2.Kultur Jaringan
Kultur Jaringan Kultur jaringan (tissue culture) adalah suatu teknik
mengisolasi bagian-bagian tanaman (sel, sekelompok sel, jaringan, organ,
protoplasma, tepung sari, ovari dan sebagainya), ditumbuhkan secara
tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan
kembali menjadi tanaman lengkap yang mempunyai sifat sama seperti
induknya dalam suatu lingkungan yang aseptik (bebas hama dan
penyakit). Selanjutnya teknik ini juga disebut kultur in vitro (in vitro
culture) yang artinya kultur di dalam wadah gelas(Wattimena dkk, 1992).
Dasar pengembangan kultur jaringan adalah totipotensi. Totipotensi
merupakan potensi suatu sel untuk dapat tumbuh dan berkembang
menjadi tanaman yang lengkap. Setiap sel akan beregenerasi menjadi
tanaman yang lengkap dan utuh apabila ditempatkan pada kondisi yang
sesuai (Kumar dkk, 2011).Tahapan kultur jaringan meliputi inisiasi,
multiplikasi, perpanjangan dan induksi akar (pengakaran), dan
aklimatisasi. Kegiatan inisiasi meliputi persiapan eksplan, sterilisasi
eksplan hingga mendapatkan eksplan yang bebas dari mikroorganisme
kontaminan. Multiplikasi merupakan tahap perbanyakan eksplan dengan
subkultur (pemindahan eksplan dalam media baru yang berisi Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT)) secara berulang-ulang untuk mempertahankan
stok bahan tanaman (eksplan). Pengakaran merupakan kegiatan terakhir
sebelum planlet dipindahkan ke kondisi luar. Aklimatisasi ialah proses
pemindahan/pengadaptasian planlet dari kondisi in vitro ke kondisi
luar/lapangan (Kumar dkk, 2011).
II.3. Media
Keberhasilan kultur jaringan ditentukan oleh media kultur jaringan yang
merupakan tempat tumbuh bagi eksplan. Media tersebut harus
mengandung semua zat yang diperlukan eksplan untuk menjamin
pertumbuhan eksplan yang ditanam. Media dasar MS (Murashige dan
Skoog) yang merupakan salah media yang paling banyak digunakan
dalam kultur jaringan. Saat ini sudah banyak penelitian dengan
menggunakan media MS yang dimodifikasi. Modifikasi media
dimaksudkan untuk mengetahui kebutuhan hara yang tepat bagi eksplan
untuk tumbuh dan berkembang pada media kultur jaringan dan terbebas
dari kontaminasi. Menurut Wattimena (2000) tanaman kentang dapat
diperbanyak secara kultur in vitro dengan mengguanakan media MS,
Menurut Gamborg dan Shyluk (1981) media MS dicirikan dengan
kandungan garam-garam anorganik yang tinggi. Karena media MS
mengandung garam-garam anorganik yang tinggi, maka dilakukan
modifikasi media MS dengan dilakukan pengenceran atau pengurangan
unsure hara makro pada media MS. Wetherell (1982) menyatakanbahwa
untuk tujuan tertentu komposisimedia dapat dimodifikasi lebih lanjut.
Bhojwani et al. (1996)menyatakan bahwa pada kulturDendrocalamus,
perbanyakkan pucukmenggunakan media MS yangdimodifikasi (½ MS
atau ¼ MS)memberikan hasil yang lebih baikdibandingkan dengan media
MS penuh. Selain itu, hasil dari penelitian Mardin dan Purwanoto (2007)
menunjukan bahwa modifikasi media MS sampai dengan ¼ MS masih
cukup baik untuk menumbuhkan eksplan tanaman kentang dilihat dari
tinggi tanaman, jumlah akar dan jumlah tunas. Pengenceran media MS
juga pernahdilakukan pada tanaman lada, pulasari,perwoceng dan nilam
(Roostika et al. 2001).
II.4.Zpt
Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman (Davies, 1995). Perannya antara lain
mengatur kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan
mengintegrasikan bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang
kita kenal sebagai tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam
pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe
tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al. 2004). Dalam
proses pembentukan organ seperti tunas atau akar ada interaksi antara zat
pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan ke dalam media dengan zat
pengatur tumbuh endogen yang diproduksi oleh jaringan tanaman
(Winata, 1987). Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur
dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam
sel, sehingga menjadi “fakor pemicu” dalam proses tumbuh dan
perkembangan jaringan. Untuk memacu pembentukan tunas dapat di-
lakukan dengan memanipulasi dosis auksin dan sitokinin eksogen
(Poonsapaya et al. 1989). Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam
kultur jaringan tergantung pada tujuan atau arah pertumbuhan tanaman
yang diinginkan. Zat pengatur tumbuh Benzyl Adenin(BA) paling banyak
digunakan untuk memacu penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas
yang kuat dibandingkan dengan kinetin (Zaer et al.l982). BA mempunyai
struktur dasar yang sama dengan kinetin tetapi lebih efektif karena BA
mempunyai gugus benzil (George et al. l984). BA merupakan jenis
sitokinin sintetik yang mempunyai aktivitas yang kuat, lebih efektif
daripada kinetin karena BA mempunyai gugus Benzil (Lestari, 2011). 6-
Benzyladenine, juga disebut 6-benzylaminopurine, adalah Sitokinin
sintetis yang merangsang pembelahan sel pada tanaman. Di antara
tindakan-tindakan lain, itu tadi dapat merangsang pertumbuhan tanaman
seperti, set bunga, dan meningkatkan kualitas buah. Sitokinin berada di
keluarga hormon pertumbuhan tanaman. Sebagai bagian dari penelitian
yang menggunakan pengatur pertumbuhan tanaman, dalam fisiologi
tanaman(Folke K. Skoog di University of Wisconsin-Madison) disintesis
6-benzyladenine dan menunjukkan keberhasilan. Flick et al. (1993)
menyatakan bahwa pada umumnya tanaman memiliki respon yang lebih
baik terhadap BA dibandingkan terhadap kinetin dan 2-iP sehingga BA
lebih efektif untuk produksi tunas in vitro. Pada banyak jenis tanaman zat
pengatur tumbuh 2-iP merupakan sitokinin yang mempunyai daya
aktivitas lebih lemah dibandingkan dengan sitokinin lainnya sehingga
jarang digunakan. Pada tanaman nilam penggunaan 2-iP menghasilkan
tunas yang lemah dan kurus (Seswita et al. 1996).
III. Materi dan Metode
IV.1. Hasil
Tabel 4.1. Tabel hasil pengamatan 8 kelas terhadap kultur jaringan nanas
multiplikasi dengan perlakuan MS0+1,5 ppm Bap+0,1 ppm Naa
V. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
PERLAKUAN 8 12345678
Number of observations 16
Dependent
Pattern Obs Variables
1 2 JD_INDAH
2 4 JA_INDAH
3 3 MT_INDAH JT_INDAH
4 8 JN_INDAH
NOTE: Variables in each group are consistent with respect to the presence or absence of missing values.
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 0 0.00000000 . . .
PERLAKUAN 0 0 . . .
PERLAKUAN 0 0 . . .
Level of -----------JD_INDAH----------
PERLAKUAN N Mean Std Dev
1 2 4.50000000 0.70710678
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 1
Error Mean Square 2
Harmonic Mean of Cell Sizes 1.2
Number of Means 2 3
Critical Range 23.20 17.80
A 6.000 2 1
A
A 1.000 1 5
A
A 1.000 1 6
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 1
Error Mean Square 24.5
Harmonic Mean of Cell Sizes 1.333333
Number of Means 2
Critical Range 77.03
A 11.500 2 1
A
A 2.000 1 3
The SAS System 21:58 Saturday, December 19, 2022 9
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 1
Error Mean Square 4.5
Harmonic Mean of Cell Sizes 1.333333
Number of Means 2
Critical Range 33.01
A 3.500 2 1
A
A 1.000 1 3
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 3
Error Mean Square 1.333333
Harmonic Mean of Cell Sizes 1.428571
NOTE: Cell sizes are not equal.
Number of Means 2 3 4 5
Critical Range 4.348 4.363 4.321 4.261
A 4.000 2 1
A
A 2.000 2 7
A
A 2.000 1 5
A
A 2.000 2 8
A
A 1.000 1 3