Makalah Uas
Makalah Uas
Makalah Uas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
berperan cukup penting di Indonesia. Secara ekonomi mete menjadi penghasil devisa negara,
sumber pendapatan petani, bahan baku industri serta sebagai tanaman penghijauan untuk
konservasi lahan. Komoditas ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun dan
buah serta bijinya (kacang mete) juga dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi dan bernilai
ekonomi tinggi. Kacang mete di pasar dunia termasuk salah satu produk kacang-kacangan yang paling
banyak diperdagangkan dan termasuk komoditi mewah bila dibandingkan dengan kacang tanah atau
almond (Tjahjana 2011). Begitu strategisnya potensi dan prospek komoditi jambu mete, sehingga
Pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang cukup besar bagi untuk pengembangannya.
Pengembangan jambu mete di Indonesia sudah lama dilakukan, terutama pada lahan marginal
beriklim kering. Kondisi lahan umumnya tanah berbatu dan tingkat kesuburan relatif rendah. Hal ini
terjadi karena pada awalnya penanaman jambu mete dimaksudkan untuk penghijauan dan
rehabilitasi lahan. Namun, karena hasil gelondong jambu mete bernilai ekonomi, maka banyak rakyat
yang menanam jambu mete secara sukarela (Rostiana, Haryudin, and Darajat 2017).
Indonesia termasuk salah satu produsen mete dunia setelah India, Vietnam, Afrika Barat,
Afrika Timur dan Brasil. Pada tahun 2008, ekspor mete sebanyak 66.990 ton dengan nilai US$
77.755.000. Sebagian besar diekspor dalam bentuk gelondong mete (Cashew Nut Shell) 56.587 ton
dengan nilai US$ 51.037.000. Sedangkan ekspor berupa kacang mete (Cashew Nut Shelled) hanya
10.403 ton dengan nilai US$ 26.718.000. Produk jambu mete harganya cukup stabil dan prospek
pasarnya di dalam dan luar negeri cukup baik, permintaannya terus meningkat. Hal ini seharusnya
dapat menjadi daya tarik untuk lebih meningkatkan pengelolaan tanaman jambu mete oleh petani
(Listyati and Sudjarmoko 2011).
Jumlah produksi jambu mete dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Pada tahun 2009
jumlah produksi 147.403 ton gelondong dengan luas areal 572.870 ha. Pada tahun 2010 jumlah
produksi 115.149 ton gelondong dengan luas areal 570.930 ha. Pada tahun 2011 produksi mengalami
penurunan menjadi 114.789 ton gelondong dengan luas areal 575.841. Pada tahun 2012 jumlah
produksi menjadi 116.737 ton gelondong dengan luas areal 574.900 ha. Pada tahun 2013 jumlah
produksi menjadi 115.969 ton dengan luas areal 553.166 ha. Pada tahun 2014 jumlah produksi
gelondong 131.178 ton dengan luas areal 529.809 ha. Meskipun beberapa varietas unggul telah di-
lepas, namun sebagian besar pertanaman jambu mete di sentra produksi di Indonesia sudah tua dan
banyak yang kurang produktif sehingga perlu dilakukan peremajaan dengan pemilihan pohon induk
terpilih (PIT) di Blok Penghasil Tinggi (BPT) sebagai sumber benih (Dionita and Utama 2015). Selain itu
juga rendahnya produktivitas jambu mete diakibatkan kurangnya pemeliharaan dan budidaya
anjuran tidak diadopsi dengan baik. Hal yang sama juga di temukan di India yang sampai tahun 1980
produktivitasnya hanya 600 kg.ha -1, tetapi dengan penggunaan bahan tanaman unggul dan
penerapan teknologi budidaya yang memadai produktivitasnya meningkat menjadi 1.112 kg.ha -1.
Upaya serupa sedang berlangsung di beberapa negara penghasil jambu mete seperti di Thailand,
China, Myanmar dan Filipina. Selain itu produktivitas yang rendah pada tanaman jambu mente
disebabkan adanya serangan hama Helopeltis spp. Peningkatan produktivitas dan kualitas jambu
mete di daerah marginal akan mendorong peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat
yang selama ini terpinggirkan. Oleh karena itu, pengembangan jambu mete ber-produksi tinggi perlu
dipacu (Maslahah, Ediningsih, and Efiana 2018).
Total luas areal perkebunan jambu mete di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 526.336 ha,
dengan produksi gelondong 123.549 ton. Luas areal dan produksi jambu mete terus mengalami
penurunan dari tahun ke tahun akibat tanaman semakin tua dan kurang pemeliharaan, serta alih
fungsi lahan. Peningkatan produksi dan produktivitas jambu mete dapat dilakukan melalui
peremajaan (rehabilitasi) tanaman dan perluasan areal tanam (ekstensifikasi). Pengembangan jambu
mete di sentra produksi, baik untuk rehabilitasi pertanaman yang sudah ada maupun ekstensifikasi
penanaman di lahan baru, masih terkendala oleh ketidakmampuan petani dalam menyediakan benih
unggul dan sarana produksi lainnya (Rostiana, Haryudin, and Darajat 2017). Sulawesi Selatan
merupakan salah satu sentra produksi jambu mete dengan luas areal 16.526 ha dengan total
produksi 57.035 ton yang dimiliki oleh 69.969 petani. Daerah sentra produksi tersebut tersebar di
beberapa kabupaten terutama yaitu Kab. Pangkep, Jeneponto, Luwu, Enrekang, Sidenreng Rappang,
Kota Pare Pare, Sopeng, Bone, Pangkajene Kepulauan, Kota Makasar, Gowa, dan Kepulauan Selayar.
