Tugas Tata Guna Dan Evaluasi Lahan Lahan Gambut-1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

TUGAS TATA GUNA DAN EVALUASI LAHAN

PAPER

“ LAHAN GAMBUT “

Dosen Pengampu :
Ir. Mulyono, MP.
Dr. Ir. Gunawan Budiyanto

Disusun Oleh :
1. Setyana Yulianningsih (20150210065)
2. Adi Bowo Laksono (20150210072)
3. Irfan Aris (20150210083)
4. Yanisna Yolanda (20150210104)
5. Emir Ahmad Hasyimi (20150210110)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA

2017
A. DEFINISI LAHAN GAMBUT

Lahan gambut didefinisikan sebagai lahan dengan tanah jenuh air,


terbentuk dari endapan yang berasal dari penumpukkan sisa-sisa (residu) jaringan
tumbuhan masa lampau yang melapuk, dengan ketebalan lebih dari 50 cm
(Rancangan Standar Nasional Indonesia-R-SNI, Badan Sertifikasi Nasional,
2013). Kandungan C organik yang tinggi (≥18%) dan dominan berada dalam
kondisi tergenang (anaerob) menyebabkan karakteristik lahan gambut berbeda
dengan lahan mineral, baik sifat fisik maupun kimianya

Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman


yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin
hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang
(back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa,
2008). Lahan gambut tropika umumnya tergolong sesuai marginal untuk
pengembangan pertanian, dengan faktor pembatas utama kondisi media tanam
yang tidak kondusif untuk perkembangan akar, terutama kondisi lahan yang jenuh
air, bereaksi masam,dan mengandung asam-asam organik pada level yang bisa
meracuni tanaman,sehingga diperlukan beberapa tindakan reklamasi agar kondisi
lahan gambut menjadi lebih sesuai untuk perkembangan tanaman.

Karakteristik gambut sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum


(lapisan tanah mineral di bawah gambut), kematangan, dan tingkat pengayaan,
baik dari luapan sungai di sekitarnya maupun pengaruh dari laut khususnya untuk
gambut pantai (keberadaan endapan marin). Lahan gambut memiliki ketebalan
>50cm dengan tingkat kematangan fibrist (belum matang), hemist (sedang
terombak sebagian), dan saprist (sudah matang). Lahan gambut memiliki pH<4,
hal ini dikarenakan oleh kandungan sulfur yang juga disebut sebagai lahan sulfur
masam.

B. PROSES TERBENTUKNYA LAHAN GAMBUT


Lahan gambut adalah tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan
sehingga memiliki kadar bahan organik yang sangat tinggi. Pembentukan tanah
gambut sendiri merupakan proses geogenik. Proses geogenik yaitu pembentukan

1
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi. Gambut terbentuk
dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun
yang belum. Lahan gambut biasanya terbentuk di lingkungan yang basah.
Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi
anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya
tingkat perkembangan biota pengurai. Lazimnya di dunia, disebut sebagai lahan
gambut apabila kandungan bahan organik dalam tanah tersebut melebihi 30%,
sedangkan di Indonesia umumnya mempunyai kandungan melebihi 65% dan
kedalamannya melebihi dari 50cm (Hardjowigeno, 1986 dalam Agus, F. dan I.G.
M. Subiksa, 2008).

Proses pembentukan
gambut dimulai dari adanya
danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh
tanaman air dan vegetasi
lahan basah. Tanaman yang
mati dan melapuk secara
bertahap membentuk lapisan
yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan
gambut dengan substratum
(lapisan di bawahnya) berupa
tanah mineral.
Gambar 1. Pembentukan gambut di daerah cekungan lahan
basah: a.Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah,
b. Pembentukangambut topogen, dan c. pembentukan gambut
ombrogen di atas gambuttopogen (Noor, 2001 mengutip van
de Meene, 1982).

Proses pembentukan gambut dimulai dari danau yang dangkal yang


ditumbuhi tanaman air dan vegetasi lahan basah lainnya. Tumbuhan air yang mati
kemudian melapuk dan membentuk lapisan organik di dasar danau. Lapisan demi
lapisan terbentuk di atas tanah mineral di dasar danau, lama kelamaan danau

2
menjadi penuh dan terbentuklah lapisan gambut. Lapisan gambut yang memenuhi
danau tersebut disebut gambut topogen.

Tumbuhan masih bisa tumbuh dengan subur di atas tanah gambut topogen.
Hasil pelapukan tumbuhan tersebut akan membentuk lapisan baru yang lebih
tinggi dari permukaan air danau semula. Membentuk lapisan gambut yang
cembung seperti kubah. Tanah gambut yang tumbuh di atas gambut topogen
adalah gambut ombrogen. Jenis tanah gambut ini lebih rendah kesuburannya
dibanding gambut topogen. Pembentukannya lebih ditentukan oleh air hujan yang
mempunyai efek pencucian (bleaching) sehingga miskin mineral (Agus, F. dan
I.G. M. Subiksa, 2008).

Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau
dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau
tersebut menjadi penuh. Lapisan-lapisan tanah gambut terbentuk dalam jangka
waktu yang panjang yaitu sekitar 10.000-5.000 tahun yang lalu. Hutan gambut di
Indonesia terbentuk sejak 6.800-4.200 tahun yang lalu. Semakin dalam tanah
gambut tersebut menandakan bahwa semakin tua umurnya. Laju pembentukan
tanah gambut berkisar 0 – 3 mm/tahun (Andriesse, 1994 dalam Agus, F. dan I.G.
M. Subiksa, 2008).

C. SIFAT LAHAN GAMBUT


Menurut Hartatik et al. (2004) sifat kimia dan fisika tanah gambut
merupakan sifat-sifat tanah gambut yang penting diperhatikan dalam pengelolaan
lahan gambut. Sifat kimia seperti pH, kadar abu, kadar N, P, K, kejenuhan basa
(KB), dan hara mikro merupakan informasi yang perlu diperhatikan dalam
pemupukan di tanah gambut. Sifat fisika gambut yang spesifik yaitu berat isi
(bulkdensity) yang rendah berimplikasi terhadap daya menahan beban tanaman
yang rendah. Selain itu agar tanah gambut dapat dipergunakan dalam jangka
waktu yang lama, maka laju subsiden (penurunan permukaan tanah) dan sifat
mengering
tidak balik (irreversible drying) perlu dikendalikan agar gambut tidak cepat habis.
1. Sifat Kimia Tanah Gambut

3
Tanah gambut terbentuk dari timbunan bahan organik, sehingga
kandungan karbon pada tanah gambut sangat besar. Fraksi organik tanah gambut
di Indonesia lebih dari 95%, kurang dari 5% sisanya adalah fraksi anorganik.
Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam dan ditentukan
oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis tanaman penyusun gambut, jenis mineral
pada substratum (di dasar gambut) dan tingkat dekomposisi gambut. Gambut yang
ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-
kayuan.Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin
yangumumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan
komponenlainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan protein umumnya tidak
melebihi 11%(Najiyati et al., 2004). Sifat kimia tanah gambut terdiri dari:
a. Kemasaman Tanah

Menurut Sutedjo et al. (1991) gambut merupakan timbunan – timbunan


tanaman atau bahan organik yang telah terdekomposisi secara tidak sempurna
yang kandungan unsur haranya rendah dan pH rendah sekali atau asam sekali.
Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat
masam dengan pH 3 – 5 (Darmawijaya, 1990., Agus et al., 2008). Tingkat
kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asam-asam
organik, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang telah
mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif karboksil dan fenol yang
bersifat sebagai asam lemah,diperkirakan 85-95% sumber kemasaman tanah
gambut disebabkan karena keduagugus karboksil dan fenol tersebut.

Kemasaman tanah gambut cenderung menurun seiring dengan kedalaman


gambut. Pada lapisan atas pada gambut dangkal cenderung mempunyai pH
lebih tinggi dari gambut tebal. Pengapuran tanah gambut dengan tujuan
meningkatkan pH tidak terlalu efektif karena kadar Al gambut yang rendah.
Umumnya pH gambut pantai lebih tinggi dan tanahnya lebih subur
dibandingkan dengan gambut pedalaman karena adanya pengayaan basa-basa
dari air pasang surut (Najiyati et al., 2004).

b. Unsur Hara Mikro

4
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan
diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur
mikro direduksi ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Unsur mikro
juga diikat kuat oleh ligan organik membentuk khelat sehingga mengakibatkan
unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Gejala defisiensi unsur
mikro sering tampak jelas pada gambut ombrogen seperti tanaman padi dan
kacang tanah yang steril. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat
ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk
mikro (Hartatik, 2009).

c. Kapasitas Tukar Kation

Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya sangat tinggi (90-
200 cmol/kg). Hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang
sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol. Tanah
gambut di Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi
vegetasi penyusun gambut didominasi dari bahan kayu-kayuan. Bahan kayu-
kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses
degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat. Muatan negatif (yang
menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan yang
tergantung pH (pH dependentcharge), di mana KTK akan naik bila pH
gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil disosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol.KTK tinggi menunjukkan
kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi,namun kekuatan jerapan
(sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca,Mg, dan Na yang tidak
membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci(Najiyati et al., 2004).

d. Status Hara

Secara alamiah tanah gambut memiliki tingkat kesuburan rendah,


karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-
asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian
asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah, yang menentukan

5
kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Tingkat kesuburan tanah
gambut tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut
dan tingkat dekomposisi, (b) komposisi tanaman penyusun gambut, dan (c)
tanah mineral yang berada dibawah lapisantanah gambut (Hartatik, 2009).

Secara alami status hara tanah gambut tergolong rendah, baik hara
makro maupun mikro. Kandungan unsur hara gambut sangat ditentukan oleh
lingkungan pembentukannya Gambut subur yang tergolong eutrofik di
Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di
sepanjang jalur aliran sungai. Gambut yang terbentuk dekat pantai pada
umumnya gambut topogen yanglebih subur, dibandingkan gambut pedalaman
yang umumnya tergolong ombrogen (Subiksa et al, 2011).

2. Sifat Fisik Tanah Gambut

Sifat fisik tanah gambut yang penting dalam pemanfaatannya


untukpertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan
beban(bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan) dan mengering tidak
balik(irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar 100 – 1.300% dari
beratkeringnya, artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali
bobotnya,sehingga gambut dikatakan bersifat hidrofilik. Kadar air yang tinggi
menyebabkanBD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan
bebannya rendah.

BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1-0,2 g/cm3 tergantung


padatingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan
bawahmemiliki BD kurang dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur
aliransungai bisa memiliki BD > 0,2 g/cm3, karena adanya pengaruh tanah
mineral.Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga
terjadipenurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena pemadatan
gambut,subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam
2 tahunpertama setelah gambut di drainase, laju subsiden bisa mencapai 50
cm/tahun.Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2–6 cm/tahun tergantung
kematangangambut dan kedalaman saluran drainase (Hartatik et al., 2004).

6
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau
menyanggabeban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini
menyulitkanberoperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk.
Gambut jugatidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak.
Tanamanperkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong
atau bahkanroboh. Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak
balik, yaitusifat fisik tanah gambut mengering tidak balik yang tidak bisa
menyerap air biladibasahi sehingga mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah
terbakar dalamkondisi kering. Sifat kering tidak balik menyebabkan hilangnya
fungsi kimiagambut sebagai koloid/tempat pertukaran kation, sehingga gambut
tersebut tidakdapat berfungsi lagi sebagai media tanam.

3. Sifat Biologi Tanah Gambut

Selain masalah sifat fisik dan kimia tanah gambut, juga terdapat
masalahbiologi yaitu terjadinya kehilangan unsur C dan N akibat mineralisasi C
dan Norganik.Pada lingkungan gambut yang reduktif, laju dekomposisi gambut
sangatlambat dan banyak dihasilkan asam organik beracun, kadar CH4, dan CO2.
CH4dan CO2 merupakan gas utama yang menetukan efek rumah kaca atau
pemanasanglobal, oleh sebab itu lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi
karbonharus dikelola dengan baik agar tidak menjadi penyebab pemanasan global
yangakhirnya berpengaruh buruk pada kehidupan makhluk hidup (Suriadikarta,
2012).

Terdapat tiga golongan mikroba di dalam tanah gambut, yaitu:


(1)golongan autochthonous, golongan mikroba yang selalu tetap didapatkan di
dalamtanah dan tidak tergantung kepada pengaruh-pengaruh lingkungan luar,
(2)golongan zimogenik, golongan mikroba yang kehadirannya di dalam
tanahdiakibatkan oleh adanya pengaruh-pengaruh luar yang baru, dan (3)
golongantransien, golongan mikroba yang kehadirannya bersamaan dengan
adanyapenambahan secara buatan. Kelompok mikroba tersebut memiliki peran di
tanahterutama dalam daur unsur organik yang penting untuk kehidupan seperti
daurnitrogen dan daur fosfor.

7
Bakteri yang terlibat dalam daur nitrogen adalah bakteri penambat
nitrogen sedangkan bakteri yang terlibat dalam daur fosfor adalah bakteri pelarut
fosfat. Bakteri penambat nitrogen merupakan bakteri yang berperan dalam
penyediaan nitrogen pada tanah karena bakteri tipe ini mampu menambat nitrat
dengan mengoksidasi ion ammonium pada tanah sehingga dapat terikat dengan
kuat pada komponen-komponen humus yang menyebabkan nitrat tidak mudah
terbilas keluar tanah (Schlegel, 1994). Bakteri pelarut fosfat merupakan bakteri
yang berperan dalam penyuburan tanah karena bakteri tipe ini mampu melakukan
mekanisme pelarutan fosfat dengan mengekskresikan sejumlah asam organik
berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, fumarat, dan malat. Asam
organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+,
atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan
ion fosfat terikat dan dapat diserap oleh tanaman (Suriadikarta dan Simanungkalit,
2006).
D. MASALAH DAN SOLUSI DI LAHAN GAMBUT
1. Subsiden Akibat Drainase yang Tidak Terkendali
Drainase yang tidak dikendalikan dengan baik dapat mengakibatkan
subsiden karena gambutmempunyai sifat yangnon re-wet-able atauirreversible
driying artinya sekali mengalami kekeringan yang berlebihan (over drained) sifat
koloid gambut akan menjadi rusak sehingga gambut tidak dapatkembali
memegang air. Lahan gambut yang memiliki sifat apabila sekali sudah mengalami
kekeringan sampai tingkat tertentu maka lahan gambut tidak bisa terbasahkan
kembali. Hal tersebut yang mengakibatkan volume gambut akan menyusut,
sehingga akan mengakibatkan penurunan permukaan tanah gambut
(subsidence/subsiden).

Penyebab lain terjadinya subsiden selain karena pengurangan kadar air


yaitu disebabkan karena adaya proses dekomposisi dan erosi. Menurut Agus dan
Subika (2008), dalam dua tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju
subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2-6
cm/tahun tergantungtingkat kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase.

8
Terjadinya subsiden dapat dilihat dari kemunculan akar-akar tanaman
yang ada dilahan gambut yang akan terlihat atau akan terangjat kepermukaan atau
menggantung. Subsiden terjadi segera sesudah lahan gambut didrainase. Pada
umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak dapat balik.Hanya melalui

penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama masalah subsiden dapat
diatasisecara perlahan. Kecepatan subsiden dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan
dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta tipepenggunaan lahan
(Wösten., 1997).
Gambar 2. Akar tanaman menggantung menandakan sudah terjadinya subsiden
pada lahangambut (Root of plants hang up on the peat surface is one of indicators
of subsidence)(Foto:Agus dan Subiksa, 2008).

Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan


subsiden karena sangatmempengaruhi keempat proses di atas. Di samping itu,
penggunaan alat-alat berat dan pemupukan jugaikut mempengaruhi proses
subsiden (Agus dan Subiksa, 2008). Proses subsiden berlangsung sangatcepat;
bisa mencapai 20-50 cm/tahun pada awal dibangunnya saluran drainase (Welch
dan Nor, 1989Agus dan Subiksa, 2008), terutama disebabkan besarnya komponen
konsolidasi dan pengkerutan.
Penurunan permukaan gambut juga menyebabkan menurunnya
kemampuan gambut menahan air(Agus dan Subiksa, 2008). Apabila kubah
gambut sudah mengalami penciutan setebal satu meter, makalahan gambut
tersebut akan kehilangan kemampuannya dalam menyangga air sampai 90 cm
atau ekivalendengan 9.000 m /ha. Dengan kata lain lahan disekitarnya akan
menerima 9.000 m air lebih banyak bilaterjadi hujan deras atau akan
meningkatkan bencana banjir. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan airyang

9
tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh
daerah sekelilingnyamenjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan
kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau.

SOLUSI
Pada intinya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi pada lahan
gambut adalah melakukan reklamasi lahan gambut. Reklamasi lahan gambut
bertujuan untuk memperbaiki prasarana dan sarana pertanian di kawasan tersebut
sehingga dapat meningkatkan luas areal tanaman dan produktivitas lahan..
Reklamasi lahan gambut yang umum dipraktekkan diawali dengan proses drainase
yaitu Kanalisasi. Kanalisasi (drainase) dilakukan untuk menurunkan permukaan
air karena tanaman yang diusahakan bukan merupakan tanaman tahan genangan.
Drainase yang ideal harus dapat membuang kelebihan air yang datang dari hujan
secara tepat waktu dan efisien, dan mengendalikan muka air tanah agar dapat
mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhantanaman (Tie dan Lim, 1992).

Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut
adalahbangunan pengendali berupa pintu air (gambar 3). di setiap saluran. Pintu
air berfungsi untukmengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak
terlalu dalam.Drainase yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak lingkungan
yangserius pada ekosistem lahan gambut. Semakin dalam saluran drainase
semakin cepat terjadi penurunanpermukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut
sehingga ketebalan gambut akancepat berkurang dan daya sangganya terhadap air
menjadi menurun sehingga berpotensi meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca
(GRK). Oleh sebab itu konservasi lahan gambutmelalui pendekatan hidrologi
harus diterapkan pada seluruh hamparan (kubah)gambut.

10
Gambar 3.Pintu air tradisional untuk mengatur tinggi muka air

2. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Lahan Gambut


Apabila hutan gambut terganggu, maka lahan gambut berubah fungsi dari
penyerap menjadisumber emisi Gas Rumah Kaca (Agus dan Subiksa, 2008). Gas
rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan(diemisikan) lahan gambut adalah CO2,
CH4(metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut CO2merupakan GRK
terpenting karena jumlahnya yang relatif besar. Karbon yang tinggi pada lahan
gambut terdiri atas berbagai simpanan. Lahan gambut menyimpan karbon pada
biomassa tanaman, seresah dibawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan
tanah mineral di bawah gambut(substratum). Dari berbagai simpanan tersebut,
lapisan gambut dan biomassatanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi
(Agus, 2008).
Simpanan karbon itu sendiri dapat bertambah dan dapat pula berkurang,
hal tersebut dapatdisebabkan oleh faktor alam dan campur tangan manusia.
Kemarau yang berkepanjangan (El Nino) dapat berakibat pada penurunan muka
air tanah & memicu kebakaran akibat tingginya suhu yang selanjutnya dapat
mempercepat emisi CO2. Sementara itu, beberapa kegiatan manusia yang
mengubah fungsi lahan gambut dari penyerap menjadi pengemisi CO2 antara
lain:penebangan hutan gambut, pembakaran hutan gambut dandrainase untuk
berbagai tujuan; baik untuk pertanian, kehutanan (hutantanaman industri),
maupun untuk pemukiman.
1. Emisi dari kebakaran biomassa tanaman
Biomassa tanaman pada hutan lahan basah menyimpan sekitar 200 t C ha-
1
(Rahayu et al., 2005). Karbon yang tersimpan tersebut akan hilang dengan
cepatapabila hutan ditebang. Sekitar 50% dari kayu penebangan hutan ditebang
setelah karbon di dalamnya tersimpan cukup lama (10 – 25 tahun). Sisa pohon
yang tertinggal di atas permukaan tanah akan teremisi dalam waktu yang relatif
singkat, baik karena terbakarnya biomassa kayu-kayuan tersebut, maupun karena
pelapukan secara biologis. Dari 100 t C ha-1 biomassa tanaman yang tidak
digunakan sebagai produk kayu hasil hutan, akan menjelma menjadisekitar 367 t
CO2 ha-1 bila teroksidasi secara sempurna.
2. Kebakaran lapisan gambut

11
Ketika suatu biomassa tanaman terbakar, maka beberapa centimeter
lapisan gambut bagian atas yang berada dalam keadaan kering. Lapisan gambut
ini akan rentan kebakaran apabila muka air tanah lebih dalam dari 30 cm. Bahkan
pada kondisi panas ekstrim (El Nino) yang menyebabkan lapisan atas gambut
menjadi sangat kering sehingga kebakaran gambut dapat mencapai ketebalan 50
cm yang mana bara api dapat bertahan berminggu-minggu (Page et al.,
2002).Apabila kandungan karbon gambut ratarata adalah 50 kg m-3 (berkisar
antara 30 sampai 60 kg m-3;) maka dengan terbakarnya 15 cm lapisan gambut
akan teremisi sebanyak 75 t C ha-1 atau ekivalen dengan 275 t CO2 ha-1.
3. Dekomposisi Gambut
Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan.
Selama masa budidayatanaman pertanian, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi
disebabkan terjadinya prosesdekomposisigambut oleh mikroorganisme. Tingkat
dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalamandrainase; semakin dalam
drainase, semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut (Agus dan Subiksa,2008).
Tingkat emisi karbon menurut beberapa hasil penelitian juga ditentukan oleh
macam konversipenggunaan lahan gambut. Untuk konversi lahan gambut menjadi
perkebunan karet diasumsikan nilaiemisi dari dekomposisi gambut sebesar 18 ton
CO /ha/tahun (Agus dan Subiksa, 2008). Pada lahangambut yang dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit, dengan drainase rata-ratanya
diasumsikansedalam 60 cm didapatkan emisi tahunan sekitar 54,6 ton CO /ha
(Agus dan Subiksa, 2008), padaperkebunan kelapa sawit dengan kedalaman
drainase 80 cm ditemukan tingkat emisi setinggi 54 tonCO2 /ha/tahun, sedangkan
pada hutan gambut sekunder (semak belukar) emisi yang terjadi setinggi 127ton
CO2 /ha/ tahun (Hadi et al., 2001 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Data tersebut
menggambarkanbahwa emisi yang terjadi pada hutan sekunder memiliki emisi
yang lebih tinggi dibandingkan denganlahan gambut yang dikelola menjadi kelapa
sawit dengan catatan kedalaman air gambut dijaga denganbaik.
SOLUSI
Untuk meminimalisir emisi Gas Rumah Kaca (GRK), maka perlu
dilakukan pengelolaan lahan gambut, di antaranya :
a. Penanaman kembali dengan Tanaman Penambat Karbon

12
Untuk mengurangi emisi GRK, maka diperlukangabungan dari tanaman yang
menambat CO2 dalam jumlah banyak serta yang toleran dengan drainase
dangkalatau tanpa drainase, seperti sagu dan karet, merupakan pilihan utama
dalamkonservasi lahan gambut. sawit memerlukan drainase yang relatif
dalam, maka penambatankarbon oleh tanaman sawit jauh lebih rendah
dibandingkan dengan emisi karenaterdekomposisinya gambut.
b. Pengaturan Tinggi Muka Air Tanah Gambut
Drainase sebidang lahan gambut tidak hanya berpengaruh pada bidanglahan
yang didrainase saja, tetapi juga terhadap lahan dan hutan gambut
disekitarnya. Semakin dalam saluran drainase semakin besar dan luas
pulapengaruhnya dalam menurunkan muka air lahan gambut sekitarnya,
yangselanjutnya mempercepat emisi GRK. Oleh sebab itu konservasi lahan
gambut
melalui pendekatan hidrologi harus diterapkan pada seluruh hamparan (kubah)
gambut.
c. Penguatanan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan
pengelolaan lahan
Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Keputusan
Presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan
terhadapkawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi
wilayah, yangberfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta
melindungi ekosistemyang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi
lahan gambut jugadimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya cadangan
karbon. Namun KeputusanPresiden tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa
adanya pengawasan dan komitmendari semua pihak terkait.

3. Pembakaran Lahan Oleh Masyarakat


Adanya pembakaran lahan dan hutan di suatu daerah dapat dipantau
melalui satelit yang ditunjukkan oleh adanya hot spot. Hal ini menunjukkan
aktivitaspembakaran untuk pembukaan lahan masih menjadi pilihan masyarakat.
Penelitian Subiksa et al., (2009)menunjukkan bahwa petani di Kalimantan Barat
selalu melakukan pembakaran lahansebelum tanam tanaman pangan, khususnya

13
jagung. Setiap musim terbakar sekitar 3 – 5 cmlapisan gambut. Dari gambut yang
terbakar selama 2 kali tanam/tahun dapat diperkirakanbesarnya emisi karbon yaitu
sekitar 110,1 t CO2/ha/th (dengan asumsi karbon densitygambut sekitar 50 kg/m 3
atau 0.05 t/m3).
Pembakaran lahan, baik yang disengaja maupun tidak, menyebabkan
lapisan gambutsemakin tipis bahkan habis. Bila lapisan substratum merupakan
lapisan mineral berpiritatau pasir kwarsa maka akan terjadi kemerosotan
kesuburan tanah. Membakar gambutterkadang sengaja dilakukan petani untuk
memperoleh abu yang untuk sementara bisamemperbaiki kesuburan tanah. Abu
sisa pembakaran memberikan efek ameliorasi denganmeningkatnya pH dan
kandungan basa-basa tanah sehingga tanaman tumbuh lebih baik(Subiksa et al.,
1998).
SOLUSI
Kebiasaanmasyarakat ini harus diubah dengan terus menerus melakukan
sosialisasi pembukaan lahantanpa bakar (PLTB) serta peraturan perundang-
undangannya. Pelatihan dan sosialisasiharus disertai dengan pengenalan alternatif
lain dalam pembukaan lahan seperti penggunaanmulcher dan traktor. Selain itu
fasilitas pemantauan dan pengendalian kebakaran lahanharus disediakan di daerah
rawan kebakaran.
Pengelolaan dengan mendasarkan pada zero burningdapat diterapkan
melalui pembakaran serasahtanaman secara terkendali di rumah abu untuk
mencegah kebakarangambut meluas. Tempat khusus ini dibuat berupa lubang
yang dilapisi dengan tanahmineral sehingga api tidak sampai membakar gambut.
Cara ini diterapkan dengan sangatbaik oleh petani sayur di lahan gambut
Pontianak Kalbar. Bila pembakaran serasah harusdilakukan langsung di lapang,
maka harus dipastikan bahwa gambut dibawahnya jenuh airsupaya gambutnya
tidak ikut terbakar.
Pengalihan dari cara tradisional dengan cara membakar kepada metode
tanpamembakar, diperlukan cara alternatif lain yang bisa diterima masyarakat.
Pembukaanlahan baru menggunakan mulcher adalah salah satu alternatif yang
baik. Sementara untuk lahan pertanian yang sudah eksis, diperlukan upaya
ameliorasi dan pemupukanagar pertumbuhan tanaman bisa optimum. Oleh

14
karenanya penting untuk mengeluarkankebijakan subsidi pupuk dan amelioran
untuk petani di lahan gambut agar kebiasaanmembakar yang menghasilkan emisi
CO2 tinggi bisa dihindari. Ditjen Perkebunan (2010)memprediksikan bahwa
upaya mencegah pembakaran lahan dapat mengurangi emisi CO2sampai 0,284 Gt
CO2 atau 25 persen dari proyeksi BAU 2025.

15
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., T. June, H. Komara, H. Syahbuddin, E. Runtunuwu, dan E.
Susanti.2008. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dari Lahan
Perkebunan. Laporan Tahunan 2008, Konsorsium Litbang Perubahan
Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor.

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
AspekLingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF), Bogor,Indonesia.

BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya


LahanPertanian. 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian dan
pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Djainudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian
Tanah, Bogor.

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004.


Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi
bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan efisiensi
pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas
Andalas. Padang.

Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah gambut dengan
pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar besi tinggi.
Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Soil Survey Staff., 1975. Soil Taxonomy: a basic system of soil classification for
making and interpreting soil survey. USDA. U.S. Govt. Print. Off.
Washington, D.C. 754 pp., illus.

16

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy