Browning Dan Kontaminasi
Browning Dan Kontaminasi
Browning Dan Kontaminasi
positif dengan metabolisme auksin (kecepatan pembelahan sel dan sintesis dinding sel
serta senyawasenyawa lain yang berhubungan), tetapi oksidasi fenol yang berubah
menjadi quinon dan senyawa lain (polimerasenya) yang sangat beracun menyebabkan
pencoklatan medium dan kematian eksplan. Harm et al. (1983) mengemukakan bahwa
betasianin dilepaskan ketika jaringan bit dilukai di dalam kultur. Substrat ini akan
cepat teroksidasi dan menjadi zat penghambat secara sempurna.
Menurut Huang et al. (2002) pencoklatan yang sering menyebabkan kematian
awal dari tunas bambu yang ditanam secara in vitro berkorelasi langsung dengan
aktivitas polifenol oksidase (PPO). Selama di dalam kultur, aktivitas PPO paralel
dengan pencoklatan eksplan. Vaughn dan Duke (1984) menyimpulkan bahwa:
1. PPO adalah suatu enzim plastida (plastidic enzym) yang belum jelas, tetapi tidak aktif
sampai tergabung dalam plastida tersebut.
2. Dalam jaringan hijau yang sehat, PPO ada dalam bentuk laten pada membran
tilakoid dan tidak terlibat dalam sintesis senyawa fenolic. Dalam leukoplas, protoplas,
atau amiloplas, PPO sering kali dalam bentuk laten dalam rudimentary thylakoid.
3. PPO secara normal berfungsi sebagai suatu oksidasi fenol yang secara in vivo hanya
terjadi pada senesens atau sel yang rusak.
4. Dalam fungsi kloroplas, PPO kemungkinan terlibat dalam beberapa aspek kimia
oksigen, yaitu sebagai mediator dalam pseudocyclic photophosphorylation.
Tang dan Newton (2004) membandingkan kalus yang mengalami pencoklatan
dan yang tidak pada Virginia pine. Peningkatan lipid peroksida dan polifenol oksidase
serta penurunan enzim anti oksidan askorbat peroksidase (APOX), glutation reduktase
(GR), dan superoksida dismutase (SOD) diamati pada kedua macam kalus tersebut.
Ternyata aktivitas enzim anti oksidan menurun secara cepat sesaat setelah
pengkulturan dimulai, khususnya pada 3-4 minggu periode kultur. Konsentrasi asam
amino yang mudah larut berbeda. Putresin menurun 63,8-71,5% pada jaringan yang
mengalami pencoklatan. Spermidin menurun 47-65,6%, dan spermin menurun 62,374,5%. Disimpulkan bahwa pencoklatan jaringan berhubungan dengan akumulasi
polifenol oksidase dan penurunan putresin, spermidin, dan spermin yang menghambat
pertumbuhan kalus, diferensiasi tunas dan perakaran. Newton et al. (2004a)
menyimpulkan bahwa penambahan poliamin dapat menanggulangi pencoklatan
jaringan menjadi kultur kalus normal melalui penurunan kerusakan oksidatif dan
peningkatan regenerasi tanaman dengan beraksi sebagai zat pengatur tumbuh.
Andersone dan Levinsh (2002) juga melaporkan bahwa penurunan aktivitas
peroksidase dan polifenol oksidase berhubungan dengan peningkatan kemampuan
jaringan untuk mulai tumbuh secara in vitro. Tabiyeh et al. (2006) mengemukakan
bahwa pencoklatan dalam kultur jaringan disebabkan karena meningkatnya produksi
senyawa fenolat yang diikuti oksidasi oleh aktivitas enzim oksidase (PPO) dan
polimerasinya. Fenilalanin amonia liase (PAL) adalah salah satu enzim dalam
fenilpropanoid yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya pencoklatan. Salah satu
penyebab utama pencoklatan dalam kultur in vitro adalah luka karena pemotongan
pada jaringan. Luka tersebut memacu stres dan menyebabkan peningkatan aktivitas
PAL yang diikuti oleh produksi fenilpropanoid dan menyebabkan pencoklatan.
(PVP) (Loomis dan Battail 1966). Untuk isolasi enzim, PVP biasanya digunakan
bersamasama dengan senyawa reduksi seperti -merkaptoetanol. Fenol diabsorbsi PVP
melalui ikatan hidrogen, untuk melindungi oksidasinya.
Batt dan Dhar (2004) melaporkan bahwa PVP 0,5% sangat efektif untuk
menghilangkan senyawa fenolat dan persentase eksplan yang hidup maksimum dapat
dicapai pada micropropagasi pohon betina Myrica esculenta. Newton et al. (2004b) juga
melaporkan bahwa penambahan anti oksidan akan mengurangi dan menghambat
pencoklatan
melalui
penurunan
akumulasi
peroksidase.
Penambahan
polivinilpolipirolidon (PPVP) dan 1,4-ditio- DL-treitol (DTT) terbukti meningkatkan
pembentukan kalus, diferensiasi dan pertumbuhan tunas, serta pertumbuhan akar
Virginia pine melalui penghambatan pencoklatan jaringan selama inisiasi kultur dan
subkultur tunas selanjutnya. Dibandingkan dengan kontrol, pemberian 5 g/l PVPP dan
2 g/l DDT menyebabkan frekuensi pembentukan kalus meningkat 15%, pertumbuhan
tunas meningkat 26%, dan perakaran meningkat 19%.
Modifikasi Potensial Redoks
Kecenderungan senyawa menjadi teroksidasi atau tereduksi tergantung pada
oksidasi-reduksi (redoks) potensial dari suatu larutan. Senyawa pereduksi yang redoks
potensialnya rendah seperti asam askorbat sangat efektif untuk menghindari
pencoklatan dari isolasi jaringan tanaman atau ekstrak tanaman dan sering
diasumsikan bahwa hal tersebut menghambat oksidasi fenol (George dan Sherrington
1984). Oksigen yang tidak larut meningkatkan redoks potensial larutan dan
menyebabkan oksidasi lebih cepat. Reduksi sementara dengan mengisolasi eksplan
segar pada oksigen dapat membantu menghindari terjadinya pencoklatan.
Penghambatan Aktivasi Enzim Fenol Oksidase
Senyawa penkhelat/pengikat selain mempunyai kemampuan mengikat
unsur/senyawa lain juga dapat mengganggu aktivitas enzim peroksida. Weinstein et al.
1951 dalam George dan Sherrington 1984) menemukan bahwa EDTA dapat
menghambat aktivitas polifenol oksidase pada daun bunga matahari yang dikulturkan
secara in vitro, dan disimpulkan bahwa senyawa khelat menghilangkan metal esensial
untuk aktivitas enzim oksidase. NaFeEDTA dan EDTA keduanya dapat menghilangkan
penghitaman pada tunas pucuk Carex dan Simth (1968) menyatakan bahwa hal
tersebut terjadi karena pengikatan tembaga yang dibutuhkan dalam pembentukan
enzim fenolase, ketika dia menemukan bahwa agen pengikat/penkhelat dapat
melindungi pencoklatan dari isolat segar tunas pucuk dari Carex flacca. Beberapa
reaksi oksidatif juga dikatalisir secara biokimia oleh ion-ion seperti Cu++, Co++, dan
Zn++.
Penurunan Aktivitas Fenolase dan Ketersediaan Substrat
Tingkat oksidasi fenol dapat dikurangi dengan pengurangan aktivitas enzim
spesifik atau pengurangan substrat untuk oksidasi. Aktivitas oksidasi polifenol tertinggi
pada pH 6,5 dan menurun pada pH lebih rendah (Ichihashi dan Kako 1977 dalam
George dan Sherrington 1984). Perendaman eksplan pada campuran asam askorbat
dan asam sitrat tidak hanya mengekspose eksplan pada senyawa reduksi tetapi juga
pada pH rendah. Huang et al. (2002) melaporkan bahwa aktivitas PPO sejajar dengan
pencoklatan eksplan pada bambu. Pencoklatan tertinggi diperoleh dari medium dengan
pH 8, di mana pH tersebut konsisten dengan pH optimum enzim pada bambu.
Stabilitas PPO tertinggi pada bambu pada pH 10.
Aktivitas enzim, biosintesis, dan oksidasi fenol akan meningkat dengan adanya
cahaya (Creasy 1968). Pencoklatan jaringan kemungkinan akan berkurang atau dapat
dihindari apabila biakan baru disimpan di ruang gelap sampai 14 hari sebelum
ditransfer ke ruangan dengan intensitas cahaya rendah (500-1000 lux). Pencoklatan
dari isolasi potongan batang Phalaenopsis telah berhasil ditanggulangi dengan
mengkulturkan eksplan selama 2 minggu pertama dalam ruang gelap dengan suhu
26oC. Setelah itu kultur dipindah ke ruang terang dengan suhu 22oC (Pieper dan
Zimmer 1976). Wu dan Toit (2004) melaporkan bahwa pengurangan oxydative
browning terbaik adalah dengan mengaduk eksplan selama 1 jam dalam larutan anti
oksidan yang mengandung asam askorbat 100 mg/l dan asam sitrat 1500 mg/l sebelum
ditanam dalam medium. Kombinasi perlakuan tersebut dengan fotoperiodisitas 16 jam,
mampu menghasilkan pertumbuhan tunas hingga 100%.
Penanggulangan yang Sering Dilakukan dalam Praktek dengan Pra-perlakuan
Dari uraian di atas telah diterangkan beberapa cara untuk menghindari
pencoklatan dalam kultur in vitro, tetapi sayangnya tidak satupun dari cara tersebut
efektif untuk semua spesies tanaman, dan untuk beberapa tanaman masih merupakan
masalah. Seringkali kombinasi dari beberapa cara tersebut perlu dilakukan. Ada
beberapa cara yang sering digunakan sebagai pra-perlakuan terhadap eksplan antara
lain (1) perendaman atau pencelupan dan (2) pra-kondisi pada media dasar.
Perendaman atau pencelupan
Pada beberapa spesies, pra-perlakuan dapat membantu menghindari
pencoklatan seperti pencucian dengan air mengalir pada biji walnut selama 24 jam
untuk menghilangkan fenol sebelum disterilisasi dan dikecambahkan secara in vitro
(Rodriguez 1982). Eksplan juga dapat direndam dalam air steril selama 2-3 jam setelah
isolasi sebelum dikulturkan. Pada beberapa spesies tanaman berkayu, perendaman
eksplan dari bagian masak fisiologis pohon tersebut di dalam air, atau pra-kultur ke
dalam media tanpa suplemen selama beberapa hari tidak hanya efektif untuk
menghindari atau menghilangkan kerusakan karena fenolat, tetapi juga
menghilangkan beberapa faktor penghambat pertumbuhan meskipun tanpa adanya
pencoklatan.
Bonga (1977) melaporkan bahwa tunas dorman dari pohon Abies balsamea
masak (tanpa daun) yang direndam dalam air atau dalam larutan yang mengandung
asam kafeat selama 15 menit sampai 24 jam sebelum dikulturkan, akan membentuk
tunas adventif. Perlakuan tunas dengan asam malonat 0,1% selama 15 menit setelah
perendaman akan meningkatkan respon tersebut. Tabiyeh et al. (2006) melaporkan
bahwa perlakuan glutation (GSH) diberikan dengan pencelupan dasar potongan tunas
pucuk dari aksis embrio Pistachia vera L. ke dalam larutan GSH 0,1 mM sebelum
dikulturkan pada media MS yang mengandung BAP, dapat mengurangi secara total
senyawa fenolat penyebab pencoklatan dan meningkatkan pertumbuhan. Tao et al.
(2007) melaporkan bahwa pra-perlakuan pencelupan eksplan Platanus occidentalis L.
dalam anti oksidan dan absorben pada saat yang sama dapat menghilangkan beberapa
efek samping.
Pra-perlakuan dengan vitamin C 10 g/l dapat mengurangi kontaminasi dan
pencoklatan secara efektif. Suatu penelitian membuktikan bahwa faktor optimal dan
level perlakuan BA 0,5 mg/l, arang aktif 2,0 g/l, dan PVP 1,5 g/l mengakibatkan
pencoklatan hanya 16,5%, dan secara umum disimpulkan bahwa waktu pengambilan
eksplan, bagian tanaman yang digunakan, dan pra-perlakuan eksplan adalah faktor
utama yang mempengaruhi kontaminasi dan pencoklatan pada fase inisiasi kultur
jaringan P. occidentalis L.
Pra-kondisi pada media dasar
Eksplan dari beberapa spesies dapat terhindar dari pencoklatan apabila pada
awalnya dikulturkan dalam media tanpa zat pengatur tumbuh. George dan
Sherrington (1984) menemukan bahwa ruas batang kedelai dapat berkembang menjadi
masa kalus yang friabel (yang menghambat pertumbuhan tunas secara langsung)
apabila segera dikulturkan pada media yang mengandung auksin dan sitokinin. Hal
tersebut diperkirakan karena tingginya konsentrasi auksin indogenous.
Potongan jaringan mula-mula dikulturkan dalam media dasar selama beberapa
hari sebelum ditransfer ke dalam media dengan IBA 0,005 mg/l dan BAP 1,1 mg/l.
Jumlah tunas yang terbentuk meningkat dengan meningkatnya waktu pra-perlakuan
sampai 20-25 hari. Apabila diperpanjang lagi jumlah tunas akan menurun. Nhut et al.
(2006) melaporkan hasil penelitiannya pada easter lily (Lilium longiflorum) bahwa
pembentukan kalus embriogenik diperoleh dari kalus friabel yang dikulturkan baik
pada media padat/cair dengan volume yang berbeda mengandung -naphthaleneacetic
acid (NAA) 1,0 mg/l dan thidiazuron (TDZ) 0,2 mg/l.
Jumlah embrio somatik yang berasal dari kalus embriogenik pada media cair,
khususnya pada volume 20 ml (170) lebih besar dari media padat (28) dan tahap
perkembangan bentuk embrio somatik terlihat jelas di bawah mikroskop (globular,
hati, dan bentuk kotiledon). Sebagian kalus yang terendam dalam media cair
mengalami pencoklatan/nekrosis karena hilangnya respirasi sementara kalus yang
muncul di permukaan cairan mengalami embriogenesis. Kemudian embrio somatik
yang masak ditransfer ke media tanpa hormon (1/2 MS), maka sekitar 78% dari total
embrio berkembang menjadi planlet dengan radicle dan plumule yang normal. Setelah
1 bulan planlet diaklimatisasi dengan keberhasilan tumbuh 98%.
Pembentukan polifenol dari potongan eksplan segar dapat dipengaruhi oleh zat
pengatur tumbuh. Kandungan kinetin yang tinggi sangat diperlukan untuk
pertumbuhan tunas pucuk Pelargonium, tetapi media agar menjadi berwarna gelap
apabila konsentrasi kinetin yang ditambahkan lebih dari 1 mg/l. Persentase hidup
eksplan meningkat dengan pengkulturan pada minggu pertama dalam media dasar
tanpa zat pengatur tumbuh dan selanjutnya ditambah sitokinin atau auksin (Debergh
dan Maene 1977).
Mikroorganisme terdapat di berbagai tempat seperti tanah, debu, air, udara,
kulit dan selaput lendir. Mikroorganisme dapat berupa bakteri, fungi, protozoa dan
lain-lain. Mikroorganisme mudah terhembus udara dan menyebar ke mana-mana
karena ukuran selnya kecil dan ringan. Mikroorganisme dapat menyebabkan banyak
Ciri morfologi koloni: hifa seperti benang putih; bagian tertentu tampak
sporangium dan sporangiofor berupa titik-titik hitam seperti jarum pentul. Ciri
mikroskopis: hifa tanpa sekat, terdapat sporangium dan sporangiospora.
Klasifikasi Rhizopus
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Zygomycotina
Kelas : Zygomycetes
Ordo : Mucorales
Familia : Mucoraceae
Genus : Rhizopus
Ciri morfologi koloni: hifa seperti benang berwarna putih sampai kelabu hitam;
bagian tertentu tampak sporangium dan sporangiofora berupa titik-titik hitam seperti
jarum pentul. Ciri mikroskopis: hifa tanpa sekat, terdapat rizoid dan sporangiospora.
Dalam penelitian ini Mucor dan Rhizopus ditemukan hampir di semua kultur in vitro
yang terkontaminasi. Pertumbuhan miseliumnya sangat lebat dan mendominasi
seluruh permukaan media kultur. Hampir 80% dari kultur in vitro yang diamati pada
penelitian ini diserang oleh kedua cendawan ini.
Aspergillus dan Cladosporium
Klasifikasi Aspergillus
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Subkelas : Hyphomycetidae
Ordo : Moniliales
Familia : Moniliaceae
Genus : Aspergillus
Ciri morfologi koloni: koloni berwarna hijau kebiruan dengan area kuning
sulfur pada permukaannya; miselium berbentuk benang halus. Ciri mikroskopis:
terdapat konidiofor, sel kaki dan kepala berkonidium terdiri dari gelembung, fialid
serta kadang-kadang metula dan konidium; fialid dapat dibentuk langsung pada
gelembung uniseriat atau metula biseriat; kepala konidium berbentuk kolumner atau
radial. Aspergillus adalah cendawan yang paling sering mengkontaminasi karena
pertumbuhan koloninya sangat cepat.
Klasifikasi Cladosporium
Divisi : Amastigomycota
Subdivisi : Deuteromycotina
Kelas : Deuteromycetes
Subkelas : Hyphomycetidae
Ordo : Moniliales
Familia : Dematiaceae
Genus : Cladosporium
Ciri morfologi koloni: warna hijau kehitaman; struktur kompak seperti
beludru;
Kapang lendir seluler merupakan organisme yang hidup bebas dan ameboid;
plasmodiumnya tidak multi nukleat. Daur hidupnya menarik, tumbuh tanah untuk
mendapatkan bakteri yang menjadi makanannya. Kapang lendir seluler yang
ditemukan pada penelitian ini adalah genus Dictyostelium. Hal ini ditentukan dari
morfologi koloni yaitu adanya plasmodium yang tersebar di seluruh permukaan
medium kultur yang terkontaminasi. Plasmodium ini lama kelamaan membentuk
agregrat berupa benang miselium yang sangat halus dan menjadi pusat koloni. Setelah
munculnya papila apikal, kolum silindris berubah menjadi semacam siput, lalu topi
sombrero, terbentuk tangkai dan akhirnya terbentuk tubuh buah (Alexopoulos dan dan
Bold, 1967). Frekuensi ditemukannya Dictyostelium relatif jarang. Sumber
Dictyostelium adalah tanah atau debu (Pelczar dan Chan, 1988), sehingga untuk
menghindarinya harus diperhatikan masalah kebersihan ruangan.
Induksi kultur yang bebas dari kontaminan merupakan langkah yang sangat
penting dalam kultur jaringan. Bahan tanam dari lapangan mengandung debu, kotoran
dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya. Eksplan tanaman yang diambil
dari lapangan dapat menjadi sumber kontaminan. Hasil penelitian terbaru
menunjukkan bahwa melimpahnya cendawan Penicillium spp. pada suatu kultur
merupakan kurang efisiennya proses sterilisasi permukaan menggunakan 0,35%
sodium hipokhlorida selama 3 menit.
Penanganan bahan tanaman, peralatan kultur dan persiapan media dapat
menjadi sumber berkembangnya kontaminan (Omamor et al., 2007). Kontaminan
hidup dapat berupa cendawan, bakteri, serangga dan telurnya, tungau serta sporaspora. Bila kontaminan ini tidak dihilangkan, dengan media yang mengandung gula,
vitamin dan mineral, maka kontaminan terutama cendawan dan bakteri akan tumbuh
secara cepat. Dalam beberapahari, kontaminan akan memenuhi seluruh botol kultur.
Eksplan yang tertutupi kontaminan akhirnya mati.