Total luas lahan jambu mete yang sudah digunakan 63.818 ha, dengan jumlah produksi 24.435 ton
(2008), 24.420 ton (2009) dan 19.773 ton (2010). Tujuan penelitian adalah menyeleksi Pohon Induk
Terpilih pada Blok Penghasil Tinggi jambu mete di Kab. Pangkep sebagai dasar penetapan kebun
benih sumber (Maslahah, Ediningsih, and Efiana 2018).
Komoditas jambu mete sebagai komoditas perkebunan rakyat di daerah Sulawesi Selatan
memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Peluang pasar yang prospektif, ketersediaan lahan
yang luas, dan jumlah petani yang terlibat merupakan tantangan bagi daerah Sulawesi Selatan untuk
meningkatkan produksi dan ekspor selain peningkatan pendapatan petani dari pemanfaatan
tanaman sela serta produk-produk sampingan dan pengembangan industri hilir. Jambu mete
merupakan komoditi andalan Sulawesi Selatan telah mampu menembus pasar baik lokal, regional,
nasional maupun internasional. Akan tetapi, yang perlu dibenahi agar jambu mete sebagai produk
yang dihasilkan dapat bertahan di pasar manapun adalah segi kualitasnya. Selain itu dikatakan bahwa
jambu mete merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, harganya cukup
stabil dan prospek pasarnya baik di dalam maupun luar negeri cukup baik (Dionita and Utama 2015).
Sumber alam Pangkep memang sangat berlimpah ruah. Selain di wilayah kepulauan
terdapat potensi perikanan dan parawisata, juga di wilayah daratan dan pegunungan
terhampar potensi pertanian yang menjadi andalan utama masyarakat. Misalnya padi, kacang-
kacangan dan jeruk bali yang kini sudah banyak merambah pasar domestik. Komoditi
Perkebunan jambu mete seluas 8.354 Ha dengan produksi 4.113 Ton ndustri pengolahan tanaman
Pangan, perkebunan dan holtikultura jambu mente yaitu daging buah menjadi Abon dan Anggur,
kulit biji menjadi minyak pelumas (Kantor Informasi dan Komunikasi Kab.Pangkep). Selain itu olahan
tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) adalah biji kacang mete sedangkan buah semu dari
jambu mete dapat diolah menjadi sirup, anggur, abon, selai, dodol, nata de cashew dan pakan
ternak. Kulit glondong jambu mete setelah dipisahkan dari kacangnya dibuang sebagai limbah.
Limbah ini dapat diolah menjadi minyak CNSL (Cashew Nut Shell Liquid) untuk campuran bensin, cat
genteng, serta untuk kepentingan industri seperti minyak rem. Minyak mete juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan perekat kayu karena terdapat senyawa kardanol sekitar 70 persen.
Pemanfaatan minyak dari kulit jambu mete untuk perekat kayu, dapat menghemat devisa pada
industri kayu lapis nasional karena tidak mengimpor. Jambu mete memiliki keunggulan karena
tanaman tersebut (1) merupakan komoditi unggulan yang prospektif untuk dikembangkan (2)
memiliki nilai ekonomis yang tinggi (3) mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lahan
perbukitan. Usahatani jambu mete di Pangkep telah memberikan penghidupan dan kesempatan
kerja bagi sebagian besar petani, baik sebagai usaha sampingan maupun usaha pokok. Respon petani
untuk menanam jambu mete sudah mulai baik karena usahatani jambu mete mempu memberikan
pendapatan yang cukup berarti bagi petani, sejalan dengan meningkatnya permintaan ekspor di
samping pemeliharaan tanaman jambu mete relatif mudah. Namun demikian, di tingkat petani masih
ditemukan berbagai permasalahan yang menghambat keberhasilan usahatani jambu mete.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui sistem budidaya tanaman
jambu meteh dan pengolahan komoditas perkebunan jambu mete.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini
adalah mengenai bagaimana sistem budidaya tanaman jambu meteh dan pengolahan komoditas
perkebunan jambu mete?
BAB II
TEORI RINGKAS BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN KOMODITAS
JAMBU METE
2.1 Budidaya
Keperluan akan bahan pangan senantiasa menjadi permasalahan yang tidak putus-putusnya.
Kekurangan pangan seolah olah sudah menjadi persoalan akrab dengan manusia. Kegiatan pertanian
yang meliputi budaya bercocok tanam merupakan kebudayaan manusia paling tua. Sejalan dengan
peningkatan peradaban manusia, teknik budidaya tanaman juga berkembang menjadi berbagai
sistem. Mulai dari sistem yang paling sederhana sampai sistem yang canggih. Berbagai teknologi
budidaya dikembangkan guna mencapai produktivitas yang diinginkan. Istilah teknik budidaya
tanaman diturunkan dari pengertian kata-kata teknik, budidaya, dan tanaman. Teknik memiliki arti
pengetahuan atau kepandaian membuat sesuatu, sedangkan budidaya bermakna usaha yang
memberikan hasil. Kata tanaman merujuk pada pengertian tumbuh-tumbuhan yang diusahakan
manusia, yang biasanya telah melampaui proses domestikasi. Teknik budidaya tanaman adalah
proses menghasilkan bahan pangan serta produk-produk agroindustri dengan memanfaatkan
sumberdaya tumbuhan. Cakupan obyek budidaya tanaman meliputi tanaman pangan, hortikultura,
dan perkebunan (Putra 2017). Budidaya merupakan suatu usaha penanaman tanaman atau
pemeliharaan hewan ternak dalam lingkungan buatan (Hairiah, Sardjono, and Sabarnurdin 2003).
Budidaya tanaman adalah suatu atau beberapa teknik dalam usaha pembibitan atau
mengembangkan suatu jenis tanaman dengan cara-cara tertentu (Shinta 2001). Selain itu dikatakan
juga bahwa budidaya tanaman merupakan kegiatan pemeliharaan sumber daya hayati yang
dilakukan pada suatu areal lahan untuk diambil manfaat maupun hasil panennya (Purba et al. 2020).
Kata hoktikultura (horticulture) berasal dari bahasa latin, yakni hortus yang berarti kebun dan
colere yang berarti menumbuhkan (terutama sekali mikroorganisme) pada suatu medium buatan.
Secara harfiah, hortikultura berarti ilmu yang mempelajari pembudidayaan tanaman kebun. Akan
tetapi, pada umumnya para pakar mendefinisikan hortikultura sebagai ilmu yang memperlajari
budidaya tanaman sayura, buah-buahan, bunga-bungaan, atau tanaman hias (Arfadi, Amanah, and
Sulistiawati 2018). Kegiatan pertanian (budidaya tanaman) merupakan salah satu kegiatan yang
paling awal dikenal peradaban manusia dan mengubah total bentuk kebudayaan. Para ahli
prasejarah umumnya bersepakat bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun
yang lalu dari kebudayaan di daerah "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah, yang meliputi daerah
lembah Sungai Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat hingga daerah Suriah dan Yordania
sekarang. Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian
(serealia, terutama gandum, kurma dan polong-polongan pada daerah tersebut. Pada saat itu, 2000
tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan
dan padang yang sangat cocok bagi mulainya pertanian.
Budidaya tanaman telah dikenal oleh masyarakat yang telah mencapai kebudayaan batu
muda (neolitikum), perunggu dan megalitikum. Pertanian mengubah bentuk-bentuk kepercayaan,
dari pemujaan terhadap dewa-dewa perburuan menjadi pemujaan terhadap dewa-dewa,
perlambang kesuburan dan ketersediaan pangan. Teknik budidaya tanaman lalu meluas ke barat
(Eropa dan Afrika Utara, pada saat itu Sahara belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke Timur
(hingga Asia Timur dan Asia Tenggara). Bukti-bukti di Tiongkok menunjukkan adanya budidaya
jewawut (millet) dan padi sejak 6000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Asia Tenggara telah
mengenal budidaya padi sawah paling tidak pada saat 3000 tahun SM dan Jepang serta Korea sejak
1000 tahun SM. Sementara itu, masyarakat benua Amerika mengembangkan tanaman dan hewan
budidaya yang sejak awal sama sekali berbeda. Budidaya sayur-sayuran dan buahbuahan juga dikenal
manusia telah lama. Masyarakat Mesir Kuno (4000 tahun SM) dan Yunani Kuno (3000 tahun SM)
telah mengenal baik budidaya anggur dan zaitun. Teknik budidaya tanaman pada zaman dahulu tidak
dikelompokkan kedalam teknik budidaya, karena pada saat itu belum melakukan tindak budidaya
tanaman, karena sifatnya masih mengumpulkan dan mencari bahan pangan (Hanum 2007).
Pada umumnya, isi kebun di Indonesia adalah berupa tanaman buah-buahan, tanaman
sayuran, tanaman hias dan wangi-wangian, tanaman bumbu masak, tanaman obat-obatan, dan
tanaman penghasil rempah-rempah. Sementara itu, di Negara-negara maju budidaya tanaman
hortikultura sudah merupakan susatu usaha tani berpola komersial, yakni diusahakan secara
monokultur di ladang produksi yang luas, misalanya perkebunan apel, anggur, tomat, dan pear (Pyrus
Communis) di Amerika perkebunan mangga dan kelengkeng di Queensland, Australia serta
perkebunan tomat hidroponik di New Zeland. Seiring dengan semakin pentingnya kedudukan
hortikultura dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber berbagai vitamin dan mineral di samping
sebagai bahan baku berbagai produk olahan, pengusahaan hortikultura, khususnya buah-buahan, di
Indonesia kini mulai dikelola dengan pola agribisnis (Purwantini 2016).
2.2 Pengolahan Komoditas Perkebunan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komoditas adalah: 1. Barang dagangan utama,
benda niaga, hasil bumi dan kerajinan setempat dapat dimanfaatkan sebagai komoditas ekspor, 2.
Bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan
internasional. Komoditas dibagi menjadi komoditas industri, komoditas pertambangan, komoditas
hasil hutan, komoditas hasil laut, komoditas kayu, komoditas hasil kerajinan rakyat (Rahardi 2004).
Komoditas unggulan adalah komoditi potensial yang dipandang dapat dipersaingkan dengan produk
sejenis di daerah lain, karena disamping memiliki keunggulan komaratif juga memiliki efisiensi usaha
yang tinggi (Ramadhani and Yulhendri 2019). Komoditas unggulan merupakan hasil usaha masyarakat
yang memiliki peluang pemasaran yang tinggi dan menguntungkan bagi masyarakat. Beberapa
kriteria dari komoditas unggulan adalah (Fitriyah 2016):
1. Mempunyai daya saing yang tinggi di pasaran (keunikan/ciri spesifik, kualitas bagus, harga murah).
2. Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang potensial dan dapat dikembangkan.
3. Mempunyai nilai tambah tinggi bagi masyarakat.
4. Secara ekonomi menguntungkan dan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan dan
kemampuan sumberdaya manusia.
5. Layak didukung oleh modal bantuan atau kredit.
Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu, pada tanah atau
media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan bareng dan jasa
hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan
sertamanajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat
(Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004). Perkebunan merupakan suatu andalan komoditas unggulan
dalam menopang pembangunan perekonomian Nasional Indonesia, baik dari sudut pandang
pemasukan devisa Negara maupun dari sudut pandang peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan, dengan cara membuka lapangan pekerjaan yang sangat terbuka luas. Dalam
dictum menimbang UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan dinyatakan bahwa, untuk
mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perkebunan perlu
dijamin keberlanjutan serta ditingkatkan fungsi dan peranannya dan perkebunan sebagai salah satu
bentuk pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu,
professional, dan bertanggung jawab (Supriadi and Pranowo 2016). Perkebunan mempunyai fungsi
ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur
ekonomi wilayah dan nasional; ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon,
penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan
pemersatu bangsa (Wulandari and Kemala 2017).
BAB III
METODE PENYUSUNAN MAKALAH
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah kualitatif deskriptif, didasarkan pada
upaya membangun pandangan mereka yang diteliti yang rinci. Dibentuk dengan kata-kata, gambaran
holistik dan rumit. Definisi ini lebih melihat perspektif emik dalam penelitian yaitu memandang
sesuatu upaya membangun pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata,
gambaran holistik, dan rumit (Moleong 2013), jenis metode yang digunakan dalam penyususan
makalah yaitu kepustakaan (library research) dan lapangan (field research). Kepustakaan data-
datanya hampir sepenuhnya dari perpustakaan, sehingga lebih populer dikenal dengan kualitatif
deskriptif kepustakaan, karena sepenuhnya mengandalkan data-data yang bersifat teoritis dan
dokumentasi yang ada di perpustakaan. Sedangkan penelitian lapangan mengandalkan data-datanya
di lapangan (social setting) yang diperoleh melalui informan dan data-data dokumentasi yang
berkaitan dengan subjek penelitian (emik) (Mukhtar, 2013).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library
Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Penelitian kepustakaan maksudnya pada tahap
ini peneliti melakukan apa yang disebut kajian pustaka, yaitu mempelajari buku-buku refrensi dan
hasil penelitian sejenis yang sebelumnya pernah dilakukan orang lain. Tujuannya untuk mendapatkan
landasan teori mengenai masalah yang yang diteliti (Jonathan Sarwon, 2006). Kepusatakaan
Digunakan untuk menemukan jurnal-jurnal terkait judul makalah. Sedangkan yang dimaksud dengan
penelitian lapangan yaitu jenis penelitian yang beriorientasi dengan mengumpulkan data secara
empiris di lapangan (Tim Penyusun Buku Pedoman Skripsi, 2010). Penelitian di lapangan dilakukan
dengan maksud untuk mengetahui secara langsung budidaya dan komoditas jambu mete yang ada
dalam makalah ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Kabupaten Pangkep
Kabupaten Pangkep terletak antara 110ᵒ BT dan 4ᵒ.40‘ LS sampai dengan 8ᵒ.00‘ LS atau
terletak di pantai barat Sulawesi Selatan dengan batas-batas administrasi: sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Barru, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Bone, dan sebelah barat berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau
Jawa dan Madura, Pulau Nusa Tenggara dan Pulau Bali.
4.2 Rantai Pasok Kacang Mete Kabupaten Pangkep
Model rantai pasok benih jambu mete di Kabupaten Pangkep melibatkan beberapa elemen,
baik dalam aliran barang, aliran uang dan aliran informasi. Elemen - elemen yang terlibat adalah (1)
petani pemilik kebun Blok Penghasil Tinggi (BPT), pemilik kebun entres dan kebun induk komposit
jambu mete varietas populasi Flotim 1 (MPF–1) merah dan kuning; (2) Penangkar dan Dinas
Perkebunan Kabupaten Pangkep; (3) Penangkar dan Dinas Perkebunan di luar Kabupaten Pangkep;
(4) Kelompok Tani; dan (5) Pertani.
Kebun Entres
Kelompo Petani
k Tani
Gambar 2.1
Rantai pasok Jambu Mete
Keterangan :
: Aliran jambu mete
: Aliran ulang dan informasi
pemesanan
Masing – masing elemen rantai pasok tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Rantai 1 (Pemasok)
Rantai 1 (Pemasok) yang terlibat dalam sistem rantai pasok benih jambu mete di Kabupaten
Pangkep ada tiga, yaitu:
a. Petani Pemilik Kebun Blok Penghasil Tinggi (BPT)
Kebun BPT yang dijadikan pemasok benih adalah kebun BPT yang terdaftar dalam pelepasan
varietas komposit jambu mete MPF-1 sesuai dengan SK. Menteri Pertanian No.
16888/Kpts/SR.120/12/2008 yaitu BPT Bellogili. BPT ini terdapat di Desa…..,
Kecamatan…..Kabupaten Pangkep. Produk yang dihasilkan oleh petani pemilik Kebun BPT adalah
berupa benih jambu mete dalam bentuk gelondong, jambu mete yang telah dilakukan seleksi
sesuai dengan kriteria kelayakan benih yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Kabupaten
Pangkep. Proses seleksi gelondong jambu mete untuk benih tersebut dilakukan dibawah
pengawasan petugas pengawas benih, dari Dinas Perkebunan untuk tetap memastikan mutu
benih yang dihasilkan. Selain itu, pemerintah daerah melalui Dinas Perkebunan juga melakukan
pembinaan secara berkala terhadap petani. Penjualan gelondong jambu mete dalam bentuk benih
pada dasarnya sangat menguntungkan petani karena harga jual yang jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan harga gelondong untuk konsumsi.
Pada saat pelaksanaan survei, harga gelondong jambu mete untuk keperluan konsumsi hanya
berkisar antara Rp. 8.000–12.000,- per kg. Sedangkan gelondong untuk keperluan benih, harganya
mencapai Rp. 15.000,- per kg. Dengan demikian, petani yang memiliki kebun jambu mete yang
terpilih sebagai pohon induk memiliki keuntungan dibandingkan dengan yang tidak terkait dengan
harga jual gelondong yang diperoleh. Namun demikian, masih terdapat berbagai permasalahan
terkait dengan produksi benih sumber dari BPT… antara lain: (a) benih yang dihasilkan belum
disertifikasi, sehingga kualitas benih yang dihasilkan belum terjamin walaupun sudah ada
pengawasan dan pembinaan dari instansi terkait; (b) permintaan benih sangat berfluktuasi,
bahkan permintaan benih umumnya terjadi ketika jambu mete tidak dalam masa panen sehingga
tidak dapat dipenuhi, sedangkan pada masa panen, permintaan benih terkadang sangat rendah;
(c) keterbatasan jumlah petugas pengawas benih menyebabkan mutu benih yang dihasilkan masih
rendah.
b. Kebun Entres
Kabupaten Pangkep memiliki kebun entres jambu mete yang dapat digunakan untuk
menghasilkan benih grafting. Kebun entres yang dimiliki berjumlah 312 pohon dengan luas 4 ha
yang dimiliki oleh Cornelis Reket Ritan dan Nico Laus masing-masing 2 ha di Desa….. Kebun entres
ini dibangun dengan benih yang berasal dari pohon induk terpilih pada BPT yang ditanam pada
tahun 1996. Setiap pohon jambu mete memiliki potensi produksi entres sebanyak 150 entres per
tahun dengan harga jual Rp. 500,- /entres. Namun, produksi entres dari kebun entres tersebut
hanya dimanfaatkan oleh Dinas Perkebunan setempat dan tidak digunakan untuk pengembangan.
Kondisi ini tidak terlepas dari tidak adanya upaya pengembangan jambu mete dengan
menggunakan benih grafting disamping tenaga yang memiliki kemampuan dalam menerapkan
teknologi grafting masih sangat minim. Hal tersebut juga ditambah dengan belum efisiennya
teknologi grafting jambu mete sehingga masih relatif mahal di tingkat petani. Padahal penguasaan
teknik grafting diperlukan, karena tanaman jambu mete menyerbuk silang, sedangkan populasi
tanaman yang ada potensi genetiknya rendah. Untuk itu, perlu dilakukan introduksi teknologi
grafting terutama di kalangan penangkar benih dan kelompok tani sehingga untuk pengembangan
jambu mete dapat menggunakan benih grafting sesuai dengan rekomendasi pengadaan benih
jambu mete.
c. Kebun Induk Komposit MPF 1 Merah dan Kuning
Untuk menindaklanjuti saran Tim Penguji pelepasan Varietas MPF 1, maka untuk menjaga
kemurnian benih, Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep melalui Dinas Perkebunan telah
membangun kebun induk komposit untuk varietas unggul jambu mete MPF 1 merah dan kuning
masing-masing 3 ha. Kebun induk tersebut dibangun pada tahun 2008 dan belum berproduksi.
Pada masa yang akan datang, penyebaran benih jambu mete dan juga entres untuk keperluan
grafting diharapkan dapat dipenuhi dari kebun tersebut sehingga mutunya lebih terjamin. Selain
itu, jika kebun induk sudah berproduksi diharapkan dapat menggantikan sumber benih yang lain
seperti kebun BPT dan kebun entres untuk pengembangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pemasok benih pada rantai 1 dalam sistem manajemen rantai pasok benih jambu mete
memegang peranan yang sangat penting karena berada pada sisi hulu rantai pasok. Dengan
berbagai permasalahan yang ada dalam rantai 1 tersebut, adanya manajemen rantai pasok benih
jambu mete yang baik diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani, sehingga dikatakan
bahwa petani yang berada di sisi hulu rantai pasok memiliki beberapa kebutuhan seperti harga
jual yang bersaing, kontinuitas produksi, kemudahan dalam kemitraan serta kualitas produk yang
baik.
2. Rantai 1-2
Rantai 1-2 dalam sistem rantai pasok benih jambu mete di Kabupaten Pangkep terdiri dari 3 pola
yaitu: (a) Pemasok-penangkar benih; (b) Pemasok-Dinas Perkebunan Flores Timur; dan (c)
Pemasok-kelompok tani. Namun seluruh pemasok yang terlibat dalam rantai 1-2 ini adalah kebun
BPT….
a. Pemasok-penangkar benih
Pada pola ini, penangkar benih mendapatkan pasokan benih dari kebun BPT. Di Kabupaten
Pangkep terdapat empat penangkar benih yaitu…… Jenis benih yang dihasilkan oleh penangkar
adalah benih dalam polybag dan benih gelondong jambu mete yang sudah diseleksi. Benih dalam
polybag diproduksi dari benih yang diperoleh dari BPT, kemudian dibibitkan selama 4 bulan. Harga
pokok produksi benih dalam polybag berkisar antara Rp. 1.000-1.200,- per polybag. Produksi
benih jambu mete dalam polybag umumnya dilakukan penangkar, ketika ada proyek pengadaan
benih oleh pemerintah sehingga produksinya tidak kontinu. Hal ini menyebabkan penangkar juga
memproduksi benih lain di luar jambu mete, baik itu tanaman perkebunan maupun kehutanan.
Benih dalam polybag langsung disalurkan penangkar kepada kelompok tani/petani sesuai dengan
perjanjian yang tercantum dalam kontrak dengan pihak pemerintah. Selain benih dalam polybag,
penangkar juga menjual benih gelondongan. Benih ini pada umumnya di jual untuk memenuhi
permintaan dari luar Kabupaten Pangkep. Benih gelondong jambu mete diperoleh dari BPT yang
telah melalui proses seleksi ulang dan penjemuran oleh pihak penangkar. Harga benih dalam
bentuk gelondong dijual seharga Rp. 20.000,- per kg. Dalam memproduksi benih jambu mete, baik
benih dalam polybag maupun dalam bentuk gelondong, penangkar mendapat pembinaan dan
pengawasan dari pemerintah daerah setempat untuk memastikan kelayakan benih yang
diproduksi. Benih yang dianggap layak untuk disalurkan dilengkapi dengan Surat Keterangan
Kelayakan dari Tim Pemeriksa. Permasalahan yang umumnya dihadapi penangkar benih adalah (a)
permintaan benih hanya terjadi ketika ada proyek pengadaan benih jambu mete oleh pemerintah,
sehingga proses produksi tidak dapat berlangsung secara kontinu; (b) seleksi benih yang dilakukan
petani pemilik kebun BPT masih kurang baik sehingga dilakukan seleksi ulang oleh penangkar; (c)
penangkar belum mampu untuk menghasilkan benih grafting; dan (d) benih yang dihasilkan oleh
penangkar, baik benih dalam polybag maupun gelondong belum melalui proses sertifikasi.
b. Pemasok-Dinas Perkebunan Pangkep
Pada dasarnya, peran Dinas Perkebunan Kabupaten Pangkep pada rantai 1-2, dengan pola ini
hanya sebagai perantara pengadaan benih kepada kelompok tani maupun Dinas Perkebunan di
luar Kabupaten Pangkep. Pemasok yang memasok benih kepada Dinas Perkebunan adalah BPT
dalam bentuk benih gelondongan dan kebun entres. Bahan baku entres digunakan untuk
menghasilkan benih grafting jambu mete, namun belum sampai pada tahap pengembangan
secara luas.
c. Pemasok-kelompok tani
Selain dengan dua pola yang telah disampaikan di atas, pada rantai 1-2 juga terdapat pola dimana
kelompok tani langsung membeli benih jambu mete ke BPT, untuk dibibitkan sendiri menjadi
benih dalam polybag dan disalurkan kepada petani anggota kelompoknya. Pola ini dilakukan di
bawah pengawasan dan pembinaan Dinas Perkebunan setempat.
3. Rantai 1-2-3
Pada rantai 1-2-3 terdapat tiga pola yaitu:
a. Pemasok-Penangkar-Kelompok Tani
Pada pola ini, kelompok tani akan memperoleh benih jambu mete dalam polybag untuk disalurkan
pada petani anggota kelompok.
b. Pemasok-Dinas Perkebunan-Kelompok Tani
Penyaluran benih jambu mete kepada kelompok tani yang diperoleh dari Dinas Perkebunan
sebagai perantara umumnya dalam bentuk benih dalam bentuk gelondong. Benih tersebut
kemudian dibibitkan sendiri oleh kelompok tani untuk disalurkan kepada petani anggota
kelompok.
c. Pemasok-Kelompok Tani-petani
Pada pola ini, petani akan memperoleh benih siap tanam dalam polybag di tempat pembibitan
kelompok tani. Benih dalam polybag kemudian diangkut oleh masing-masing petani ke kebun
untuk ditanam.
d. Pemasok-Penangkar/Disbun-Disbun Luar Pangkep
Tingginya permintaan benih jambu mete dari luar Kabupaten Pangkep umumnya difasilitasi oleh
Dinas Perkebunan masing-masing, melalui penangkar ataupun Dinas Perkebunan yang ada di
Kabupaten Pangkep. Tingginya permintaan tersebut tidak terlepas dari dilepasnya benih unggul
MPF 1 oleh Menteri Pertanian, sehingga Kabupaten Pangkep dijadikan sebagai rujukan
perbenihan jambu mete khususnya oleh daerah-daerah di sekitarnya.
4. Rantai 1-2-3-4
Pada rantai 1-2-3-4 proses rantai pasok meliputi pemasok-penangkar/Dinas Perkebunan-
kelompok tani-petani. Proses ini sebenarnya sudah melibatkan pelaku-pelaku dalam sistem rantai
pasok yang telah disampaikan di atas.
Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa sistem manajemen rantai pasok jambu mete di
Kabupaten Pangkep melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda
sehingga membuat rantai pasok menjadi rumit dan kompleks. Kondisi tersebut dapat dianggap
sebagai salah satu faktor penghambat implementasi manajemen rantai pasok. Untuk itu diperlukan
kelembagaan rantai pasok yang baik, sehingga terbentuk sistem kerja yang sistematis dan saling
mendukung di antara pihak-pihak yang terlibat dan manajemen rantai pasok benih jambu mete.
Keberhasilan kelembagaan tersebut dapat terjadi jika kunci sukses (key success factor) dapat
diterapkan dengan baik. Kunci sukses tersebut adalah trust building, koordinasi dan kerjasama,
kemudahan akses pembiayaan dan dukungan pemerintah.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Kabupaten Pangkep sudah dijadikan sebagai rujukan benih unggul jambu mete terutama oleh
wilayah di sekitarnya setelah dilepasnya varietas unggul MPF 1, sebagai varietas unggul spesifik
lokasi oleh Menteri Pertanian, sehingga wilayah ini sangat berpotensi sebagai produsen benih
unggul jambu mete untuk program pengembangan jambu mete pada masa yang akan datang.
2. Pemasok utama benih unggul jambu mete berasal dari BPT dalam bentuk gelondong, dimana
benih yang dihasilkan belum disertifikasi sehingga mutu benih yang dihasilkan masih rendah.
Sedangkan sumber benih yang berasal dari kebun entres belum dioptimalkan pemanfaatannya
karena keterbatasan keahlian dalam melakukan grafting. Selain itu, kebun induk komposit yang
seharusnya menjadi sumber benih sesuai dengan peraturan yang berlaku belum berproduksi.
3. Kabupaten Pangkep memiliki empat penangkar yang sangat berperan khususnya dalam
memproduksi benih dalam polybag serta pendistribusiannya untuk pengembangan jambu mete.
5.2 Saran
1. Pemerintah daerah perlu mendorong petani pemilik Kebun BPT untuk meningkatkan mutu benih
yang dihasilkan melalui proses sertifikasi oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah.
2. Sebagai varietas unggul yang sudah dilepas, sumber benih unggul varietas MPF 1 yang akan
dikembangkan seharusnya berasal dari pohon induk varietas tersebut, baik dalam bentuk biji
maupun entres. Dengan demikian, pemerintah daerah bekerja sama dengan petani perlu
membangun kebun induk dalam jumlah yang cukup dengan mempertimbangkan proyeksi
permintaan benih unggul jambu mete pada masa yang akan datang, baik dalam bentuk biji
maupun entres sehingga seluruh permintaan benih dapat dipenuhi dari kebun induk tersebut.
3. Petani/kelompok tani pemilik kebun BPT sebaiknya dapat menerapkan manajemen stok benih
sehingga permintaan benih di luar masa panen tetap dapat dipenuhi. Untuk itu, pemerintah
daerah perlu mendorong pembentukan kelembagaan yang kuat di tingkat kebun BPT sehingga
mampu mengelola stok benih.
4. Penangkar perlu melakukan perbaikan metode distribusi benih dalam polybag kepada petani
pengguna sehingga benih tersebut dapat disampaikan kepada petani dengan kualitas yang
memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Arfadi, Aprina Permata, Siti Amanah, and Asri Sulistiawati. 2018. “Aksesibilitas Dan Pemanfaatan
Informasi Pertanian Oleh Petani Hortikultura Di Desa Cinangneng, Tenjolaya, Bogor.” Jurnal
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM] 2(1): 123–32.
Dionita, Nimas Febri, and Made Suyana Utama. 2015. “Pengaruh Produksi, Luas Lahan, Kurs Dollar
Amerika Serikat Dan Iklim Terhadap Ekspor Kacang Mete Indonesia Beserta Daya Saingnya.” E-
JURNAL EKONOMI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS UDAYANA 4(5): 349–66.
Fitriyah, Fitriyah. 2016. “PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL MELALUI PEMBERDAYAAN EKONOMI
PEREMPUAN (Studi Pada Desa Candi Renggo Kecamatan Singosari Kabupaten Malang).”
EGALITA 11(1).
Hairiah, Kurniatun, Mustofa Agung Sardjono, and Sambas Sabarnurdin. 2003. 1 Bahan Ajaran
Pengantar Agroforestri.
Hanum, Chairani. 2007. Departemen Pendidikan Nasional Teknik Budidaya Tanaman. Jakarta.
Indonesia, Republik. 2004. “Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004.” Tentang Perkebunan. Jakarta.
Listyati, Dewi, and Bedy Sudjarmoko. 2011. “Nilai Tambah Ekonomi Pengolahan Jambu Mete
Indonesia.” Buletin RISTRI 2(2): 231–38.
Maslahah, Nur, Ediningsih, and Efiana. 2018. Revitalisasi Agro Industri Jambu Mete Dalam Rangka
Meningkatkan Daya Saing Dan Nilai Tambah Secara Berkelanjutan. Jakarta: IAARD Press.
Moleong, Lexy J. 2013. “Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.”
Mukhtar, 2013. Jakarta: GP Press Group Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif.
Purba, Deddy Wahyudin et al. 2020. Pengantar Ilmu Pertanian. Yayasan Kita Menulis.
Purwantini, Tri Bastuti. 2016. “Potensi Dan Prospek Pemanfaatan Lahan Pekarangan Untuk
Mendukung Ketahanan Pangan.” In Forum Penelitian Agro Ekonomi, , 13–30.
Putra, Kurniawan Ade. 2017. “MULTIMEDIA BUDIDAYA TANAMAN JAGUNG BERBASIS WEBSITE PADA
KANTOR BALAI PENYULUHAN PERTANIAN (BPP) KECAMTAN BARA KOTA PALOPO.” PROSIDING
SEMANTIK 1(1): 91–101.
Rahardi, F. 2004. Mengurai Benang Kusut Agribisnis Buah Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.
Ramadhani, Gita, and Yulhendri Yulhendri. 2019. “Analisis Komoditi Unggulan Di Kabupaten Solok.”
Jurnal Ecogen 2(3): 472–82.
Rostiana, Otih, Wawan Haryudin, and Jajat Darajat. 2017. “Penyebaran Benih Varietas Unggul Jambu
Mete Di Kawasan Timur Dan Barat Indonesia.” Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
28(1): 1.
Sarwono, Jonathan. 2006. “Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif.”
Shinta, Agustina. 2001. Ilmu Usaha Tani. Universitas Brawijaya Press.
Skripsi, Tim Penyusun Buku Pedoman. 2010. “Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Pendidikan
Agama Islam.”
Supriadi, Handi, and Dibyo Pranowo. 2016. 14 Hukum Kehutanan Dan Hukum Perkebunan Di
Indonesia. Jakarta Timur: Sinar Grafika.
Tjahjana, Usman Daras dan Bambang Eka. 2011. “TEKNOLOGI REHABILITASI PADA TANAMAN JAMBU
METE.” Buletin RISTRI 2(2): 167–74.
Wulandari, Siti Abir, and Nida Kemala. 2017. “Kajian Komoditas Unggulan Sub-Sektor Perkebunan Di
Provinsi Jambi.” Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi 16(1): 134–41.
1. Persamaan Sistem Rantai Pasok
No Komoditas Lada No Komoditas Jambu Mete
1 Petani bisa langsung menjual hasil 1 Kelompok tani langsung membeli benih
panen komoditi cabai rawitnya jambu mete ke BPT untuk dibibitkan
kepada konsumen, konsumen sendiri menjadi benih dalam polybag dan
yang tau lokasi petani mendatangi disalurkan kepada petani anggota
petani kelompoknya.
2 Petani akan memperoleh benih 2 Petani yang melakukan kegiatan produksi
siap tanam dalam polybag di komoditi lada, kemudian komoditi lada
tempat pembibitan kelompok diambil oleh pemilik 13ndustry
tani. Benih dalam polybag rumah/makan, pemilik 13ndustry yang
kemudian diangkut oleh masing- mengetahui lokasi petani mendatangi
masing petani ke kebun untuk lokasi tersebut dan membelinya langsung
ditanam. dari petani.
3 Pedagang besar menjual kepada 3 Proses rantai pasok meliputi pemasok-
pedagang pengecer yang penangkar/Dinas. Perkebunan-kelompok
kemudian selanjutnya dijual tani-petani. Proses ini sebenarnya sudah
kepada konsumen. Pada saluran melibatkan pelaku-pelaku dalam sistem
ini pedagang besar menjualnya ke rantai pasok seluruhnya.
pedagang pengecer yang ada di
pasar-pasar tradisional dan dijual
kepada masyarakat umum.
4 Kebutuhan industry rumah tangga Tingginya permintaan benih jambu mete
menjadikan lada sebagai dari luar Kabupaten Pangkep umumnya
kebutuhan yang harus di difasilitasi oleh Dinas Perkebunan masing-
melakukan penjualan hingga masing melalui penangkar ataupun Dinas
keluar daerah. Perkebunan.Tingginya permintaan tersebut
tidak terlepas dari dilepasnya benih unggul
MPF 1 oleh Menteri Pertanian, sehingga
Kabupaten Pangkep dijadikan sebagai
rujukan perbenihan jambu mete khususnya
oleh daerah-daerah di sekitarnya