Fix Laporan KKL Novi
Fix Laporan KKL Novi
Fix Laporan KKL Novi
Disusun oleh :
NOVIYANTI SOLEHA
140410120059
Nama
: Noviyanti Soleha
NPM
: 140410120059
Bidang
: Ekologi Manusia
Judul
Tempat Penelitian
Waktu Penelitian
: 10 - 17 Mei 2015
Juni 2015
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Laporan
KKL 2015
Mengetahui,
Ketua Rombongan KKL 2015
ABSTRAK
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat, izin dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Kuliah Kerja
Lapangan Bidang Ekologi Manusia yang berjudul Studi Strategi Adaptasi
Nelayan Lobster Terhadap Perubahan Iklim Di Desa Karangwangi Kecamatan
Cidaun Kabupaten Cianjur, Jawa Barat tepat pada waktunya. Shalawat serta
salam senantiasa tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penuntun
umat dan suri tauladan yang baik.
Dalam penyusunan laporan KKL ini penulis banyak mendapat tantangan
dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak, tantangan dan
hambatan itu bisa teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan KKL ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
laporan KKL ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk memperbaiki
dan membangun penulis. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan laporan selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015 tidak mungkin dapat terlaksana tanpa
adanya izin dari berbagai pihak dan penyusunan laporan penelitian ini juga tidak
dapat mungkin terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh
karenanya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena telah melimpahkan rahmat, izin dan karunia-Nya
kepada penulis dalam kegiatan Kuliah Kerja Lapangan 2015 dan
penyusunan laporannya.
2. Kepada orang tua dan saudara yang senantiasa memberikan doaa dan
dukungan dalam segala aktivitas yang dilakukan oleh penulis. Saya akan
mendoakan, mencintai dan membanggakan kalian.
3. Bapak Dr. Herri Y Hadikusumah, M.Si selaku dosen pembimbing laporan
yang senantiasa membimbing dan membantu dalam persiapan sebelum ke
lapangan dan penyusunan laporan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2015 ini.
Terima kasih atas segala masukan, pesan, nasihat dan kritik yang telah
diberikan.
4. Bapak Tatang Suharmana E, Drs., MIL yang senantiasa membimbing
pengerjaan di lapangan.
5. Bapak Dr. Moch. Nurzaman, S.Si., M.Si., selaku Kepala Departemen
Biologi Fakultas Matematika dan Imu Pengetahuan Alam, Universitas
Padjajaran
6. Bapak Dr. Teguh Husodo, S.Si., M.Si., selaku Koordinator Program Studi
Sarjana Biologi F. MIPA, Universitas Padjajaran
7. Bapak Prof. Dr. Erri Noviar Megantara selaku Ketua Rombongan kegiatan
Kuliah Kerja Lapangan 2015
8. Pihak Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan Pihak Desa Karangwangi
yang memberikan izin atas pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan dan
memberikan bantuannya selama kegiatan berlangsung.
9. Para informan kunci yang sudah bersedia diminta waktunya, berbagi
cerita, berbagi informasi, yaitu Bapak Yayat, Bapak Darso, Bapak Asep,
Bapak Syamsudin, Bapak Jajang, Ibu Kokom, Ibu Roroh, Bapak Badin,
Bapak Opan, Bapak Sayud, Bapak Rahmat dan Bapak Asan. Terima kasih
telah menunjukkan perjuangan hidup dari aktivitas mencari lobster di laut
yang penuh tantangan. Terima kasih telah memberikan kesempatan bagi
penulis untuk mencicipi lobster dan rajungan hasil tangkapan.
10. Teman-teman bendahara, Syahidah dan Firda; teman satu bidang, yaitu
Baiq Arriyadul Badi'ah dan teman wawancara, yaitu Anne, Indra, Aqi dan
Sarah yang bekerja sama selama pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan 2015
ini.
11. Teman-teman angkatan 2012 Kloroblas yang sudah sama-sama berjuang
sampai saat ini yang selalu memberikan dukungan dan bantuan.
12. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya Kuliah Kerja Lapangan
2015 ini.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR.................................................................................................
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
DAFTAR TABEL........................................................................................................
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
Latar Belakang..................................................................................................
Identifikasi Masalah..........................................................................................
Maksud dan Tujuan penelitian..........................................................................
Kegunaan Penelitian.........................................................................................
Metodologi........................................................................................................
Waktu dan Lokasi Penelitian.............................................................................
2.2
Pemanasan Global...........................................................................................
3.2
Perubahan Iklim..............................................................................................
3.3
3.4
Ekologi Manusia.............................................................................................
3.5
4.2
Pengumpulan Data..........................................................................................
4.3
Analisa Data....................................................................................................
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
Kesimpulan.....................................................................................................
6.2
Saran...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
LAMPIRAN...............................................................................................................
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Sargassum spinuligerum......................................................................
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Jaring pasang dan ban bulat serta ban bulat yang dimodifikasi.......37
Gambar 5.7
Gambar 5.8
Gambar 5.9
11
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Global warming atau pemanasan global adalah fenomena meningkatnya
Indonesia yang bermata pencaharian berkaitan dengan laut, salah satunya sebagai
nelayan.
Masyarakat nelayan adalah salah satu kelompok yang sangat merasakan
dampak dari perubahan cuaca dan iklim selain petani. Masyarakat nelayan adalah
masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu
kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Ningsih, dkk., 2012).
Di Kabupaten Cianjur secara umum terdapat dua jenis nelayan berdasarkan
objek laut yang ditangkap, yaitu nelayan ikan dan nelayan lobster. Nelayan ikan
sebagian besar merupakan warga Desa Cidamar, sedangkan nelayan lobster
sebagian besar merupakan warga Desa Karangwangi. Di Desa Karangwangi
tercatat 117 orang bermata pencaharian sebagai nelayan lobster. Nelayan lobster
tersebut memiliki kalender dalam memanen lobster dari alam. Akibat perubahan
iklim yang terjadi, kini kalender tersebut mengalami pergeseran mengikuti
perubahan musim setiap tahunnya.
Strategi adaptasi nelayan dipandang sebagai hal yang terkait dengan
kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan ekologis. Hal tersebut sangat
penting untuk dipelajari karena strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan
memungkinkan nelayan mengatur sumberdaya terhadap persoalan-persoalan
spesifik, seperti fluktuasi hasil tangkapan dan menurunnya sumberdaya perikanan,
khususnya lobster pada penelitian ini. Strategi adaptasi tidak hanya bermanfaat
untuk menyelamatkan perekonomian nelayan tetapi juga untuk menjaga ekosistem
laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang
mengaitkan antara perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit
BAB II
TINJAUAN LOKASI
2.2.2
1) Laki-laki
2) Perempuan
Jumlah
b. Kepala Keluarga
c. KK Miskin
d. Kelompok Tenaga Kerja
1) 10-14 Tahun
2) 15-19 Tahun
3) 20-26 Tahun
4) 27-40 Tahun
5) 40-56 Tahun
6) 57-Keatas
Jumlah
2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
a. Lulusan Pendidikan Umum/ Formal
1) TK/TPA/PAUD
2) SD/MI (Paket A)
3) SMP/SLTP (MTs dan Paket B)
4) SMA/SLTA (MA dan Paket C)
5) Akademis/D1 D3
6) Sarjana/ S-1
7) Sarjana/ S-2
8) Sarjana/ S-3
Jumlah
b. Lulusan Pendidikan Khusus/ Non Formal
1) Ponpes
2) Kursus
3) Sekolah Luar Biasa
: 2.426 Orang
: 3.161 Orang
: 5.587 Orang
: 1.817 KK
: 1.412 KK
: 280 Orang
: 390 Orang
: 327 Orang
: 451 Orang
: 1.175 Orang
: 347 Orang
: 2.970 Orang
: 48 Orang
: 60 Orang
: 782 Orang
: 140 Orang
: 25 Orang
: 41 Orang
: 1 Orang
: - Orang
: 1.097 Orang
: 23 Orang
: 25 Orang
: - Orang
: 23 Orang
b. PNS Polri
: 1 Orang
c. PNS TNI
: 2 Orang
d. Pensiunan PNS/POLRI/TNI
: 2 Orang
e. Karyawan Swasta
: 40 Orang
f. Wiraswasta
: 182 Orang
g. Pedagang
: 110 Orang
h. Petani
: 963 Orang
i. Buruh Tani
: 246 Orang
j. Nelayan
: 117 Orang
k. Pemulung
: - Orang
l. Jasa
: 10 Orang
Jumlah
2.2.4
: 1.676 Orang
: 8 Kelompok
: 14 Kelompok
: 6 Kelompok
: 12 Ha
: 1 Kelompok
2. Perikanan
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Tambatan Perahu
TPI Desa
Kelompok Nelayan Tangkap
Kelompok Pembudidaya Ikan
Embung/ Kolam
Perahu
: 1 Unit
: 1 Unit
: 10 Kelompok
: 8 Kelompok
: 4,8 Ha
: 3 Unit
3. Pariwisata
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
: 10 Ha
: 1 Buah
: 1 Kelompok
: 2 Lokasi
: 2,36 Km
: 1 Unit
: 1 Unit
: 2,4 Ha
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
terserap oleh permukaan laut membuat laut di kawasan kutub memanas dan
mengubah pola aliran udara di atmosfer. Dalam model komputer yang dibuat dan
dimuat di Journal of Geophysical Research awal bulan Desember 2010
memperlihatkan kenaikan temperatur udara di lautan Artik yang menimbulkan
sistem tekanan tinggi. Sistem tekanan tinggi inilah yang membawa udara dingin
kutub ke daratan Eropa. Efek aliran udara dingin dari kutub utara itu akan makin
parah saat terjadi gangguan pada arus udara panas yang melintasi Samudra
Atlantik dan perubahan aktivitas matahari (Wahono, 2010 dalam Muhi, 2011).
Perubahan iklim yang terjadi telah merubah pola musim panas menjadi
semakin panjang, semakin panas dan kering. Sejak tahun 2004 setidaknya sudah
42% es di Kutub Utara semakin menipis dan mencair di setiap musim panas. Hal
ini dilaporkan beberapa ilmuwan di lembaga antariksa AS, NASA. Es Kutub
Utara merupakan salah satu faktor yang menentukan pada pola cuaca dan iklim
global, karena perbedaan antara udara dingin di kedua kutub bumi dan udara
hangat di sekitar khatulistiwa menggerakkan arus udara dan air, termasuk arus
yang memancar (Setiawan, 2009 dalam Muhi, 2011).
Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar
dan kecil. Perubahan iklim ini akan berdampak terhadap banyaknya pulau-pulau
kecil yang sangat mungkin akan hilang dan tenggelam. Indonesia juga akan
kehilangan wilayah dan kota-kota yang berada di wilayah pesisir. Disinyalir pula
akan semakin sering terjadi kekeringan yang dapat mengakibatkan musibah gagal
panen dan kebakaran, curah hujan semakin ekstrim menyebabkan musibah banjir
11
bekerja
menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun
permukaan perairan. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat
merupakan perairan tawar, payau maupun laut (Putri, 2014).
Kajian-kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada
kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi karena kesulitan hidup yang dihadapi
nelayan dan keluarganya. Keadaan tersebut disebabkan oleh hubungan antara
nelayan dengan lingkungannya (pesisir dan laut) yang diliputi situasi
ketidakpastian. Angin kencang dan gelombang tinggi yang seringkali terjadi
menyebabkan pola aktivitas melaut berubah yang berujung pada penurunan
pendapatan nelayan (Helmi dan Arif, 2012).
3.4 Ekologi Manusia
Manusia (Homo sapiens) dalam kehidupan sehari-harinya mempuyai
ketergantungan yang sangat erat dengan lingkungannya. Seperti halnya makhluk
hidup lainnya, manusia dalam kehidupan sehari-harinya di muka bumi
dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya, baik lingkungan hidup
(biotik) maupun lingkungan tak hidup (abiotik). Lingkungan biotik antara lain
jenis-jenis tumbuhan, binatang, dan manusia itu sendiri. Sementara itu,
lingkungan abiotik antara lain, udara, air, dan tanah. Manusia untuk memenuhi
kebutuhan primer atau biologisnya, antara lain membutuhkan udara untuk
12
bernafas, air untuk minum, serta jenis-jenis tumbuhan dan binatang untuk sumber
pangan. Sedangkan untuk memenuhi keperluan non-primernya, manusia antara
lain membutuhkan kepuasan akan benda-benda material atau kekayaan yang
dieksploitasi dari alam dan rekreasi serta hiburan dengan menikmati keindahan
alam (Iskandar, 2009).
Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Ernst Haeckel (1896), seorang
ahli biologi Jerman. Istilah ekologi tersebt berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos
dan logos. Oikos yang berarti rumah atau tempat untuk kehidupan dan logos
berarti ilmu. Jadi, secara harfiah ekologi dapat diartikan sebagai studi tentang
makhluk hidup dalam rumahnya (Odum, 1971). Namun demikian, secara bebas
ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya (Iskandar, 2009).
Oleh karena itu, untuk memahami berbagai keterkaitan aktivitas manusia
dengan lingkungannya, antara lain dapat dilakukan melalui pendekatan Ekologi
Manusia. Mengingat Ekologi Maunusia atau Human Ecology adalah studi yang
secara khusus menngaji hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya. Di dalam studi Ekologi Manusia, lingkungan di luar manusia
biasanya dipandang sebagai ekosistem (Marten, 2001 dalam Iskandar, 2009). Pada
umumnya berbagai ekosistem tersebut senantiasa berubah secara dinamik akibat
berbagai pengaruh kegiatan manusia sehari-hari ataupun secara khusus melalui
berbagai program pembangunan.
3.5 Adaptasi Manusia dengan Lingkungannya
13
14
hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah
(Iskandar, 2009).
Pada umumnya manusia memeliki kelunturan yang luar biasa dalam
mengadaptasikan diri terhadap berbagai kondisi ekosistem (lingkungannya).
Terdapat tiga jenis penyesuaian manusia untuk mengadaptasikan dirinya pada
berbagai perubahan lingkungannya, yaitu adaptasi cara fisiologi, adaptasi cara
perilaku dan adaptasi cara kebudayaan (Moran, 1982 dalam Iskandar, 2009).
Adaptasi fisiologi dan perilaku manusia merupakan adaptasi biologi atau
evolusi, agar manusia dapat bertahan hidup dan berhasil bereproduksi. Adaptasi
fisiologi misalnya, suku-suku Indian, yang hidup di pegunungan tinggi Andes,
Amerika Selatan, telah beradaptasi dengan kadar oksigen yang rendah dalam
udara (hypoxia). Manusia juga dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya
secara tingkah laku. Manusia dengan memanfaatkan aliran informasi dari berbagai
ekosistem dimana mereka tinggal untuk melakukan adaptasi tingkah laku.
Misalnya, kelompok Suku Masaai di Afrika, selama musim baik tidak
mengalami musim kekeringan panjang, mereka biasanya banyak mengkonsumsi
susu ternak, mengingat pada saat itu hewan-hewan ternak mereka sedang
memproduksi susu lebih banyak karena didukung oleh ketersediaan pakan rumput
yang cukup banyak. Sebaliknya, selama musim jelek masa kemarau panjang,
Suku Masaai tersebut biasanya selain mengonsumsi susu juga mengonsumsi
daging karena produksi susu tidak memadai (Iskandar, 2009).
Berbeda dengan adaptasi fisiologi dan tingkah laku, adaptasi kebudayaan
dapat didefinisikan sebagai suatu strategi penanggulan yang diupayakan manusia
15
BAB IV
METODE PENELITIAN
16
17
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Nama KUB
Nama Ketua
Jumlah Anggota
Pajar Bahari
Ibu Kokom
14
Cigebang Mandiri
Pak Warna
14
Karang simulan
Pak Yayat
10
Muara Cilaki
Pak Darso
10
Gapura Rahayu
Pak Gunawan
10
Pajar Bahari II
Ibu Roroh
10
Pajar Bahari III
Pak Asnan
10
Mekar Saluyu
Pak Yusup
10
Mina Karya
Pak Suherlan
10
Kakap
Pak Rustandi
10
10 KUB
10 Ketua
114 Anggota
Sumber : Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, 2014
KUB
memiliki satu buah TPI Lobster di Muara Cilaki. TPI Lobster ini dibangun dari
dana swadaya bandar dan anggotanya. Sedangkan KUB lainnya berada di RW 6
juga memiliki satu buah TPI Lobster di Pantai Batu Kukumbung. Namun,
perbedaanya TPI Lobster ini dibangun dari dana bantuan pemerintah untuk para
nelayan.
19
20
Udang lobster laut (Panulirus spp.) atau biasa disebut dengan udang barong
atau udang karang adalah salah satu komoditas perikanan yang potensial dan
bernilai ekonomis penting. Pemintaan pasar domestik dan ekspor ke Negara
Hongkong, Taiwan, Singapura, Jepang dan Cina pada udang barong terus
meningkat (DKP, 2011).
Nelayan lobster di Desa Karangwangi adalah orang yang sumber
kehidupannya baik primer ataupun sekunder berasal dari aktivitas melaut, mencari
dan menangkap lobster. Lobster yang ditangkap hidup secara alami dari laut
bukan lobster hasil budidaya. Lobster secara langsung dan tidak langsung menjadi
pokok kehidupan mereka. Secara langsung, lobster dapat dijadikan konsumsi
pribadi sebagai pemenuhan kebutuhan diri dan keluarganya terhadap bahan
pangan. Secara tidak langsung, lobster dapat dijual dan hasil dari penjualannya
diperoleh bahan-bahan pangan lainnya, seperti beras, sayur-mayur, lauk-pauk
lainnya; kebutuhan sandang, seperti pakaian; kebutuhan papan, seperti rumah dan
kebutuhan penunjang kehidupan lainnya.
Mata pencaharian sebagai nelayan lobster sudah dilakukan setelah
kemerdekaan Indonesia. Sekitar tahun 1970-1980an, jumlah nelayan lobster yang
ada di Desa Karangwangi 17 orang. Seiring dengan bertambahnya tahun,
bertambahnya jumlah penduduk, adanya jumlah lobster yang melimpah dari alam,
kurangnya variasi mata pencaharian selain bertani dan berkebun, dan tingginya
permintaan eksport menyebabkan mata pencaharian sebagai nelayan lobster
banyak dilakukan oleh warga sebagai salah satu mata pencaharian yang
menjanjikan. Mata pencaharian ini dilakukan oleh warga asli Desa Karangwangi
21
dan bahkan oleh warga pendatang dari luar desa yang kini menetap di Desa
Karangwangi.
Pada tahun 1990an jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan
lobster mencapai 400 orang. Jika dibandingkan dengan tahun 2014 yang tercatat
sebanyak 117 orang, maka jumlah tersebut berkurang signifikan. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya, (1) saat ini banyak pilihan mata
pencaharian selain menjadi nelayan, yaitu menjadi pegawai negeri sipil (PNS),
wiraswasta, berdagang, TNI, POLRI, dan guru yang bagi sebagian orang
pendapatannya lebih menjajikan daripada menjadi nelayan lobster; (2)
berkurangnya jumlah tangkapan lobster saat panen. Pada tahun 1990an, satu
malam seorang bandar dapat memperoleh 100 kuintal lobster, kini jumlah
tersebut dapat dimiliki dari 3-4 kali panen. Informan kunci memberikan faktorfaktor yang menurut mereka menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan lobster,
yaitu adanya pencemaran limbah dari aktivitas pengambilan pasir dari tengah laut,
adanya pengambilan makroalga, dan adanya pengerusakan karang menggunakan
pahat untuk hiasan di dalam aquarium sehingga lobster kehilangan tempat
berpijah dan sumber makanannya; (3) faktor keberanian dan kekuatan juga
mempengaruhi mata pencaharian ini. Bapak Rahmat menjadi nelayan lobster pada
tahun 1995 di tahun 2001 sudah berhenti menjadi nelayan lobster dikarenakan
faktor usia dan kekuatan. Mata pencaharian ini tidak bersifat turun temurun.
Seseorang yang ingin menjadi nelayan lobster harus gigih, pantang menyerah,
kuat secara fisik dan mental, tidak takut dan dapat berenang.
5.3 Jenis Lobster yang Ditangkap
22
Lobster atau udang barong hidup pada habitat di perairan pantai yang
banyak terdapat bebatuan atau pada daerah terumbu karang. Batuan dan terumbu
karang dapat dijadikan oleh udang barong sebagai tempat bersembunyi dari
predator dan juga berfungsi sebagai daerah mencari makan. Habitat umum untuk
lobster laut adalah sangat dipengaruhi oleh hidrodinamik dan turbiditas air laut
(Musbir, dkk., 2014)
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan selama dua hari di TPI Muara Cilaki,
diketahui dua jenis lobster yang selalu ditangkap, yaitu lobster hijau (Panulirus
versicolor) dan lobster merah (Panulirus longipes), namun dari hasil wawancara
diperoleh jenis lobster jenis, yaitu lobster batik atau mutiara (Panulirus ornatus).
23
dalam
berinteraksi
dengan
lingkungannya
menggunakan
kebudayaan sebagai pedoman hidupnya dan sebagai alat untuk memenuhi seluruh
kebutuhannya serta sebagai jembatan yang mengantarkannya ke berbagai sumber
daya atau energi yang ada di dalam lingkungan (ekosistem). Berdasarkan unsurunsurnya, kebudayaan memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata
pencaharian hidup, sistem religi dan sistem kesenian. Pada umunya kebudayaan
tidaklah diwariskan secara genetika tetapi diperoleh manusia setelah kelahirannya
melalui proses belajar (Iskandar, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, dapat diketahui kebudayaan
masyarakat nelayan dalam unsur sistem pengetahuan, khususnya mengenai
pengetahuan kondisi yang baik untuk melaut atau tidak, melalui pengamatan
24
25
12.00 siang dan pukul 24.00 malam, surut akan mulai pukul 06.00 pagi dan pukul
18.00 sore (Kamshory dan Syafii, 2014).
Tengah bulan qomariyah (13-15) biasanya diterangi oleh sinar bulan yang bulat
penuh. Puncak fenomena pasang surut air laut terjadi di tanggal-tanggal ini. Malam
ke-13 bulan menuju fullmoon (purnama penuh), sedangkan malam 14 dan 15 bulan
pada posisi fullmoon.
Malam ke-15 adalah puncak dari purnama, sehingga malam ke-16 adalah adalah
antiklimaks. (Kamshory dan Syafii, 2014).
mereka mengikuti ayah dan kakek mereka menangkap lobster. Pada tahap
berikutnya, pada masa usia remaja hingga sebelum berkeluarga, penyebaran
pengetahuan biasanya lebih dominan melalui proses peer group. Pembelajaran
kebudayaan pada tahap ini ekivalen dengan penyebaran pengetahuan secara
horizontal. Adapun pada masa dewasa, masing-masing individu nelayan lobster
mendapatkan pengetahuan dari hasil belajar dan uji coba sendiri mandiri. Untuk
para nelayan lobster yang orang tuanya bukan nelayan lobster dan merupakan
warga pendatang, bukan asli Desa Karangwangi, pengetahuan yang mereka dapat
lebih pada peer group dengan anggota KUB yang sama bahkan dengan anggota
KUB yang berbeda.
5.5 Pengetahuan Nelayan Lobster Terhadap Waktu Panen Lobster
Berkaitan Kemunculan Flora dan Fauna Lain
Saat musim panen lobster tiba para nelayan mengetahui waktu tersebut
berdasarkan tanda dari flora dan fauna yang keberadaannya mudah dijumpai dan
jumlahnya yang banyak. Flora dan fauna tersebut tidak berasal dari jenis darat,
melainkan jenis tumbuhan dan binatang laut. Tumbuhan kriptogame laut yang
sering dijumpai saat panen lobster adalah makroalga atau penduduk setempat
menyebutnya dengan sebutan ganggang. Rumput laut atau ganggang adalah salah
satu tumbuhan laut yang hidup di perairan pantai yang dangkal dengan subtrat
dasar berupa pasir, pasir bercampur lumpur, karang mati maupun pecahan karang
mati. Kehadiaran ganggang pada paparan terumbu karang dengan kedalaman
perairan yang dangkal berkisar antara 15 meter.
27
28
menghindar dari lingkungan yang tidak sesuai. Respon ini menunjukan bahwa
pada sumberdaya lobster terdapat batas-batas toleransi terhadap perubahan
berbagai kondisi lingkungan, sebagaimana diungkapkan oleh Nybakken (1992)
bahwa setiap spesies dalam komunitas mempunyai daya toleransi tertentu
terhadap tiap tiap faktor dan semua faktor lingkungan.
Musim kemarau yang panjang akan mengakibatkan keuntungan yang
berlimbah karena pada musim kemarau salinitas air laut tinggi dan suhu laut
hangat sesuai untuk kegiatan bertelur lobster. Lobster akan banyak mudah
ditemukan di sekitar batu karang yang letaknya tidak jauh dari garis pantai. Pada
saat musim kemarau angin relatif lemah sehingga proses pemanasan di permukaan
terjadi lebih kuat. Tingginya intensitas penyinaran dan dengan kondisi permukaan
laut lebih tenang menyebabkan penyerapan panas ke dalam air laut lebih tinggi
sehinga suhu air menjadi maksimum. Sementara itu, saat musim hujan jumlah
tangkapan lobster mengalami penurunan (Rasyid, 2010). Saat hujan salinitas air
laut menurun karena bercampur dengan air hujan yang tawar dan suhu laut
menjadi dingin. Kondisi tersebut kurang sesuai untuk bertelur dan kehidupan
lobster, sehingga lobster akan berpindah ke laut yang lebih dalam yang memiliki
salinitas yang lebih stabil. Suhu yang dingin tersebut disebabkan karena pada
musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi.
Tingginya curah hujan yang berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan
permukaan laut yang lebih bergelombang mengurangi penetrasi panas ke dalam
air laut, hal inilah yang mengakibatkan suhu permukaan mencapai minimum
30
31
32
untuk memancing ikan. Namun, untuk pancingan lobster harus memiliki tiga buah
kail dan umpannya dapat berupa makroalga, seperti Sargassum sp. dan jenis ikanikan kecil, seperti layur. Hasil tangkapan dengan pancingan jika dibandingkan saat
dahulu dengan saat ini sangat berbeda nyata. Dahulu sangat mudah menangkap
lobster dengan pancingan karena jumlah lobster masih melimpah dan sedikitnya
pemancing (kecilnya persaingan dalam menangkap lobster), iklim lebih stabil dan
belum terjadinya kerusakan habitat lobster. Biasanya pemancingan ini dilakukan
di atas batu karang. Kini sangat jarang lobster yang tertangkap dengan pancingan.
Alat yang kedua adalah jaring ampar. Penggunaan jaring ampar tidak
berubah dari waktu ke waktu. Jaring ditempatkan atau di kaitkan di sekitar batu
karang dan dibiarkan semalam, esok harinya jaring diambil. Peletakkan jaring
ampar di dekat batu karang dikarenakan lobster banyak beraktivitas di sekitar batu
karang dan di batu karanglah tempat hidup makroalga yang menjadi sumber
makanan dan tempat berpijah lobster. Penggunaan jaring ampar ini tidak
memerlukan alat bantu lainnya.
33
34
ukuran yang kecil karena pada masa lalu kendaraan pun masih sangat terbatas.
Kini digunakan ban dalam dari truk besar. Bentuk ban yang digunakan juga
mengalami modifikasi. Dahulu, ban yang digunakan hanya berbentuk bulat, kini
ban yang berbentuk bulat dapat dibentuk lonjong seperti perahu dengan cara
mengikatnya dengan tali tambang. Bentuk ban yang melonjong seperti perahu ini
memudahkan nelayan dalam membawa jaring dan peralatan lainnya yang
dibutuhkan. Penggunaan ban dengan segala modifikasinya kini telah dipakai oleh
seluruh nelayan. Jaring yang digunakan biasanya memiliki panjang 25-30 meter
dengan tinggi 1,5 meter dan ukuran lubang jaring 2-4 inchi.
Gambar 5.6 (kiri) jaring pasang dan ban bulat; (kanan) ban bulat yang
dimodifikasi
35
Alat keempat adalah jodang. Jodang adalah jaring yang dikaitkan pada
bambu atau besi berbentuk segi empat ataupun lingkaran pada umumnya. Ukuran
jodang bervariasi, jodang berbentuk lingkaran memiliki diameter 1-1,2 meter.
Penggunaan jodang ini biasanya dilengkapi dengan umpan. Umpan yang
umumnya digunakan adalah tamikil, sejenis moluska dengan nama latin Chiton
sp. ataupun dengan ikan-ikan kecil, seperti layur. Umpan ini diletakkan di bagian
tengan jodang. Chiton sp. lebih sering digunakan karena lebih tahan lama dan
dapat digunakan berkali-kali jika dibandingkan dengan ikan kecil yang mudah
habis dan mudah membusuk. Chiton sp. memiliki tubuh bagian luar yang keras.
Jodang diletakkan di perairan sempit di sekitar batu karang yang sulit di pasang
jaring pasang. Jodang juga
36
Gambar 5.8 (kiri) jodang besi dengan umpan Chiton sp. dan (kanan) Chiton sp.
Dalam sehari, biasanya dilakukan pemasangan alat tangkap jaring pasang
dan jodang sebanyak dua kali mengikuti jadwal surut laut yang biasanya terjadi
dua kali dalam rentan waktu tertentu. Alat tangkap yang dipasang sore atau malam
hari akan diambil pagi hari. Saat pengambilan pagi hari, dilakukan juga
pemasangan alat berikutnya yang akan diambil sore atau malam hari, dan begitu
seterusnya.
Peralatan keamanan dan keselamatan yang digunakan adalah sepatu dan
jaket pelampung. Saat melakukan observasi di lapangan, tidak ada satupun
nelayan yang memakai jaket pelampung. Menurut mereka, jaket pelampung
membatasi gerak mereka di atas ban. Sepatu ataupun kaos kaki tebal digunakan
saat berenang agar menghindari luka di bagian kaki akibat tajamnya bebatuan
karang dan bulu babi di sekitar batu karang. Ombak yang besar dapat
menghempaskan nelayan ke bebatuan karang. Peralatan yang telah disebutkan
untuk beberapa nelayan memilkinya secara pribadi. Namun, sebagian besar dari
mereka meminjamnya dari bandar. Kerusakan dan kehilangan peralatan cukup
sering terjadi akibat ombak yang datang. Ombak yang terlalu besar dapat
menghanyutkan peralatan yang telah dipasang.
37
38
Uang yang dibawa pulang ke kampung halaman hanya berkisar Rp. 200.000,sampai 500.000,-.
Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu
yang diharapkan atau tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan
suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan
antara manusia dengan ekosistemnya. Dengan demikian, tingkah laku manusia
dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya, lingkungan yang berubah
memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar manusia dapat
bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (Bennett
1976 dalam Helmi dan Arif, 2012).
5.9 Pandangan Nelayan Lobster Desa Karngwangi Terhadap Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Republik
Indonesia
Nomor
1/PERMEN-KP/2015
Sehubungan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 1/PERMEN-KP/2015 yang ditetapkan pada 6 Januari 2015 oleh
Ibu Susi Pudjiastuti tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting
(Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus spp.) dengan pertimbangan
bahwa bahwa keberadaan dan ketersediaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting
(Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) telah mengalami penurunan
populasi, sehingga perlu dilakukan pembatasan penangkapan terhadap Lobster
(Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).
Secara umum para nelayan lobster di Desa Karangwangi setuju dengan
peraturan tersebut. Namun, ada beberapa hal yang membuat mereka kecewa.
39
produktivitas
hasil
tangkapan
lobster
dapat
meningkat
dan
kelestariannya dapat terjaga. Sementara itu, hal yang serupa juga diungkap oleh
Bapak Yayat selaku Ketua KUB Kabupaten Cianjur dan telah menjadi nelayan
lobster sejak tahun 1985 menilai baik kebijakan tersebut untuk masa depan namun
seharusnya dapat melihat jauh keadaan masyarakat sebab saat ini kondisi nelayan
tidak menentu. Langkah yang tepat sebaiknya dihentikan produksi dan penjualan
jala atau jaring yang memiliki lubang jaring lebih kecil dari 3 inchi agar lobster
ukuran kecil tidak terbawa.
Pada kenyataannya para nelayan lobster hanya benar-benar mematuhi
pasal 2 mengenai pelarangan penangkapan lobster yang sedang bertelur. Mereka
sadar bahwa dari lobster yang bertelur bisa menetaskan jutaan lobster baru. Ibu
Kokom selaku bandar sejak tahun 1996 mengatakan bahwa dengan menangkap,
memperdagangkan dan mengonsumsi lobster telur berarti telah membunuh dan
mengorbankan jutaan calon lobster. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan
kita tidak memiliki lobster. Bagi pelanggar terdapat sanksi minimal penjara 3
tahun dan denda Rp150 juta. Hukuman akan lebih besar jika pelaku terbukti
menangkap dan memperdagangkan lobster bertelur. Melalui UU Perikanan tahun
2004 bahkan hukuman lebih lama. Untuk penegakkan hukum secara pidana akan
diberikan oleh Bareskrim dan BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam)
40
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Secara perdata akan dicabut izin
melaut pelaku.
Penerapan untuk pasal 4 ayat 1 mengenai pelepaskan Lobster (Panulirus
spp.) yang ukurannya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) jika masih dalam keadaan hidup; terkadang masih
diabaikan. Jika lobster yang di dapat masuk dalam kategori baby yang berukuran
1-5 ons, sebagain besar nelayan akan melepaskan lobster tersebut atau
menjadikannya sebagai lauk bagi keluarganya. Harganya lobster dalam kategori
baby saat ini hanya Rp. 50.000 dan jarang ada yang ingin membelinya.
Sementara itu lobster yang berukuran 5 ons hingga 2 ons kurang biasanya
akan dijual ke bandar. Bandar akan mengakumulasi dan memelihara lobster
tersebut ke dalam kumbung hingga mencapai berat atau ukuran yang sesuai untuk
standar eksport, yaitu minimal 2 ons. Kumbung dapat terbuat dari bambu ataupun
dari trais. Kumbung memiliki celah-celah kecil di seluruh permukaannya hal ini
berguna untuk mengalirkan air laut beserta udara dan nutrisi yang dikandungnya
agar menjaga lobster tetap hidup.
Penggunaan kumbung dari bambu sudah mulai ditinggalkan karena mudah
rusak karena hantaman ombak dan paku yang digunakan mudah berkarat.
Rusaknya kumbung dapat menyebabkan lobster yang ditampung keluar. Trais
berasal dari plastik berwarna purih berbentuk balok. Kumbung dikaitkan di
bebatuan karang. Baik kumbung yang terbuat dari bambu maupun trais pada baian
luarnya di ikat dengan lilitan tambang beberapa lapis. Hal ini berfungdi untuk
melindungi lobster yang tertampung dari bahaya predator. Predator yang sering
41
menyerang lobster adalah gurita dan ikan sidat. Selain ancaman predator alami
yang dapat merugikan bandar adalah adanya ancaman pencurian. Pencurian yang
dilakukan oleh manusia sudah beberapa kali terjadi. Namun, pelaku pencurian
belum ada yang tertangkap karena kurangnya bukti dan saksi. Pencurian terjadi
pada malam hari. Maka dari itu, para bandar harus mengawasi kumbung yang
mereka miliki. Lobster yang berada dalam kumbung diberi pakan berupa ikanikan kecil ataupun makroalga jenis Sargassum sp. Pemberian pakan ini tidak boleh
berlebihan karena dapat menyebabkan kematian bagi lobster. Jika terdapat 50kg
lobster dalam satu kumbung, pakan sebaiknya diberikan sebanyak 4-5 kg dalam
rentan waktu 1-2 hari.
Gambar 5.9 (kiri) Kumbung terbuat dari trais dan (kanan) proses pemberian pasir
ke tubuh lobster sebelum dikirim ke TPI Lobster pusat
42
Untuk menjaga lobster tersebut tetap hidup tanpa air laut, mereka melumuri
seluruh bagian tubuh lobster dengan serbuk gergaji halus ataupun pasir pantai.
Serbuk gergaji dan pasir ini juga ditaburkan ke dalam tempat penyimpanan lobster
tersebut. Lobster dalam keadaan tersebut akan bertahan selama 24 jam.
Pengetahuan penggunaan kedua bahan tersebut berasal dari tetua mereka.
Mengenai pasal 4 ayat 2 tentang pencatatan Lobster (Panulirus spp.),
dalam kondisi bertelur atau ukuran yang tidak sesuai dengan yang tertangkap
dalam keadaan mati dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal melalui kepala
pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan
tidak dilaksanakan karena bagi mereka hal tersebut tidak memberikan manfaat
terhadap mereka. Lobster hasil tangkapan yang bagian tubuhnya sudah tidak
lengkap atau yang sudah mati saat tertangkap biasanya dikonsumsi pribadi jika
keadaannya masih layak untuk dimakan.
43
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa
44
jenis Sargassum sp. yang melimpah di batu karang sedangkan untuk fauna
laut saat masa panen akan banyak dijumpai lumba-lumba, ikan hiu, ikan
layur, ikan sidat, rajungan, kepiting, ikan tuna, ikan tongkol dan gurita.
3. Terjadinya perubahan yang kini iklim yang tidak dapat diprediksi membuat
nelayan lobster melakukan adaptasi. Adaptasi yang mereka lakukan
diantaranya, mengubah kalender masa panen lobster mengikuti pergeseran
musim, saat musim paceklik nelayan memiliki mata pencaharian sampingan
seperti, menjadi petani, peternak ataupun sebagai buruh dan dalam bidang
teknologi mereka melakukan inovasi-modifikasi alat penangkap lobster untuk
memaksimalkan jumlah lobster yang ditangkap.
6.2
Saran
Strategi
adaptasi
tidak
hanya
bermanfaat
untuk
menyelamatkan
perekonomian nelayan namun juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui
suatu pola pemanfaatan yang lestari. Kajian-kajian yang mengaitkan antara
perubahan ekologis dengan respon nelayan masih sulit ditemukan. Diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai adaptasi nelayan, dengan melakukan penilaian
efektivitas dengan menggali indikator yang terkait dengan sustainable
livelihoodasset, livelihood outcomes, dan sustainable fisheries. Perlu juga adanya
penelitian mengenai teknik budidaya lobster air laut secara murah, mudah dan
efesien agar nelayan lobster dapat mengurangi ketergantungannya dirinya
terhadap iklim dan hasil lobster alami yang jumlahnya semakin berkurang
disebabkan banyak faktor. Diperlukan pula bantuan dari pemerintah dalam
45
pemulihan dan pelestarian habitat lobster yang telah rusak dan yang masih ada
agar terjadi peningkatan hasil tangkapan lobster yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, C.A and M.J. Butler. 1997. Role of mangrove habitat as a nursery for
juvenile spiny lobster, Panulirus argus, in Belize. Mar Freshwater Res.,
48,721-727.
Balai Desa Karangwangi. 2014. Profil Desa Karangwangi. Balai Desa
Karangwangi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Dinas Kelautan dan Perikanan dan Sulawesi Selatan. 2011. Laporan Statistik
Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan. Propinsi Sulawesi Selatan
Fadholi, Akhmad. 2013. Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD)
Terhadap Curah Hujan Di Pangkalpinang. Jurnal Ilmu Lingkungan , Vol
11(1):43 50
46
Helmi, Alfian Dan Arif Satria. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap
Perubahan Ekologis. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1
Iskandar,
Johan.
2009.
Ekologi
Berkelanjutan.Program
Manusia
dan
Pembangunan
Padjajaran.
Kadi, A. 2005. Beberapa catatan kehadiran marga sargassum di perairan
Indonesia. Jurnal Oseanologi di Indonesia, 4
Kamshory dan Syafii. 2014. Simulator Posisi Matahari dan Bulan Berbasis Web
dengan WEBGL. Jurnal Nasional Teknik Elektro, Vol: 3 No. 2
Lekatompessy Hendri Stenli, M. Natsir Nessa dan Andi Adri Arief. 2013. Strategi
Adaptasi Nelayan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Ekologis. Jurnal
kelautan Dan Perikanan
Magruder, W.H. 1979. Seaweed of Hawai. The Oriental Puslishing Company,
Honolulu.
Media
Pesona
Cidaun.
2015.
Profil
Http://Mediapesonacidaun.Blogspot.Com/P/Blog-Page_154.Html
Cidaun.
Diakses
47
Ningsih, Novia Retno; Juhadi, Saptono Putro. 2012. Pengaruh Pemanasan Global
Terhadap Pola Mata Pencaharian Nelayan Serta Dampaknya Pada Minat
Dan Hasil Belajar Anak Di Kelurahan Tegalkamulyan Kecamatan Cilacap
Selatan Kabupaten Cilacap. Jurnal Edu Geography 1 (1)
Nybakken, J. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. PT.
Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University
Press. OrIginal English Edition. Fundamental of Ecology Third Edition,
Yogyakarta.
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur. 2014. Data Base Terbaru KUB
Tangkap Kabupaten Cianjur. Balai Desa Karangwangi Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat
Putri, Yohananda Eka. 2014. Pengaruh Pencemaran Air Laut Terhadap Kaum
Nelayan Dan Lingkungan Sekitar Pantai. Makalah, Fakultas Ilmu
Pendidikan: Universitas Negeri Malang
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur. 2014. Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Cianjur. Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Rasyid, Abd. 2010. Distribusi Suhu Permukaan Pada Musim Peralihan BaratTimur Terkait dengan Fishing Ground Ikan Pelagis Kecil di Perairan
Spermonde. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan ) Vol. 20 (1)
48
tertentu?
10. Apakah Anda sering mencari tahu atau diberikan informasi mengenai
keadaan iklim saat ini berdasarkan fakta ilmiah yang dikeluarkan
kelembagaan berwenang atau informasi dari media elektronik atau media
cetak?
49
11. Bagaimana perubahan iklim yang Anda rasakan saat ini berkaitan dengan
aktivitas melaut?
12. Apakah Anda mengetahui tentang anomali iklim?
a. Jika ya, anomali seperti apa yang Anda ketahui?
b. Kapan terjadinya anomali tersebut?
13. Apakah ada perbedaan terhadap hasil tangkapan lobster yang di dapat saat
terjadi anomali iklim dan tidak?
14. Saat iklim tidak seperti biasa untuk melaut, apa yang Anda lakukan?
15. Apakah Anda memiliki mata pencaharian lain?
a. Jika ya, apa pekerjaan tersebut?
b. Bagaimana melakukan aktivitasnya?
c. Apakah dipengaruhi oleh iklim juga?
d. Berapakah pendapat yang di dapat dari pekerjaan tersebut?
50
4. Nama : Asep
Umur : 44 tahun
Pekerjaan : Nelayan lobster sejak 1997
5. Nama : Syamsudin
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1982
6. Nama : Jajang
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1998
7. Nama : Kokom
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : Bandar sejak 1998, Ketua KUB Pajar Bahari
8. Nama : Badin
Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1999
9. Nama : Opan
Umur : 51 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1985
10. Nama : Roroh
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Bandar sejak 1999, Ketua KUB Pajar Bahari II
11. Nama : Asnan
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1987
12. Nama :Rahmat
Umur : 40 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1995 tahun 2003 berhenti
13. Nama : Sayud
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Nelayan Lobster sejak 1987
51
52
53
54
55
56
57
58
59
WAKTU
KEGIATAN
1.
2.
Sarapan Pagi
3.
4.
5.
08.00-16.00 (480)
6.
16.00
8.
10
21.30
WAKTU
KEGIATAN
2.
Sarapan Pagi
3.
4.
5.
08.00-16.00 (480)
6.
16.00
8.
60
10
21.30
WAKTU
KEGIATAN
1.
04.00-04.30 (30)
2.
04.30-05.00 (30)
3.
05.00-05.30 (30)
4.
05.30-18.00 (750)
5.
18.00-20.00 (90)
6.
20.00-21.30 (90)
7.
21.30-22.00 (30)
8.
22.00
Istirahat
WAKTU
KEGIATAN
1.
04.00-04.30 (30)
2.
04.30-05.00 (30)
3.
05.00-05.30 (30)
4.
05.30-18.00 (750)
61
5.
18.00-20.00 (90)
6.
20.00-21.30 (90)
7.
21.30-22.00 (30)
8.
22.00
Istirahat
WAKTU
KEGIATAN
1.
04.00-04.30 (30)
2.
04.30-05.00 (30)
3.
05.00-05.30 (30)
4.
05.30-18.00 (750)
5.
18.00-20.00 (90)
6.
20.00-21.30 (90)
7.
21.30-22.00 (30)
8.
22.00
Istirahat
WAKTU
KEGIATAN
1.
04.00-04.30 (30)
2.
04.30-05.00 (30)
62
3.
05.00-05.30 (30)
4.
05.30-18.00 (750)
5.
18.00-20.00 (90)
6.
20.00-21.30 (90)
7.
21.30-22.00 (30)
8.
22.00
Istirahat
WAKTU
KEGIATAN
1.
04.00-05.00 (60)
2.
05.00-05.30 (30)
3.
05.30-07.00 (90)
4.
07.00-08.00 (60)
5.
08.00 12.00
(240)
12.00-13.00 (60)
6.
13.00-15.00 (120)
7.
15.00-18.00 (180)
8.
18.00-20.00 (120)
9.
20.00-22.00 (120)
10.
22.00
Istirahat
63
WAKTU
KEGIATAN
1.
04.00-05.00 (60)
2.
05.00-07.00 (60)
3.
07.00-08.00 (60)
Sarapan Pagi
4.
08.00-09.00 (60)
5.
09.00-17.00 (480)
6.
17.00
64