Laporan Kasus - Dr. Lingga - Asma

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

ASMA

Pembimbing:
dr. Erfan, Sp.PA

Penulis:
dr. Lingga Etantyo Praditya

LAPORAN KASUS
INTERNSHIP RUMAH SAKIT ELIZABETH
SITUOBONDO
PERIODE 2023-2024
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Allah SWT, karena atas karunia
dan restu-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Asma”.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti kegiatan Internship.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

, April 2021

Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
ASMA

Laporan Kasus dengan judul “ASMA” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas dalam rangka menyelesaikan Program Internship Dokter Indonesia

Mengesahkan:

Dokter Pemboimbing Dokter Pendamping

dr. Erfan, Sp.PA dr. Tony Aldo Aprillino

Penulis

dr. Lingga Etantyo Praditya


BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An. CJ
Tempat/Tanggal Lahir : Situbondo, 21 Desember 2015
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 9 tahun 3 bulan
Agama : Protestan
Alamat : Situbondo
Pendidikan : Sekolah dasar
Tanggal masuk : 13 April 2024, 20:39 WIB
Tanggal periksa : 14 April 2024, 05:00 WIB
II. Anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis kepada orang tua pasien)
a. Keluhan Utama
Batuk dan sesak sejak 1 hari SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Anak laki-laki, 9 tahun 3 bulan, dibawa ke IGD Rumah Sakit Elizabeth
Situbondo pada hari Selasa tanggal 13 April 2024 pukul 20:39 WIB dengan
keluhan batuk dan sesak dari rumah sampai ke IGD. Satu hari sebelum masuk
IGD, ibu pasien mengatakan pasien batuk setelah mengkonsumsi es krim dan
mengeluhkan sesak pada sore hari dan memberat di malam hari. Pasien
mengeluhkan batuk berdahak namun sulit mengeluarkan dahaknya. Batuk terus
menerus, tidak disertai nyeri saat menelan. Sesak yang dialami pasien disertai
dengan bunyi mengi. Sesak lebih ringan saat posisi duduk. Sesak tidak disertai
dengan bengkak pada wajah atau kelopak mata, atau bengkak pada kedua tungkai.
Menurut ibu pasien, keluhan pasien sekarang bukan pertama kalinya karena
sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan batuk dan sesak napas akibat cuaca
yang dingin dan mengkonsumsi minuman dingin. Sesak juga tidak disertai dengan
kebiruan pada telapak tangan, kaki atau biru pada mulut. Sesak dirasakan lebih
dari satu kali dalam sebulan dan kurang dari satu kali dalam seminggu. Sesak
mengganggu aktivitas. Pasien berbicara dalam penggalam kalimat. Ibu pasien
mengatakan bahwa pasien telah diberi obat batuk namun keluhan tidak berkurang.
Nyeri dada disangkal.
Ibu pasien juga mengatakan keluhan batuk pasien disertai demam yang
terjadi terus-menerus sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, namun ibu pasien
tidak mengukur suhu pasien saat di rumah. Keluhan pilek disangkal, BAB dan
BAK lancar, tidak ada keluhan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah memiliki riwayat penyakit yang sama sebelumnya. Pasien
mengalami keluhan batuk disertai sesak dan dirawat di Rumah Sakit Elizabeth
Situbondo pada tanggal 19 Maret 2024 hingga 22 Maret 2024. Ibu pasien
mengatakan keluhan tersebut muncul akibat cuaca yang dingin dan pasien
mengkonsumsi minuman dingin.
d. Riwayat Alergi
Pasien memiliki alergi terhadap debu rumah yang mengakibatkan pasien
mengalami gatal-gatal dan kemerahan pada tubuh pasien saat pasien berusia 6
bulan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa pada anggota keluarga. Tidak ada keluarga yang
memiliki penyakit paru lainnya maupun alergi.
f. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Berdasarkan penuturan ibu pasien, ibu pasien tidak memiliki penyulit pada
masa kehamilan. Pasien lahir dibantu oleh bidan di klinik bersalin secara spontan
pada usia kehamilan 9 bulan dengan G3P2A0. Ketika lahir, pasien langsung
menangis kuat, ketuban jernih, tidak sesak pada pasien dan langsung diberikan
suntikan vitamin K dan vaksin hepatitis B. Berat badan lagir 4900 gram dan
panjang badan lahir sekitar 51 cm.
g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Menurut ibu pasien, pasien dapat tengkurap sekitar usia 4 bulan, merangkak
saat usia 6 bulan, duduk saat usia 8 bulan, bicara sekitar usia 11 bulan, berjalan
sekitar usia 10 bulan. Ibu mengatakan bahwa anak tumbuh dan berkembang sama
seperti anak yang lain.
h. Riwayat Pemberian Makanan
Pasien diberikan ASI pasien tidak eksklusif karena ASI yang dihasilkan oleh
ibu pasien tidak mencukupi sehingga pasien minum ASI ditambah susu Formula
selama 6 bulan. Setelah 6 bulan pasien diberikan makanan pendamping berupa
bubur dan bubur instan dan menu makanan sama dengan keluarga saat pasien usia
1 tahun.
i. Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien telah diimunisasi dengan lengkap.
j. Riwayat Pribadi, Sosial dan Ekonomi
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Hubungan pasien dengan
keluarga baik. Ayah pasien merupakan pegawai swasta dan ibu pasien merupakan
ibu rumah tangga. Keadaan sosial ekonomi keluarga pasien termasuk dalam
keluarga dengan sosial ekonomi cukup untuk memenuhi hidup sehari-hari.
Pembiayaan rumah sakit dengan menggunakan BPJS.
Dalam rumah dihuni 5 orang. Salah satu anggota keluarga adalah seorang
perokok aktif yaitu ayah pasien. Lingkungan sekitar rumah bersih, namun keadaan
di dalam rumah cukup padat karena banyak barang. Ibu pasien rutin membuka
jendela setiap pagi sehingga ventilasi udara dalam rumah baik.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4M6V5)
Tanda Vital:
a. Frekuensi nadi : 108x/menit (regular, kuat angkat)
b. Frekuensi napas : 24x/menit
c. Suhu : 37,8°C
d. Tekanan darah : 120/80 mmHg
e. SpO2 : 96%
Data antropometri (kurva persentil CDC)
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan :127 cm
Umur : 9 tahun 3 bulan
BB/U : 20/29 x 100% = 69% (BB kurang)
TB/U : 127/133,5 x 100% = 95% (TB baik)
BB/TB : 20/25 x 100% = 80% (Gizi kurang)
Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut,
ubun-ubun menutup
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kornea jernih, pupil bulat
simetris (3mm/3mm)
Telinga : deformitas -/-, tidak terdapat sekret
Hidung : deformitas -/-, tidak ada septum deviasi, tidak terlihat secret, napas
cuping hidung tidak ada
Tenggorokan : Dinding tidak hiperemis, T1/T1, lesi (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, trakea di tengah, JVP tidak meningkat,
retraksi sternokleidomastoideus -/-, kaku kuduk tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kurdis teraba di ICV IV linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS IV linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula sinistra
Batas pinggang jantung di ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi
subcostal (-), intracostal (-), supravlavicular (+)
Palpasi : vocal fremitus (+/+)
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikular breathing sound (+/+) pada kedua lapang paru, rhonki (-/-),
wheezing (+/+), prolonged expiration +/+
Abdomen
Inspeksi : tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) 6 kali/menit (adekuat)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor cepat
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), ptekie (-/-), CRT<2 detik,
lesi (-)
Inferior : Edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), ptekie (-/-), CRT<2 detik,
lesi (-)
Genitalia : Genitalia

IV. Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 13/04/2024 (pukul 20:49 WIB)
Rontgen Thorax PA

Hasil:
Cor tidak membesar, CRT<50%
Sinuses dan diafragma normal
Pulmo : hili normal
Corakan paru bertambah
Infiltrat minimal paracardial dexrea
Skeletal dan soft tissue dalam batas normal
Kesan : suspek Bronchopneumonia
Tanggal 14/04/2024 (pukul 00:04 WIB)
Pemeriksaan darah lengkap
a. Hemoglobin : 13,1 (11,5 – 15,5 g/dl)
b. Hematokrit : 41 (34 – 46)
c. Leukosit : 10.610 (5000 – 13000/ul)
d. Trombosit : 345.000 (170.000 – 450000/ul)
e. Eritrosit : 5,33 (4-5)
f. Hitung jenis leukosit
a. Basofil : 0 (0-1)
b. Eosinofil : 2 (1-3)
c. Batang : 0 (2-6)
d. Segmen : 76 (50-70)
e. Limfosit : 17 (20-40)
f. Monosit : 5 (2-8)
g. Laju endap darah :-
h. Neutrofil limfosit ratio (NLT)
a. NLR : 4,59
b. Neutrofil Absolut : 8090 (2500-7000)
c. Limfosit Absolut : 1760 (1000-4000)
V. Resume
Anak laki-laki, 9 tahun 3 bulan, dibawa ke IGD Rumah Sakit Elizabeth Situbondo
pada hari selasa tanggal 13 April 2041 pukul 20:39 WIB dengan keluhan batuk, sesak dan
demam sejak 1 hari yang lalu (Senin 12 April 2024). Keluhan tersebut muncul setelah
pasien mengkonsumsi es krim. Pasien awalnya batuk kemudian diikuti sesak yang
memberat di malam hari dan demam. Pasien mengeluhkan batuk namun sulit
mengeluarkan dahak. Pasien sudah mengkonsumsi obat batuk namun keluhan tidak
berkurang. Sesak yang dirasakan pasien disertai mengi, membaik dengan posisi duduk,
memberat di malam hari, mengganggu aktivitas, namun pasien masih dapat berbicara
dalam penggalan kalimat. Pasien mengalami sesak lebih dari sekali dalam sebulan namun
kurang dari 1 kali dalam seminggu. Pasien sebelumnya pernah dirawat di Rumah Sakit
Elizabeth Situbondo dengan keluhan yang sama. Saat pasien 4 bulan pasien pernah
mengalami gatal-gatal dan kemerahan pada tubuh pasien akibat debu rumah. Keluarga
pasien tidak ada yang pernah mengalami sakit yang serupa, maupun memiliki alergi.
Tumbuh kembang pasien sama seperti anak seusianya. Imunisasi dilakukan dengan
lengkap. Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif. Rumah pasien memiliki ventilasi yang
baik namun keadaan rumah pasien padat.
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis (GCS: E4M6V5)
dan tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 108x/menit,
frekuensi pernapasan 24x/menit, suhu 37.8°C, dan saturasi oksigen 96%. Pemeriksaan
kepala, hidung, tenggorokan, jantung, abdomen dan ekstremitas didapatkan normal. Pada
pemeriksaan paru didapatkan retraksi sela iga, ekspirasi memanjang, dan wheezing. Pada
pemeriksaan rontgen thorax PA didapatkan kesan suspek bronkopneumonia. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 13,1 g/dl, hematokrit 41, leukosit
10.610 /ul, trombosit 345.000 ul, eritrosit 5,33.

VI. Diagnosis
Asma persisten ringan serangan ringan sedang
Suspek Bronkopneumonia

VII. Tatalaksana
1. Non-medikamentosa
 Tirah baring
 Observasi tanda vital
 Monitoring keadaan klinis
 Memberi edukasi ke keluarga pasien tentang penyebab asma berupa cuaca
dingin dan minuman maupun makanan dingin dan menghindari pasien dari
faktor pencetus tersebut.

2. Medikamentosa
 IVFD RL 1500cc/24 jam 14 tpm
 Inj Rantin 2x20 g IV
 Paracetamol 3x2 cth
 Ambroxol 3x1 cth
 Inhalasi Nebu Ventolin + pulmicort / 8 jam
IX. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

X. Follow Up
Rabu, 14 Maret 2024 (HP:1;HS: 3)
S Pasien datang ke IGD karena batuk sejak 2 hari SMRS, lalu keesokan
harinya pasien demam dan menjadi sesak napas. Terdengar ‘mengi’,
sesak lebih ringan saat posisi duduk dan memberat di malam hari.
Riwayat alergi pada keluarga disangkal, sebelumnya (3 minggu lalu)
dirawat dengan keluhan serupa.
O KU: Tampak lemah ;Kesadaran: Compos mentis
Tanda Vital:
TD: 120/80 mmHg, Nadi: 108x/menit, RR: 24x/menit, suhu: 37.8°C,
SpO2 96%
Pemeriksaan Fisik:
Mata: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Mulut & tenggorokan : mukosa oral basah, faring tidak hiperemis, T1/T1
Jantung: BJ S1/S2 normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesicular breathing sound (+/+), rhonki (-/-), wheezing (+/+),
prolonged expiration +/+, retraksi supraclavicular +
Abdomen: Datar, supel, bising usung (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
Rontgen Thorax PA (13/04/2024)
Hasil:
Cor tidak membesar, CRT<50%
Sinuses dan diafragma normal
Pulmo : hili normal
Corakan paru bertambah
Infiltrat minimal paracardial dexrea
Skeletal dan soft tissue dalam batas normal
Kesan : suspek Bronchopneumonia

Pemeriksaan darah lengkap (14/04/2024)


a. Hemoglobin : 13,1 (11,5 – 15,5 g/dl)
b. Hematokrit : 41 (34 – 46)
c. Leukosit : 10.610 (5000 – 13000/ul)
d. Trombosit : 345.000 (170.000 – 450000/ul)
e. Eritrosit : 5,33 (4-5)
f. Hitung jenis leukosit
a. Basofil : 0 (0-1)
b. Eosinofil : 2 (1-3)
c. Batang : 0 (2-6)
d. Segmen : 76 (50-70)
e. Limfosit : 17 (20-40)
f. Monosit : 5 (2-8)
g. Laju endap darah :-
h. Neutrofil limfosit ratio (NLT)
a. NLR : 4,59
b. Neutrofil Absolut : 8090 (2500-7000)
c. Limfosit Absolut : 1760 (1000-4000)

A Asma persisten ringan serangan ringan sedang


P IVFD RL 1500cc/24 jam 14 tpm
Inj Rantin 2x20 g IV
Paracetamol 3x2 cth
Ambroxol 3x1 cth
Inhalasi Nebu Ventolin + pulmicort / 8 jam

Rabu, 15 Maret 2024 (HP:2;HS: 4)


S Pasien sudah tidak demam, sesak napas sudah berkurang, bunyi mengi
sudah tidak terdengar, sesak memberat di malam hari, posisi duduk lebih
mengurangi rasa sesak, keluhan lain tidak ada. Pasien belum BAB
O KU: tampak sakit sedang ; Kesadaran: compos mentis
Tanda Vital:
Tekanan darah : 110/80 mmHg, Nadi:106 x/menit, RR: 24x/menit, suhu :
36,2°C, SpO2: 98%
Pemeriksaan fisik
Mata: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Mulut & tenggorokan : mukosa oral basah, faring tidak hiperemis, T1/T1
Jantung: BJ S1/S2 normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesicular breathing sound (+/+), rhonki (-/-), wheezing (+/+)
minimal, prolonged expiration +, retraksi subcostal +
Abdomen: Datar, supel, bising usung (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik
Rontgen Thorax PA (13/04/2024)
Hasil:
Cor tidak membesar, CRT<50%
Sinuses dan diafragma normal
Pulmo : hili normal
Corakan paru bertambah
Infiltrat minimal paracardial dexrea
Skeletal dan soft tissue dalam batas normal
Kesan : suspek Bronchopneumonia
Pemeriksaan darah lengkap (14/04/2024)
a. Hemoglobin : 13,1 (11,5 – 15,5 g/dl)
b. Hematokrit : 41 (34 – 46)
c. Leukosit : 10.610 (5000 – 13000/ul)
d. Trombosit : 345.000 (170.000 – 450000/ul)
e. Eritrosit : 5,33 (4-5)
f. Hitung jenis leukosit
a. Basofil : 0 (0-1)
b. Eosinofil : 2 (1-3)
c. Batang : 0 (2-6)
d. Segmen : 76 (50-70)
e. Limfosit : 17 (20-40)
f. Monosit : 5 (2-8)
g. Laju endap darah :-
h. Neutrofil limfosit ratio (NLT)
a. NLR : 4,59
b. Neutrofil Absolut : 8090 (2500-7000)
c. Limfosit Absolut : 1760 (1000-4000)

A Asma persisten ringan serangan ringan sedang


P IVFD RL 21 TPM
Dexamethasone 3x5 mg IV
Paracetamol 3x2 cth
Ambroxol 3x1 cth
Cefixime 2x100 mg PO
Salbutamol 3x2 mg PO
Inhalasi combiven + Pulmicort/6 jam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, yang biasanya memiliki karakteristik inflamasi
kronik saluran napas. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala pernapasan seperti
mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi dalam hal waktu dan
intensitas, disertai variasi hambatan aliran udara ekspirasi. 1
Asma berhubungan dengan hipereaktivitas saluran napas baik terhadap stimulus secara
langsung maupun tidak langsung dan berhubungan dengan inflamasi kronik saluran
napas. Hipereaktivitas dan inflamasi dapat terjadi terus menerus, bahkan saat tidak ada
gejala atau fungsi paru normal, tetapi dapat menjadi membaik dengan pengobatan. 1

II.2 Epidemiologi
Asma adalah penyakit kronik saluran napas yang dijumpai pada 1-18% populasi di
berbagai negara maju maupun berkembang. Asma adalah masalah kesehatan global yang
bisa terjadi pada semua kelompok umur. Prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah
daripada anak. Secara keseluruhan di Amerika Serikat hampir1 dari 13 anak usia sekolah
memiliki masalah asma dan rasio ini meningkat lebih cepat pada anak pra sekolah, tidak
terkecuali pada keluarga yang bermukim di dalam kota. World Health Organization
(WHO) menyatakan prevalensi asma 3-5% terjadi pada orang dewasa, dan 7-10% pada
anak.1
Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30% di Indonesia , sekitar 10% pada usia
sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. Prevalensi asma
anak di kota biasanya lebih tinggi disbanding di desa, terlebih pada golongan sosio-
ekonomi rendah disbanding sosio-ekonomi tinggi. Pola hidup di kota besar,
perkembangan industry yang pesat dan banyaknya jumlah kendaraan bermotor
menyebabkan tingginya polusi udara. Keadaan ini meningkatkan hipereaktivitas saluran
napas, rhinitis alergi dan atopi zat polutan. Secara tidak langsung hal tersebut
meningkatkan prevalens, morbiditas (perawatan dan kunjungan ke instalasi gawat
darurat) dan mortalitas asma.1
II.3 Etiologi
Meskipun penyebab asma pada masa kanak-kanak belum ditentukan, penelitian
sementara mengimplikasikan kombinasi paparan lingkungan dan kerentanan biologis dan
genetic yang melekat. Paparan pernapasan dari lingkungan mencakup alergen yang
dihirup, infeksi virus pernapasan, dan polutan udara kimiawi dan biologis seperti asap
tembakau di lingkungan. Pada host yang memiliki kecenderungan, respon imun terhadap
pajanan umum ini dapat menjadi stimulus untuk inflamasi patogan dan perbaikan jaringan
jalan napas yang rusak yang berkepanjangan sehingga terjadi perkembangan disfungsi
paru. Setelah asma berkembang, paparan yang terus-menerus dapat memperburuk, dan
mendorong persistensi penyakit serta meningkatkan risiko eksaserbasi yang berat. 2

II.3.1 Genetik
Banyak gen yang terlibat dalam pathogenesis asma dan beberapa kromosom telah
diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22,
IL9R, NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1 serta gen-gen yang menimbulkan asma dan
atopi yaitu IRF2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, IL-33, IL 1RL1, IL 18R1, TSLP, CSF2
GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.1
Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai
predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam
progresivitas inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen yang mengkode sitokin
IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, Il13, dan GMCSF.1

II.3.2 Lingkungan
Pajanan dari luar terhadap saluran udara dapat memperburuk peradangan saluran udara
yang sedang berlangsung, meningkatkan keparahan penyakit, dan mendorong persistensi
asma. Pajanan alergen di dalam ruangan dan di rumah pada individu yang sudah
tersensitisasi dapat memicu peradangan saluran napas dan hipersensitivitas terhadap
paparan iritan lainnya, dan terkait dengan tingkat keparahan dan persistensi penyakit
sehingga dengan mengilangkan alergen yang mengganggu dapat menyebabkan resolusi
gejala asma. Asap tembakau lingkungan dan polutan udara (ozon, solfur dioksida)
memperburuk peradangan saluran udara dan meningkatkan keparahan asma. Udara
kering yang dingin dan bau yang menyengat dapat memicu bronkokonstriksi jika saluran
udara teriritasi.2

II.4 Patogenesis Asma


Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris yang melibatkan MHC (major
histocompatibility complex) kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+.
Setelah antigen ditangkap, sel dendritik menuju ke daerah yang banyak mengandung
limfosit dan menjadi matang sebagai APC yang selektif dipengaruhi sitokin-sitokin
lainnya. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naïve-Th0 menuju Th2 yang
mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk dalam klister gen 5q31-33 (Il-4
genecluster).3
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons alergi fase
cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi cepat
dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitive terhadap alergen IgE-spesifik terutama sel
mast dan makrofag. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang
menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik
dan heparin serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotriene, adenosin
dan oksigen reaktif. Mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan
menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mucus, vasodilatasi dan kebocoran
mikrovaskuler.3
Selama respons fase lambat dan selama berlangsung pajanan alergen, aktivasi sel-sel
pada saluran respiratori menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang
lepasnya leukosit proinflamasi terutama eosinophil dan sel prekursornya dari sumsung
tulang ke dalam sirkulasi.3
Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjur, produksi berlebih
faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGF-β) dan proliferasi
serta diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang
penting pada remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor
pertumbuhan, kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos
saluran respiratori, meningkatkan mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. 3
II.5 Patofisiologi Asma
Obstruksi saluran respiratori menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat
kembali baik secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang
terjadi dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan
hipereaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Penyempitan saluran
respiratori pada asma utamanya karena kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi
oleh pelepasan agonis sel inflamasi (histamin, tryptase, prostaglandin D2 dan leukotriene
C4 dari sel mast, neuropeptide dan asetilkolin). Kontraksi otot polos ini diperkuat oleh
penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan
remodelling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vascular dan sel-sel sekretori,
serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Hambatan saluran respiratori
bertambah akibat produksi secret yang banyak, kental dan lengket oleh sel globet dan
kelenjar submucosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus dan
debris selular.3
Inflamasi dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergen, virus, olahraga, dan lain-
lain sehingga muncul respons hiperreaktivitas yang menyebabkan obstruksi saluran
respiratori. Umumnya perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma bersifat
reversibel dan dapat terjadi penyembuhan sebagian/parsial. Penyempitan saluran
respiratori secara berlebihan kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos
saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder menyebabkan
perubahan kontraktilitas yang diperberat oleh inflamasi dinding saluran respiratori
terutama daerah peribronkial.3

II.6 Manifestasi Klinis Asma


Anak asma mempunyai gejala batuk, mengi, dan sesak napas atau napas cepat.
Anamnesis harus mendapatkan data frekuensi, tingkat keparahan, dan faktor yang
memperberat gejala pada anak. Faktor yang memicu eksaserbasi antara lain infeksi virus,
paparan alergen, dan iritan (rokok, bau-bauan yang menyengat, asap), olahraga, emosi
dan perubahan cuaca atau kelembaban. Gejala malam hari seringkali dijumpai.
Rinosinusitis, refluks gastroesofagus dan sensitivitas terhadap obat antiinflamasi
nonsteroid (khususnya aspirin) dapat memicu asma. Sedangkan pada pemeriksaan fisik
dapat menunjukkan adanya takipnea, takikardi, batuk, mengi dan ekspirasi yang
memanjang, namun mengi yang klasik mungkin tidak terlalu terdengan apabila gerakan
udara hanya minimal. Apabila serangan berlanjut, sianosis, berkurangnya aliran udara,
retraksi, agitasi, ketidakmampuan untuk bicara, posisi duduk tripod, diaphoresis, dan
pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah >15 mmgHg pada saat inspirasi) dapat
dijumpai.4

II.7 Diagnosis Asma


Penegakkan diagnosis asma pada asma terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat
diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara klinis.3
1. Anamnesis
Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan
diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:3
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus
o Iritan : asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhi
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
o Alergen : debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, salesma, common cold,
rinofaringitis.
o Aktivitas fisik : berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa
berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nocturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat Pereda asma.
2. Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengan wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau
yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada
pasien seperti dermatitis atopi atau rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda
alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.3
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas
akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya
atopi pada pasien.3
 Uji fungsi paru dengan spirometry sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peakflowmeter.
 Skin prick test, eosinophil total darah, pemeriksaan IgE spesifik.
 Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide),
eosinophil sputum.
 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari
kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberculin, foto sinus paranasalis,
foto toraks, uji refluks, gastroesofagus, uji keringat, uji Gerakan silia, uji
defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi respiratori (rhinoskopi, laringoskopi,
bronkoskopi).3

Diagnosis asma pada anak berumur dibawah atau sama dengan lima tahun, selain
menggunakan kriteria tersebut juga menggunakan asthma predictive index (API), yaitu
bila terjadi mengi berulang dan memenuhi salah satu dari dua kriteria mayor atau
minimal dua dari tiga kriteria minor seperti pada Tabel 2.1 Perbedaan asma pada anak
balita dengan di atas limatahun yaitu peran infeksi virus terhadap timbulnya mengi.
Frekuensi dan durasi gejala, pemicunya terhadap gejala, serta riwayat alergi keluarga
dipakai sebagai petunjuk untuk menduga asma ditambah dengan faktor alergi.3,5
Tabel 2.1 Asthma predictive index (API)5
Kriteria mayor Kriteria minor

1. Riwayat asma pada orangtua 1. Rinitis alergi


(didiagnosis oleh dokter) (didiagnosis oleh dokter)
2. Dermatitis atopik 2. Mengi bukan karena flu
(didiagnosis oleh dokter)
3. Eosinofilia (≥4%)

Sedangkan, di bawah ini merupakan kriteria diagnosis asma berdasarkan


Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Tabel 2.2 Kriteria diagnosis asma3
Gejala Karakteristik
Wheezing, batuk, sesak napas, dada  Biasanya lebih dari 1 gejala
tertekan, produksi sputum respiratori
 Gejala berfluktuasi intensitasnya
seiring waktu
 Gejala memberat pada malam hari
atau dini hari
 Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi:
Gambaran obstruksi saluran respiratori FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
FEV1/FVC ≤90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 >12%
Variabilitas Perbedaan FEVR harian >13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 >20% atau PEFR
>15%

Klasifikasi menurut UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia(2015), yaitu:


a. Klasifikasi berdasarkan umur
1. asma bayi-baduta (bawah dua tahun)
2. asma balita (bawah lima tahun)
3. asma usia sekolah (5-11 tahun)
4. asma remaja (12-17 tahun)

b. Klasifikasi berdasarkan fenotip


Klasifikasi ini adalah pengelompokan berdasarkan
penampakan klinis, patofisiologis, atau demografis, yaitu:
1. asma tercetus infeksi virus
2. asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
3. asma tercetus alergen, asma terkait obesitas
4. asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

c. Klasifikasi berdasarkan derajat kendali


1. Asma terkendali penuh (well controlled)
a. Tanpa obat pengendali (asma intermiten)
b. Dengan obat pengendali (asma persisten ringan/sedang/berat)
2. Asma terkendali sebagian (partly controlled)
3. Asma tidak terkendali (uncontrolled)

d. Klasifikasi berdasarkan derajat asma seperti pada Tabel 2.3


Tabel 2.3 Kriteria penentuan derajat asma3

Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma

Intermiten Episode gejala asma <6 kali/tahun atau jarak antar gejala
≥6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1 kali/bulan, <1 kali/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1 kali/minggu, namuntidak setiap
hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari

Serangan asma mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka panjang atauadanya
pajanan dengan pencetus. Derajat berat serangan asma, dikelompokkan menjadi tiga
yaitu asma serangan ringan-sedang, asma serangan berat dan serangan asma dengan
ancaman henti napas seperti pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Derajat berat serangan asma3


Asma serangan Asma serangan berat Serangan asma dengan
ringan-sedang ancaman henti napas
 Bicara dalam kalimat  Bicara dalam kata  Mengantuk
 Lebih senang duduk  Duduk bertopang  Letargi
daripada berbaring lengan  Suara napas tak
 Tidak gelisah  Gelisah terdengar
 Frekuensi napas  Frekuensi napas
meningkat meningkat
 Frekuensi nadi  Frekuensi nadi
meningkat meningkat
 Retraksi minimal  Retraksi jelas
 SpO2 (udara kamar):  SpO2 (udara kamar)
90-95% <90%
 PEF >50% prediksi  PEF≤50% prediksi
atau terbaik atau terbaik

II.8 Penatalaksanaan Asma


Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rincitujuan yang ingin
dicapai adalah:6
 Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain danberolahraga.
 Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
 Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
 Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
 Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
 Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya. Tatalaksana
asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya tentang penyakit asma
dan penghindaran terhadap faktor pencetus serta medikamentosa. Medikamentosa yang
digunakan dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu pereda (reliever) dan pengendali
(controller).6 Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi atau
sistemik, antileukotriene, kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas
lambat, dan anti-imunoglobulin E.3

II.8.1 Cara Pemberian Obat


Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan
kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan anak perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat inhaler biasa
(Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Tabel
berikut memperhatikan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usianya.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang baik.
Obat inhaler dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler; memerlukan inspirasi yang
kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu
spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Bayhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi
dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman, atau menggunakan botol dengan
dot yang talah dipotong untuk anak kecil dan bayi.3,6

Tabel 2.5 Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan usia3


II.8.2 Obat Pengendalian Asma
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting
dalam tata laksana asma jangka panjang. Pemberian steroid inhalasi setara dosis
budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan
memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun,
steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan,
mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki
fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Pada anak asma
yang mendapatkansteroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan
dan berat badan) setiap tahun. Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam
sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari.3

Tabel 2.6 Dosis berbagai preparate steroid inhalasi pada anak asma3

Β2-Agonis kerja panjang, yaitu formoterol dan salmeterol digunakan dua kali sehari
dan dapat merelaksasi otot polos saluran respiratori selama 12 jam, namun obat ini tidak
mempunyai efek antiinflamasi yang signifikan. Penambahan bronkodilator kerja panjang
pada kortikosteroid inhalasi lebih bermanfaat daripada menaikkan dosis kortikosteroid
inhalasi menjadi dua kali lipat. Formoterol dalam bentuk DPI digunakan pada anak usia
lebih dari 5 tahun sebagai terapi pengontrol asma dan pencegahan asma yang diinduksi
oleh olahraga. Salmoterol tersedia dalam bentuk DPI digunakan untuk anak berusia 4
tahun ke atas. Kombinasi budesonide dan formoterol terdapat 2 dosis yang berbeda
berdasarkan dosis kortikosteroid (80 mg dan 160 mg) yang tiap kemasannya mengandung
formoterol 4,5 mg. Kombinasi flutikason.salmeterol tersedia dalam bentuk DPI maupun
aerosol inhalasi dengan tujuan kepatuhan terhadap pengobatan menjadi lebih baik. 4
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti
montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton.
Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotriene dapat menurunkan angka serangan asma
dan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi namun kurang efektif pada asma persisten
dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang. 3
Teofilin dapat diberikan sebagai preparate tunggal atau sebagai kombinasi dengan
steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi ini akan memperbaiki kendali
asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Efek
samping berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri
perut dan diare timbul terutama pada pemberian dosis tinggi di atas 10mg/kgBB/hari. 3
Omalizumab (Xolair) merupakan antibody monoclonal anti-IgE yang mencegah
ikatan IgE pada reseptor afinitas tinggi pada basophil dan sel mast. Obat ini digunakan
pada asma sedang hingga berat pada anak usia 12 tahun atau lebih. Xolair diberikan dalam
bentuk suntikan subkutan setiap 2-4 minggu, bergantung pada berat badan dan kadar
serum IgE sebelum pengobatan dimulai.4

II.8.3 Obat Pelega


Albuterol, lavabuterol dan pirbuterol merupakan β2-agonis kerja pendek yang bekerja
sebagai bronkodilator efektif dalam merelaksasi otot polos bronkus dalam waktu 5-10
menit setelah pemberian dan berlangsung selama 4-6 jam. Penggunaan lebih dari satu
canister MDI per bulan atau lebih dari 8 puff per hari menunjukkan kontrol yang buruk. 4
Ipratropium bromid merupakan bronkodilator antikolinergik yang mengatasi
bronkokonstriksi, menurunkan hipersekresi mucus, dan meniadakan kerja iritabilitas
reseptor batuk dengan berikatan pada asetilkolin pada reseptor muskarinik yang
ditemukan pada otot polos brobkus.4
Kortikosteroid oral jangka pendek (3-10 hari) deiberikan pada anak dengan
eksaserbasi akut dengan dosis awal 1-2mg/kg/hari prednisone dilanjutkan 1 mg/kg/hari
selama 2-5 hari berikutnya/ Penggunaan obat ini dalam jangka panjang dapat memberikan
efek samping sistemik berupa penekanan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, gambaran
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, diabetes, katarak, glaucoma,
osteoporosis, dan penekanan pertumbuhan. Pada anak dengan asma berat, dosis harus
ditapering off sesegera mungkin sampai mencapai dosis minimum yang efektif dan bula
mungkin diberikan selang sehari.4
Tabel 2.6 Pilihan dan dosis steroid untuk serangan asma3
Nama Generik Sediaan Dosis
Metilprednisolon Tablet 4 mg, 8 0,5-1 mg/kgBB/hari – tiap 6 jam
mg
Prednison Tablet 5 mg 0,5-1 mg/kgBB/hari-tiap6 jam
Metilprednisolon suksinat Vial 125 mg 30 mg dalam 30 menit (dosis tinggi)
injeksi Vial 500 mg tiap 6 jam
Hidrokortison suksinat Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali – tiap 6 jam
injeksi
Deksametason injeksi Ampul 0,5-1 mg/kgBB-bolus, dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari diberikan tiap 6-8 jam
Betametason injeksi ampul 0,05-0,1 mg/kgBB-tiap 6 jam
Gambar 2.1 Alur tata laksana serangan asma pada anak3
II. 8.3 Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak
berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum
berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam
waktu enam minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma
jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma persisten dilakukan
tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai jenjang 4 kemudian
dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang dalam
pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu
menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan. Pemberian
steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang harus dipertimbangkan
pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut: mengalami serangan asma
pada 2 tahun terakhir, penggunaan obat pereda asma ≥3 kali dalam satu minggu,
terbangun karena serangan asma 1 kalidalam satu minggu.

Gambar 2.2 Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia>5 tahun

Keterangan:
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang
menggunakan klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8
minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang
ke atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12
minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang
kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspekH
aspekpenghindaran, penyakitpenyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.

II.9 Pencegahan
Edukasi yang memegang peran penting dalam membantu pasien dan keluarga untuk
mematuhi terapi yang diberikan terdiri dari pengajaran tentang fakta mendasar asma,
penjelasan tentang peran obat-obatan, pengajaran tentang kontrol lingkungan, dan
pengikutsertaan ketrampilan pasien dalam menggunakan alat spacer untuk metered dose
inhalers dan pemantauan aliran puncak. Edukasi perlu dimulai sejak diagnosis pertama
kali ditegakkan.4
Pemantauan aliran puncak merupakan alat penilaian mandiri yang bermanfaat untuk
anak berusia 5 tahun atau lebih dan dianjurkan untuk anak yang kurang tanggap terhadap
obstruksi jalan napas, anak dengan asma sedang hingga berat, dan anak yang mempunyai
riwayat eksaserbasi berat serta pada anak yang masih belajar mengenali gejala asma.
Untuk menggunakan pengukur aliran puncak, seorang anak harus berdiri dengan idikator
diletakkan pada bagian paling bawah dari skala. Anak harus menarik napas dalam,
meletakkan alat di dalam mulut, menggigit mouth piece, menutupi bibir di sekeliling
mouth piece, dan meniup dengan sangat kuat dan sangat cepat. Indikator akan naik pada
skala numerik. Peak expiratory flow rate (PEFR) merupakan angka tertinggi yang
dihasilkan. Pemeriksaan diulang tiga kali untuk mencapai usaha terbaik. Pengukur aliran
puncak tersedia dalam bentuk rentang rendah (<300L/detik) dan rentang tinggi
(<700L/detik).4
Kemampuan terbaik anak adalah PEFR tertinggi yang dicapai dalam rentang waktu 2
minggu pada saat stabil. Terdapat 3 zona pada rencana tatalaksana tertulis berdasarkan
kemampuan terbaik anak yang terdiri atas zona hijau, zona kuning dan zona merah. Pada
zona hijau PEFR80-100% dari kemampuan terbaik anak, anak biasanya asimtomatik dan
perlu melanjutkan obat-obatannya seperti biasa. Zona kuning menunjukkan PEFR 50-
80% dari kemampuan terbaik anak, yang biasanya disertai gejala asma yang lebih sering
sehingga obat pelega, perlu ditambahkan dan telpon kepada dokter harus dapat dilakukan
apabila aliran puncak tidak kembali ke zona hijau dalam waktu 24 sampai 48 jam
kemudian atau apabila gejala asma mengalami perburukan. Zona merah menunjukkan
PEFR di bawah 50% dan merupakan kegawatan medis. Obat-obat pelega harus diberikan
segera dan perlu dilakukan telpon kepada dokter atau tatalaksana gawat darurat bila PEFR
masih tetap berada di zona merah atau anak mempunyai aliran udara yang berkurang
secara nyata. Kunjungan rutin ke dokter memungkinkan tim pelayanan kesehatan untuk
menilai kepatuhan terhadap pengobatan dan parameter kontrol serta menentukan apabila
perlu dilakukan penyesuaian dosis obat-obatan. 4

II.10 Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut
berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan
lamanya pemantauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak
dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma
dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma
lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu
eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.3,7
BAB III
ANALISIS KASUS

Pasien (anak laki-laki 9 tahun 3 bulan) datang ke RS hari sakit ke-2, karena batuk
disertai sesak yang memberat pada malam hari. Batuk awalnya muncul setelah pasien
mengkonsumsi es krim. Batuk berdahak namun pasien sulit mengeluarkan dahaknya.
Kemudian pasien mengalami sesak disertai suara mengi yang memberat saat malam. Pada
pasien ini keluhan muncul dipicu oleh adanya makanan dingin yang dikonsumsi pasien
serta perunahan cuaca. Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan yang sama dengan
pencetus yang sama sehingga pasien dirawat di rumah sakit. Udara dingin merupakan
salah satu faktor pencetus asma karena dapat memicu bronkokonstriksi jika saluran napas
teriritasi. Suhu dingin dapat menyebabkan penurunan kelembaban membrane mukosa
pernapasan, predisposisi alergen, sensitivitas terhadap infeksi virus dan bakteri serta
peningkatan risiko serangan asma. Jenis kelamin juga merupakan faktor risiko yang
membabkan terjadinya asma pada pasien karena pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun
prevalensi asma 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan.
Pada anamnesis riwayat alergi pasien mengalami gatal-gatal dan kemerahan pada
tubuhnya akibat debu rumah saat usia 4 bulan. Asma alergi paling sering terjadi pada
anak-anak dan dewasa muda dengan riwayat menifestasi alergi (atopi) seperti rhinitis
alergi, konjungtivitis atau eksim. Atopi diidentifikasi dari respon kulit terhadap alergen
lingungan dan peningkatan kadar serium IgE.
Ibu pasien mengatakan pasien tidak mendapat ASI eksklusif dikarenakan produksi
ASI yang sedikit. Sedangkan ASI merupakan faktor protektif anak dari asma. ASI
mengandung faktor imun seperti antibody IgA yang melindungi bayi dari masalah
kesehatan seperti enterocolitis nekrotik, overweight dan obesitas, diabetes, infeksi, dan
penyakit alergi. Pasien tinggal dalam rumah yang dihuni 5 orang dengan salah satu
anggota keluarga adalah seorang perokok aktif. Kondisi di dalam rumah cukup padat
karena banyak barang. Polutan dan alergen yang banyak ditemukan di dalam rumah
seperti asap rokok, jamur, debu tungau dapat mencetuskan asma atau memperburuk
gejala asma. Anak yang terpajan asap rokok memiliki risiko lebih tinggi terkena asma
dibandingkan anak yang tidak terpajan asap rokok.
Berdasarkan teori, asma pada anak mempunyai gejala batuk, mengi, dan sesak napas
atau napas cepat. Gejala malah hari sering dijumpai, pada pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan adanya takipnea, takikardi, batuk, mengi dan ekspirasi memanjang.
Retraksi dada dapat dijumpai. Pada pemeriksaan fisik didapatkan retraksi sela iga,
ekspirasi memanjang dan wheezing.
Pada pemeriksaan rontgen thorax PA didapatkan suspek bronkopneumonia. Hal ini
dapat terjadi karena gangguan saluran udara yang terjadi pada asma dapat membuat
seseorang menjadi lebih rentan terhadap infeksi paru-paru, sehingga asma dapat
meningkatkan risiko tertular pneumonia. Pada pasien ini diperlukan kultur dan pewarnaan
Gram sputum untuk pemberian terapi.
Pada pemeriksaan darah lengkap didatkan peningkatan neutrophil segmen yaitu 76%
dan penurunan limfosit menjadi 17%. Neutrofil limfosit ratio 4,59 dengan neurtrofil
absolut meningkat menjadi 8090.
Pada pasien ini mengalami sesak yang dirasakan lebih dari 1 kali dalam sebulan yaitu
pada saat pasien dirawat tanggal 19 Maret 2024 dan 13 April 2024. Gejala sesak pasien
tidak pernah muncul selain pada saat pasien dirawat dan muncul ketika muncul faktor
pencetus yaitu udara dingin dan konsumsi makanan atau minuman dingin, sesak yang
dialami pasien kurang dari 1 kali dalam seminggu sehingga pasien didiagnosis asma
persisten ringan. Derajat serangan asma pada pasien ini merupakan asma serangan ringan-
sedang karena pasien dapat berbicara dalam penggalam kalimat, gejala menjadi lebih
ringan dengan duduk, terjadi retraksi minimal. Diperlukan pemeriksaan dengan peak flow
meter untuk mengetahui kondisi sesak napas terkendali atau memburuk.
Tatalaksana pada pasien ini adalah IVFD RL 1500cc/24 jam 14 tpm, injeksi Rantin
2x20 g IV, paracetamol 3x2 cth, ambroxol 3x2 cth, inhalasi nebu Ventolin +
Pulmicort/8jam kemudian setelah rawat inap pada pasien diberikan IVFD RL 21 tpm,
dexamethasone 3x5 mg IV, paracetamol 3x2 cth, ambroxol 3x1 cth, cefixime 2x100
mgPO, salbutamol 3x2 mg PI, inhalasi combiven + Pulmicort/6jam. Berdasarkan teori,
pasien dengan serangan asma ringan- sedang mulai terapi awal dengan pemberian
oksigen 1-2L/menit jika SpO2 <94%, Agonis β2 kerja pendek via nebulizer atau via MDI
dan spacer (4-10 semport), nebulasi dapat diulang sampai 3 kali tiap 20 menit dalam 1
jam. Untuk nebulasi ketiga pertimbangkan kombinasi Agonis β2 kerja pendek kerja
pendek dan ipratropium bromide. Pada saat serangan diberikan steroid sistemik
(prednisone/prednisolone) 1-2mg/kgBB/hari, maksimum 40 mg peroral (bila tidak
memungkinkan, IV) selama 3-5 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin M, Djajalaksana S, Wiyono WH, Yunis F, Suradi, Sutoyo DK, Tarigan AP,
Damayanti T, Ratnawati, Antariksa B, 2018, Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Jakarta
2. Kliegman, R., & Nelson, W. E. (2011). Nelson textbook of pediatrics.
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.
3. Rahajoe N, Kartasasmita CB, Supriyatno B, Setyanti DB. Pedoman Nasional Ama
Anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI.2016
4. Kliegman, Robert, dkk Nelson Textbook of Pediatrics edisi 20, Washington,
Elsevier : 2016
5. Castro-Rodríguez, J A et al. “A clinical index to define risk of asthma in young
children with recurrent wheezing.” American journal of respiratory and critical
care medicine vol. 162,4 Pt 1 (2000): 1403-6.
6. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report 2002.
7. Sundaru H. United allergic airway disease: konsep baru penyakit alergi saluran
napas.Dalam: Naskah lengkap Penedidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLIV.FKUI:Jakarta2001:21-30.

Anda mungkin juga menyukai

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy