1 PB
1 PB
1 PB
24274
Abstract. Coal is an alternative energy source of the main energy namely oil
and gas formed from the deposition of organic/plant materials that have
undergone the process of flogging and burning. Coal can be used as an energy
source, but in coal utilization cannot be equalized because each coal has different
qualities. This quality is assessed based on physical character and also
chemistry, the higher the carbon content in coal then the higher the quality. The
physical and chemical characteristics of coal are strongly influenced by
geological factors such as age, geological structure and also the environment of
precipitation during the development process. The research was conducted at
two locations namely Location A with the number of 10 samples of seam coal
and Location B with a sample count of 10 seam of coal. From the sample,
research was conducted by determining the quality of coal in the form of ratings
based on calorific value and coal grade based on ash content. In addition, the
determination of the deposition environment using classification according to
Horne, 1978 by determining the litofasies of the drill hole statigraphy. Location
A has coal with a high volatile bituminous rating of C to high volatile
bituminous B, while Location B has a Sub-bituminous rating of B to Sub-
bituminous A (American Society For Testing and Material,1993). Then for coal
grade at Location A and B in the form of high grade coal (European Economic
Community,1998). In this study, Location A was located in the Pamaluan
Formation with the age of the Late Oligocene - Early Miocene while Location
B on balang island formation aged Central Miocene - Late Miocene. Geological
conditions in this area are also heavily influenced by the structure of the folds,
the base rises, and the flat base. As for the deposition environment in this area
in the form of transitional lower delta plain at Location A, and upper delta
plain fluvial at Location B.
Keywords: Coal Quality, Precipitation Environment, Sulfur, Ash
Content, Coal Rank and Lithofasies.
793
794 | Alwi Nurul Alim, et al.
karakterstik fisik dan juga kimianya, semakin tinggi kadar karbon pada batubara
maka kualitasnya pun akan semakin tinggi. Karakteristik fisik dan kimia pada
batubara sangat dipengaruhi oleh faktor geologi berupa umur, struktur geologi
dan juga lingkungan pengendapan pada saat proses keterbentukannya.
Penelitian dilakukan pada dua lokasi yaitu Lokasi A dengan jumlah 10 sampel
seam batubara dan Lokasi B dengan jumlah sampel 10 seam batubara. Dari
sampel tersebut dilakukan penelitian dengan menentukan kualitas dari batubara
berupa peringkat berdasarkan nilai kalor dan grade batubara berdasarkan
kandungan abu. Selain itu dilakukan penentuan lingkungan pengendapan
menggunakan klasifikasi menurut Horne, 1978 dengan cara menentukan
litofasies dari statigrafi lubang bor. Lokasi A memiliki batubara dengan
peringkat high volatile bituminous C sampai high volatile bituminous B,
sedangkan Lokasi B memiliki peringkat Sub-bituminous B sampai Sub-
bituminous A (American Society For Testing and Material, 1993). Lalu untuk
grade batubara pada Lokasi A dan B berupa high grade coal (European
Economic Community, 1998). Pada penelitian ini, Lokasi A terletak pada
Formasi Pamaluan dengan umur Oligosen Akhir - Miosen Awal sedangkan
Lokasi B pada Formasi Pulau Balang berumur Miosen Tengah - Miosen Akhir.
Kondisi geologi pada daerah ini juga sangat dipengaruhi oleh struktur lipatan,
sesar naik, dan sesar mendatar. Sedangkan untuk lingkungan pengendapan pada
daerah ini berupa transitional lower delta plain pada Lokasi A, dan upper delta
plain fluvial pada Lokasi B.
Kata Kunci: Kualitas Batubara, Lingkungan Pengendapan, Sulfur,
Kadar Abu, Peringkat Batubara dan Litofasies.
1. Pendahuluan
Batubara merupakan sumberdaya energi alternatif dari energi utama berupa minyak dan gas
bumi yang terbentuk dari pengendapan material organik/tumbuhan berkambium yang
mengalami proses penggambutan dan pembatubaraan. Potensi batubara di Indonesia yang
tergolong besar serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi ini memberikan peluang yang terbuka
khususnya dalam industri pertambangan. Selain itu juga batubara dimanfaatkan sebagai sumber
energi akan tetapi dalam pemanfaatan batubara tidak dapat di samaratakan, karena setiap
batubara memiliki karakteristik yang berbeda baik dari karakteristik fisik maupun dengan
kandung kimianya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi kualitas dan nilai ekonomi dari
batubara tersebut. Kualitas batubara dapat dikatakan tinggi apabila menghasilkan panas atau
nilai kalor yang tinggi, hal ini ditentukan dari komponen atau kandungan dari batubara itu
sendiri seperti kadar air total, kadar abu, zat terbang dan juga karbon tertambat.
Berdasarkan kualitasnya, batubara dibagi menjadi beberapa peringkat yaitu lignit, sub-
bituminus, bituminus, dan peringkat tertinggi antrasit. Sebagian besar peringkat batubara di
Indonesia termasuk kedalam peringkat lignit sampai bituminus. Kualitas batubara ini sangat
dipengaruhi oleh suhu, tekanan dan proses keterbentukannya yaitu pada saat material organik
mengalami proses sedimentasi maka material organik tersebut akan mendapatkan tekanan dari
lapisan diatasnya. Atau dapat dikatakan bahwa pada saat batubara terbentuk akan dipengaruhi
faktor geologi berupa umur geologi, struktur geologi, dan lingkungan pengendapannya.
Lingkungan pengendapan ini akan memberikan pengaruh yang berbeda dengan umur dan
stuktur geologi, dimana pada umur dan struktur geologi akan dipengaruhi suhu dan tekanan
sedangkan pada lingkungan pengendapan akan dipengaruhi oleh kondisi susunan batuan dan air
pada saat proses pengendapan serta tumbuhan pembentuk dari batubaranya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: “Bagaimana lingkungan pengendapan akan mempengaruhi kualitas batubara baik dari
karakteristik fisik maupun kiminya?”. Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini dapat diuraikan
dengan pokok-pokok sbb.
1. Mengetahui karakterisitik batubara berdasarkan hasil analisis proksimat dan nilai kalor.
2. Mengetahui kualitas batubara berdasarkan peringkat dan grade batubara.
3. Mengetahui lingkungan pengendapan batubara pada lokasi penelitian.
4. Mengetahui hubungan antara kualitas batubara dengan lingkungan pengendapan.
2. Landasan Teori
Batubara merupakan bahan bakar fosil dari batuan sedimen yang terbakar dengan unsur
utamanya yaitu karbon, hidrogen, dan oksigen. Batubara terbentuk dari endapan organik berupa
sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses penggambutan dan juga pembatubaraan yang
berlangsung selama puluhan juta tahun lamanya. Sedangkan menurut Sukandarrumidi, 1995
batubara merupakan bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari proses penggambutan
dan pembatubaraan di dalam suatu cekungan dalam jangka waktu geologis yang meliputi
aktivitas bio-geokimia terhadap akumulasi flora di alam yang mengandung selulosa dan lignin.
Jadi batubara dapat didefinisikan sebagai batuan sedimen yang terdiri dari bahan organik yang
telah mengalami proses penggambutan dan juga pembatubaraan. Proses tersebut memiliki
jangka waktu geologis tertentu yang dipengaruhi oleh suhu dan tekanan.
Proses pembentukan batubara dipengaruhi oleh adanya faktor fisika dan kimia dari alam
akan mengubah kandungan selulosa menjadi lignit, sub-bituminus, bituminus dan antrasit.
Terdapat dua tahap proses pembentukan batubara yaitu yang pertama tahap biokimia
(penggambutan), tahap ini merupakan suatu tahapan dimana sisa tumbuhan terkumpul dan
terendapkan dalam kondisi bebas oksigen (anaerobic) seperti daerah rawa yang selalu tergenang
oleh air. Dalam kondisi tersebut material tumbuhan yang telah mengendap akan mengalami
pembusukan dan melepaskan beberapa unsur yaitu H, N, O dan C dalam bentuk senyawa CO2,
H2O dan NH3. Selanjutnya tahap pembatubaraan (coalification), pada tahap pembatubaraan ini
0020merupakan proses diagenesis pada komponen organik, proses perubahan gambut ke lignit
menyebabkan kenaikan suhu dan tekanan sebagai proses biokimia, kimia dan fisika yang terjadi
karena adanya pembebanan berupa lapisan sedimen yang menutupi endapan dengan waktu yang
lama.
Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya batubara yaitu teori In-situ, dalam teori
ini dijelaskan bahwa material pembentuk batubara merupakan tumbuhan atau pohon yang
tumbuh dimana batubara tersebut terendapkan. Material tersebut tidak mengalami transportasi,
sehingga saat tumbuhan tersebut mati dan roboh akan langsung terakumulasi dengan sisa
tumbuhan lain. Biasanya batubara pada teori ini berada pada lingkungan rawa. Jenis batubara
pada teori ini memiliki ciri berupa sebarannya luas, merata, lapisan luas dan kualitas baik karena
sedikitnya pengotor atau abu. Contoh batubara menurut teori insitu berada di Muara Enim,
Sumatera Selatan.
Kemudian teori Drift, dalam teori ini dijelaskan bahwa material pembentuk batubara
bukan berasal dari tempat pengendapannya, melainkan tumbuhan yang mati dan terbawa oleh
arus air sehingga terakumulasi dengan material lainnya pada suatu lingkungan pengendapan dan
tertimbun lapisan sedimen hingga mengalami pembatubaraan. Biasanya terbentuk pada delta
sungai dengan ciri lapisan tipis, tidak menerus, penyebaran sempit dan banyak pengotor atau
kandungan abu yang tinggi. Contoh batubara menurut teori drift ini berada di Mahakam Purba,
Kalimantan Timur.
Batubara merupakan batuan yang terbentuk dari material organik dan terendapkan pada
kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Lingkungan pengendapan pada batubara dapat
mempengaruhi penyebaran secara lateral, ketebalan, komposisi dan juga kualitas dari batubara
itu sendiri. Dalam proses pembentukan endapan batubara, terjadi penimbunan atau pengendapan
material organik secara terus-menerus dan memiliki kondisi reduksi tinggi karena adanya
sirkulasi air yang cepat sehingga material organik tersebut tidak berhubungan dengan oksigen
dan akhirnya terawetkan. Kondisi pengendapan tersebut dapat terjadi pada lingkungan pantai
(paralic) dan juga rawa-rawa (limnik) dimana semakin kearah laut maka batubaranya akan
memiliki kandungan sulfur yang tinggi akibat adanya garam sulfida pada daerah laut.
Teknik Pertambangan
796 | Alwi Nurul Alim, et al.
Gambar 1 menunjukan bahwa sampel A yang memiliki nilai kalor yang berkisar dari
12899,5 - 13365,8 Btu/lb termasuk kedalam peringkat batubara High Volatile Bituminous C dan
High Volatile Bituminous B. Sedangkan pada sampel B yang memiliki nilai kalor yang berkisar
dari 10160,3 – 11207,4 Btu/lb termasuk kedalam peringkat batubara Sub-Bituminous B dan Sub-
Bituminous A. Sehingga jika dibandingkan antara Formasi Pamaluan dengan Formasi Pulau
Balang yang memiliki peringkat lebih baik yaitu Formasi Pamaluan pada sampel A.
Sedangkan peringkat batubara menggunakan perhitungan nilai fuel ratio pada sampel A
memiliki nilai antara 0,99 – 1,19 dengan rata-rata 1,11 sehingga termasuk kedalam peringkat
Bituminous High Volatile. Sedangkan pada sampel B memiliki nilai antara 0,87-1,19 dengan
rata-rata 0,97 sehingga termasuk kedalam peringkat Bituminous High Volatile. Sehingga jika
dibandingkan antara Formasi Pamaluan dengan Pulau Balang keduanya memiliki peringkat
yang sama, akan tetapi sampel A memiliki nilai fuel ratio yang relatif lebih tinggi.
Grade batubara pada sampel A dan B termasuk kedalam high grade coal dikarenakan
kadar abu yang dimiliki >10% sehingga batubara ini termasuk kedalam grade yang baik dalam
pemanfaatan batubara.
Dari kedua lokasi tersebut dapat diketahui bahwa susunan batuannya relatif sama yang
Teknik Pertambangan
798 | Alwi Nurul Alim, et al.
didominasi oleh batupasir, batulanau, pada bagian bawahnya. Sedangkan bagian atasnya
didominasi oleh batuan halus yaitu batulempung. Dari ciri fisik pada satuan batuan dari kedua
lokasi tersebut dapat diketahui lingkungan pengendapannya.
Hal yang membedakan dari kedua lokasi tersebut yaitu dari ukuran butir pada batupasir
dan kekerasan pada lapisan batuannya. Lokasi A yang memiliki batupasir berbutir halus dan
kekerasan lapisan batuannya cukup keras sehingga lingkungan pengendapan pada Lokasi A ini
termasuk kedalam Transitional Lower Delta Plain (Horne, 1978). Sedangkan pada Lokasi B
yang memiliki batupasir berbutir sedang dan kekerasan lapisan sangat keras, sehingga
lingkungan pengendapan pada Lokasi B ini termasuk kedalam Upper Delta Plain Fluvial
(Horne, 1978).
Sehingga dapat diindikasikan bahwa Lokasi A memiliki zona Transitional Lower Delta
Plain yang lebih dipengaruhi oleh zona Upper Delta Plain Fluvial. Hal ini didukung oleh
susunan satuan batuan yang sama dengan Lokasi B dimana Lokasi B ini memiliki zona Upper
Delta Plain.
Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa pada Lokasi A dan Lokasi B memiliki persamaan
dimana terdapat pengaruh positif antara hubungan Kadar Abu dengan Total Sulfur yang berarti
bahwa semakin tinggi kadar sulfur maka kadar abu pada suatu batubara akan semakin tinggi.
Selain itu pada grafik juga menunjukan bahwa pada Lokasi A memiliki nilai total sulfur
berkisar dari 0,13% sampai 0,68% dengan rata-rata sebesar 0,3%. Sedangkan kadar abunya
berkisar dari 3,43% sampai 7,05% dengan rata-rata 4,56%. Selain itu pada Lokasi B memiliki
total sulfur yang berkisar dari 0,14% sampai 1,34% dengan rata-rata 0,57%, dan kadar abunya
berkisar dari 3,7% sampai 8,12% dengan rata-rata 5,72% dalam basis air dried.
Pada grafik juga dapat diketahui bahwa pada Lokasi A dan Lokasi B memiliki arah
trendline yang naik dimana total sulfur dengan kadar abu memiliki hubungan yang positif dan
dapat dibuktikan dengan nilai y dan juga R2. Pada Lokasi A diketahui memiliki nilai y = 0,0783x
– 0,0569 dengan nilai R2 =0,2616 dan pada Lokasi B memiliki nilai y = 0,0291x + 0,3986
dengan nilai R2 =0,0095.
Jika dibandingkan di antara Lokasi A dan Lokasi B menunjukan bahwa kedua lokasi
tersebut memiliki total sulfur dan kadar abu yang relatif sama, hal tersebut dapat dilihat pada
grafik dimana penyebaran titik pada kedua lokasi tersebut tidak jauh berbeda. Akan tetapi
terdapat anomali pada Lokasi B yang menunjukan bahwa kadar abu dan sulfurnya tinggi.
Tingginya nilai total sulfur ini dapat disebabkan karena adanya pengaruh dari pasang surut air
laut yang menghasilkan reaksi dengan garam laut dimana terjadi pelapukan atau oksidasi
terhadap bagian atas (roof) maupun bawah (floor) dari lapisan batubara.
Volume 6, No. 2, Tahun 2020 ISSN: 2460-6499
Hubungan Kualitas Batubara dengan Lingkungan Pengendapan di PT Bhadra Pinggala … | 799
Daftar Pustaka
[1] Allen, G.p. Chambers, J.L.C. 1998. Sedimentation In The Modern and Miocene Mahakam
Delta. Indonesian Petroleum Association pg 236.
[2] Anonim. 1998. International Classification of in-Seam Coals. Geneva: Economic Commission
for Europe Committee on Sustainable Energy.
[3] Anonim. 2017. Coal Basin Analysis Series-Model Pengendapan Delta: Horne dkk (1978) vs
Allen (1976). http:/asbut.blogspot.com. Diakses Pada Tanggal 2 Agustus 2020.
[4] Horne, J.C., Ferm, J.C., Caruccio, F.T., Baganz, B.P., 1978. Depositional Models in Coal
Exploration and Mine Planning in Appalanchian Region. The American Association of
Petroleum Geologist Bulletin 62, pp. 2379-2411.
[5] Sukandarrumidi. 1995. Batubara dan Gambut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Teknik Pertambangan