Makalah Shi Kelompok 7
Makalah Shi Kelompok 7
Makalah Shi Kelompok 7
Disususn oleh:
FAKULTAS SYARIAH
TAHUN 2024
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt.yang atas Rahmat Nya
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.Adapun tema dari makalah ini adalah “Arab Pra Islam,Sistem
Politik Kemasyarakatan dan Sistem Kepercayaan dan Kebudayaan”
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.
Kelompok 7
DAFTAR ISI
BAB I..................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................4
A.Latar belakang....................................................................................................4
B. Rumusan masalah.............................................................................................4
C.Tujuan masalah..................................................................................................5
BAB II.................................................................................................................6
PEMBAHASAN....................................................................................................6
A. Pengertian taqlid dan jumud..........................................................................6
B. Peranan dan Upaya ulama dalam menghadapi masalah tasyri’ dimasa taqlid
dan jumud..............................................................................................................9
C. Pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid dan jumud................13
D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi tasyri’ pada masa taqlid dan jumud....15
BAB III............................................................................................................17
PENUTUP.......................................................................................................17
A. Kesimpulan..................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
B. Rumusan masalah
PEMBAHASAN
Bagi orang yang mengamati perjalanan syari’at Islam pada fase ini,
tentu akan mendapati bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqaha’
sudah mati dan beralih kepada taqlid, tanpa ada semangat untuk
mencari terobosan dan kreatifitas baru. Mereka telah meletakkan diri
pada ruang yang sempit, yaitu ruang mazhab yang tidak boleh
dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan
(taqlid) saja.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya
masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk
berijtihad dan mengistinbathkan hukum seperti pendahulu mereka.
Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup
dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para
ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan kewara’an
mereka sehingga lebih memilih berputar di atas bahtera fiqh yang
sudah ada. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Abu al-Hasan al-
Kurkhiy, Abu Bakar ar-Razi dari kalangan Mazhab Hanafi, Ibnu
Rusyd al-Qurthubi dari Mazhab Maliki, al-Juwaini Imam al-
Haramain dan al-Ghazali dari kalangan Mazhab Syafi’i.1
2. Fanatisme Mazhab
Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab
dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat
fuqaha’ tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang
1
Superman Usman,Hukum Islam,(Jakarta:Gaya Media Pratama,2002),h.89
tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan
semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak
ikut-ikutan seperti Abu al-Hasan al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah,
bahkan ada yang berani mengatakan, “Setiap ayat yang bertentangan
dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau
dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang
tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam
secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari ijtihad.
3. Jabatan Hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali
kepada mereka yang memang mempunyai kemampuan dalam bidang
ilmu al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki
kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Manhaj para
khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara
harus berdasarkan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika
yang dekat dengan kebenaran. Namun, ketika kondisi sosial sudah
berubah bersama pergeseran waktu, para khalifah lebih
mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid, ikut pada
mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah
satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim
harus mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
Aliran yang muncul pada masa taqlid dan jumud berupa mazhab-
mazhab seperti Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Sistem hukum
yang digunakan pada masa itu ialah, mengambil keputusan hukum
melalui kitab-kitab mazhab mengingat pada masa itu banyak ulama
3
Rasyad Hasan Khalil,Tarikh Tasyri’…, h.36
banyak yang tidak mencukupi syarat mujtahid untuk mengambil
keputusan dari al-Qur’an dan sunnah.
Setelah seorang ulama yang bernama Muhammad Bin Jarir ath-
Thabari wafat pada tahun 531 H tidak ditemukan lagi orang yang
menyatakan dirinya sampai pada tingkatan mujtahid mustaqil baik
dalam berfatwa maupun dalam mengistinbath hukum serta
mengambil hukum-hukumnya dari al-Qur’an dan sunnah tanpa terikat
dengan pemikiran salah seorang imam mereka menganggap bahwa
kemampuannya tidak kuat untuk menggali ilmu dari al-Qur’an dan
sunnah serta mereka bukanlah ahlinya untuk melihat pada keduanya
dan mengistinbath dari keduanya, dalam diri mereka telah tumbuh
benih-benih taqlid sehingga mereka lebih bersandar pada fiqh Abu
Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ibnu Hanbal dan yang lainya yang
mazhabnya tersebar ketika itu. Mereka membatasi dirinya pada ruang
lingkup yang dijadikan pokok-pokok mazhab tersebut, tanpa
malampaui dan melewati batasannya. Setiap mereka menetapi satu
mazhab tertentu tanpa melampaui dan mengerahkan semua kekuatan
dalam mendukung mazhab tersebut baik secara global maupun secara
rinci.4
Pada periode ini orang cukup mempelajari kitab-kitab imam
tertentu dan mempelajari cara-caranya melakukan istinbath hukum-
hukum yang dibukukan tersebut. Dalam setiap mazhab, para ulama
menyaring dan membuang pernyataan yang lemah dari imam mazhab
mereka. Mereka juga mengklasifikasi narasi-narasi para pendiri
mazhab mereka sesuai dengan keakuratannya. Oleh karena itu,
karangan-karangan mereka tidak lebih dari ringkasan karangan
sebelumnya, atau penjelasannya atau pengumpulan pendapat yang
terpisah–pisah dalam berbagai kitab.
Dengan keberlebihan dan melampaui batas dalam fanatik terhadap
mazhab-mazhab salaf ini, mereka mendirikan benteng antara umat
dengan nash-nash al-Qur’an dan sunnah, sehingga syari’at itu
4
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam,(Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2003), h,163-164
menjadi tulisan-tulisan para fuqaha’ dan pendapat-pendapatnya , serta
kesungguhan meraka hanya sampai pada memahami ucapan para
imamnya atau menggali kaidah-kaidahnya. Sedangkan ijtihad telah
mereka lupakan hingga selesai dengan penutupan pintunya pada awal
abad keempat. Pada periode ini, dari golongan ulama terdapat pula
orang yang tidak kalah dengan imam-imam sebelumnya dalam
pengetahuan tentang pokok-pokok syari’at dan cara-cara istinbath,
namun mereka tidak cukup untuk berani muncul secara bebas seperti
yang dirasakan oleh para pendahulunya yang mengikat dirinya
dengan kekuatanya sendiri serta menyelesaikan kesulitan-kesulitan
dengan jalan ijtihad. Seperti Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-
Juwaini telah menyatakan dalam penyusunan kitab al-Muhith, tidak
mau terikat dengan satu mazhab dan mendasarkan pada nash-nash
syara’ yang tidak terhitung serta menjauhi sikap fanatik mazhab.
Kitab al-Juwaini tersebut sampai kepada al- Hafidz Abi Bakar al-
Baihaqi sebanyak tiga juz lalu beliau mengkritiknya tentang
kelemahan hadist-hadistnya dan menjelasakan padanya bahwa yang
mengambil hadist yang ada pada dirinya adalah Syafi’i, dan
ketidaksukaannya terhadap hadist-hadist yang dikeluarkan al-Juwaini
dalam kitabnya adalah karena terdapat kecacatan yang diketahuinya
sebagai orang yang menekuni kreasi para ahli hadist. Ketika risalah
al-Baihaqi sampai pada al-Juwaini, ia berkata: “ Ini adalah
keberkahan Ilmu.” Dan ia mendoakan al-Baihaqi serta ia tidak
menyempurnakan karangannya. Dari sini dapat anda lihat bahwa al-
Juwaini berhenti berijtihad karena ia bukan tokoh dalam hadist,
padahal Imam Syafi’i sendiri bersandar dalam pentashihan hadist-
hadist kepada ahli hadist yang dapat memutuskan dan membedakan
antara hadist shahih dan cacatnya.5
5
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam…, h,165-166
D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi tasyri’ pada masa taqlid
dan jumud
6. Faktor sosial: Pada masa itu, pada masa itu masih terdapat fuqaha’
yang mempunyai pembahasan-pembahasan yang berharga, serta
mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih
ada para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat
hukum yang dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-
kaidah yang diterima oleh umat Islam
7. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang diterima oleh
umat Islam.
8. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang diterima oleh
umat Islam.
9. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang diterima oleh
umat Islam.
10. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang
diterima oleh umat Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taqlid adalah melaksanakan atau mengikuti pendapat orang lain tanpa
disertai hujjah yang kuat. Jumud dapat diartikan jumhur ulama,
maksudnya yaitu mengikuti apa-apa yang difatwakan oleh ulama tanpa
berpikir lagi.
Para ulama masa taqlid dan jumud berperan antara lain ialah
memperluaskan pemahaman-pemahaman mazhab yang diikuti. Selain
itu. upaya yang mereka lakukan yaitu menanggulangi orang-orang yang
bertaqlid buta, agar umat tetap berada di jalan yang benar.
Aliran yang muncul pada masa taqlid dan jumud berupa mazhab-
mazhab seperti Syafi'i, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Sistem hukum yang
digunakan pada masa itu ialah, mengambil keputusan hukum melalui
kitab-kitab mazhab mengingat pada masa itu banyak ulama banyak yang
tidak mencukupi syarat mujtahid untuk mengambil keputusan dari al-
Qur'an dan sunnah.
B. Saran
Untuk memahami sebuah Sejarah diperlukan literatur terpercaya
sehingga Sejarah tersebut dapat dipercaya kebenaranya. Begitu pula
dengan Sejarah pembentukan hukum islam (tarikh tasyri’), banyak
literatur baik dari ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf
(kontemporer) yang menuliskan dengan baik rentetan Sejarah dan sangat
kami rekomendasikan untuk dibaca dan dikaji lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA