Fix Laporan KKL Novi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 76

STUDI STRATEGI ADAPTASI NELAYAN LOBSTER TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM DI DESA KARANGWANGI KECAMATAN


CIDAUN KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT

Laporan Penelitian Kuliah Kerja Lapangan (KKL)


Di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi, Cianjur, Jawa Barat
10 - 17 Mei 2015

Disusun oleh :
NOVIYANTI SOLEHA
140410120059

PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN KULIAH KERJA LAPANGAN

Nama

: Noviyanti Soleha

NPM

: 140410120059

Bidang

: Ekologi Manusia

Judul

: Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap


Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi Kecamatan Cidaun
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

Tempat Penelitian

: Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Desa Karangwangi,


Cianjur, Jawa Barat

Waktu Penelitian

: 10 - 17 Mei 2015

Telah diperiksa dan disahkan :


Jatinangor,

Juni 2015

Menyetujui,
Dosen Pembimbing Laporan
KKL 2015

Dosen Pembimbing Lapangan


KKL 2015

Dr. Herri Y Hadikusumah, M.Si


NIP. 19531118 198701 1 001

Tatang Suharmana E, Drs., MIL


NIP. 19570824 198601 1 001

Mengetahui,
Ketua Rombongan KKL 2015

Prof. Dr. Erri Noviar Megantara


NIP. 19571103 198603 1 004
Studi Strategi Adaptasi Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa
Karangwangi Kecamatan Cidaun Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

Oleh : Noviyanti Soleha


Pembimbing : Dr. Herri Y Hadikusumah, M.Si dan Tatang
Suharmana E, Drs., MIL

ABSTRAK

Perubahan iklim telah menyebabkan kerentanan di berbagai wilayah, terutama di


wilayah pesisir. Kelompok nelayan merupakan kelompok masyarakat yang paling
rentan terhadap perubahan cuaca dan lingkungan. Di Desa Karangwangi tercatat
117 orang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster. Perubahan iklim yang
terjadi memaksa nelayan lobster untuk beradaptasi. Mata pencaharian nelayan
yang sangat bergantung pada kondisi alam menyebabkan adanya ketergantungan
terhadap pola cuaca dan aktivitas penangkapan lobster. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengetahuan lokal mengenai iklim melalui pengamatan
kondisi lingkungan di sekitar laut, mengetahui tanda dari flora dan fauna lainnya
sebagai tanda bahwa waktu panen lobster telah tiba dan mengetahui strategi
adaptasi yang dilakukan oleh nelayan lobster Desa Karangwangi saat tidak dapat
melakukan aktivitas penangkapan lobster. Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan hasil data bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan meliputi
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari informan kunci melalui
wawancara mendalam dan dilakukan pengamatan berkaitan dengan aktivitas
penangkapan lobster. Data sekunder diperoleh dari Kantor Desa Karangwangi,
buku dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian
didapat bahwa sebelum melakukan penangkapan lobster para nelayan mengamati
kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan waktu pasang surut,
serta kecerahan langit. Pengetahuan tersebut lebih banyak diperoleh dari
pembelajaran dan pengalaman pribadi dibanding dengan pengetahuan yang
sifatnya turun temurun. Tanda waktu panen lobster telah tiba adalah dengan
adanya flora, yaitu Sagassum spinuligerum dan fauna laut, yaitu lumba-lumba,
ikan hiu, ikan layur, ikan sidat, gurita, kepiting, rajungan, ikan tongkol dan ikan
tuna yang melimpah jumlahnya. Pola iklim yang berubah membuat para nelayan
beradaptasi dengan mengubah kalender penangkapan lobster mereka mengikuti
perubahan dan pergeseran musim, para nelayan lobster memiliki mata
pencaharian sampingan, seperti menjadi petani, peternak bahkan buruh dan para
nelayan melakukan inovasi dan modifikasi pada alat penangkap lobster guna
meningkatkan hasil tangkapan.
Kata Kunci: Nelayan Lobster, Adaptasi, Perubahan Iklim, Desa Karangwangi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat, izin dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Kuliah Kerja
Lapangan Bidang Ekologi Manusia yang berjudul Studi Strategi Adaptasi
Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi Kecamatan
Cidaun Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tepat pada waktunya. Shalawat serta
salam senantiasa tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penuntun
umat dan suri tauladan yang baik.
Dalam penyusunan laporan KKL ini penulis banyak mendapat tantangan
dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak, tantangan dan
hambatan itu bisa teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan KKL ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
laporan KKL ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk memperbaiki
dan membangun penulis. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan laporan selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jatinangor, Juni 2015

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015 tidak mungkin dapat terlaksana tanpa
adanya izin dari berbagai pihak dan penyusunan laporan penelitian ini juga tidak
dapat mungkin terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh
karenanya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena telah melimpahkan rahmat, izin dan karunia-Nya
kepada penulis dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 2015 dan
penyusunan laporannya.
2. Kepada orang tua dan saudara yang senantiasa memberikan doaa dan
dukungan dalam segala aktivitas yang dilakukan oleh penulis. Saya akan
mendoakan, mencintai dan membanggakan kalian.
3. Bapak Dr. Herri Y Hadikusumah, M.Si selaku dosen pembimbing laporan
yang senantiasa membimbing dan membantu dalam persiapan sebelum ke
lapangan dan penyusunan laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015 ini.
Terima kasih atas segala masukan, pesan, nasihat dan kritik yang telah
diberikan.
4. Bapak Tatang Suharmana E, Drs., MIL yang senantiasa membimbing
pengerjaan di lapangan.
5. Bapak Dr. Moch. Nurzaman, S.Si., M.Si., selaku Kepala Departemen
Biologi Fakultas Matematika dan Imu Pengetahuan Alam, Universitas
Padjajaran

6. Bapak Dr. Teguh Husodo, S.Si., M.Si., selaku Koordinator Program Studi
Sarjana Biologi F. MIPA, Universitas Padjajaran
7. Bapak Prof. Dr. Erri Noviar Megantara selaku Ketua Rombongan kegiatan
Kuliah Kerja Lapangan 2015
8. Pihak Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Pihak Desa Karangwangi
yang memberikan izin atas pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan dan
memberikan bantuannya selama kegiatan berlangsung.
9. Para informan kunci yang sudah bersedia diminta waktunya, berbagi
cerita, berbagi informasi, yaitu Bapak Yayat, Bapak Darso, Bapak Asep,
Bapak Syamsudin, Bapak Jajang, Ibu Kokom, Ibu Roroh, Bapak Badin,
Bapak Opan, Bapak Sayud, Bapak Rahmat dan Bapak Asan. Terima kasih
telah menunjukkan perjuangan hidup dari aktivitas mencari lobster di laut
yang penuh tantangan. Terima kasih telah memberikan kesempatan bagi
penulis untuk mencicipi lobster dan rajungan hasil tangkapan.
10. Teman-teman bendahara, Syahidah dan Firda; teman satu bidang, yaitu
Baiq Arriyadul Badi'ah dan teman wawancara, yaitu Anne, Indra, Aqi dan
Sarah yang bekerja sama selama pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan 2015
ini.
11. Teman-teman angkatan 2012 Kloroblas yang sudah sama-sama berjuang
sampai saat ini yang selalu memberikan dukungan dan bantuan.
12. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya Kuliah Kerja Lapangan
2015 ini.

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR.................................................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
DAFTAR TABEL........................................................................................................
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6

Latar Belakang..................................................................................................
Identifikasi Masalah..........................................................................................
Maksud dan Tujuan penelitian..........................................................................
Kegunaan Penelitian.........................................................................................
Metodologi........................................................................................................
Waktu dan Lokasi Penelitian.............................................................................

BAB II TINJAUAN LOKASI....................................................................................


2.1

Profil Kecamatan Cidaun..................................................................................

2.2

Profil Desa Karawangi......................................................................................


2.2.1 Sejarah Desa karangwangi.......................................................................
2.2.2 Luas dan Batas Wilayah, Kondisi Geografis dan Orbitasi......................6
2.2.3 Kependudukan.........................................................................................7
2.2.4 Potensi Umum Desa................................................................................9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................


3.1

Pemanasan Global...........................................................................................

3.2

Perubahan Iklim..............................................................................................

3.3

Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan di Indonesia..............................................

3.4

Ekologi Manusia.............................................................................................

3.5

Adaptasi Manusia dengan Lingkungannya.....................................................

BAB IV METODE PENELITIAN..........................................................................


4.1

Alat dan Bahan................................................................................................

4.2

Pengumpulan Data..........................................................................................

4.3

Analisa Data....................................................................................................

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................


5.1

Gambaran Umum Hasil Penelitian.................................................................

5.2

Sejarah Nelayan Lobster di Desa Karangwangi.............................................

5.3

Jenis Lobster yang Ditangkap.........................................................................

5.4

Pengetahuan Lokal Nelayan Lobster Terhadap Kondisi Lingkungan............

5.5

Pengetahuan Nelayan Lobster Terhadap Waktu Panen Lobster Berkaitan


Kemunculan Flora dan Fauna Lain.................................................................

5.6

Pergeseran Kalender Penangkapan Lobster Sebagai Adaptasi Terhadap


Perubahan Iklim..............................................................................................30

5.7 Inovasi dan Modifikasi dalam Peralatan Penangkapan Lobster Sebagai


Adaptasi dalam Bidang Teknologi..................................................................34
5.8
Mata pencaharian Sampingan Sebagai Adaptasi Terhadapa Perubahan
Iklim............................................................................................................39
5.9
Pandangan Nelayan Lobster Desa Karngwangi Terhadap Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
1/PERMEN-KP/2015 41..............................................................................41
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................
6.1

Kesimpulan.....................................................................................................

6.2

Saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
LAMPIRAN...............................................................................................................

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1

Data Kelompok Usaha Bersama (KUB) di Desa Karangwangi......20

10

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Peta lokasi Desa Karangwangi............................................................

Gambar 5.1

TPI LobsterMuara Cilaki..................................................................21

Gambar 5.2

TPI Lobster Pantai Batu Kukumbung...............................................

Gambar 5.3

Panulirus versicolor dan Panulirus longipes...................................25

Gambar 5.4

Sargassum spinuligerum......................................................................

Gambar 5.5

Nelayan Lobster yang sedang menggunakan jaring ampar..............

Gambar 5.6

Jaring pasang dan ban bulat serta ban bulat yang dimodifikasi.......37

Gambar 5.7

Nelayan lobster yang sedang melakukan nyumen............................37

Gambar 5.8

Jodang besi dengan umpan Chiton sp. dan Chiton sp......................38

Gambar 5.9

Kumbung terbuat dari trais dan dan proses pemberian pasir ke


tubuh lobster sebelum dikirim ke TPI Lobster pusat........................

11

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.

Pedoman Pertanyaan Wawancara dengan Informan Kunci...............

Lampiran 2.

Data Diri Informan Kunci.................................................................

Lampiran 3.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


Nomor 1/PERMEN-KP/2015...........................................................55

Lampiran 4.

Dokumentasi Kegiatan di Lapangan.................................................

Lampiran 5.

Rundown Acara Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 2015.................

12

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang
Global warming atau pemanasan global adalah fenomena meningkatnya

suhu bumi. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya pemanasan global adalah


Efek Rumah Kaca (ERK). Sebagian dari energi panas matahari tidak dapat
dipantulkan kembali karena lapisan gas di atmosfer sudah terganggu
komposisinya oleh adanya gas rumah kaca (GRK) yang berlebih. Berlebihnya
GRK memicu naiknya suhu rata-rata di permukaan bumi, maka terjadilah
pemanasan global. Suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu
peningkatan suhu akan berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim
secara global.
Suhu bumi dan GRK yang semakin meningkat mengakibatkan mencairnya
es dan gletser. Hal tersebut membuat kadar garam air laut berkurang dan
mempengaruhi peningkatan titik beku air. Meningkatnya titik beku air laut akan
menghambat proses pertukaran panas, sehingga dapat merubah sirkulasi air laut
dan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim memberikan
dampak yang cukup besar terhadap pembangunan sosial ekonomi Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai negara maritim, 5,8 juta km atau 75 % dari luas
wilayah Indonesia merupakan lautan. Lautan Indonesia memiliki kekayaan hayati
laut yang tinggi (mega diversity) di dunia (Dewan Hankamnas dan BPPT, 1996
dalam Zid, 2011). Dengan potensi yang besar tersebut, banyak penduduk

Indonesia yang bermata pencaharian berkaitan dengan laut, salah satunya sebagai
nelayan.
Masyarakat nelayan adalah salah satu kelompok yang sangat merasakan
dampak dari perubahan cuaca dan iklim selain petani. Masyarakat nelayan adalah
masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu
kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Ningsih, dkk., 2012).
Di Kabupaten Cianjur secara umum terdapat dua jenis nelayan berdasarkan
objek laut yang ditangkap, yaitu nelayan ikan dan nelayan lobster. Nelayan ikan
sebagian besar merupakan warga Desa Cidamar, sedangkan nelayan lobster
sebagian besar merupakan warga Desa Karangwangi. Di Desa Karangwangi
tercatat 117 orang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster. Nelayan lobster
tersebut memiliki kalender dalam memanen lobster dari alam. Akibat perubahan
iklim yang terjadi, kini kalender tersebut mengalami pergeseran mengikuti
perubahan musim setiap tahunnya.
Strategi adaptasi nelayan dipandang sebagai hal yang terkait dengan
kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan ekologis. Hal tersebut sangat
penting untuk dipelajari karena strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan
memungkinkan nelayan mengatur sumberdaya terhadap persoalan-persoalan
spesifik, seperti fluktuasi hasil tangkapan dan menurunnya sumberdaya perikanan,
khususnya lobster pada penelitian ini. Strategi adaptasi tidak hanya bermanfaat
untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tetapi juga untuk menjaga ekosistem
laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang
mengaitkan antara perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit

ditemukan. Bagaimana hubungan antara masyarakat (nelayan) dan sumberdaya


alam dan keadaan cuaca atau iklim. Sebagian ahli memandang hal tersebut
sebagai bagian dari persoalan adaptasi.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang dapat peroleh
adalah:
1) Apa saja pengetahuan lokal mengenai iklim melalui pengamatan kondisi
lingkungan di sekitar laut berkaitan dengan aktivitas penangkapan lobster
2) Apa saja pengetahuan mengenai tanda tibanya waktu panen lobster melalui
kemunculan fauna dan flora tertentu
3) Apa saja dan bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan
lobster Desa Karangwangi terhadap perubahan iklim
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi adaptasi
kelompok nelayan lobster di Desa Karangwangi terhadap perubahan iklim.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan lokal
mengenai iklim melalui pengamatan kondisi lingkungan di sekitar laut berkaitan
dengan aktivitas penangkapan lobster, mengetahui tanda tibanya waktu panen
lobster melalui kemunculan fauna dan flora tertentu, mengetahui sejauh mana
pengetahuan para nelayan lobster Desa Karangwangi mengenai perubahan iklim
dan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan lobster Desa Karangwangi terhadap
perubahan iklim tersebut.
1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan wawasan


mengenai strategi adaptasi yang dilakukan oleh kelompok nelayan lobster Desa
Karangwangi terhadap perubahan iklim.
1.5 Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan hasil data dari lapangan bersifat deskriptif. Data di lapangan diperoleh
melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan beberapa informan
kunci yang bermukim di Desa Karawangi, serta melakukan pengamatan lapangan
berkaitan dengan aktivitas penangkapan lobster di Muara Cilaki dan Pantai Batu
Kukumbung Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Karawangi Kecamatan Cidaun Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat pada 10 s.d 17 Mei 2015. Penentuan lokasi penelitian
dilakukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan bahwa lokasi
penelitian merupakan desa yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai nelayan lobster.

BAB II

TINJAUAN LOKASI

2.1 Profil Kecamatan Cidaun


Kecamatan Cidaun memiliki 14 desa, 81 RW dan 380 RT. Desa yang
terletak pada kecamatan ini adalah Desa Cidamar, Desa Cibuluh, Desa Cisalak,
Desa Cimaranggang, Desa Mekarjaya, Desa Kertajadi, Desa Sukapura, Desa
Gelar Pawitan, Desa Karangwangi, Desa Karyabakti, Desa Jayapura, Desa
Neglasari, Desa Puncakbaru, dan Desa Gelarwangi. Ketinggian wilayah
Kecamatan Cidaun adalah 7 500 mdpl. Kecamatan Cidaun memiliki tiga jenis
sawah berdasarkan pengairannya dengan luasan yang berbeda, yaitu sawah
irigasi semi teknis sebesar 297 ha, sawah irigasi sederhana 856 ha dan sawah
tadah hujan 1.294 ha (Media Pesona Cidaun, 2015).
2.2 Profil Desa Karawangi
2.2.1 Sejarah Desa Karangwangi
Desa Karangwangi merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Cidaun pada
tahun 1984, tepatnya dicetuskan pada Sabtu, 23 Maret 1984. Sejarah singkat nama
Desa Karangwangi adalah diambil dari dua kata yang memiliki 11 huruf, kata
yang pertama Karang yang memiliki arti secara harfiah yaitu kuat, bersifat
keras. Kata kedua Wangi yang memiliki arti secara harfiah yaitu harum, jadi
Karangwangi mengandung arti kuat atau jaya dan tetap harum namanya (Balai
Desa Karangwangi, 2014).

2.2.2

Luas dan Batas Wilayah, Kondisi Geografis dan Orbitasi


1. Luas dan Batas Wilayah
a. Luas Desa/Kelurahan
: 2.300,17 Ha
b. Batas Wilayah
Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Desa Cimaragang
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan Kabupaten Garut
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Samudera Indonesia
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Desa Cidamar
2. Kondisi Geografis
a. Ketinggian tanah dari permukaan laut
: 200 s.d. 275 m
b. Curah hujan
: 3.500 mm/Tahun
c. Topografi
: Dataran Tinggi
d. Suhu Udara Rata-rata
: 35C
3. Orbitasi
a. Jarak dari Pusat Kecamatan
: 12 Km
b. Jarak dari Pusat Kota/Kabupaten
: 126 Km
c. Jarak dari Pusat Ibu Kota Propinsi
: 180 Km
d. Jarak dari Ibu Kota Negara
: 350 Km

Gambar 2.1 Peta lokasi Desa Karangwangi (Rancangan Peraturan Daerah


Kabupaten Cianjur, 2014).
2.2.3 Kependudukan
1. Jumlah Penduduk
a. Jenis Kelamin

1) Laki-laki
2) Perempuan
Jumlah
b. Kepala Keluarga
c. KK Miskin
d. Kelompok Tenaga Kerja
1) 10-14 Tahun
2) 15-19 Tahun
3) 20-26 Tahun
4) 27-40 Tahun
5) 40-56 Tahun
6) 57-Keatas
Jumlah
2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
a. Lulusan Pendidikan Umum/ Formal
1) TK/TPA/PAUD
2) SD/MI (Paket A)
3) SMP/SLTP (MTs dan Paket B)
4) SMA/SLTA (MA dan Paket C)
5) Akademis/D1 D3
6) Sarjana/ S-1
7) Sarjana/ S-2
8) Sarjana/ S-3
Jumlah
b. Lulusan Pendidikan Khusus/ Non Formal
1) Ponpes
2) Kursus
3) Sekolah Luar Biasa

: 2.426 Orang
: 3.161 Orang
: 5.587 Orang
: 1.817 KK
: 1.412 KK
: 280 Orang
: 390 Orang
: 327 Orang
: 451 Orang
: 1.175 Orang
: 347 Orang
: 2.970 Orang
: 48 Orang
: 60 Orang
: 782 Orang
: 140 Orang
: 25 Orang
: 41 Orang
: 1 Orang
: - Orang
: 1.097 Orang
: 23 Orang
: 25 Orang
: - Orang

3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian


a. PNS

: 23 Orang

b. PNS Polri

: 1 Orang

c. PNS TNI

: 2 Orang

d. Pensiunan PNS/POLRI/TNI

: 2 Orang

e. Karyawan Swasta

: 40 Orang

f. Wiraswasta

: 182 Orang

g. Pedagang

: 110 Orang

h. Petani

: 963 Orang

i. Buruh Tani

: 246 Orang

j. Nelayan

: 117 Orang

k. Pemulung

: - Orang

l. Jasa

: 10 Orang

Jumlah
2.2.4

: 1.676 Orang

Potensi Umum Desa


1. Peternakan
a)
b)
c)
d)
e)

Kelompok Peternak Sapi Potong


Kelompok Peternak Domba
Kelompok Peternak Itik
Lahan Pengangonan
Gabungan Kelompok Peternak

: 8 Kelompok
: 14 Kelompok
: 6 Kelompok
: 12 Ha
: 1 Kelompok

2. Perikanan
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Tambatan Perahu
TPI Desa
Kelompok Nelayan Tangkap
Kelompok Pembudidaya Ikan
Embung/ Kolam
Perahu

: 1 Unit
: 1 Unit
: 10 Kelompok
: 8 Kelompok
: 4,8 Ha
: 3 Unit

3. Pariwisata
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Destinasi Wisata Pantai Batu Kukumbung


Cagar Budaya/ Bukti Peninggalan Sejarah
Kelompok Penggerak Wisata
Wisata Ziarah
Orbitasi Wisata dari Jalan Utama
Mushola
MCK
Lapangan Parkir

: 10 Ha
: 1 Buah
: 1 Kelompok
: 2 Lokasi
: 2,36 Km
: 1 Unit
: 1 Unit
: 2,4 Ha

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pemanasan Global


Pemanasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan fenomena
peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah
kaca (greenhouse effect). Efek rumah kaca (ERK) disebabkan oleh meningkatnya
emisi gas rumah kaca (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4),
dinitro-oksida (N2O) dan CFC, sehingga energi matahari terperangkap dalam
atmosfer bumi (Muhi, 2011).

Sebagian besar energi matahari berbentuk radiasi gelombang pendek,


termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi akan berubah
dari cahaya menjadi energi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi
akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari
panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya
jumlah gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini menyerap dan memantulkan kembali
radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan
tersimpan di permukaan bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Akibat yang
ditimbulkan oleh pemanasan global sudah terasa di berbagai negara (Muhi, 2011).
Pemanasan global menimbulkan dampak yang luas dan serius bagi
lingkungan bio-geofisik, seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut,
peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, seperti iklim mulai tidak stabil
sehingga sering terjadi ketidakteraturan cuaca. Sementara itu, dampak bagi
aktivitas sosial-ekonomi masyarakat sangat dirasakan pada sektor fungsi kawasan
pesisir dan kota pantai (Muhi, 2011).
3.2 Perubahan Iklim
Para peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman
menyatakan pencairan lapisan es di kawasan Artik, dekat Kutub Utara sebagai
akibat pemanasan global. Hilangnya lapisan es membuat permukaan laut di
Samudera Artik langsung terkena sinar matahari. Energi panas matahari yang
biasanya dipantulkan lagi ke luar angkasa oleh lapisan es berwarna putih kini
10

terserap oleh permukaan laut membuat laut di kawasan kutub memanas dan
mengubah pola aliran udara di atmosfer. Dalam model komputer yang dibuat dan
dimuat di Journal of Geophysical Research awal bulan Desember 2010
memperlihatkan kenaikan temperatur udara di lautan Artik yang menimbulkan
sistem tekanan tinggi. Sistem tekanan tinggi inilah yang membawa udara dingin
kutub ke daratan Eropa. Efek aliran udara dingin dari kutub utara itu akan makin
parah saat terjadi gangguan pada arus udara panas yang melintasi Samudra
Atlantik dan perubahan aktivitas matahari (Wahono, 2010 dalam Muhi, 2011).
Perubahan iklim yang terjadi telah merubah pola musim panas menjadi
semakin panjang, semakin panas dan kering. Sejak tahun 2004 setidaknya sudah
42% es di Kutub Utara semakin menipis dan mencair di setiap musim panas. Hal
ini dilaporkan beberapa ilmuwan di lembaga antariksa AS, NASA. Es Kutub
Utara merupakan salah satu faktor yang menentukan pada pola cuaca dan iklim
global, karena perbedaan antara udara dingin di kedua kutub bumi dan udara
hangat di sekitar khatulistiwa menggerakkan arus udara dan air, termasuk arus
yang memancar (Setiawan, 2009 dalam Muhi, 2011).
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar
dan kecil. Perubahan iklim ini akan berdampak terhadap banyaknya pulau-pulau
kecil yang sangat mungkin akan hilang dan tenggelam. Indonesia juga akan
kehilangan wilayah dan kota-kota yang berada di wilayah pesisir. Disinyalir pula
akan semakin sering terjadi kekeringan yang dapat mengakibatkan musibah gagal
panen dan kebakaran, curah hujan semakin ekstrim menyebabkan musibah banjir

11

dan longsor, petani/nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena perubahan


iklim semakin sulit diprediksi (Muhi, 2011).
3.3 Kondisi Sosial Ekonomi Nelayan di Indonesia
Nelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya

bekerja

menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun
permukaan perairan. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat
merupakan perairan tawar, payau maupun laut (Putri, 2014).
Kajian-kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada
kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi karena kesulitan hidup yang dihadapi
nelayan dan keluarganya. Keadaan tersebut disebabkan oleh hubungan antara
nelayan dengan lingkungannya (pesisir dan laut) yang diliputi situasi
ketidakpastian. Angin kencang dan gelombang tinggi yang seringkali terjadi
menyebabkan pola aktivitas melaut berubah yang berujung pada penurunan
pendapatan nelayan (Helmi dan Arif, 2012).
3.4 Ekologi Manusia
Manusia (Homo sapiens) dalam kehidupan sehari-harinya mempuyai
ketergantungan yang sangat erat dengan lingkungannya. Seperti halnya makhluk
hidup lainnya, manusia dalam kehidupan sehari-harinya di muka bumi
dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya, baik lingkungan hidup
(biotik) maupun lingkungan tak hidup (abiotik). Lingkungan biotik antara lain
jenis-jenis tumbuhan, binatang, dan manusia itu sendiri. Sementara itu,
lingkungan abiotik antara lain, udara, air, dan tanah. Manusia untuk memenuhi
kebutuhan primer atau biologisnya, antara lain membutuhkan udara untuk

12

bernafas, air untuk minum, serta jenis-jenis tumbuhan dan binatang untuk sumber
pangan. Sedangkan untuk memenuhi keperluan non-primernya, manusia antara
lain membutuhkan kepuasan akan benda-benda material atau kekayaan yang
dieksploitasi dari alam dan rekreasi serta hiburan dengan menikmati keindahan
alam (Iskandar, 2009).
Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Ernst Haeckel (1896), seorang
ahli biologi Jerman. Istilah ekologi tersebt berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos
dan logos. Oikos yang berarti rumah atau tempat untuk kehidupan dan logos
berarti ilmu. Jadi, secara harfiah ekologi dapat diartikan sebagai studi tentang
makhluk hidup dalam rumahnya (Odum, 1971). Namun demikian, secara bebas
ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya (Iskandar, 2009).
Oleh karena itu, untuk memahami berbagai keterkaitan aktivitas manusia
dengan lingkungannya, antara lain dapat dilakukan melalui pendekatan Ekologi
Manusia. Mengingat Ekologi Maunusia atau Human Ecology adalah studi yang
secara khusus menngaji hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya. Di dalam studi Ekologi Manusia, lingkungan di luar manusia
biasanya dipandang sebagai ekosistem (Marten, 2001 dalam Iskandar, 2009). Pada
umumnya berbagai ekosistem tersebut senantiasa berubah secara dinamik akibat
berbagai pengaruh kegiatan manusia sehari-hari ataupun secara khusus melalui
berbagai program pembangunan.
3.5 Adaptasi Manusia dengan Lingkungannya

13

Pada umumnya tingkah laku binatang dalam berinteraksi dengan


lingkungannya lebih utama didasari oleh instingnya (insintive behavour).
Sedangkan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya menggunakan
kebudayaan sebagai pedoman hidupnya dan sebagai alat untuk memenuhi seluruh
kebutuhannya serta sebagai jembatan yang mengantarkannya ke berbagai sumber
daya atau energi yang ada di dalam lingkungan (ekosistem). Kebudayaan
dimaksudkan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia
sebagai makhluk sosial. Kebudayaan manusia tersebut berisi berbagai perangkat
model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
mengintrepetasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dengan pengertian tersebut,
kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu kumpulan pedoman atau pegangan
kegunaan operasional bagi manusia untuk mengadaptasikan diri dalam
menghadapi lingkungan-lingkungan tertentu (ekosistem dan sistem sosial)
sehingga mereka itu tetap dapat melangsungkan kehidupannya. Dengan demikian,
kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai blue-print atau desain menyeluruh dari
kehidupan manusia (Suparlan, 2005 dalam Iskandar, 2009).
Konsep adaptasi telah lama menjadi pusat kajian dalam studi Ekologi
Manusia. Berdasarkan sudut pandang ekologi manusia, adaptasi dapat diartikan
sebagai suatu strategi penanggulangan yang dilakukan manusia dalam
kehidupannya untuk merespon berbagai perubahan ekosistem atau lingkungan
biofisik dan sistem sosial. Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang
tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk

14

hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah
(Iskandar, 2009).
Pada umumnya manusia memeliki kelunturan yang luar biasa dalam
mengadaptasikan diri terhadap berbagai kondisi ekosistem (lingkungannya).
Terdapat tiga jenis penyesuaian manusia untuk mengadaptasikan dirinya pada
berbagai perubahan lingkungannya, yaitu adaptasi cara fisiologi, adaptasi cara
perilaku dan adaptasi cara kebudayaan (Moran, 1982 dalam Iskandar, 2009).
Adaptasi fisiologi dan perilaku manusia merupakan adaptasi biologi atau
evolusi, agar manusia dapat bertahan hidup dan berhasil bereproduksi. Adaptasi
fisiologi misalnya, suku-suku Indian, yang hidup di pegunungan tinggi Andes,
Amerika Selatan, telah beradaptasi dengan kadar oksigen yang rendah dalam
udara (hypoxia). Manusia juga dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya
secara tingkah laku. Manusia dengan memanfaatkan aliran informasi dari berbagai
ekosistem dimana mereka tinggal untuk melakukan adaptasi tingkah laku.
Misalnya, kelompok Suku Masaai di Afrika, selama musim baik tidak
mengalami musim kekeringan panjang, mereka biasanya banyak mengkonsumsi
susu ternak, mengingat pada saat itu hewan-hewan ternak mereka sedang
memproduksi susu lebih banyak karena didukung oleh ketersediaan pakan rumput
yang cukup banyak. Sebaliknya, selama musim jelek masa kemarau panjang,
Suku Masaai tersebut biasanya selain mengonsumsi susu juga mengonsumsi
daging karena produksi susu tidak memadai (Iskandar, 2009).
Berbeda dengan adaptasi fisiologi dan tingkah laku, adaptasi kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai suatu strategi penanggulan yang diupayakan manusia

15

dalam kehidupannya untuk merespon perubahan lingkungan maupun perubahan


sosial. Misalnya, komunitas Punan di Kalimantan Timur yang hidupnya sebagai
pemburu dan peramu yang biasa hidup di hutan. Untuk menghindari bahaya
kekurangan pangan, mereka mengadaptasikan diri terhadap persediaan makan di
lingkungannya, misalnya, ketika musim buah-buahan hutan dan banyak binatang
buruan di hutan, maka, mereka banyak mengonsumsi bahan pangan buah-buahan
hutan dan daging binatang buruan, serta hasil umbi-umbian. Namun, ketika
musim kemarau, sedikit buah-buahan hutan dan satwa liar, mereka biasanya akan
mencari sagu hutan untuk bahan pangannya, serta mencari jenis-jenis ikan di
sungai untuk lauk pauknya (Iskandar, 2009).

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Alat perekam, digunkan untuk merekam wawancara dengan informan
kunci
2. Buku catatan dan alat tulis, digunakan untuk mencatat data penting dan
kata kunci saat wawancara dengan informan kunci
3. Kamera, digunakan untuk mengambil gambar saat kegiatan wawancara
berlangsung
4.2 Pengumpulan Data

16

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif


bersifat deskriptif analisis. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui teknik wawancara
mendalam (in-depth interview) dengan beberapa informan kunci yang bermukim
di Desa Karawangi dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai
pertanyaan dasar, serta melakukan pengamatan lapangan secara langsung
mengenai aktivitas pencarian dan penangkapan lobster di Muara Cilaki dan Pantai
Kukumbung. Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga
menggunakan data sekunder. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor
Desa Karawangi, buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis dan laporan
penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.3 Analisis Data
Strategi adaptasi nelayan lobster Pantai Jayanti yang bermukim di Desa
Karawangi, Cianjur, Jawa Barat akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif.
Analisis data primer dan sekunder mengacu pada pendapat Miles dan Huberman
(1992) dalam Lekatompessy, et al. (2013), dimana data diolah dengan melakukan
tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data.

17

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Hasil Penelitian


Informan kunci yang diwawancarai sebanyak 12 orang, diantaranya dua
orang bandar perempuan, lima orang nelayan lobster yang mulai pada tahun 1980an dan lima orang nelayan lobster yang mulai pada tahun 1990-an. Tercatat
sebanyak 117 orang di Desa Karangwangi bermata pencaharian sebagai nelayan
lobster yang tersebar dalam sepuluh kelompok.

18

Sebuah kelompok nelayan lobster disebut juga dengan KUB (Kelompok


Usaha Bersama) diketuai oleh satu orang yang bertindak sebagai bandar dan
beranggotakan sebanyak 10-14 orang nelayan lobster. Data kesepuluh KUB yang
berada di Desa Karangwangi sebagai berikut
Tabel 5.1 Data Kelompok Usaha Bersama (KUB) di Desa Karangwangi
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah

Nama KUB
Nama Ketua
Jumlah Anggota
Pajar Bahari
Ibu Kokom
14
Cigebang Mandiri
Pak Warna
14
Karang simulan
Pak Yayat
10
Muara Cilaki
Pak Darso
10
Gapura Rahayu
Pak Gunawan
10
Pajar Bahari II
Ibu Roroh
10
Pajar Bahari III
Pak Asnan
10
Mekar Saluyu
Pak Yusup
10
Mina Karya
Pak Suherlan
10
Kakap
Pak Rustandi
10
10 KUB
10 Ketua
114 Anggota
Sumber : Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, 2014
KUB

Karang Semulan dan Muara Cilaki berada di RW 1. KUB ini

memiliki satu buah TPI Lobster di Muara Cilaki. TPI Lobster ini dibangun dari
dana swadaya bandar dan anggotanya. Sedangkan KUB lainnya berada di RW 6
juga memiliki satu buah TPI Lobster di Pantai Batu Kukumbung. Namun,
perbedaanya TPI Lobster ini dibangun dari dana bantuan pemerintah untuk para
nelayan.

19

Gambar 5.1 TPI LobsterMuara Cilaki

Gambar 5.2 TPI Lobster Pantai Batu Kukumbung


Bandar atau ketua KUB adalah orang yang bertindak sebagai pengumpul
hasil tangkapan lobster dari anggota-anggota nelayan lobsternya. Seorang bandar
harus memiliki modal yang cukup besar untuk menyediakan peralatan
penangkapan lobster untuk disewakan kepada anggota kelompoknya. Peralatan
yang disediakan antara lain, ban dalam, jaring, jodang dan pelampung, serta
terdapat satu kelompok KUB yang menyediakan perahu motor untuk membantu
mengantarkan anggota kelompoknya ke tempat pemasangan jaring yang
diinginkan.
5.2 Sejarah Nelayan Lobster di Desa Karangwangi

20

Udang lobster laut (Panulirus spp.) atau biasa disebut dengan udang barong
atau udang karang adalah salah satu komoditas perikanan yang potensial dan
bernilai ekonomis penting. Pemintaan pasar domestik dan ekspor ke Negara
Hongkong, Taiwan, Singapura, Jepang dan Cina pada udang barong terus
meningkat (DKP, 2011).
Nelayan lobster di Desa Karangwangi adalah orang yang sumber
kehidupannya baik primer ataupun sekunder berasal dari aktivitas melaut, mencari
dan menangkap lobster. Lobster yang ditangkap hidup secara alami dari laut
bukan lobster hasil budidaya. Lobster secara langsung dan tidak langsung menjadi
pokok kehidupan mereka. Secara langsung, lobster dapat dijadikan konsumsi
pribadi sebagai pemenuhan kebutuhan diri dan keluarganya terhadap bahan
pangan. Secara tidak langsung, lobster dapat dijual dan hasil dari penjualannya
diperoleh bahan-bahan pangan lainnya, seperti beras, sayur-mayur, lauk-pauk
lainnya; kebutuhan sandang, seperti pakaian; kebutuhan papan, seperti rumah dan
kebutuhan penunjang kehidupan lainnya.
Mata pencaharian sebagai nelayan lobster sudah dilakukan setelah
kemerdekaan Indonesia. Sekitar tahun 1970-1980an, jumlah nelayan lobster yang
ada di Desa Karangwangi 17 orang. Seiring dengan bertambahnya tahun,
bertambahnya jumlah penduduk, adanya jumlah lobster yang melimpah dari alam,
kurangnya variasi mata pencaharian selain bertani dan berkebun, dan tingginya
permintaan eksport menyebabkan mata pencaharian sebagai nelayan lobster
banyak dilakukan oleh warga sebagai salah satu mata pencaharian yang
menjanjikan. Mata pencaharian ini dilakukan oleh warga asli Desa Karangwangi

21

dan bahkan oleh warga pendatang dari luar desa yang kini menetap di Desa
Karangwangi.
Pada tahun 1990an jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan
lobster mencapai 400 orang. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang tercatat
sebanyak 117 orang, maka jumlah tersebut berkurang signifikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya, (1) saat ini banyak pilihan mata
pencaharian selain menjadi nelayan, yaitu menjadi pegawai negeri sipil (PNS),
wiraswasta, berdagang, TNI, POLRI, dan guru yang bagi sebagian orang
pendapatannya lebih menjajikan daripada menjadi nelayan lobster; (2)
berkurangnya jumlah tangkapan lobster saat panen. Pada tahun 1990an, satu
malam seorang bandar dapat memperoleh 100 kuintal lobster, kini jumlah
tersebut dapat dimiliki dari 3-4 kali panen. Informan kunci memberikan faktorfaktor yang menurut mereka menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan lobster,
yaitu adanya pencemaran limbah dari aktivitas pengambilan pasir dari tengah laut,
adanya pengambilan makroalga, dan adanya pengerusakan karang menggunakan
pahat untuk hiasan di dalam aquarium sehingga lobster kehilangan tempat
berpijah dan sumber makanannya; (3) faktor keberanian dan kekuatan juga
mempengaruhi mata pencaharian ini. Bapak Rahmat menjadi nelayan lobster pada
tahun 1995 di tahun 2001 sudah berhenti menjadi nelayan lobster dikarenakan
faktor usia dan kekuatan. Mata pencaharian ini tidak bersifat turun temurun.
Seseorang yang ingin menjadi nelayan lobster harus gigih, pantang menyerah,
kuat secara fisik dan mental, tidak takut dan dapat berenang.
5.3 Jenis Lobster yang Ditangkap
22

Lobster atau udang barong hidup pada habitat di perairan pantai yang
banyak terdapat bebatuan atau pada daerah terumbu karang. Batuan dan terumbu
karang dapat dijadikan oleh udang barong sebagai tempat bersembunyi dari
predator dan juga berfungsi sebagai daerah mencari makan. Habitat umum untuk
lobster laut adalah sangat dipengaruhi oleh hidrodinamik dan turbiditas air laut
(Musbir, dkk., 2014)
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan selama dua hari di TPI Muara Cilaki,
diketahui dua jenis lobster yang selalu ditangkap, yaitu lobster hijau (Panulirus
versicolor) dan lobster merah (Panulirus longipes), namun dari hasil wawancara
diperoleh jenis lobster jenis, yaitu lobster batik atau mutiara (Panulirus ornatus).

Gambar 5.3 (kiri) Panulirus versicolor dan (kanan) Panulirus longipes


Lobster batik (P.longipes) dan lobster bambu (P.versicolor) adalah spesies
udang barong yang berasosiasi dengan terumbu karang dalam area yang
terlindung dari gelombang lautan. Sejumlah anakan lobster lebih senang untuk
berlindung pada karang dan pecahan batu karang juga pada pinggiran akar pohon
mangrove untuk menghindari penangkapan (Acosta dan Butler, 1997).

23

Habitat spesies P. longipes adalah perairan karang atau bebatuan yang


dangkal tetapi terkadang dijumpai juga pada kedalaman 130 meter). Perairan yang
disukai lobster adalah perairan yang jernih dengan arus sedang, atau kadangkadang sedikit keruh (Musbir, dkk., 2014).
Penjualan lobster dilakukan menggunakan pengkatagorian berat, kemudian
banyaknya jumlah yang didapat (kilogram) dari satu jenis kategori tersebut
dikalikan dengan harga untuk jenis lobster dengan kategori berat tersebut.
Fluktuasi harga lobster dipasaran dipengaruhi oleh harga dollar. Standar baku
mengenai ukuran lobster yang digunakan adalah baby untuk lobster 0,5 ons, KK
0,6-0,9 ons, LK 1-1,5 ons, LS 1,5-2 ons dan SP 2 ons.
5.4 Pengetahuan Lokal Nelayan Lobster Terhadap Kondisi Lingkungan
Manusia

dalam

berinteraksi

dengan

lingkungannya

menggunakan

kebudayaan sebagai pedoman hidupnya dan sebagai alat untuk memenuhi seluruh
kebutuhannya serta sebagai jembatan yang mengantarkannya ke berbagai sumber
daya atau energi yang ada di dalam lingkungan (ekosistem). Berdasarkan unsurunsurnya, kebudayaan memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata
pencaharian hidup, sistem religi dan sistem kesenian. Pada umunya kebudayaan
tidaklah diwariskan secara genetika tetapi diperoleh manusia setelah kelahirannya
melalui proses belajar (Iskandar, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, dapat diketahui kebudayaan
masyarakat nelayan dalam unsur sistem pengetahuan, khususnya mengenai
pengetahuan kondisi yang baik untuk melaut atau tidak, melalui pengamatan
24

kondisi lingkungan di sekitar laut. Waktu untuk penangkapan lobster dapat


dilakukan setiap hari. Namun pada kondisi tertentu tidak dilakukan karena dapat
membahayakan nyawa nelayan lobster tersebut. Kondisi yang membuat nelayan
tidak melaut, seperti terjadinya angin yang kencang, besar dan tingginya ombak
dan gelapnya langit. Untuk patokan pasang surut, seluruh nelayan melakukan
observasi langsung ke laut dan menggunakan informasi yang di dapat melalui
sistem kalender hijriah yang diperoleh dari nenek moyang mereka karena sistem
kalender hijriah menggunakan bulan sebagai acuan. Telah diketahui bahwa bulan
merupakan penentu dari pasang surut air laut. Beberapa nelayan lobster
mengatakan, pasang surut air laut yang terbaik terjadi di pertengahan bulan
hijriah, yakni tanggal 13-15. Pada tanggal tersebut, pasang surut tepat terjadi di
tengah hari dan tengah malam.
Air laut terjadi pasang naik dan pasang surut disebabkan gaya tarik bulan atau
gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi berdasarkan Hukum Newton. Hukum
Newton berbunyi, Dua benda tarik menarik dengan kekuatan yang berbanding lurus
dengan besarnya massa I dan massa II dan berbanding terbalik dengan pangkat dua
jaraknya. Menurut Hukum Newton ini makin besar jaraknya makin kecil gaya
tariknya. Pasang sebenarnya disebabkan oleh gaya gravitasi bulan dan matahari
terhadap bumi akan tetapi karena bulan lebih dekat jaraknya terhadap bumi maka
gaya gravitasi bulan yang lebih utama menyebabkan pasang. Pasang karena matahari
hanya 5/11 pasang karena bulan, tetapi jika bulan dan matahari bekerja bersamaan,
yaitu pada waktu bulan baru dan bulan purnama, maka terjadilah pasang yang sangat
besar. Pasang surut umumnya terjadi dua kali dalam sehari. Jika pasang terjadi pukul

25

12.00 siang dan pukul 24.00 malam, surut akan mulai pukul 06.00 pagi dan pukul
18.00 sore (Kamshory dan Syafii, 2014).
Tengah bulan qomariyah (13-15) biasanya diterangi oleh sinar bulan yang bulat
penuh. Puncak fenomena pasang surut air laut terjadi di tanggal-tanggal ini. Malam
ke-13 bulan menuju fullmoon (purnama penuh), sedangkan malam 14 dan 15 bulan
pada posisi fullmoon.

Selanjutnya, malam ke-16 bulan kembali menunju sabit.

Malam ke-15 adalah puncak dari purnama, sehingga malam ke-16 adalah adalah
antiklimaks. (Kamshory dan Syafii, 2014).

Dengan demikian, kebudayaan pengamatan kondisi lingkungan di sekitar


laut diperoleh dengan cara belajar. Berbagai pengetahuan penduduk lokal tersebut
diwariskan kepada turunannya melalui tiga kategori tahapan perkembangan, yaitu
parental, peer dan individual learning (Iskandar, 2009). Pengkategorian tersebut
didasarkan pada sumber pemberian pengetahuan yang dominan pada tiap tahapan
perkembangan usia manusia. Pada usia dini, penyebaran ilmu pengetahuan
dominan melalui pembelajaran orang tua dan saudara lainnya yang lebih tua,
seperti paman dan lainnya. Mengingat pengetahuan tersebut disebarkan dan
disosialisasikan melalui satu generasi kepada generasi lainnya atau antar generasi,
maka pembelajaran kebudayaan pada tahap ini disebut pula transmisi budaya
secara vertikal. Jadi, dalam hal ini pengetahuan diturunkan oleh orang tuanya
secara lisan kepada anak-anaknya, termasuk menyertakan anak-anak tersebut
dalam berbagai pekerjaan orang tuanya dalam melakukan interaksi timbal balik
dengan ekosistemnya.
Sebanyak tiga orang informan kunci sudah mulai menjalani aktivitas
sebagai nelayan lobster pada usia yang masih muda. Pada usia belasan tahun
26

mereka mengikuti ayah dan kakek mereka menangkap lobster. Pada tahap
berikutnya, pada masa usia remaja hingga sebelum berkeluarga, penyebaran
pengetahuan biasanya lebih dominan melalui proses peer group. Pembelajaran
kebudayaan pada tahap ini ekivalen dengan penyebaran pengetahuan secara
horizontal. Adapun pada masa dewasa, masing-masing individu nelayan lobster
mendapatkan pengetahuan dari hasil belajar dan uji coba sendiri mandiri. Untuk
para nelayan lobster yang orang tuanya bukan nelayan lobster dan merupakan
warga pendatang, bukan asli Desa Karangwangi, pengetahuan yang mereka dapat
lebih pada peer group dengan anggota KUB yang sama bahkan dengan anggota
KUB yang berbeda.
5.5 Pengetahuan Nelayan Lobster Terhadap Waktu Panen Lobster
Berkaitan Kemunculan Flora dan Fauna Lain
Saat musim panen lobster tiba para nelayan mengetahui waktu tersebut
berdasarkan tanda dari flora dan fauna yang keberadaannya mudah dijumpai dan
jumlahnya yang banyak. Flora dan fauna tersebut tidak berasal dari jenis darat,
melainkan jenis tumbuhan dan binatang laut. Tumbuhan kriptogame laut yang
sering dijumpai saat panen lobster adalah makroalga atau penduduk setempat
menyebutnya dengan sebutan ganggang. Rumput laut atau ganggang adalah salah
satu tumbuhan laut yang hidup di perairan pantai yang dangkal dengan subtrat
dasar berupa pasir, pasir bercampur lumpur, karang mati maupun pecahan karang
mati. Kehadiaran ganggang pada paparan terumbu karang dengan kedalaman
perairan yang dangkal berkisar antara 15 meter.

27

Kehadiran komunitas makroalga disuatu perairan memiliki peran yang


cukup besar terhadap kehidupan biota laut sebagai tempat berlindung dan sebagai
tempat mencari makan (Magruder, 1979 dan Kadi, 2004). Selain itu komunitas
makroalga juga dapat berperan sebagai habitat bagi organisme laut lainnya, baik
yang berukuran besar maupun kecil seperti Ampiphoda, kepiting dan biota laut
lainnya, terutama lobster.
Melimpahnya jenis dan jumlah makroalga saat masa panen lobster juga
memunculkan mata pencaharian baru sebagai pengumpul makroalga. Sebagian
istri nelayan lobster bermata pencaharian sebagai pengumpul makroalga. Jenis
makroalga yang dominana ditemukan saat panen lobster adalah Sargassum
spinuligerum. Sedangkan fauna yang sering ditemukan saat musin panen lobster
adalan lumba-lumba, gurita, ikan sidat, ikan layur, ikan tuna, ikan tongkol, ikan
hiudan rajungan. Banyaknya fauna yang sering dijumpai saat panen lobster bisa
dihubungkan dengan sistem jaring-jaring makanan. Makroalga merupakan
makanan bagi ikan-ikan kecil, ikan kecil merupakan makanan bagi ikan predator
yang lebih besar.

Gambar 5.4 Sargassum spinuligerum

28

5.6 Pergeseran Kalender Penangkapan Lobster Sebagai Adaptasi Terhadap


Perubahan Iklim
Pada umumnya Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Secara umum musim hujan terjadi antara bulan Oktober-Maret
dengan puncaknya sekitar bulan Desember-Februari, disebabkan Monsun Dingin
Asia. Sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan April-September dengan
puncaknya sekitar bulan Juni-Agustus, disebabkan Monsun Dingin Australia.
Variasi cuaca dan iklim sangatlah perlu diperhatikan karena sebagian wilayah
Indonesia terletak di Belahan Bumi Utara dan sebagian di Belahan Bumi Selatan.
Musim hujan di Indonesia didefinisikan sebagai periode dengan jumlah curah
hujan 150 mm dalam sebulan, sedangkan musim kemarau didefinisikan sebagai
periode dengan jumlah curah hujan kurang dari 150 mm dalam sebulan
(BMG,2006 dalam Fadholi, 2013).
Patokan musim seperti yang sudah dipaparkan di atas digunakan para
nelayan lobster untuk menentukan kalender dalam memanen lobster dari alam.
Pada bulan tertentu, keberadaan lobster akan sangat melimpah dan pada bulan
yang berbeda, lobster akan sulit untuk ditangkap. Untuk musim panen lobster,
biasanya dimulai pada bulan Agustus hingga bulan Desember sebelum musim
angin barat tiba dan puncak musim hujan.
Kondisi oseanografi khususnya suhu dapat mengalami fluktuasi baik
harian maupun musim, dan dapat ditemui adanya kondisi yang ekstrim.
Sumberdaya lobster bergantung pada kondisi lingkungan, sehingga ketika terjadi
perubahan kondisi lingkungan menyebabkan lobster akan merespon dengan
29

menghindar dari lingkungan yang tidak sesuai. Respon ini menunjukan bahwa
pada sumberdaya lobster terdapat batas-batas toleransi terhadap perubahan
berbagai kondisi lingkungan, sebagaimana diungkapkan oleh Nybakken (1992)
bahwa setiap spesies dalam komunitas mempunyai daya toleransi tertentu
terhadap tiap tiap faktor dan semua faktor lingkungan.
Musim kemarau yang panjang akan mengakibatkan keuntungan yang
berlimbah karena pada musim kemarau salinitas air laut tinggi dan suhu laut
hangat sesuai untuk kegiatan bertelur lobster. Lobster akan banyak mudah
ditemukan di sekitar batu karang yang letaknya tidak jauh dari garis pantai. Pada
saat musim kemarau angin relatif lemah sehingga proses pemanasan di permukaan
terjadi lebih kuat. Tingginya intensitas penyinaran dan dengan kondisi permukaan
laut lebih tenang menyebabkan penyerapan panas ke dalam air laut lebih tinggi
sehinga suhu air menjadi maksimum. Sementara itu, saat musim hujan jumlah
tangkapan lobster mengalami penurunan (Rasyid, 2010). Saat hujan salinitas air
laut menurun karena bercampur dengan air hujan yang tawar dan suhu laut
menjadi dingin. Kondisi tersebut kurang sesuai untuk bertelur dan kehidupan
lobster, sehingga lobster akan berpindah ke laut yang lebih dalam yang memiliki
salinitas yang lebih stabil. Suhu yang dingin tersebut disebabkan karena pada
musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi.
Tingginya curah hujan yang berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan
permukaan laut yang lebih bergelombang mengurangi penetrasi panas ke dalam
air laut, hal inilah yang mengakibatkan suhu permukaan mencapai minimum

30

Semua organisme laut (kecuali mammalia) bersifat poikilotermik yaitu


tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Selama hidupnya suhu tubuh organisme
perairan sangat tergantung pada suhu air laut tempat hidupnya. Oleh karena itu
adanya perubahan suhu air akan membawa akibat yang kurang menguntungkan
bagi organisme perairan, diantaranya kematian, menghambat proses pertumbuhan,
mengganggu proses respirasi, dan lain-lain.
Pengaruh suhu air pada tingkah laku lobster paling jelas terlihat selama
pemijahan. Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya
pemijahan pada beberapa jenis lobster dan ikan. Suhu air dan arus selama dan
setelah pemijahan adalah faktor - faktor yang paling penting yang menentukan
kekuatan keturunan dan daya tahan anakan pada spesies - spesies lobster dan
ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim pada daerah pemijahan
(spawning ground) selama monsun pemijahan dapat memaksa lobster dan ikan
untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan suhu jangka
panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan dan fishing ground
secara periodik (Reddy, 1993).
Terjadinya perubahan iklim mengakibatkan perubahan waktu periodik
musim hujan dan musim kemarau, panjang musim dan jumlah curah hujan untuk
setiap musim tidaklah selalu sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa musim di
wilayah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh monsun, tapi dibentuk juga oleh
faktor lain yang berinteraksi dengan monsun untuk membentuk musim tersebut
(Sulistya et al., 2000 dalam Fadholi, 2013).

31

Musim lainnya yang mempengaruhi nelayan lobster selain musim kemarau


dan musim hujan adalah musim angin barat dan musim angin timur. Saat musim
angin barat terjadi, nelayan berhenti menangkap lobster karena pada musim
tersebut laut dapat membahayakan keselamatan nelayan itu sendiri. Musim angin
barat biasanya terjadi mulai bulan Desember akhir hingga bulan Februari, namun
kini mengalami pergeseran, dapat terjadi hingga akhir Maret. Angin kencang pada
musim barat tidak terjadi setiap hari, namun datangnya angin tersebut tidak dapat
diprediksi. Beberapa kali angin tersebut muncul saat nelayan lobster sedang
memasang atau mengambil jaring akibatnya nelayan terombang-ambing, terpukul
ombak, terkena batu karang bahkan dapat terlilit jaring yang dibawanya. Resiko
yang besar tersebut menyebabkan sebagian nelayan memilih berhenti melaut.
Berdasarkan uraian diatas, pola kalender penangkapan lobster bergeser mengikuti
perubahan musim yang terjadi.

5.7 Inovasi dan Modifikasi dalam Peralatan Penangkapan Lobster Sebagai


Adaptasi dalam Bidang Teknologi
Perubahan yang terjadi terhadap keadaan alam, seperti iklim yang tidak
dapat diprediksi lagi membuat nelayan lobster melakukan inovasi dan modifikasi
dalam peralatan penangkap lobster yang meraka gunakan. Hal ini bertujuan untuk
menaikkan jumlah tangkapan lobster. Terdapat empat alat yang digunakan dalam
penangkapan lobster. Pertama adalah dengan mengunakan pancingan. Pancingan
untuk lobster pada umumnya tidak berbeda dengan pancingan yang digunakan

32

untuk memancing ikan. Namun, untuk pancingan lobster harus memiliki tiga buah
kail dan umpannya dapat berupa makroalga, seperti Sargassum sp. dan jenis ikanikan kecil, seperti layur. Hasil tangkapan dengan pancingan jika dibandingkan saat
dahulu dengan saat ini sangat berbeda nyata. Dahulu sangat mudah menangkap
lobster dengan pancingan karena jumlah lobster masih melimpah dan sedikitnya
pemancing (kecilnya persaingan dalam menangkap lobster), iklim lebih stabil dan
belum terjadinya kerusakan habitat lobster. Biasanya pemancingan ini dilakukan
di atas batu karang. Kini sangat jarang lobster yang tertangkap dengan pancingan.
Alat yang kedua adalah jaring ampar. Penggunaan jaring ampar tidak
berubah dari waktu ke waktu. Jaring ditempatkan atau di kaitkan di sekitar batu
karang dan dibiarkan semalam, esok harinya jaring diambil. Peletakkan jaring
ampar di dekat batu karang dikarenakan lobster banyak beraktivitas di sekitar batu
karang dan di batu karanglah tempat hidup makroalga yang menjadi sumber
makanan dan tempat berpijah lobster. Penggunaan jaring ampar ini tidak
memerlukan alat bantu lainnya.

Gambar 5.5 Nelayan Lobster yang sedang menggunakan jaring ampar

33

Alat yang ketiga adalah jaring pasang. Pengambilan lobster menggunakan


alat ini disebut dengan nyumen, yaitu berenang melawan arus menggunakan ban
dengan membawa jaring. Alat bantu lainnya yang dibutuhkan adalah ban dan
piring plastik. Jaring ini dipasang di perairan diantara bebatuan karang.
Penggunaan ban berfungsi untuk membantu proses berenang dan memasang
jaring di tempat yang sempit. Jika menggunakan perahu, nelayan tidak bisa
leluasa atau bahkan tidak dapat mencapai tempat pemasangan jaring diantara
bebatuan karang dan tingkat kesulitannya tinggi karena pemasangan jaring
melawan ombak yang datang. Resiko perahu akan terbalik juga akan sangat besar.
Salah satu bandar, yaitu Ibu Kokom menyediakan perahu motor bagi para
anggotanya. Perahu ini hanya berfungsi sebagai transportasi antar jemput nelayan
lobster ke tempat pemasangan dan pengambilan jaring, sehingga nelayan tidak
perlu berenang dari garis pantai. Namun penggunaan perahu motor ini
memerlukan biaya perawatan dan bahan bakar yang tidak murah
Penggunaan ban ini baru mulai digunakan sekitar tahun 1995 dengan piring
plastik sebagai dayung sederhana. Sebelumnya, saat ban belum digunakan,
nelayan hanya memakai kompan atau dirigen kecil yang diikatkan di bahu kanan,
bahu kiri, pinggang bagian kanan dan pinggang bagian kiri tubuhnya dan tidak
menggunakan alat bantu dayung apapun, mereka hanya menggunakan tangan
kosong. Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah kendaraan yang semakin
banyak dan bervariasi, mereka mencetuskan ide dengan penggunaan ban dalam
kendaraan sebagai pengganti kompan atau dirigen. Ukuran ban yang digunakan
dari waktu ke waktu juga terjadi perubahan. Sebelumnya digunakan ban dengan

34

ukuran yang kecil karena pada masa lalu kendaraan pun masih sangat terbatas.
Kini digunakan ban dalam dari truk besar. Bentuk ban yang digunakan juga
mengalami modifikasi. Dahulu, ban yang digunakan hanya berbentuk bulat, kini
ban yang berbentuk bulat dapat dibentuk lonjong seperti perahu dengan cara
mengikatnya dengan tali tambang. Bentuk ban yang melonjong seperti perahu ini
memudahkan nelayan dalam membawa jaring dan peralatan lainnya yang
dibutuhkan. Penggunaan ban dengan segala modifikasinya kini telah dipakai oleh
seluruh nelayan. Jaring yang digunakan biasanya memiliki panjang 25-30 meter
dengan tinggi 1,5 meter dan ukuran lubang jaring 2-4 inchi.

Gambar 5.6 (kiri) jaring pasang dan ban bulat; (kanan) ban bulat yang
dimodifikasi

Gambar 5.7 Nelayan lobster yang sedang melakukan nyumen

35

Alat keempat adalah jodang. Jodang adalah jaring yang dikaitkan pada
bambu atau besi berbentuk segi empat ataupun lingkaran pada umumnya. Ukuran
jodang bervariasi, jodang berbentuk lingkaran memiliki diameter 1-1,2 meter.
Penggunaan jodang ini biasanya dilengkapi dengan umpan. Umpan yang
umumnya digunakan adalah tamikil, sejenis moluska dengan nama latin Chiton
sp. ataupun dengan ikan-ikan kecil, seperti layur. Umpan ini diletakkan di bagian
tengan jodang. Chiton sp. lebih sering digunakan karena lebih tahan lama dan
dapat digunakan berkali-kali jika dibandingkan dengan ikan kecil yang mudah
habis dan mudah membusuk. Chiton sp. memiliki tubuh bagian luar yang keras.
Jodang diletakkan di perairan sempit di sekitar batu karang yang sulit di pasang
jaring pasang. Jodang juga

dibiarkan selama semalam. Pemasangan dan

pengambilan jodang umumnya dibarengi dengan jaring pasang. Dibagian bambu


ataupun besi jodang dikaitkan tali tambang dengan busa ataupun benda yang
mengapung lainnya sebagai penanda letak jodang dan untuk penarikan jodang.
Untuk jodang yang terbuat dari bambu diperlukan pemberat, seperti batu ataupun
timah, sedangkan jodang yang terbuat dari besi tidak memerlukan pemberat lagi.
Jodang yang terbuat dari bambu sudah jarang dipergunakan karena mudah rusak
dibandingkan dengan jodang yang terbuat dari besi.

36

Gambar 5.8 (kiri) jodang besi dengan umpan Chiton sp. dan (kanan) Chiton sp.
Dalam sehari, biasanya dilakukan pemasangan alat tangkap jaring pasang
dan jodang sebanyak dua kali mengikuti jadwal surut laut yang biasanya terjadi
dua kali dalam rentan waktu tertentu. Alat tangkap yang dipasang sore atau malam
hari akan diambil pagi hari. Saat pengambilan pagi hari, dilakukan juga
pemasangan alat berikutnya yang akan diambil sore atau malam hari, dan begitu
seterusnya.
Peralatan keamanan dan keselamatan yang digunakan adalah sepatu dan
jaket pelampung. Saat melakukan observasi di lapangan, tidak ada satupun
nelayan yang memakai jaket pelampung. Menurut mereka, jaket pelampung
membatasi gerak mereka di atas ban. Sepatu ataupun kaos kaki tebal digunakan
saat berenang agar menghindari luka di bagian kaki akibat tajamnya bebatuan
karang dan bulu babi di sekitar batu karang. Ombak yang besar dapat
menghempaskan nelayan ke bebatuan karang. Peralatan yang telah disebutkan
untuk beberapa nelayan memilkinya secara pribadi. Namun, sebagian besar dari
mereka meminjamnya dari bandar. Kerusakan dan kehilangan peralatan cukup
sering terjadi akibat ombak yang datang. Ombak yang terlalu besar dapat
menghanyutkan peralatan yang telah dipasang.

37

5.8 Mata pencaharian Sampingan Sebagai Adaptasi Terhadapa Perubahan


Iklim
Adanya musim paceklik dan musim panen lobster membuat para nelayan
lobster melakukan adapatasi dalam mata pencaharian. Seluruh nelayan memiliki
mata pencaharian sampingan. Saat musim hujan atau ketika jumlah lobster
menurun pada umumnya para nelayan yang memiliki sawah akan menjadi petani
padi dengan sistem sawah tadah hujan. Menjadi petani tidak seutuhnya
mengahalangi atau membuat mereka meninggalkan kegiatan mereka di laut,
hanya saja porsi waktu yang digunakan lebih besar di darat (di persawahan)
dibanding dengan di laut. Selain menjadi petani, sebagian nelayan juga menjadi
peternak. Hewan yang diternakan umumnya adalah sapi dan kambing. Saat musim
panen lobster, urusan ternak akan dialihkan kepada istri, anggota keluarga yang
lain atupun dengan memakai jasa buruh.
Bagi para nelayan yang tidak memiliki sawah ataupun hewan ternak,
alternatif mata pencaharian yang dapat dijalani adalah dengan menjadi buruh.
Baik buruh tani, buruh ternak, buruh kelapa sawit ataupun kuli bangunan ke kotakota besar. Namun, menurut Bapak Badin yang beberapa kali menjadi buruh
bercerita bahwa penghasilan yang didapatnya tersebut tidaklah cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Jika dirinya menjadi kuli banguan di Kota
Jakarta ataupun buruh Kelapa Sawit di Kalimantan, upah yang diperolehnya
sebagian habis untuk keperuan hidupnya disana, seperti rokok, kopi dan makan.

38

Uang yang dibawa pulang ke kampung halaman hanya berkisar Rp. 200.000,sampai 500.000,-.
Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu
yang diharapkan atau tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan
suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan
antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia
dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya, lingkungan yang berubah
memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar manusia dapat
bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (Bennett
1976 dalam Helmi dan Arif, 2012).
5.9 Pandangan Nelayan Lobster Desa Karngwangi Terhadap Peraturan
Menteri

Kelautan

dan

Perikanan

Republik

Indonesia

Nomor

1/PERMEN-KP/2015
Sehubungan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 1/PERMEN-KP/2015 yang ditetapkan pada 6 Januari 2015 oleh
Ibu Susi Pudjiastuti tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting
(Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus spp.) dengan pertimbangan
bahwa bahwa keberadaan dan ketersediaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting
(Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) telah mengalami penurunan
populasi, sehingga perlu dilakukan pembatasan penangkapan terhadap Lobster
(Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).
Secara umum para nelayan lobster di Desa Karangwangi setuju dengan
peraturan tersebut. Namun, ada beberapa hal yang membuat mereka kecewa.
39

Bapak Asep sebagai Kepala Desa Karangwangi menilai kebijakan tersebut


sangatlah baik akan tetapi sebelum ada pelarangan, pemerintah seharusnya dapat
memperbaiki lingkungan atau habitat lobster yang rusak agar pulih kembali
sehingga

produktivitas

hasil

tangkapan

lobster

dapat

meningkat

dan

kelestariannya dapat terjaga. Sementara itu, hal yang serupa juga diungkap oleh
Bapak Yayat selaku Ketua KUB Kabupaten Cianjur dan telah menjadi nelayan
lobster sejak tahun 1985 menilai baik kebijakan tersebut untuk masa depan namun
seharusnya dapat melihat jauh keadaan masyarakat sebab saat ini kondisi nelayan
tidak menentu. Langkah yang tepat sebaiknya dihentikan produksi dan penjualan
jala atau jaring yang memiliki lubang jaring lebih kecil dari 3 inchi agar lobster
ukuran kecil tidak terbawa.
Pada kenyataannya para nelayan lobster hanya benar-benar mematuhi
pasal 2 mengenai pelarangan penangkapan lobster yang sedang bertelur. Mereka
sadar bahwa dari lobster yang bertelur bisa menetaskan jutaan lobster baru. Ibu
Kokom selaku bandar sejak tahun 1996 mengatakan bahwa dengan menangkap,
memperdagangkan dan mengonsumsi lobster telur berarti telah membunuh dan
mengorbankan jutaan calon lobster. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan
kita tidak memiliki lobster. Bagi pelanggar terdapat sanksi minimal penjara 3
tahun dan denda Rp150 juta. Hukuman akan lebih besar jika pelaku terbukti
menangkap dan memperdagangkan lobster bertelur. Melalui UU Perikanan tahun
2004 bahkan hukuman lebih lama. Untuk penegakkan hukum secara pidana akan
diberikan oleh Bareskrim dan BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam)

40

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara perdata akan dicabut izin
melaut pelaku.
Penerapan untuk pasal 4 ayat 1 mengenai pelepaskan Lobster (Panulirus
spp.) yang ukurannya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) jika masih dalam keadaan hidup; terkadang masih
diabaikan. Jika lobster yang di dapat masuk dalam kategori baby yang berukuran
1-5 ons, sebagain besar nelayan akan melepaskan lobster tersebut atau
menjadikannya sebagai lauk bagi keluarganya. Harganya lobster dalam kategori
baby saat ini hanya Rp. 50.000 dan jarang ada yang ingin membelinya.
Sementara itu lobster yang berukuran 5 ons hingga 2 ons kurang biasanya
akan dijual ke bandar. Bandar akan mengakumulasi dan memelihara lobster
tersebut ke dalam kumbung hingga mencapai berat atau ukuran yang sesuai untuk
standar eksport, yaitu minimal 2 ons. Kumbung dapat terbuat dari bambu ataupun
dari trais. Kumbung memiliki celah-celah kecil di seluruh permukaannya hal ini
berguna untuk mengalirkan air laut beserta udara dan nutrisi yang dikandungnya
agar menjaga lobster tetap hidup.
Penggunaan kumbung dari bambu sudah mulai ditinggalkan karena mudah
rusak karena hantaman ombak dan paku yang digunakan mudah berkarat.
Rusaknya kumbung dapat menyebabkan lobster yang ditampung keluar. Trais
berasal dari plastik berwarna purih berbentuk balok. Kumbung dikaitkan di
bebatuan karang. Baik kumbung yang terbuat dari bambu maupun trais pada baian
luarnya di ikat dengan lilitan tambang beberapa lapis. Hal ini berfungdi untuk
melindungi lobster yang tertampung dari bahaya predator. Predator yang sering

41

menyerang lobster adalah gurita dan ikan sidat. Selain ancaman predator alami
yang dapat merugikan bandar adalah adanya ancaman pencurian. Pencurian yang
dilakukan oleh manusia sudah beberapa kali terjadi. Namun, pelaku pencurian
belum ada yang tertangkap karena kurangnya bukti dan saksi. Pencurian terjadi
pada malam hari. Maka dari itu, para bandar harus mengawasi kumbung yang
mereka miliki. Lobster yang berada dalam kumbung diberi pakan berupa ikanikan kecil ataupun makroalga jenis Sargassum sp. Pemberian pakan ini tidak boleh
berlebihan karena dapat menyebabkan kematian bagi lobster. Jika terdapat 50kg
lobster dalam satu kumbung, pakan sebaiknya diberikan sebanyak 4-5 kg dalam
rentan waktu 1-2 hari.

Gambar 5.9 (kiri) Kumbung terbuat dari trais dan (kanan) proses pemberian pasir
ke tubuh lobster sebelum dikirim ke TPI Lobster pusat

Bandar menjual akumulasi hasil tangkapan lobster anggotanya dan hasil


lobster yang dipeliharanya ke pusat penjualan lobster yang lebih besar, seperti ke
TPI Ranca Buaya, TPI Pantai Jayanti, TPI Pamengpek di Garut ataupun ke
pusatnya, di Jakarta. Selanjutnya, lobster tersebut selanjutnya dipilih untuk
keperluan eksport dan domestik. Lobster tersebut di kirim dalam keadaan hidup.

42

Untuk menjaga lobster tersebut tetap hidup tanpa air laut, mereka melumuri
seluruh bagian tubuh lobster dengan serbuk gergaji halus ataupun pasir pantai.
Serbuk gergaji dan pasir ini juga ditaburkan ke dalam tempat penyimpanan lobster
tersebut. Lobster dalam keadaan tersebut akan bertahan selama 24 jam.
Pengetahuan penggunaan kedua bahan tersebut berasal dari tetua mereka.
Mengenai pasal 4 ayat 2 tentang pencatatan Lobster (Panulirus spp.),
dalam kondisi bertelur atau ukuran yang tidak sesuai dengan yang tertangkap
dalam keadaan mati dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal melalui kepala
pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan
tidak dilaksanakan karena bagi mereka hal tersebut tidak memberikan manfaat
terhadap mereka. Lobster hasil tangkapan yang bagian tubuhnya sudah tidak
lengkap atau yang sudah mati saat tertangkap biasanya dikonsumsi pribadi jika
keadaannya masih layak untuk dimakan.

43

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa

1. Nelayan lobster di Desa Karangwangi sebelum melaut melakukan


pengamatan terhadap kondisi lingkungan sekitar. Hal yang diperhatikan
diantaranya adalah kecepatan, arah dan besarnya angin, tingginya ombak dan
waktu pasang surut, serta kecerahan langit. Pengamatan kondisi lingkungan di
sekitar laut tersebut ada yang sifatnya turun temurun dari generasi yang lebih
tua ke generasi yang lebih muda, tetapi lebih banyak berasal dari
pembelajaran dan pengalaman pribadi.
2. Kemunculan flora dan fauna laut dapat menjadi tanda bahwa masa panen
lobster telah tiba. Saat masa panen akan terdapat jumlah makroalga terutama

44

jenis Sargassum sp. yang melimpah di batu karang sedangkan untuk fauna
laut saat masa panen akan banyak dijumpai lumba-lumba, ikan hiu, ikan
layur, ikan sidat, rajungan, kepiting, ikan tuna, ikan tongkol dan gurita.
3. Terjadinya perubahan yang kini iklim yang tidak dapat diprediksi membuat
nelayan lobster melakukan adaptasi. Adaptasi yang mereka lakukan
diantaranya, mengubah kalender masa panen lobster mengikuti pergeseran
musim, saat musim paceklik nelayan memiliki mata pencaharian sampingan
seperti, menjadi petani, peternak ataupun sebagai buruh dan dalam bidang
teknologi mereka melakukan inovasi-modifikasi alat penangkap lobster untuk
memaksimalkan jumlah lobster yang ditangkap.

6.2

Saran
Strategi

adaptasi

tidak

hanya

bermanfaat

untuk

menyelamatkan

perekonomian nelayan namun juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui
suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang mengaitkan antara
perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit ditemukan. Diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai adaptasi nelayan, dengan melakukan penilaian
efektivitas dengan menggali indikator yang terkait dengan sustainable
livelihoodasset, livelihood outcomes, dan sustainable fisheries. Perlu juga adanya
penelitian mengenai teknik budidaya lobster air laut secara murah, mudah dan
efesien agar nelayan lobster dapat mengurangi ketergantungannya dirinya
terhadap iklim dan hasil lobster alami yang jumlahnya semakin berkurang
disebabkan banyak faktor. Diperlukan pula bantuan dari pemerintah dalam

45

pemulihan dan pelestarian habitat lobster yang telah rusak dan yang masih ada
agar terjadi peningkatan hasil tangkapan lobster yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Acosta, C.A and M.J. Butler. 1997. Role of mangrove habitat as a nursery for
juvenile spiny lobster, Panulirus argus, in Belize. Mar Freshwater Res.,
48,721-727.
Balai Desa Karangwangi. 2014. Profil Desa Karangwangi. Balai Desa
Karangwangi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Dinas Kelautan dan Perikanan dan Sulawesi Selatan. 2011. Laporan Statistik
Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan. Propinsi Sulawesi Selatan
Fadholi, Akhmad. 2013. Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD)
Terhadap Curah Hujan Di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol
11(1):43 50

46

Helmi, Alfian Dan Arif Satria. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap
Perubahan Ekologis. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1
Iskandar,

Johan.

2009.

Ekologi

Berkelanjutan.Program

Manusia

dan

Pembangunan

Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas

Padjajaran.
Kadi, A. 2005. Beberapa catatan kehadiran marga sargassum di perairan
Indonesia. Jurnal Oseanologi di Indonesia, 4
Kamshory dan Syafii. 2014. Simulator Posisi Matahari dan Bulan Berbasis Web
dengan WEBGL. Jurnal Nasional Teknik Elektro, Vol: 3 No. 2
Lekatompessy Hendri Stenli, M. Natsir Nessa dan Andi Adri Arief. 2013. Strategi
Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis. Jurnal
kelautan Dan Perikanan
Magruder, W.H. 1979. Seaweed of Hawai. The Oriental Puslishing Company,
Honolulu.
Media

Pesona

Cidaun.

2015.

Profil

Http://Mediapesonacidaun.Blogspot.Com/P/Blog-Page_154.Html

Cidaun.
Diakses

05 Maret 2015 Pukul 20.00 wib.


Muhi, Dr.Ir.H. Ali Hanapiah. 2011. Praktek Lingkungan Hidup. Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (Ipdn) Jatinangor: Jawa Barat.
Musbir, Sudirman dan Mahfud Palo. 2012. Penggunaan Atraktor Buatan yang
Ramah Lingkungan Dalam Pemanenan Anakan Udang Lobster Laut
(Panulirus spp.) Jurnal IPTEKS PSP, Vol. 1

47

Ningsih, Novia Retno; Juhadi, Saptono Putro. 2012. Pengaruh Pemanasan Global
Terhadap Pola Mata Pencaharian Nelayan Serta Dampaknya Pada Minat
Dan Hasil Belajar Anak Di Kelurahan Tegalkamulyan Kecamatan Cilacap
Selatan Kabupaten Cilacap. Jurnal Edu Geography 1 (1)
Nybakken, J. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. PT.
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University
Press. OrIginal English Edition. Fundamental of Ecology Third Edition,
Yogyakarta.
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur. 2014. Data Base Terbaru KUB
Tangkap Kabupaten Cianjur. Balai Desa Karangwangi Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat
Putri, Yohananda Eka. 2014. Pengaruh Pencemaran Air Laut Terhadap Kaum
Nelayan Dan Lingkungan Sekitar Pantai. Makalah, Fakultas Ilmu
Pendidikan: Universitas Negeri Malang
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur. 2014. Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Rasyid, Abd. 2010. Distribusi Suhu Permukaan Pada Musim Peralihan BaratTimur Terkait dengan Fishing Ground Ikan Pelagis Kecil di Perairan
Spermonde. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1)

48

Reddy, M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the


Abundance of Fish Catch. Proceeding of International workshop on
Apllication of Satellite Remote Sensing for Identifying and Forecasting
Potential Fishing Zones in Developing Countries, India, 7-11 December
1993.
Zid, Muhammad. 2011. Fenomena Strategi Nafkah Keluarga Nelayan: Adaptasi
Ekologis Di Cikahuripan-Cisolok, Sukabumi. Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1
Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Pertanyaan Wawancara dengan Informan Kunci


1. Sejak kapan Anda menjadi nelayan lobster?
2. Apakah Anda mengetahui sejarah adanya mata pencaharian nelayan
Lobster di Pantai Jayanti ini?
3. Kapan biasanya Anda melaut? Bagaimana kalender melaut Anda?
4. Apa yang Anda gunakan untuk menangkap lobster?
5. Apakah Anda menjadi pemilik perahu dan peralatan penangkap lobster
6.
7.
8.
9.

yang Anda gunakan?


Lobster yang di dapat selanjutnya di jual kemana?
Berapakah penghasilan Anda dari satu kali aktivitas melaut?
Untuk waktu melaut, informasi apa yang Anda peroleh dari tetua Anda?
Bagaimana tanda-tanda alamya, adakah kemunculan flora ataupun fauna

tertentu?
10. Apakah Anda sering mencari tahu atau diberikan informasi mengenai
keadaan iklim saat ini berdasarkan fakta ilmiah yang dikeluarkan
kelembagaan berwenang atau informasi dari media elektronik atau media
cetak?
49

11. Bagaimana perubahan iklim yang Anda rasakan saat ini berkaitan dengan
aktivitas melaut?
12. Apakah Anda mengetahui tentang anomali iklim?
a. Jika ya, anomali seperti apa yang Anda ketahui?
b. Kapan terjadinya anomali tersebut?
13. Apakah ada perbedaan terhadap hasil tangkapan lobster yang di dapat saat
terjadi anomali iklim dan tidak?
14. Saat iklim tidak seperti biasa untuk melaut, apa yang Anda lakukan?
15. Apakah Anda memiliki mata pencaharian lain?
a. Jika ya, apa pekerjaan tersebut?
b. Bagaimana melakukan aktivitasnya?
c. Apakah dipengaruhi oleh iklim juga?
d. Berapakah pendapat yang di dapat dari pekerjaan tersebut?

Lampiran 2. Data Diri Informan Kunci


1. Nama : Asep Rohidin
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Kepala Desa Karangwangi
2. Nama : Yayat
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Ketua RW 1, Ketua KUB Kabupaten Cianjur, Nelayan Lobster
sejak 1982
3. Nama : Darso
Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Ketua KUB Muara Cilaki, Nelayan Lobster sejak 1997

50

4. Nama : Asep
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Nelayan lobster sejak 1997
5. Nama : Syamsudin
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1982
6. Nama : Jajang
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1998
7. Nama : Kokom
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : Bandar sejak 1998, Ketua KUB Pajar Bahari
8. Nama : Badin
Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1999
9. Nama : Opan
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1985
10. Nama : Roroh
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Bandar sejak 1999, Ketua KUB Pajar Bahari II
11. Nama : Asnan
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1987
12. Nama :Rahmat
Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1995 tahun 2003 berhenti
13. Nama : Sayud
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1987

51

Lampiran 3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


Nomor 1/PERMEN-KP/2015

52

53

54

55

56

Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan di Lapangan

57

Melakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci di RW 1 dan


RW 6 Desa Karangwangi

Melakukan pengamatan terhadap TPI Lobster Muara Cilaki di RW 1 Desa


Karangwangi

58

Melakukan pengamatan terhadap peralatan yang dipakai dalam menangkap


lobster di TPI Lobster Muara Cilaki

Melakukan pengamatan terhadap kegiatan penangkapan lobster di TPI Lobster


Muara Cilaki

Melakukan pengamatan terhadap TPI Lobster Batu Kukumbung di RW 6 Desa


Karangwangi

59

Lampiran 5. Rundown Acara Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 2015

Hari Ke 1 (10 Mei 2015)


NO.

WAKTU

KEGIATAN

1.

06.00 06.30 (30)

Kumpul Peserta KKL 2015

2.

06.30 - 07.00 (30)

Sarapan Pagi

3.

07.00 07.30 (30)

Persiapan dan Mobilisasi Barang

4.

07.30 08.00 (30)

Pembukaan KKL 2015 dan Pelepasan KKL 2015

5.

08.00-16.00 (480)

Perjalanan Menuju Cagar Alam Bojonglarang Jayanti

6.

16.00

16.00 18.00 (120)

Mobilisasi Barang KKL 2015

8.

18.00 20.00 (120)

Istirahat, Solat, dan Makan

20.00 - 21.30 (90)

10

21.30

Tiba di Cagar Alam Bojonglaramg Jayanti

Kumpul Peserta KKL 2015 dan Persiapan Untuk Hari ke-2


Istirahat

Hari ke 2 (11 Mei 2015)


NO
.
1.

WAKTU

KEGIATAN

06.00 06.30 (30)

Kumpul Peserta KKL 2015

2.

06.30 - 07.00 (30)

Sarapan Pagi

3.

07.00 07.30 (30)

Persiapan dan Mobilisasi Barang

4.

07.30 08.00 (30)

Pembukaan KKL 2015 dan Pelepasan KKL 2015

5.

08.00-16.00 (480)

Perjalanan Menuju Cagar Alam Bojonglarang Jayanti

6.

16.00

16.00 18.00 (120)

Mobilisasi Barang KKL 2015

8.

18.00 20.00 (120)

Istirahat, Solat, dan Makan

Tiba di Cagar Alam Bojonglaramg Jayanti

60

20.00 - 21.30 (90)

10

21.30

Kumpul Peserta KKL 2015 dan Persiapan Untuk Hari ke-2


Istirahat

Hari ke 3 (12 Mei 2015)


NO
.

WAKTU

KEGIATAN

1.

04.00-04.30 (30)

Persiapan Peserta KKL 2015

2.

04.30-05.00 (30)

Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama

3.

05.00-05.30 (30)

Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi

4.

05.30-18.00 (750)

Penelitian dan Pengamatan di Lapangan

5.

18.00-20.00 (90)

Istirahat, Sholat, dan Makan Malam

6.

20.00-21.30 (90)

Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing

7.

21.30-22.00 (30)

Briefing serta Persiapan Alat dan Barang

8.

22.00

Istirahat

Hari ke 4 (13 Mei 2015)


NO
.

WAKTU

KEGIATAN

1.

04.00-04.30 (30)

Persiapan Peserta KKL 2015

2.

04.30-05.00 (30)

Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama

3.

05.00-05.30 (30)

Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi

4.

05.30-18.00 (750)

Penelitian dan Pengamatan di Lapangan

61

5.

18.00-20.00 (90)

Istirahat, Sholat, dan Makan Malam

6.

20.00-21.30 (90)

Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing

7.

21.30-22.00 (30)

Briefing serta Persiapan Alat dan Barang

8.

22.00

Istirahat

Hari ke 5 (14 Mei 2015)


NO
.

WAKTU

KEGIATAN

1.

04.00-04.30 (30)

Persiapan Peserta KKL 2015

2.

04.30-05.00 (30)

Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama

3.

05.00-05.30 (30)

Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi

4.

05.30-18.00 (750)

Penelitian dan Pengamatan di Lapangan

5.

18.00-20.00 (90)

Istirahat, Sholat, dan Makan Malam

6.

20.00-21.30 (90)

Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing

7.

21.30-22.00 (30)

Briefing serta Persiapan Alat dan Barang

8.

22.00

Istirahat

Hari ke 6 (15 Mei 2015)


NO
.

WAKTU

KEGIATAN

1.

04.00-04.30 (30)

Persiapan Peserta KKL 2015

2.

04.30-05.00 (30)

Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama

62

3.

05.00-05.30 (30)

Persiapan Penelitian dan Sarapan Pagi

4.

05.30-18.00 (750)

Penelitian dan Pengamatan di Lapangan

5.

18.00-20.00 (90)

Istirahat, Sholat, dan Makan Malam

6.

20.00-21.30 (90)

Diskusi dan Evaluasi bersama Dosen Pembimbing

7.

21.30-22.00 (30)

Briefing serta Persiapan Alat dan Barang

8.

22.00

Istirahat

Hari ke 7 (16 Mei 2015)


NO.

WAKTU

KEGIATAN

1.

04.00-05.00 (60)

Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama

2.

05.00-05.30 (30)

Persiapan Kepulangan Peserta KKL 2015

3.

05.30-07.00 (90)

4.

07.00-08.00 (60)

Penyelesaian Penelitian dan Pengambilan Sampel KKL


2015
Sarapan Pagi

5.

08.00 12.00
(240)
12.00-13.00 (60)

Penyelesaian Penelitian dan Pengambilan Sampel KKL


2015
Sholat Dzuhur dan Makan Siang

6.

13.00-15.00 (120)

Packing Akhir Peserta

7.

15.00-18.00 (180)

Acara Penutupan KKL 2015

8.

18.00-20.00 (120)

Solat dan Makna Malam

9.

20.00-22.00 (120)

Acara Penutupan KKL 2015

10.

22.00

Istirahat

63

Hari ke 8 (17 Mei 2015)


NO.

WAKTU

KEGIATAN

1.

04.00-05.00 (60)

Shalat Subuh, Kultum dan Doa Bersama

2.

05.00-07.00 (60)

Persiapan Kepulangan Peserta KKL 2015 dan Mobilisasi


Barang

3.

07.00-08.00 (60)

Sarapan Pagi

4.

08.00-09.00 (60)

Penutupan KKL 2015 Bersama Kepala Desa dan BKSDA

5.

09.00-17.00 (480)

Perjalanan Pulang menuju Jatinangor

6.

17.00

Tiba di Kampus Unpad Jainangor

64

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy