Ridharrn, Agrisep 16-1 Reflis UNIB

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

REKLAMASI DAN RESTORASI EKOLOGI KAWASAN TANJUNG


API – API PROVINSI SUMATERA SELATAN

ECOLOGICAL RECLAMATATION AND RESTORATION OF


TANJUNG API – API SOUTH SUMATERA PROVINCE

Reflis¹,²)
¹Student, Doctoral Study Programe in Environmental Science, Sriwijaya
University, Palembang-Indonesia
² Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Email: reflis@yahoo.com

ABSTRACT
Damage to mangrove forests should be stopped by holding conservation activities,
even restore to reorganize. These activities not only protect and preserve the species as
well as providing a tourist attraction (ecotourism) but should also serve to improve the
socio-economic conditions of the surrounding community in the context of sustainable
development. This paper is to explain the problems of environmental degradation,
especially the large-scale exploitation of mangrove forests in the region of Tanjung Api-
Api Reclamation, Banyuasin regency of South Sumatra province. The method used is a
review of research papers and reports on Reclamation area of Tanjung Api-Api and
management of Special Economic Zones (SEZ). Reclamation activities Tanjung Api-Api
is basically not recommended because it lowers the quality of mangrove Environment
and Watershed Musi, but the public interest by taking into account all the benefits that
this can be continued reclamation of origin according to applicable regulations and pay
attention to aspects related impact and benefits. Damage to ecosystems due to
reclamation Tanjung Api-Api quite alarming, therefore it is necessary to the recovery
through the restoration of mangrove forest and watershed restoration Musi integrated.
Ecological restoration is expected to restore the function and role of the mangrove
ecosystem and watershed Musi.
Keywords: mangrove forests, reclamation, restoration and sustainable development

PENDAHULUAN
Pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan kajian terlebih dahulu
tentang potensi dan dampaknya terhadap lingkungan, sehingga dapat menjaga
kelestariannya. Dari perspektif ekologis, pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan resultante laju pembangunan ekonomi hendaknya
tidak melebihi daya dukung lingkungan yang menopangnya. Artinya, total
dampak lingkungan (baik dalam bentuk pencemaran, over-
exploitation sumberdaya alam, perubahan bentang alam maupun perubahan

AGRISEP Vol. 16 No. 1 Maret 2017 Hal: 57 – 70| 57


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

proses ekologis) akibat kegiatan pembangunan harus diupayakan tidak melebihi


kemampuan sistem alam (ekosistem).
Woinarski (2002), memasukkan dimensi ekologis ke dalam pembangunan
sosial ekonomi yang memerlukan pendekatan antisipatif (anticipatory approach)
dan tidak menggunakan pendekatan pembangunan bersifat reaktif (react and
cure). Salah satu cara sistematis untuk menerapkan pendekatan antisipatif dalam
mengharmoniskan pertimbangan ekologis dan kepentingan pembangunan
sosial ekonomi adalah melalui AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) yang mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Huda
(2013), menjelaskan bahwa AMDAL merupakan syarat mutlak untuk bisa
dilaksanakannya reklamasi, karena studi AMDAL ini akan melihat manfaat dan
dampak yang ditimbulkan dari proyek tersebut. Apabila hasil studi AMDAL
menunjukkan kemungkinan akan timbulnya dampak negatif dari pelaksanaan
kegiatan reklamasi tersebut, maka sudah selayaknya perencanaan reklamasi
tersebut tidak dapat dilakukan.
Kawasan reklamasi Tanjung Api-Api (TAA), merupakan ekosistem yang
terletak di daerah pesisir timur Sumatera Selatan (Sumsel) berada di Kabupaten
Banyuasin. Daerah ini dikelilingi oleh hutan bakau. Fungsi utama hutan bakau
atau mangrove adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau
pengikisan serta meredam gelombang besar termasuk tsunami. Keberagaman
biota yang terdapat pada kawasan reklamasi Tanjung Api-Api menjadi hal
penting dalam perputaran ekosistem pada hutan bakau karena wilayahnya yang
saling berkaitan. Adanya tanaman bakau ini menjadikan sepanjang pesisir
Tanjung Api-Api sebagai Kawasan Pantai Berhutan Bakau. Berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut
yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan. Dan pada
Pasal 6 (enam) dijelaskan bahwa kawasan pantai berhutan bakau termasuk salah
satu dari kawasan suaka alam dan cagar budaya.
Gubernur Sumatera Selatan (Palembang Pos, 2013), telah melaksanakan
pembangunan kawasan reklamasi Tanjung Api-Api untuk menjadi Kawasan
Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api (KEK TAA), dengan melakukan reklamasi
pantai untuk membuat pelabuhan di Tanjung Carat. Tujuan dari rencana
tersebut adalah untuk mendukung program MP3EI (Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Program pemerintah tersebut
merumuskan bahwa Sumatera Selatan dan Povinsi lain di Sumatera termasuk
dalam salah satu dari 6 (enam) koridor ekonomi yang bertujuan sebagai pintu
gerbang produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional.
Enam koridor ekonomi nasional dalam MP3EI terlihat pada Gambar 1.

58 | Reflis; Reklamasi dan Restorasi Ekologi Tanjung Api – api ...


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

Gambar 1
Koridor Ekonomi Indonesia dalam MP3EI (sumber : Widjanarko, 2013)

Bertitik tolak dari latar belakang di atas tujuan dari penelitian ini adalah
untuk: 1) Mengkaji dampak reklamasi kawasan Tanjung Api-Api Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan terhadap kualitas lingkungan, khususnya
hutan bakau (mangrove) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi bagian hilir; 2)
Mengkaji upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak dari
reklamasi kawasan Tanjung Api-Api Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera
Selatan.
Kegiatan reklamasi pantai sangat memungkinkan timbulnya dampak
terhadap lingkungan. Untuk menilai dampak tersebut bisa dibedakan dari
tahapan yang dilaksanakan dalam proses reklamasi, yaitu: Pertama, tahap pra
konstruksi, antara lain meliputi kegiatan survei teknis dan lingkungan,
pemetaan dan pembuatan pra rencana, perizinan, pembuatan rencana detail
atau teknis. Kedua, tahap konstruksi, kegiatan mobilisasi tenaga kerja,
pengambilan material urug, transportasi material urug, proses pengurugan.
Ketiga, tahap pasca konstruksi, yaitu kegiatan demobilisasi peralatan dan juga
tenaga kerja, pematangan lahan, pemeliharaan lahan (Huda,2013).
Basri dan Kasuri (2013) menyatakan bahwa untuk melihat dampak
tersebut, maka wilayah yang berpeluang terkena adalah: Pertama, hilangnya
wilayah pantai yang merupakan ruang publik bagi masyarakat. Dari sisi
lingkungan banyak biota laut yang mati baik flora maupun fauna karena
timbunan tanah urug sehingga mempengaruhi ekosistem yang sudah ada.
Kedua, sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah
dari alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi

AGRISEP Vol. 16 No. 1 Maret 2017 Hal: 57 – 70| 59


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan


terjadinya abrasi, tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir atau rob karena
genangan air yang banyak dan lama. Ketiga, aspek sosialnya, kegiatan
masyarakat di wilayah pantai sebagian besar adalah sebagai petani tambak,
nelayan ataupun buruh. Dengan adanya reklamasi ini akan mempengaruhi ikan
yang ada di laut, sehingga nanti akan berakibat pada menurunnya pendapatan
mereka yang tentunya menggantungkan hidup kepada laut. Selanjutnya adalah
aspek ekologi, kondisi ekosistem di wilayah pantai yang kaya akan
keanekaragaman hayati sangat mendukung fungsi pantai sebagai penyangga
daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan sehingga
apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan
mengakibatkan berubahnya keseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan
ekosistem perairan pantai dalam waktu yang relatif lama ini akan berakibat pada
kerusakan ekosistem wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan
pantai.
Sesuai dengan definisinya, maka reklamasi merupakan perbaikan
infrastruktur wilayah guna meningkatkan manfaat sumber daya lahan baik dari
segi lingkungan, dan sosial ekonomi. Menurut Modul Terapan Pedoman
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 40/PRT/M/2007, pola ruang kawasan reklamasi pantai
disusun dengan memperhatikan: 1) Keseimbangan antara rencana pemanfaatan
lahan untuk kepentingan fungsi budidaya dan lahan untuk fungsi lindung
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber
daya alam dan buatan; 2) Keseimbangan komposisi lahan pemanfaatan ruang
antara ruang di daratan dengan perairan/tata biru/pantai; 3) Peruntukan
kawasan reklamasi pantai harus dimanfaatkan secara efektif, menghargai
signifikansi ruang perairan, ada kesinergisan pola ruang kawasan budidaya
dengan lingkungan alami disekitarnya; 4) Pola ruang di sepanjang garis pantai
yang merupakan wilayah garis sepadan pantai harus diarahkan menjadi ruang
publik (jalan tepian pantai atau pun ruang terbuka) yang dapat diakses dan
dinikmati publik; 5) Pola ruang kawasan diarahkan untuk mengakumulasi
beberapa fungsi kawasan yang menghargai, menyatu dan memanfaatkan
potensi pantai. Jaringan dan sistem infrastruktur/prasarana dirancang
mengikuti pola struktur ruang kawasan reklamasi. Rencana Induk Sistem (RIS)
kawasan reklamasi pantai tersebut harus terintegrasi dengan sistem
perwilayahan (Basri dan Kasuri, 2013).

METODE PENELITIAN
Metode kajian dilakukan dengan studi literatur dan studi dokumentasi,
yang dilakukan dengan penggunaan teori sebagai alat prediksi fenomena
permasalahan yang berkaitan dengan reklamasi kawasan Tanjung Api-Api dan
pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Penelitian ini dalam bentuk

60 | Reflis; Reklamasi dan Restorasi Ekologi Tanjung Api – api ...


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

artikel ilmiah dan laporan dari lembaga terkait dan laporan Laboratorium
Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan yang akan
membahas semua aspek kelembagaan lingkungan hidup yang ada saat ini.
Kelembagaan disini erat hubungannya dengan institusi baik pemerintah
maupun produk perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah. Adapun perundang-undangan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup dapat dibagi sesuai dengan hirarkinya adalah: Undang-
Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres),
Keputusan Menteri (Kepmen), Keputusan Kepala Bappedal, Peraturan Daerah
(Perda), dan Keputusan Gubernur. Disamping itu juga ditinjau kepatuhan
masyarakat terhadap lingkungan dan kemampuan aparat negara dalam
menjerat pelanggar UU Lingkungan Hidup. Kelembagaan yang ada saat ini
lebih efektif dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga
perlu dianalisis lebih lanjut. Disamping itu juga akan dilihat efektivitas dari
program-program yang dijalankan pemerintah untuk menanggulangi dampak
lingkungan, seperti Program Reklamasi kawasan.

Lokasi Penelitian
Dari beberapa isu penting pengelolaan sumberdaya alam dan reklamasi
kawasan Tanjung Api-Api Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Penulis tertarik untuk mengkaji khusus tentang reklamasi kawasan Tanjung
Api-Api karena lokasi ini merupakan kawasan bagian hilir Daerah Aliran
Sungai Musi dan kawasan konservasi berupa hutan bakau (mangrove)
merupakan bagian dari ekosistem lahan basah (wetland).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak Kawasan Reklamasi Tanjung Api-Api terhadap pembangunan


berkelanjutan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2014, wilayah Tanjung
Api-Api (TAA) ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kawasan
Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api memiliki luas 2.030 ha yang terletak dalam
wilayah Desa Muara Sungsang dan Desa Teluk Payo, Kecamatan Banyuasin II,
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Salah satu infrastruktur
penting untuk mendukung program KEK adalah Pelabuhan Tanjung Api-Api
(PTAA). Pelabuhan ini berada di Muara Sungai Banyuasin, berfungsi sebagai
moda transportasi air untuk mendukung aktivitas perekonomian berupa
mobilitas manusia dan barang.
Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di kawasan reklamasi
Tanjung Api-Api harus memenuhi tiga pilar yaitu aspek lingkungan, ekonomi
dan sosial. Awalnya terjadi kecenderungan aktivitas manusia semata-mata
terkait dengan ekonomi, selanjutnya dimulailah gagasan untuk pembangunan

AGRISEP Vol. 16 No. 1 Maret 2017 Hal: 57 – 70| 61


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek manusia, ekonomi dan lingkungan


(Edwars, 2001 dalam Suganda, Yatmo, dan Atmodiwirjo, 2009). Pendekatan pada
Gambar 2, menunjukkan adanya prinsip dalam memandang isu ekologi atau
lingkungan. Diperlukan strategi perancangan wilayah yang memperhatikan
aspek-aspek lingkungan, sosial, ekonomi secara seimbang dan dinamis,
memperhatikan pembangunan spesifik lokal, serta bersifat tidak linier
melainkan mengandung proses umpan balik (Suganda, Yatmo, dan
Atmodiwirjo, 2009). Pada saat ini, terjadi kecenderungan bahwa aspek ekonomi
lebih mendapat penekanan dibanding aspek sosial dan lingkungan. Terkait
dengan kewenangan wilayah kabupaten Banyuasin atau Povinsi Sumatera
Selatan dalam mengatur wilayahnya melalui otonomi daerah dan
kecenderungan untuk menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-
masing. Akibatnya, setiap daerah dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang
ada tanpa adanya perencanaan kelestarian lingkungannya.

LINGKUNGAN

Pembangunan
berkelanjutan

MANUSIA EKONOMI

Gambar 2.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan Edwars (2001) dalam Suganda, Yatmo,
dan Atmodiwirjo (2009).

Kawasan reklamasi Tanjung Api-Api berhadapan langsung dengan Selat


Bangka, dipengaruhi oleh gelombang pasang-surut (Pasut) dan faktor-faktor
alam lainnya sehingga kawasan ini merupakan sistem alam yang dinamis. Di
ujung DAS Musi bagian hilir ini terdapat Muara Sungai Banyuasin (MSB)
sebagai saluran akhir Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin yang berfungsi
sebagai penyalur limpasan air (runoff) dari hulu menuju laut melalui Sungai
Lalan dan Sungai Banyuasin.

62 | Reflis; Reklamasi dan Restorasi Ekologi Tanjung Api – api ...


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

Gambar 3.
Kawasan Mangrove Tanjung Api-Api
(Sumber : Panorama, 2013 dalam Palembang Pos 2013)

Kawasan reklamasi Tanjung Api-Api (Gambar 3) merupakan Hutan Bakau


(mangrove) bagian dari lahan basah (wetland). Lahan basah adalah salah satu
ekosistem yang paling penting di bumi karena kondisi hidrologi yang unik dan
perannya sebagai zona peralihan antara sistem daratan dan perairan (Mitsch dan
Gosselink, 2011). Lahan basah, sebagai zona peralihan antara tanah dan air,
memberikan perlindungan alami terhadap banjir ekstrim, sebagai simpanan air
tawar, penyimpanan karbon jangka panjang serta memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi. Namun, banyak lahan basah, khususnya dataran banjir
sungai, delta dan muara, telah terdegradasi akibat aktivitas manusia (Verhoeven
et al., 2006 dalam Basri dan Kasuri, 2013). Menurut Suweda (2013), karateristik
tanah-tanah di lahan basah sangat spesifik terkait dengan sifat fisik
lingkungannya, seperti kondisi hidrotopografinya yang datar atau berupa
cekungan (depresi), curah hujan tinggi, suhu tinggi, kelembaban tinggi,
pengatusan (drainase) dan tata airnya jelek.
Menurut Alikodra (1999), ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa
sifat kekhususan, yakni letak hutan mangrove terbatas pada tempat tertentu,
peranan ekologis ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan
peran ekosistem hutan lainnya, dan hutan mangrove memiliki potensi hasil yang
bernilai ekonomis tinggi, serta hutan mangrove sebagai sumberdaya alam yang
dapat dipulihkan pendayagunaan-nya.
Basyuni (2002); Indira dan Birowo (2013) mengatakan, tekanan populasi,
pengelolaan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian, perkembangan
industri dan perkotaan merupakan penyebab utama terhadap kerusakan hutan
mangrove. Dengan meningkatnya populasi, lahan produksi semakin berkurang
sehingga hutan mangrove dikonversi menjadi lahan pertanian, pertambakan
(aquaculture), bahan bakar, dan tujuan lainnya. Penurunan kualitas dan kuantitas
hutan mangrove mengakibatkan menurunnya kualitas biofisik ekosistem hutan

AGRISEP Vol. 16 No. 1 Maret 2017 Hal: 57 – 70| 63


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

mangrove dan lingkungan sekitarnya, seperti kerusakan fisik pantai (erosi dan
abrasi), hilangnya habitat burung, banjir dan menurunnya produktivitas
perairan (mangrove dan padang lamun), dampak perubahan iklim global,
sedimentasi, serta terbatasnya sarana dan prasarana di wilayah pesisir dan
pulau-pulau.
Kerusakan hutan mangrove akibat dari reklamasi kawasan Tanjung Api-
Api perlu segera dihentikan dengan mengadakan kegiatan konservasi bahkan
merestorasi dengan mengembalikan dan menata kembali yang mengalami
kerusakan. Kegiatan konservasi dan restorasi hutan mangrove tidak hanya
sekedar untuk melindungi dan melestarikan spesies serta menyediakan obyek
wisata (ecoturism), tetapi harus pula berfungsi untuk meningkatkan kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dalam konteks pembangunan
berwawasan lingkungan. Membangun hutan mangrove adalah membangun
suatu inti bagi tercapainya pembangunan berwawasan lingkungan yang tujuan
pokoknya adalah meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dan
melakukan penanaman kembali hutan mangrove yang telah rusak. Berarti hutan
mangrove merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari seluruh sistem
pembangunan daerah (Alikodra, 1999).
Karena adanya perbedaan kontur tanah wilayah Tanjung Api-Api akibat
dari reklamasi hutan mangrove (Gambar 4), maka aliran arus ombak juga akan
berubah dan dikhawatirkan menyebabkan sedimentasi dan abrasi besar-besaran
yang akan terjadi di pesisir pantai timur Sumatera Selatan. Dalam pasal 37 ayat
(2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 tahun 1990, dijelaskan bahwa
di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang melakukan
kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya
dan tidak mengubah bentang alam, kondisi penggunaan lahan serta ekosistem
alami yang ada. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012
tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 26,
menjelaskan pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan: a.
Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; b. Keseimbangan
antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. Persyaratan teknis
pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.

64 | Reflis; Reklamasi dan Restorasi Ekologi Tanjung Api – api ...


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

Gambar 4.
Kawasan Reklamasi Tanjung Api-Api (Sumber Antaranews, 2014)
Untuk mereklamasi kawasan Tanjung Api-Api dibutuhkan banyak tanah
urugan dengan cara mengepras bukit yang ada di Sumsel dan Bangka Belitung
(Babel). Kegiatan ini jelas akan merusak ekosistem di dalamnya. Walaupun
pemerintah Provinsi Sumsel bersikeras terhadap dampak positif yang akan
diberikan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan reklamasi tersebut
memiliki dampak negatif yang justru cenderung lebih banyak.
Jelas terlihat disini, bahwa urgensi reklamasi yang dilakukan pada
kawasan Tanjung Api-Api belumlah menjadi hal utama dalam pembangunan,
hal itu selain karena faktor lingkungan hidup, dan adanya kawasan hutan
bakau. Namun, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi
Sumatera Selatan (2011) bahwa pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api di
Provinsi Sumatera Selatan dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan pelabuhan
baru untuk menggantikan peranan Pelabuhan Boom Baru yang saat ini dinilai
memiliki sejumlah permasalahan, seperti: a) Jarak ke ambang luar/muara relatif
jauh (± 60 mil = 108 km); b) Kedalaman alur sangat tergantung dengan pasang
surut; c) Hanya dapat dilayari selama 6 jam per hari (ketika pasang naik) oleh
kapal yang memiliki draft < 7 m dan kapasitas <10.000 GT (Gross Tonage); d)
Sedimentasi sangat tinggi ± 2,5 juta m3 per tahun, sehingga membutuhkan dana
30 milyar per tahun untuk pengerukan demi tercapainya kedalaman -6 MLWS
(Meter Lower Water Spring); e) Sulit dilakukan pengembangan karena lokasi
pelabuhan berada di pemukiman penduduk dan adanya situs bersejarah, selain
itu kolam pelabuhan sulit diperluas karena terbatas oleh lebar sungai; f)
Alternatif pengganti Pelabuhan Boom Baru hanya ada di kawasan Tanjung Api-
Api (tidak ada alternatif wilayah lain); g) Pelabuhan Boom Baru sulit untuk
dijadikan pelabuhan utama di Sumatera Selatan yang berfungsi sebagai “outlet-
inlet” hasil produksi komoditas strategis/andalan Sumatera Selatan: migas, batu
bara, karet, minyak CPO, pupuk, semen, kayu olahan, pulp, pertanian serta
produk lainnya.

AGRISEP Vol. 16 No. 1 Maret 2017 Hal: 57 – 70| 65


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

Luas kawasan mangrove di sekitar wilayah Tanjung Api-Api dan Taman


Nasional Sembilang kurang lebih 12.000 ha. Pada perencanaan reklamasi
kawasan untuk pengembangan Pelabuhan Tanjung Api-Api hanya seluas + 600
ha (5%), sementara manfaat yang ditimbulkan dengan adanya pembukaan
pelabuhan sangat besar dan mempunyai prospek internasional. Pembangunan
pelabuhan Tanjung Api-Api meliputi pelabuhan laut dan pelabuhan
penyeberangan dengan luas area 122 ha dan biaya investasi Rp 8,00 triliun.
Alternatif lahan untuk pelabuhan Tanjung Api-Api, yaitu (a) alternatif-1 di lahan
yang sudah mendapatkan persetujuan Menteri Kehutanan seluas 600 ha dan (b)
di atas lahan reklamasi seluas ± 2.250 ha (Badan Koordinasi Penanaman Modal
Provinsi Sumatera Selatan, 2011).
Reklamasi Tanjung Api-Api bertujuan untuk pengembangan Kawasan
Strategis Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api (Lihat Gambar 5), yang akan
diperuntukan:1) Pengembangan kawasan Industri Terpadu; 2)
Pelabuhan/terminal general kargo; 3) Pelabuhan laut; 4) Pelabuhan
penyeberangan; 5) 1 (satu) unit stock pile batubara; 6) Pelabuhan peti kemas; 7)
Pelabuhan/terminal curah cair (CPO/BBM/migas/pupuk/semen); 8)
Pengembangan kawasan perkantoran; 9) Pengembangan kawasan Permukiman;
10) Pengembangan fasilitas umum sosial-ekonomi; 11) Pengembangan jaringan
utilitas pendukung kegiatan pelabuhan, industri dan permukiman; 12)
Pengembangan jaringan transportasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal
Provinsi Sumatera Selatan, 2011).

Gambar 5.
Kawasan Pelabuhan Tanjung Api-Api (Sumber: Bentang Alam, 2014 dalam
Palembang Pos, 2014)

66 | Reflis; Reklamasi dan Restorasi Ekologi Tanjung Api – api ...


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

Restorasi Ekologi pada Kawasan Reklamasi Tanjung Api-Api dan Daerah


Aliran Sungai (DAS) Musi bagian Hilir.
Kawasan reklamasi Tanjung Api-Api adalah muara akhir dari Daerah
Aliran Sungai (DAS) Musi yang berhadapan langsung dengan wilayah laut,
memiliki fungsi lingkungan sebagai penyalur limpasan air dari daratan menuju
laut. Muara merupakan sumberdaya alam, tempat tinggal berbagai biota air dan
ikan. Berbagai jenis burung, mamalia, ikan, dan satwa liar lainnya tergantung
pada habitat muara sebagai tempat tinggal, sumber makanan, dan bereproduksi.
Banyak organisme laut, termasuk berbagai spesies ikan sangat bergantung pada
muara untuk pengembang-biakan/pemijahan, sehingga muara dikenal dengan
nurseries of the sea. Di wilayah ini, pengaruh air pasang surut (tidal wet-land)
sangat kuat, yaitu lahan basah yang langsung dipengaruhi oleh pasang air
laut/salin. Lahan gambut pada kawasan reklamasi Tanjung Api-Api biasanya
berupa tanah mineral, dan masalah utamanya adalah salinitas tanah yang tinggi
akibat intrusi air laut/asin ke daratan (Suriadikarta, 2009).
Nazami, Hairani dan Indrayati (2012), berdasarkan fisik kritis
perwilayahan, dengan terdegradasinya kawasan sempadan sungai, untuk itu
upaya pemulihan peranan fungsi ekosistem (restorasi ekologi) kawasan sempadan
sungai dinilai strategis. Hal ini mengingat bahwa restorasi ekologi merupakan
manajemen konservasi dalam mengembalikan habitat atau ekosistem tertentu ke
suatu kondisi semirip mungkin dengan keadaan sebelum terjadi degradasi.
Waryono (2002), restorasi ekologi adalah proses pemulihan suatu ekosistem
yang telah menurun, rusak, atau hancur secara alami. Basri dan Kasuri (2013)
mendefinisikan, restorasi merupakan proses yang intens dalam membantu
pemulihan dan pengelolaan integritas ekologi suatu ekosistem yang rusak,
termasuk berbagai variabel keragaman hayati penting, struktur dan proses-
proses ekologi pada konteks sejarah dan kewilayahan, serta kelestarian praktik-
praktik budaya.
Waryono T (2002), langkah awal yang harus ditempuh dalam
merumuskan implementasi pengelolaan kawasan reklamasi Tanjung Api-Api
sebagai wilayah bantaran sungai, perlu menetapkan unit-unit perencanaan yang
rasional dan mampu mengakomodasikan pemulihan peranan fungsi jasa
ekosistemnya melalui: (a) pemberdayaan habitat vegetasi riparian, (b) kajian
dasar atas peranan fungsi jasa biologis, hidrologis dan ekologisnya, (c) serta
mengkaji secara mendalam terhadap nilai kualitas kawasan reklamasi, termasuk
kajian potensi baku habitat dan kesesuaian jenisnya, sebagai dasar acuan dalam
penyusunan rancangan model restorasi ekologi bantaran sungai.

AGRISEP Vol. 16 No. 1 Maret 2017 Hal: 57 – 70| 67


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu: 1) Dampak
kegiatan reklamasi Tanjung Api-Api menurunkan kualitas lingkngan hutan
bakau (mangrove) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi, namun demi
kepentingan umum dengan memperhatikan segala manfaatnya maka reklamasi
ini dapat dilanjutkan asal sesuai ketentuan yang berlaku dan memperhatikan
aspek yang terkait serta dampak dan manfaatnya; 2) Kerusakan ekosistem akibat
reklamasi Tanjung Api-Api cukup mengkhawatirkan, oleh karena itu perlu
dilakukan upaya pemulihan melalui restorasi hutan mangrove dan DAS Musi
bagian hilir yang terpadu. Restorasi ekologi diharapkan mampu
mengembalikan fungsi dan peranan ekosistem mangrove dan DAS Musi bagian
hilir.

Saran
Para pelaku pembangunan harus mempertimbangkan rencana kawasan
reklamasi Tanjung Api-Api yang melibatkan setiap lapisan masyarakat dengan
bepegang teguh terhadap prinsip-prinsip pembangunan, seperti prinsip
kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta
kemandirian dengan menjaga keseimbangan antara manusia, aktivitas ekonomi
dan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1999. Implementasi Konservasi Hutan Mangrove di Indonesia.
Makalah pada Raker Pengelolaan Pesisir dan Hutan di Indonesia yang
diselenggarakan pada 18 Mei 1999 oleh Direktorat Jenderal Bangda
Depdagri. Jakarta
Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2011. Potensi Investasi Provinsi Sumatera
Selatan. Palembang
Basri, H. Dan Kasuri, A.R. 2013. Rencana Restorasi Rawa Wetland Restoration Plan.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas
Syiah Kuala. Banda Aceh
Basyuni, M.2002 Panduan Restorasi Mngrove Yang Rusak (Degrated). Fakultas
Pertanian Program Ilmu Kehutanan-Universitas Sumatera Utara.
Medan
Huda M.C. 2013. Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap
Perlindungan Lingkungan Hidup. Jurnal Perspektif. XVIII (2) Tahun
2013 Edisi Mei. Surabaya.
Indira M. Dan Birowo. M.A. 2013. Analisis Isi pada Berita Lingkungan dalam
Pemberitaan Kasus Reklamasi Teluk Benoa Bali. Objektivitas Berita

68 | Reflis; Reklamasi dan Restorasi Ekologi Tanjung Api – api ...


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

lingkungan Hidup di Surat Kabar. Surat Kabar Bali Post Periode 27 Juni
2013 – 18 Agustus 2013). Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta
Mitsch, W.J., and Gosselink, J. G. 2011. Wetlands. Ecological Studies, 190, John
Wiley & Sons.
Nazami, Hairani dan Indrayati, 2012. Prospek Pengembangan Penataan Lahan
Sistem Surjan di Lahan Rawa Pasang Surut. Balai Penelitian Pertanian
Lahan Rawa (Balittra). Jurnal Agrovigor 5(2):113 – 120. Banjar baru.
Palembang Pos. 2013. Percepat Pembebasan Lahan. Harian Palembang Pos
Monday, 06 May 2013; Palembang.
Palembang Pos. 2014. Pemerintah Menetapkan II Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Palembang
Soegiarto, A. 2004. The Mangrove Ecosystem in Indonesia : Its Problems and
Management in H.J. Teas (ed). Physiology and Management of
Mangrove. W. Jung Publishers, The Hague. P69 - 78.
Soemodihardjo, S., R. Ongkosono, & A. Abdullah. 2006. Diskusi Panel Daya guna
dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Panitia Program MAB
Indonesia – LIPI. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup. P17 - 22.
Suganda, E. Yatmo,Y.A. dan Atmodiwirjo P. 2009. Pengelolaan Lingkungan dan
kondisi Masyarakat Pada Wilayah Hilir Sungai. Jurnal Makara, Sosial
Humaniora. 13(2) 143 – 153.
Suriadikarta, D.A. 2009. Pembelajaran Dari Kegagalan Penanganan Kawasan PLG
Sejuta Hektar Menuju Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan . Balai
Penelitian Tanah. Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang
disampaikan pada tanggal 6 Agustus 2009. Bogor.
Suweda I.W. 2013. Analisa Dampak Bangkitan Lalu Lintas Terhadap Rencana
Kawasan Reklamasi Teluk Benoa Bali. Konferensi Nasional Teknik Sipil
7 (KoNTekS 7).Universitas Sebelas Maret (UNS). Surakarta. 24-26
Oktober 2013
Waryono, T. 2002. Konsep Restorasi Ekologi Kawasan Penyangga Sempadan
Sungai Di DKI Jakarta. Seminar Nasional Evaluasi Pasca dan Rancang
Tindak Penanggulangan Banjir Wilayah Perkotaan. Kedutaan Belanda
(Kuningan Jakarta), 12 Juni 2002, Kerjasama Dept. Kimpraswil,
Masyarakat Air Indonesia, dan Kedutaan Belanda. Jakarta
Widjanarko,A. 2013. Arah Dan Kebijakan Pembangunan Nasional Infrastruktur
Pekerjaan Umum dan Permukiman. Sebagai Kuliah Umum Karya
Siswa Beasiswa Pendidikan dan Vokasi Tahun 2013. Kerjasama

AGRISEP Vol. 16 No. 1 Maret 2017 Hal: 57 – 70| 69


ISSN: 1412-8837 e-ISSN : 2579-9959

Kementerian PU & Mitra Perguruan Tinggi Sekretaris Jenderal


Kementerian PU Republik Indonesia. Jakarta
Woinarski L.2002. Pulau Serangan: Dampak Pembangunan pada Lingkungan
dan Masyarakat. Universitas Muhamadiyah Malang kerjasama dengan
Australian Consotium For In-Country Indonesian Studies. Malang.

PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN


Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990. Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012, Tentang
Reklamasi Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 40/PRT/M/2007. Modul Terapan
Pedoman Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi
Pantai
Peraturan Presiden No. 51. (2014). Tentang Penetapan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) Tanjung Api- Api

70 | Reflis; Reklamasi dan Restorasi Ekologi Tanjung Api – api ...

You might also like

pFad - Phonifier reborn

Pfad - The Proxy pFad of © 2024 Garber Painting. All rights reserved.

Note: This service is not intended for secure transactions such as banking, social media, email, or purchasing. Use at your own risk. We assume no liability whatsoever for broken pages.


Alternative Proxies:

Alternative Proxy

pFad Proxy

pFad v3 Proxy

pFad v4 Proxy