Makalah Shi Kelompok 7

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH HUKUM ISLAM

TASYRI’ PADA MASA TAQLID DAN JUMUD

Dosen Pengampu: Muhammad Latif Fauzi, S.H.I, M.S.I, M.A, Ph.D.

Disususn oleh:

1. Rizky Rahmadhani (232111016)


2. Putri Anugraheni (232111078)
3. Amelia Dhea Putri (232111097)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt.yang atas Rahmat Nya
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.Adapun tema dari makalah ini adalah “Arab Pra Islam,Sistem
Politik Kemasyarakatan dan Sistem Kepercayaan dan Kebudayaan”

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari
berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,


baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah
ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Surakarta, 28 Maret 2024

Kelompok 7
DAFTAR ISI

BAB I..................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................4
A.Latar belakang....................................................................................................4
B. Rumusan masalah.............................................................................................4
C.Tujuan masalah..................................................................................................5
BAB II.................................................................................................................6
PEMBAHASAN....................................................................................................6
A. Pengertian taqlid dan jumud..........................................................................6
B. Peranan dan Upaya ulama dalam menghadapi masalah tasyri’ dimasa taqlid
dan jumud..............................................................................................................9
C. Pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid dan jumud................13
D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi tasyri’ pada masa taqlid dan jumud....15
BAB III............................................................................................................17
PENUTUP.......................................................................................................17
A. Kesimpulan..................................................................................................17
B. Saran............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Tarikh Tasyri' merupakan salah satu kajian penting yang membahas


sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri' dalam
al-Qur’an, penetapan dan sumber hukum pada Nabi, para sahabat dan
fuqaha’ dalam generasi pertama. Tumbuhnya golongan politik dan
pengaruhnya atas perkembangan hukum Islam masa berikutnya.
Sehingga muncullah istilah-istilah fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta
pembaruan pemikiran hukum pada masa pasca kejumudan dan
reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta
mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan
dalam memahami fiqh Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan
metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqh, periodisasi
perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta mazhab-
mazhab fiqh. Namun dalam pembahasan makalah ini akan lebih
difokuskan terhadap pembahasan periodisasi taqlid dan jumud.

B. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan taqlid dan jumud?


2. Bagaimana peranan dan upaya ulama dalam menghadapi
masalah tasyri’ di masa taqlid dan jumud?
3. Apa pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid dan
jumud?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi tasyri' pada masa
taqlid dan jumud?
C.Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui maksud dari taqlid dan jumud?
2. Untuk mengetahui peranan dan upaya ulama dalam
menghadapi masalah tasyri’ di masa taqlid dan jumud?
3. Untuk Mengetahui pengaruh aliran dan sistem hukum pada
masa taqlid dan jumud?
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tasyri'
pada masa taqlid dan jumud?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian taqlid dan jumud

Periode taqlid dan jumud berlangsung sekitar abad 10/11 M (4 H)


sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini
disebut sebagai periode taqlid karena para fuqaha’ pada zaman ini
tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada
kandungan mazhab yang sudah ada, seperti Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali, serta mazhab lain yang sudah mencapai tahap
kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu
syar’i yang lainnya.

Taqlid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir.


Sedangkan taqlid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang
lain tanpa disertai hujjah yang kuat. Misalnya orang awam yang
mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang
mengambil pendapat mujtahid lain. Jumud dapat diartikan jumhur
ulama, maksudnya yaitu mengikuti apa-apa yang difatwakan oleh
ulama tanpa berpikir lagi.

Bagi orang yang mengamati perjalanan syari’at Islam pada fase ini,
tentu akan mendapati bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqaha’
sudah mati dan beralih kepada taqlid, tanpa ada semangat untuk
mencari terobosan dan kreatifitas baru. Mereka telah meletakkan diri
pada ruang yang sempit, yaitu ruang mazhab yang tidak boleh
dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan
(taqlid) saja.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya
masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk
berijtihad dan mengistinbathkan hukum seperti pendahulu mereka.
Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup
dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para
ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan kewara’an
mereka sehingga lebih memilih berputar di atas bahtera fiqh yang
sudah ada. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Abu al-Hasan al-
Kurkhiy, Abu Bakar ar-Razi dari kalangan Mazhab Hanafi, Ibnu
Rusyd al-Qurthubi dari Mazhab Maliki, al-Juwaini Imam al-
Haramain dan al-Ghazali dari kalangan Mazhab Syafi’i.1

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian


fuqaha’ yang memiliki kapasitas untuk memahami, beristinbath, dan
berijtihad secara mutlak, namun mereka lebih memilih untuk
bertaqlid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta
masalah cabang yang ada dalam mazhab. Adapun sebab terjadinya
taqlid adalah sebagai berikut: [3]

1. Pembukuan Kitab Mazhab


Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah membahas bahwa
kebangkitan fiqh Islam telah ditandai dengan telah ditulisnya fiqh
Islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua persoalan yang
dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara
cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode ini
tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.

2. Fanatisme Mazhab
Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab
dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat
fuqaha’ tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang

1
Superman Usman,Hukum Islam,(Jakarta:Gaya Media Pratama,2002),h.89
tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan
semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak
ikut-ikutan seperti Abu al-Hasan al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah,
bahkan ada yang berani mengatakan, “Setiap ayat yang bertentangan
dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau
dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang
tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam
secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari ijtihad.

3. Jabatan Hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali
kepada mereka yang memang mempunyai kemampuan dalam bidang
ilmu al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki
kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Manhaj para
khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara
harus berdasarkan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika
yang dekat dengan kebenaran. Namun, ketika kondisi sosial sudah
berubah bersama pergeseran waktu, para khalifah lebih
mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid, ikut pada
mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah
satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim
harus mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.

4. Ditutupnya Pintu Ijtihad


Petaka besar menimpa fiqh Islam pada periode ini, di mana kesucian
ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum
sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan
dalil-dalil fiqh yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama
tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk
menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar
mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa
dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan.
Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek
yang negatif terhadap fiqh Islam sehingga menjadi jumud dan
ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqaha’ periode ini meletakkan
beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat
ulama gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil
dan bukti yang menyingkap aib mereka di depan orang banyak, dan
melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa
ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan
hal ini mereka lakukan, niscaya mereka telah memberikan kontribusi
positif terhadap perkembangan fiqh Islam dan lebih baik dari pada
menutup pintu ijtihad sama sekali.2

B. Peranan dan Upaya ulama dalam menghadapi masalah tasyri’


dimasa taqlid dan jumud

Setelah menjelaskan berbagai penyebab terjadinya taqlid sepanjang


fase ini yang lebih lanjut berakibat pada kemunduran dan kekakuan
fiqh Islam, maka perlu dijelaskan beberapa upaya dan kontribusi
yang sudah dilakukan oleh para ulama untuk mengembangkan fiqh
Islam pada periode ini, dengan begitu kita tidak menzalimi karya fiqh
mereka yang berputar di sekeliling mazhab-mazhab yang ada.
Walaupun upaya ini tidak sampai melahirkan mazhab baru yang
memiliki prinsip sendiri seperti yang pernah dilakukan oleh
pendahulunya. Dan upaya mereka hanya sebatas memperluas
pemahaman mazhab yang diikuti mereka, sebuah khidmat yang patut
disyukuri sehingga membuat kajian fiqh mazhab semakin dalam dan
terinci, luas, dan sistematik.

Diketahui bahwa ulama pada periode ini telah mengekang dirinya


dengan taqlid, dan mengikat dirinya dengan mengikut imam tertentu
dalam hukum dan fatwa, namun ada juga usaha-usaha mereka harus
2
Rasyad Hasan Khalil,Tarikh Tasyri’:Sejarah Legilasi Hukum Islam,terj.Nadirsyah Hawari,
(Jakarta:Amzah,2009),h.35
kita ketahui dan ini membuktikan bahwa roh taqlid buta belum
merata benar. Mereka masih mengumpulkan hadits-hadits,
mentarjihkan riwayat-riwayat yang berlawanan, mengeluarkan illah-
illah hukum, menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok tauhid
dengan jalan memperhatikan memperhatikan hukum yang telah
ditentukan oleh imam-imam itu. Mereka berusaha mencari
keterangan untuk mempertahankan pendapat-pendapat imam,
menyusun kitab-kitab khilafiyah (kitab yang menerangkan hukum
yang diperselisihkan) seperti Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd,
al-I’tisam karya Assyatibi, Al-Mizan Karya Al-Sya’rani.

Dengan demikian menyatakan bahwa ulama pada masa ini adalah


ulama penyempurna mazhab dengan jalan tarjih, oleh karenanya
mereka diberi gelar ulama murajihin. Walaupun sebenarnya banyak
faktor yang membuat para ulama berhenti melakukan ijtihad mutlak
dan mengembangkan hukum-hukum syari’at dari sumber-sumbernya
yang pertama, namun tidaklah berarti bahwa mereka juga menahan
serta memberhentikan kesungguhannya dalam upaya pembentukan
hukum di lingkungan daerah mereka yang terbatas. Oleh karena itu,
para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa
tingkatan, yaitu:

1. Tingkatan Pertama: Ahli Ijtihad dan Mazhab.


Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at secara ijtihad
mutlak, mereka hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang
terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah dirumuskan oleh para
imam mazhab mereka. Di antara mereka ialah: al-Hasan bin Ziyad
(204 H/820 M) dari Mazhab Hanafi, Ibnu al-Qasim (191 H/) dan
Asyhab (204 H/820 M) dari Mazhab Maliki, dan al-Buwaithiy (231
H) dan al-Muzanny (264 H) dari Mazhab Syafi’i.
2. Tingkatan Kedua: Ahli Ijtihad Mengenai Beberapa Masalah yang
Tidak Ada Riwayat dari Imam Mazhabnya. Mereka ini tidak
menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan juga
tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka
hanya mengistinbathkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah
yang tidak ada riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para
imam mereka dan dengan mengqiyaskan kepada cabang-cabang
hukum mereka. Mereka yang termasuk dalam tingkatan kedua ini
adalah al-Khashshaf (261 H), al-Thahawiy (lahir 230 H), dan al-
Karkhiy (340 H) dari penganut Mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy(498
H), Ibnu al-Arabiy (542 H) dan Ibnu Rusyd (1198 M) dari penganut
Mazhab Maliki. Abu Hamid al-Ghazaliy (505 H/1111 M) dan Abu
Ishaq al-Isfirayiniy (418 H) dari penganut Mazhab Syafi’i.

3. Tingkatan Ketiga: Ahli Takhrij.


Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistinbathkan hukum
mengenai berbagai masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka
kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang dianutnya, maka
mereka tidak berusaha mengeluarkan illah-illah hukum dan
prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka membatasi diri hanya pada
memberi interpretasi terhadap pendapat-pendapat imamnya yang
masih bersifat global atau menentukan arah tertentu bagi suatu
hukum yang mengandung kemungkinan dua arah. Yang termasuk
dalam tingkatan ketiga ini ialah seperti al-Jahshash (370 H) dan
rekan-rekannya dari Mazhab Hanafi.

4. Tingkatan Keempat: Ahli Tarjih


Mereka ini mampu membandingkan di antara beberapa riwayat yang
bermacam-macam yang bersumber dari para imam mazhab mereka
dan sekaligus mampu mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara
satu riwayat dengan riwayat lainnya. Mereka yang termasuk dalam
tingkatan ini adalah al-Qadury (428 H) dan pengarang kitab al
Hidayah, serta rekan-rekannya sesama penganut Mazhab Hanafi.

5. Tingkatan Kelima: Ahli Taqlid


Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang
jarang dikenal dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan
mampu membeda-bedakan antara dalil-dalil yang kuat dan yang
lemah. Mereka yang termasuk dalam tingkatan kelima ini adalah
pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar di
kalangan Mazhab Hanafi, seperti pengarang kitab al-Kanz dan al-
Wiqoyah.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa kesungguhan


aktivitas para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini
adalah mencurahkan perhatiannya kepada pendapat-pendapat dan
hukum-hukum yang sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para imam
mazhab mereka. Mereka membatasi diri mereka hanya pada
pembahasan mengenai pendapat-pendapat imam mazhab mereka dan
illah-illah yang mereka jadikan dasar pertimbangan, serta mereka
mentarjih, menetapkan mana pendapat yang lebih kuat di antara
pendapat imam mazhab mereka yang kelihatan kontradiksi antara
satu dengan yang lainnya.3

C. Pengaruh aliran dan sistem hukum pada masa taqlid dan


jumud

Aliran yang muncul pada masa taqlid dan jumud berupa mazhab-
mazhab seperti Syafi’i, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Sistem hukum
yang digunakan pada masa itu ialah, mengambil keputusan hukum
melalui kitab-kitab mazhab mengingat pada masa itu banyak ulama

3
Rasyad Hasan Khalil,Tarikh Tasyri’…, h.36
banyak yang tidak mencukupi syarat mujtahid untuk mengambil
keputusan dari al-Qur’an dan sunnah.
Setelah seorang ulama yang bernama Muhammad Bin Jarir ath-
Thabari wafat pada tahun 531 H tidak ditemukan lagi orang yang
menyatakan dirinya sampai pada tingkatan mujtahid mustaqil baik
dalam berfatwa maupun dalam mengistinbath hukum serta
mengambil hukum-hukumnya dari al-Qur’an dan sunnah tanpa terikat
dengan pemikiran salah seorang imam mereka menganggap bahwa
kemampuannya tidak kuat untuk menggali ilmu dari al-Qur’an dan
sunnah serta mereka bukanlah ahlinya untuk melihat pada keduanya
dan mengistinbath dari keduanya, dalam diri mereka telah tumbuh
benih-benih taqlid sehingga mereka lebih bersandar pada fiqh Abu
Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ibnu Hanbal dan yang lainya yang
mazhabnya tersebar ketika itu. Mereka membatasi dirinya pada ruang
lingkup yang dijadikan pokok-pokok mazhab tersebut, tanpa
malampaui dan melewati batasannya. Setiap mereka menetapi satu
mazhab tertentu tanpa melampaui dan mengerahkan semua kekuatan
dalam mendukung mazhab tersebut baik secara global maupun secara
rinci.4
Pada periode ini orang cukup mempelajari kitab-kitab imam
tertentu dan mempelajari cara-caranya melakukan istinbath hukum-
hukum yang dibukukan tersebut. Dalam setiap mazhab, para ulama
menyaring dan membuang pernyataan yang lemah dari imam mazhab
mereka. Mereka juga mengklasifikasi narasi-narasi para pendiri
mazhab mereka sesuai dengan keakuratannya. Oleh karena itu,
karangan-karangan mereka tidak lebih dari ringkasan karangan
sebelumnya, atau penjelasannya atau pengumpulan pendapat yang
terpisah–pisah dalam berbagai kitab.
Dengan keberlebihan dan melampaui batas dalam fanatik terhadap
mazhab-mazhab salaf ini, mereka mendirikan benteng antara umat
dengan nash-nash al-Qur’an dan sunnah, sehingga syari’at itu

4
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam,(Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2003), h,163-164
menjadi tulisan-tulisan para fuqaha’ dan pendapat-pendapatnya , serta
kesungguhan meraka hanya sampai pada memahami ucapan para
imamnya atau menggali kaidah-kaidahnya. Sedangkan ijtihad telah
mereka lupakan hingga selesai dengan penutupan pintunya pada awal
abad keempat. Pada periode ini, dari golongan ulama terdapat pula
orang yang tidak kalah dengan imam-imam sebelumnya dalam
pengetahuan tentang pokok-pokok syari’at dan cara-cara istinbath,
namun mereka tidak cukup untuk berani muncul secara bebas seperti
yang dirasakan oleh para pendahulunya yang mengikat dirinya
dengan kekuatanya sendiri serta menyelesaikan kesulitan-kesulitan
dengan jalan ijtihad. Seperti Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-
Juwaini telah menyatakan dalam penyusunan kitab al-Muhith, tidak
mau terikat dengan satu mazhab dan mendasarkan pada nash-nash
syara’ yang tidak terhitung serta menjauhi sikap fanatik mazhab.
Kitab al-Juwaini tersebut sampai kepada al- Hafidz Abi Bakar al-
Baihaqi sebanyak tiga juz lalu beliau mengkritiknya tentang
kelemahan hadist-hadistnya dan menjelasakan padanya bahwa yang
mengambil hadist yang ada pada dirinya adalah Syafi’i, dan
ketidaksukaannya terhadap hadist-hadist yang dikeluarkan al-Juwaini
dalam kitabnya adalah karena terdapat kecacatan yang diketahuinya
sebagai orang yang menekuni kreasi para ahli hadist. Ketika risalah
al-Baihaqi sampai pada al-Juwaini, ia berkata: “ Ini adalah
keberkahan Ilmu.” Dan ia mendoakan al-Baihaqi serta ia tidak
menyempurnakan karangannya. Dari sini dapat anda lihat bahwa al-
Juwaini berhenti berijtihad karena ia bukan tokoh dalam hadist,
padahal Imam Syafi’i sendiri bersandar dalam pentashihan hadist-
hadist kepada ahli hadist yang dapat memutuskan dan membedakan
antara hadist shahih dan cacatnya.5

5
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam…, h,165-166
D. Faktor-Faktor yang mempengaruhi tasyri’ pada masa taqlid
dan jumud

1.Faktor politik: Pada masa taqlid dan jumud, pemerintah memiliki


peran penting dalam menetapkan seseorang untuk menjadi hakim dan
mufti, serta kedudukan lainnya. Pada masa itu, golongan politik juga
bertambah banyak, yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam

2. Faktor intelektual: Pada masa taqlid dan jumud, ulama


meninggalkan ijtihad dan mengikuti madzhab yang telah ditetapkan
sebelumnya. Pada masa itu, masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab
3. Faktor moral: Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami
lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk
memahami nash-nash itu sendiri. Pada masa itu, semangat keilmuan
dan kesenian menjadi lemah dan mandek, yang mempengaruhi
terhentinya gerakan ijtihad pembentukan hukum.

4. Faktor sosial: Tumbuhnya golongan politik dan pengaruhnya atas


perkembangan hukum Islam masa berikutnya. Pada masa itu, umat
Islam mempunyai kemampuan dan kesanggupan dalam
mengistimbathkan hukum dari sumber pertama, seperti Al Hasan ibn
Zaiyad, Ibnul Qasim, Al Muzani, Al Buwaithi, Al Atsram, dan Al
Mawarzi.

5. Faktor moral: Pada masa itu, masih terdapat fuqaha’ yang


memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan oleh para imam, dan
masih ada mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab.

6. Faktor sosial: Pada masa itu, pada masa itu masih terdapat fuqaha’
yang mempunyai pembahasan-pembahasan yang berharga, serta
mujtahid muqayyad atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih
ada para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat
hukum yang dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-
kaidah yang diterima oleh umat Islam

7. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang diterima oleh
umat Islam.

8. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang diterima oleh
umat Islam.

9. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang diterima oleh
umat Islam.

10. Faktor moral: Pada masa itu, masih ada fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga, serta mujtahid muqayyad
atau mujtahid madzhab. Pada masa itu, masih ada para fuqaha’ pada
masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum yang dikemukanan
oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah yang
diterima oleh umat Islam.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Taqlid adalah melaksanakan atau mengikuti pendapat orang lain tanpa
disertai hujjah yang kuat. Jumud dapat diartikan jumhur ulama,
maksudnya yaitu mengikuti apa-apa yang difatwakan oleh ulama tanpa
berpikir lagi.

Para ulama masa taqlid dan jumud berperan antara lain ialah
memperluaskan pemahaman-pemahaman mazhab yang diikuti. Selain
itu. upaya yang mereka lakukan yaitu menanggulangi orang-orang yang
bertaqlid buta, agar umat tetap berada di jalan yang benar.

Aliran yang muncul pada masa taqlid dan jumud berupa mazhab-
mazhab seperti Syafi'i, Hanbali, Maliki dan Hanafi. Sistem hukum yang
digunakan pada masa itu ialah, mengambil keputusan hukum melalui
kitab-kitab mazhab mengingat pada masa itu banyak ulama banyak yang
tidak mencukupi syarat mujtahid untuk mengambil keputusan dari al-
Qur'an dan sunnah.

B. Saran
Untuk memahami sebuah Sejarah diperlukan literatur terpercaya
sehingga Sejarah tersebut dapat dipercaya kebenaranya. Begitu pula
dengan Sejarah pembentukan hukum islam (tarikh tasyri’), banyak
literatur baik dari ulama salaf (terdahulu) maupun ulama khalaf
(kontemporer) yang menuliskan dengan baik rentetan Sejarah dan sangat
kami rekomendasikan untuk dibaca dan dikaji lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,


1995), h. 49.
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
h. 89.
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri': Sejarah Legislasi Hukum Islam,
terj. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 35.
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2003), h.163-164.
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh,
(Bandung: Nusamedia, 2005), h. 141.
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam…, h.165-166.
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam,(Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2003),
h,163-164
Abu Ameenah Bilal Philips,Asal Usul dan Perkembangan Fiqh,
(Bandung: Nusamedia,2005), h.141
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam…, h,165-166

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy